7). Why Should You?

Nevan paling sebal jika disuruh menjawab pertanyaan random oleh guru di saat dia sedang asyik dalam dunianya sendiri. Bukannya dia tidak mau memperhatikan pelajaran, melainkan dia sebenarnya tergolong murid yang cukup handal dalam menyerap materi pelajaran tanpa harus berfokus ke depan. Meskipun demikian, sebagian besar guru yang mengajar pastilah menganggap kalau Nevan tipikal murid nakal yang tidak mau memperhatikan pelajaran, sehingga mereka akan mengetes cowok itu dengan pertanyaan supaya kapok.

Sekarang kelas mereka sedang dibimbing oleh Pak Kevin, guru Bahasa Inggris. Nevan kini menunggu pertanyaan darinya dengan tatapan malas-malasan yang kontan saja membuat beliau geram.

Maka dari itu, Pak Kevin segera memikirkan pertanyaan yang jauh lebih sulit supaya bisa membuat Nevan jera dan malu, mungkin mengajaknya bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris untuk mengintimidasinya.

"Please give me an example of Present Continuous Tense in Passive Form."

Nevan terdiam, tampak sedang memikirkan sesuatu, sementara Pak Kevin tersenyum puas karena berhasil membuatnya kesulitan karena pertanyaannya. Padahal, Nevan sedang memikirkan kalimat yang cocok, bukannya tidak bisa mengubahnya ke dalam Bahasa Inggris.

Tamara juga sependapat dengan Pak Kevin sehingga cewek itu tidak tega. Dia segera menulis pada buku catatannya lantas menggesernya ke arah Nevan setelah selesai.

English is being taught by Mr Kevin in the classroom now.

Nevan menyeringai sewaktu membaca contoh kalimat dari Tamara padanya. Cewek itu mengira kalau senyumannya bermakna rasa terima kasih yang besar namun rupanya dia salah.

Karena Nevan sama sekali tidak menggunakan kalimatnya.

"My answer is being told to Mr. Kevin right now," kata Nevan yang menekankan tiap katanya dengan pengucapan dan nada yang tepat, menunjukkan seberapa hebat kemampuannya, berhasil membuat semua murid melongo, termasuk Pak Kevin yang bergeming dengan ekspresi membeku.

Masalahnya mereka hampir tidak pernah mendengar Nevan mengeluarkan suara. Jangankan bahasa Inggris, mendengar Nevan ngomong bahasa Indonesia saja tidak pernah sampai satu kalimat seperti itu, seakan-akan pita suaranya terbuat dari emas. Dalam hal ini, percakapannya dengan Tamara dikecualikan karena cewek itu selalu memancing emosinya. Sedangkan Alvian, dia sudah terbiasa karena tampaknya hanya dia sendiri yang tidak terlalu terpengaruh dengan situasi ini.

Tamara melongo bukan karena suara emasnya Nevan, melainkan cowok itu bisa menjawab karena dia mampu. Kalimatnya sama sekali tidak dimanfaatkan, dan dia bisa membuat kalimatnya sendiri.

Apakah itu berarti, Nevan sengaja menyembunyikan prestasinya yang sebenarnya?

"Okay. I thought your English is that good, but still, I'm asking for your attention in my class. Will you?" tanya Pak Kevin setelah berhasil menguasai dirinya karena jawaban Nevan rupanya tepat secara tidak terduga.

Nevan mengangguk. "Okay, I will."

"Wow, lo hebat juga ternyata," puji Tamara bersungguh-sungguh pada Nevan dengan suara pelan sementara Pak Kevin melanjutkan penyampaian materinya.

Nevan melirik ke Tamara sekilas sebelum mencoret-coret abstrak pada buku catatannya demi janjinya pada Pak Kevin. "Apa pujian lo harus gue tanggapin?"

"Nggak usah juga nggak apa-apa, gue cuma mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran gue," jawab Tamara yang lantas menghela napasnya dengan berat. "Semuanya selalu salah di mata lo."

Kalimat terakhir Tamara diucapkan lebih pelan tetapi berhasil membuat Nevan berhenti menggerakkan pena pada buku catatannya secara mendadak.

Karena kalimatnya persis seperti ucapan seseorang, yang membuatnya kembali ke memori masa lalunya.

"Semuanya selalu salah di mata lo," kata seseorang yang memiliki wajah mirip dengan Nevan. Dia duduk di hadapan kembarannya, tetapi yang ditatap mengarahkan wajahnya ke sisi lain.

Nevan menoleh kembali padanya setelah mendengar kalimat itu. "Kenapa lo bilang kayak gitu?"

"Karena lo sempurna. Nggak ada yang nggak kagum sama lo. Bahkan gue yang adalah kembaran lo, bisa iri sama lo. Gue selalu menganggap lo sebagai panutan gue. Itulah sebabnya pada Tamara, gue nggak berani mengungkapkan siapa gue sebenarnya karena gue begitu minder dengan diri gue sendiri."

"Itu nggak ada pengaruhnya sama gue. Lo bebas berteman sama siapa aja, termasuk Tamara," kata Nevan dengan nada menutup pembicaraan, lantas beranjak dari kursinya. Cowok itu tidak mempunyai niatan untuk melanjutkan aktivitas belajarnya lagi karena mood-nya sudah seburuk itu, meski dia tidak mengerti mengapa dia berlaku seperti itu. Agak berlebihan sebenarnya.

"Tapi kenapa gue merasa kayaknya lo kesel sama gue setelah tau kalo gue berteman sama Tamara? Lo suka sama dia, ya?" tanya Nathan terus terang, membuat langkah Nevan otomatis berhenti.

Tangan Nevan telanjur memegang kenop pintu, tetapi dia tidak menurunkan tangannya. Cowok itu terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas dan menolehkan kepalanya pada Nathan. "Kenapa gue harus kesel? Seperti gue bilang tadi, lo berhak berteman dengan siapa aja. Termasuk Tamara sekalipun. Gue malah berharap lo jadi diri lo sendiri, bukannya menjadi diri gue untuk berteman sama dia. Meski kembar, kita adalah pribadi yang berbeda. Lo adalah lo, dan gue adalah gue. Kita nggak bisa membagi kehidupan kita dengan orang lain, termasuk menggantinya."

Nevan tahu kalau kata-katanya keterlaluan, tetapi sebenarnya dia melakukan itu karena ingin menyuntik keberanian dalam diri kembarannya. Mereka terlahir kembar identik tetapi keduanya mempunyai sifat dan mental bertolak belakang satu sama lain. Jika Nevan tipikal ceria dan percaya diri, Nathan kebalikannya. Begitu juga jika Nathan selalu pesimis dan sulit mengambil keputusan, Nevan kebalikannya.

Nathan menatapnya dengan sorot mata yang jelas terluka karena perkataannya, tetapi Nevan telanjur memilih untuk mengabaikannya. Dia lantas menurunkan kenop pada pintu untuk membukanya dan keluar dari kamar tanpa mengatakan apa-apa lagi, meninggalkan Nathan yang masih diselimuti oleh kesedihan.

Nevan saat itu tidak tahu kalau momen itu adalah yang terakhir. Jika saja dia bisa mengulang semuanya dari awal, Nevan tidak akan mengatakan semua itu. Dia seharusnya tidak gegabah, hanya karena mengetahui kalau Nathan menjadi dirinya untuk berteman dengan Tamara. Alih-alih berpikir negatif, dia seharusnya mengerti kalau Nathan berlaku seperti itu hanya karena tidak percaya diri, bukannya karena ingin merebut Tamara darinya.

Karena Nevan sadar sepenuhnya dengan fakta bahwa dia menyukai Tamara lebih dulu sehingga kecemburuannya telanjur mengeruhkan pikirannya.

Selagi berpikir dalam dunianya sendiri, Nevan menoleh pada Tamara yang saat itu tidak sedang memandanginya, tetapi sedang fokus menulis di buku catatannya.

Nevan menatap intens cewek di sebelahnya dan sesuatu dalam dirinya serasa mencelus ketika menyadari bahwa hingga sekarang pun, dia masih bisa merasakan getaran pada jantungnya.

Bahkan desiran tersebut bertambah cepat ketika kedua mata Tamara bertemu dengan kedua matanya sekarang.

Kenapa harus elo? tanya Nevan dalam hatinya. Kenapa gue sama Nathan harus suka sama cewek yang sama? Dan kenapa, lo masih aja suka sama gue padahal gue udah kasar sama lo?

Tamara mengernyitkan alisnya, jelas gagal paham dengan arti tatapan Nevan padanya. Jika saja tatapan tersebut tidak memiliki makna sedih dan terluka di dalamnya, dia pasti akan klepek-klepek seperti cacing kepanasan.

"Lo kenapa?" tanya Tamara refleks karena begitu iba dengan mata Nevan yang tampak memerah. Dia jelas hampir menangis sekarang.

Nevan memalingkan wajahnya ke sisi lain dan mengeluarkan dengusan seakan Tamara adalah cewek paling sok kenal yang pernah dia temui. "Better mind your business."

"Masalahnya lo mandang gue, jadi gue merasa berhak bertanya," kilah Tamara dengan nada datar, tersinggung dengan ucapan Nevan. "Gue masih ingat perkataan lo tentang lo benci sama gue, jadi tenang aja gue bakal berusaha membuang perasaan gue sesuai permintaan lo. Sejujurnya, gue tadi bertanya karena gue khawatir sebagai teman, bukannya gebetan."

"Bagus kalo gitu," kata Nevan kejam, dengan seringai di bibirnya. Tamara yakin dia akan lolos dalam babak audisi jika memerankan tokoh antagonis. "Gue yakin lo akan berhasil dalam waktu dekat ini. Jangan patah semangat, ya."

Namun Tamara menggelengkan kepalanya lantas menatap Nevan dengan tatapan luka yang tidak bisa disembunyikan. "Lo nggak pernah suka sama seseorang, kan? Makanya lo nggak akan pernah paham seperti apa rasanya. Apalagi dengan fakta kalo lo nyaman sama orang itu."

"Mau bahas tentang zona lagi?" ledek Nevan dengan sebelah alis terangkat. "Nggak ada kata lain, ya?"

"Zona ternyaman aku adalah kamu, itu berarti aku nyaman berada di sisi kamu terlepas kamu suka sama aku atau tidak," jawab Tamara yang tiba-tiba ber-aku-kamu dengan nada yang lebih serius dan tegas seakan pengakuan tersebut wajib diutarakan sebelum semuanya terlambat. "Sama seperti anak kecil yang udah telanjur nyaman dengan boneka kesukaannya, mereka pasti membutuhkan waktu yang lama untuk melupakan sebelum menggantinya dengan yang baru."

"Lo bukan anak kecil dan gue juga bukan boneka. Lagi pula, gue yakin bukan gue orangnya yang membuat lo nyaman."

"Bukan elo?" ulang Tamara, gagal paham.

"Pokoknya bukan gue orang yang lo cari. Lo harus tanamkan itu dalam pikiran lo mulai sekarang sebelum rasa suka lo bertambah besar ke gue."

Meski masih tidak mengerti, Tamara pada akhirnya menarik kesimpulan kalau ini adalah upaya penolakan Nevan atas perasaannya. Dan harus cewek itu akui kalau dia merasakan luka tak berdarah di dalam hatinya lagi.


Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top