6). Negligence

"Ris," bisik Vica pada cowok di sebelah bangkunya dengan gerakan hati-hati supaya tidak ketahuan sama Pak Jacob yang mengajar di depan. Meski tampak santai, beliau bisa menjadi dua kali lebih galak dari Bu Naura kalau suasana hatinya sedang buruk.

Harris menoleh padanya, tampak serius mencatat materi yang dijelaskan oleh Pak Jacob di depan kelas. Inilah sisi dominan yang membuat Vica jatuh cinta, karena ekspresi seriusnya pada pelajaran selalu terlihat jauh lebih menarik.

"Tumben si Tamara diem aja. Lo liat deh, harusnya kan dia klepek-klepek nggak jelas karena duduk di sebelah pangerannya."

Harris segera menoleh ke arah Tamara, yang langsung saja mengakui apa yang dikatakan Vica benar adanya. "Ekspresinya mirip banget sama kemarin yang katanya harapannya udah hilang setengah. Palingan sejam lagi mood-nya bakal balik, lo tenang aja."

"Gue jadi cemas sama nasib mereka berdua, terutama ke Tamara," kata Vica dengan helaan napasnya yang sarat akan rasa simpatik. "Apa menurut lo udah waktunya kita kasih tau dia yang sebenarnya?"

"Tumben, Vic. Biasanya yang lebih ember itu gue. Kenapa sekarang lo jadi mau ngungkapin kebenarannya?" tanya Harris dengan tatapan yang kembali fokus ke papan tulis untuk mencatat materi pelajaran. Goresan tinta yang keluar dari mata pena di tangannya menggesek bagian halaman buku catatannya dengan cepat.

Alih-alih mengikuti teladan Harris mencatat materi pelajaran, cewek itu malah menegakkan buku paket di hadapannya untuk menutup akses mata tajam Pak Jacob supaya dia bisa bebas berbicara dengan cowok itu. "Itu sebelum fakta tentang mereka duduk bareng, Ris. Gue yakin cepat atau lambat, Tamara bakal tau yang sebenarnya dan gue juga yakin kalau dia bakal marah sama kita karena kita sengaja nutupin semuanya ke dia.

"Dari film yang pernah gue tonton," lanjut Vica sembari mendekatkan dirinya ke Harris hingga jarak mereka tidak lebih dari sejengkal tangan. "Biasanya ingatan bawah alam sadar bisa dipancing keluar dengan berinteraksi langsung sama orang yang terlibat dalam memori itu."

Harris lantas mendekatkan dirinya ke Vica meski tatapannya masih terpancang ke papan tulis. Meski cowok itu tidak sedang menatapnya, Vica tetap saja merasa deg-degan karena jarak mereka sudah terlalu dekat. Bahkan dia bisa mencium aroma tubuh Harris yang menggelitik hidungnya hingga membuatnya terbuai.

Ya, Harris memang sewangi itu. Aromanya merupakan perpaduan antara bau citrus dengan vanilla yang manis. Ahh, Vica jadi merasa ingin memeluk dan membaringkan kepalanya di bawah leher cowok itu.

"Gue yakin kalau Nevan nggak akan sudi mau berinteraksi sama Tamara. Lo taulah sebesar apa rasa bencinya ke dia dan lo juga tau apa alasannya. Mendingan lo fokus sama pelajaran deh. Walau gue nggak suka cara Alvian ngatain lo, tapi gue harus akui kalo apa yang dikatakan dia soal lo tuh bener. Nilai lo paling rendah di kelas. Untung gue sahabatan sama lo, jadinya gue masih bisa ingetin lo dengan cara yang lebih lembut."

Vica refleks tersenyum ketika mendengar kata 'lembut' terucap dari bibir Harris. Baginya, kata tersebut terdengar seksi di telinganya. "Siap, Pangeran Harris. Putri Vica akan mengikuti semua yang diperintahkan Pangeran."

Jika Tamara mendengar ini, cewek itu pasti akan meledek Vica habis-habisan. Tetapi kali ini Harris membiarkannya. Cowok itu lantas memberikan senyum tipisnya, berhasil membuat Vica merona di sebelahnya.

zZz


Naura mengetuk pintu yang memiliki keterangan pada bagian atasnya; Ruang Kepala Sekolah, lantas membukanya setelah mendengar suara yang mengisyaratkan kalau wanita itu diizinkan masuk.

Aroma peppermint bercampur lavender memenuhi indera penciuman Naura selagi dia masuk ke dalam ruangan. Itu adalah aroma khas dari Kepala Sekolah, bukan pengharum ruangan. Wanita itu mengetahuinya karena dia pernah membaui aroma yang sama pada tubuh atasannya itu.

"Selamat pagi, Pak. Saya dengar Bapak memanggil saya?" tanya Naura sopan, disambut senyuman hangat oleh Pak Kepala Sekolah yang segera beranjak dari kursi berpunggung tingginya.

Rio Harvey adalah nama Kepala Sekolah SMA Berdikari, juga adalah papa kandung Vio Harvey sekaligus papa angkat Tamara Felisha. Terkhusus hubungan antara Tamara dengan Rio, ada cerita di balik status tersebut dan ini juga ada kaitannya dengan Naura Anindira serta dua adiknya.

"Sudah saya ingatkan sebelumnya ke kamu kan, Naura? Jangan sungkan sama saya kalau hanya kita berdua di sini," kata Rio dengan senyumannya yang masih belum berakhir.

"Maaf, Pak. Tapi saya sudah terbiasa untuk tetap profesional di lingkungan kerja saya."

"Saya sering mengajak kamu keluar bareng di luar lingkungan sekolah tapi kamu nolak," kilah Rio, terkesan menuduh. "Jadi, kapan kita bisa ngomong dengan santai seperti teman? Umur kita nggak terlalu jauh kalo kamu perlu saya ingatkan."

"Delapan tahun itu jarak yang cukup jauh menurut saya, Pak. Dan Bapak memang layak dipanggil dengan sebutan 'Bapak'."

"Galak seperti biasa," komentar Rio. "Hmm... sebenarnya nggak juga sih, itu karena matamu saja yang mengintimidasi lawan bicaramu. Oke, saya nggak akan maksa kamu lebih lanjut lagi. Ada hal yang perlu saya diskusikan sama kamu. Silahkan duduk."

Rio berjalan duluan, kemudian duduk di salah satu sofa nyaman di ruangan itu, disusul oleh Naura yang duduk di seberangnya.

"Sebentar, Pak. Apa boleh saya mengajukan pertanyaan?" tanya Naura sopan.

"Have your time," jawab Rio sembari menyilangkan kakinya dan menatap Naura dengan intens. Umur keduanya selisih delapan tahun, tetapi terkadang wanita itu merasa visualnya terlalu muda untuk usianya yang sudah menginjak pertengahan kepala tiga.

"Ini soal Tamara Felisha. Saya baru tau rupanya ingatan Tamara terkait kecelakaan tiga tahun lalu terkubur di bawah alam sadarnya. Kenapa Bapak tidak pernah bilang ke saya soal ini?"

"Simpel aja. Karena kamu tidak pernah bertanya."

"Pak, bukan berarti tidak bertanya itu tau segalanya, kan?" tanya Naura dengan nada kesalnya yang tidak bisa disembunyikan. "Kalo Nevan tidak bilang ke saya, saya tidak mungkin tau tentang ini. Saya mengira Tamara memilih untuk melupakan kecelakaan itu karena keinginan dia, bukannya karena trauma."

"Justru itu, Naura. Tamara memilih untuk melupakan kecelakaan itu sehingga memori itu terkunci jauh di bawah alam sadarnya," jelas Rio dengan nada kalem seakan mereka sedang mengobrol ringan. "Intinya sama aja, kan? Tamara sudah melupakan memori masa lalunya dan tampaknya itu lebih baik karena orang tuanya bilang, anaknya jadi lebih aktif dan ceria. Saya rasa ini mungkin takdir terbaik untuknya."

"Gimana kalo ingatan Tamara kembali? Bukankah ini akan sulit buat dia? Saya datang ke sini juga mau diskusi sama Bapak karena Nevan sepertinya juga punya beban di hatinya terkait kecelakaan itu. Saya baru sadar ternyata ini ada hubungannya dengan Tamara karena selama ini, saya kira dia tidak bisa menerima kalau kembarannya sudah pergi dari sisinya."

"Alurnya jadi lebih kompleks sekarang," komentar Rio meski ekspresinya tidak sinkron dengan apa yang dikatakannya. "Tapi yang saya tau, trauma atau fobia yang dialami seseorang hanya bisa disembuhkan dengan menghadapinya sendiri. Jadi, daripada kita cemas dengan sesuatu yang bakal terjawab oleh waktu pada akhirnya, mengapa kita tidak membiarkan mereka menghadapi masalah sendiri? Masa SMA adalah masa untuk mencari jati diri, bukan?"

Naura terkesiap dengan kata-kata bijak milik Rio, tetapi dia tidak tahan untuk tidak membuang napas panjangnya. Di satu sisi, dia cemas dengan Nevan dan juga Tamara. Lalu apakah tindakannya mengatur keduanya duduk bersama sudah benar?

"Saya salut dengan Bapak karena sepercaya diri itu," kata Naura akhirnya setelah jeda beberapa saat, yang segera disambut seringai di bibir Rio.

"Itu karena saya sudah mengenal Tamara selama tiga tahun terakhir ini. Seperti yang kamu tau--sejak kecelakaan itu, saya bertanggung jawab penuh atas kehidupan Tamara untuk menebus kesalahan anak saya, Vio. Dan juga pada kamu, Naura. Saya tau sampai kapanpun kesalahan saya mungkin nggak akan bisa kamu maafkan. Kamu berhak balas dendam atau bersumpah supaya saya cepat mati atau dapat karma setimpal atau apa, tapi saya benar-benar berharap bisa memutar ulang waktu jika bisa. Karena kelalaian saya menjaga Vio, kamu kehilangan adik kamu dan Nevan kehilangan kembarannya. Itu adalah sebuah kesalahan fatal yang nggak akan bisa saya lupakan sampai akhir hayat hidup saya."

"Tidak ada yang perlu minta maaf dan dimaafkan, Pak. Itu kecelakaan murni, saya percaya dengan itu. Lagi pula, Nathan memang sudah tau kalo hidupnya nggak bakalan lama. Jadi, saya nggak akan menyalahkan siapapun dan nggak ada yang bisa mengingkari takdir yang sudah digariskan dalam hidupnya. Saya malah berterima kasih sama Bapak karena bersikeras untuk bertanggung jawab atas hidup saya dan juga Nevan."

"Kalo ini yang kamu sebut dengan takdir, apa saya boleh mengambil kesimpulan kalau bertemu sama kamu adalah takdir saya?" tanya Rio, yang kedua matanya segera dipertemukan oleh sepasang mata milik Naura yang membelalak kaget dengan pertanyaan itu.

Naura tidak tahu harus merespons apa, tetapi wanita itu terselamatkan oleh tawa Rio, yang mendadak mengubah suasananya menjadi jenaka. "Kamu serius banget, deh. Makanya saya seneng ajak kamu bercanda biar suasananya lebih enak. Oke jadi gini, saya mau diskusi sama kamu tentang bazaar amal yang bakal diadakan oleh yayasan tidak lama lagi. Kamu mau kan jadi penanggung jawabnya? Hanya kamu satu-satunya yang saya percayai untuk acara besar ini. Tahun lalu reputasi sekolah kita hampir saja hancur karena dipegang sama Pak Samuel yang kurang cekatan."

"Kayaknya saya juga kurang cekatan kalau dalam urusan seperti ini, Pak. Kalau mengajar Matematika baru spesialisasi saya."

"Jangan begitu. Pertimbangkan baik-baik, ya? Kalo acaranya berhasil, kamu boleh minta apa pun dari saya--akan saya kabulkan. Atau... apa kamu mau difasilitasi mobil? Kinerja kamu tidak pernah mengecewakan saya, jadi nggak mungkin bakal ada guru yang protes."

"Tolong ya, Pak. Saya mengharapkan kesetaraaan dalam perlakuan Bapak ke saya," kata Naura dengan nadanya yang tidak bisa dibantah.

"Oke, oke. Asalkan kamu bersedia menjadi penanggung jawab dalam acara itu, saya janji nggak akan menembus penghalang kamu."

Hanya sampai acara selesai, lanjut Rio di dalam hatinya sementara Naura sepertinya mulai setuju dengan gagasan tersebut.


Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top