5). Hope

"Gue masih gagal paham," kata Alvian dengan nada yang terdengar putus asa dan sedih hingga Clarissa yang duduk di sebelahnya mau tidak mau mengalihkan atensinya.

Sekarang sedang pergantian jam pelajaran dan guru yang masuk berikutnya sudah dipastikan telat, sehingga suasana kelas tidak setenang saat Bu Naura memimpin pelajaran. Bahkan ada yang berani mencomot makanan ringan dan berbagi dengan teman sebangkunya. Siapa lagi kalau bukan Harris dan Vica. Keduanya memang mempunyai napsu makan yang besar tetapi mampu membuat siapa saja iri karena mereka tidak bisa gemuk-gemuk. Tamara hanya bisa mendecakkan lidahnya dengan tatapan mencela dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan datar ketika Harris menawarkannya cemilan.

"Gagal paham?" Clarissa mau tidak mau bertanya karena Alvian kelihatannya sedang mencari teman curhat.

Alvian menatapnya jengah seakan cewek itu adalah cewek paling tidak peka sedunia, tetapi dia tetap menjawab pertanyaan itu. "Gue gagal paham sama Bu Naura, wali kelas kita sekaligus kakaknya Nevan."

Alvian memiringkan tubuhnya untuk melirik reaksi Nevan setelah mengatakan semua itu, bermaksud memancingnya tetapi seperti yang bisa diduga, cowok itu jelas tidak terpengaruh. Mau dunia runtuh sekalipun, Nevan tetap bertahan dalam dunianya sendiri.

Untuk pertama kalinya Tamara merasa kasihan pada Nevan. Hmm gimana ya, soalnya meski Nevan jauh lebih ganteng dengan tatapan tajamnya, tetap saja di usianya yang masih produktif ini, dia seharusnya memiliki lebih banyak teman dan lebih aktif dalam organisasi atau klub.

Tamara yakin sekali kalau Nevan mempunyai sisi lain dalam dirinya, hanya saja karena ada sesuatu, cowok itu sengaja menutup dirinya dari pergaulan.

Bahkan pada Alvian saja, Nevan terkesan tidak begitu peduli padahal Tamara sempat mendengar fakta kalau keduanya telah bersahabat sejak SMP.

"Siswa pintar pasti diatur sama Bu Naura untuk duduk sama siswa yang lemot dalam pelajaran. Trus kenapa hanya kita yang beda?" tanya Alvian, menunjukkan keseriusan yang benar-benar serius. Cowok itu bahkan mengarahkan tatapannya pada Tamara, mungkin bermaksud meminta pendapatnya jika cewek itu berkenan.

"Oh, gue kira apa," kata Clarissa dengan nada seakan Alvian terlalu lebay. "Kenapa lo nggak nanya sendiri ke Bu Naura?"

"Kenapa gue harus nanya Bu Naura kalo gue masih nanya kalian?" tanya Alvian geram. "Lo tau sendirilah galaknya kayak gimana."

"Dan gimana gue bisa jawab kalo lo sendiri aja nggak tau jawabannya?" balas Clarissa dengan nada menutup pembicaraan.

Alvian mendelik, mendadak menyesal karena telah membuang waktunya untuk bertanya pada Clarissa. Cowok itu lantas mengarahkan pandangannya kembali ke Tamara.

Yang dipandang kontan menghela napas panjang, lantas menopang dagunya dan menatap Alvian datar. "Lo penasaran?"

Alvian mengangguk, sementara Nevan mengalihkan pandangannya ke arah Tamara secara tiba-tiba, mungkin dia ingin mendengar sebagus apa jawaban cewek itu berhubung siswi jenius lain seperti Clarissa saja tidak mengetahui jawabannya.

"Mungkin Bu Naura mau jodohin kalian soalnya kalian bertengkar terus kayak Tom and Jerry. Padahal kalo kalian akur, kalian bisa kayak Spongebob and Patrick."

"Nggak ada karakter yang lebih berkelas, apa?" protes Alvian sementara Clarissa yang mendengarnya langsung mendengus kesal, sementara Nevan menunjukkan penyesalan karena telah meluangkan waktu untuk mendengar asumsi yang tidak layak didengar sama sekali.

"Dan lo bilang apa tadi? Jodohin gue sama dia? Dengan kelebihan gue yang levelnya jauh dari dia? That doesn't even make any sense, Miss Felisha."

"Oh I just gave my answer because you asked to," balas Tamara tanpa merasa bersalah. "Itu risiko lo."

"Alvian Febriandy," panggil Clarissa dengan kesabaran penuh. "Lo nggak sesempurna itu soalnya mental lo nggak lebih gede dari gue! Banting sekali aja udah koid! Dasar payah!"

"Heh, siapa aja bisa ambruk kali kalo lo nyerangnya mendadak kayak gitu!" protes Alvian tidak terima. Lagian lo cuma punya satu kelebihan doang. Beda sama gue. Kelebihan gue banyak. Ketua OSIS, checked. Ganteng, checked. Kaya, checked. Tinggi, checked. Menawan, checked. Kalo pintar? Udah pasti. Makanya semua cewek yang liat wajah gue pasti langsung suka. Kecuali elo. Ya iyalah, lo kan bukan cewek."

"Lo--" saking kesalnya, wajah Clarissa sampai berubah merah. Cewek itu hampir saja mengeluarkan segala unek-uneknya, tetapi dihalangi oleh Tamara yang menyelanya berbicara.

"Kecuali gue juga, Alvian. Karena gue nggak langsung suka waktu liat wajah lo. Dan gue rasa nggak semua cewek langsung suka sama lo deh, kepedean banget."

Sekarang gantian Alvian yang wajahnya memerah saking kesalnya. Cowok itu juga hampir mengeluarkan unek-uneknya, tetapi langsung dihalangi lagi oleh Tamara secara tidak berakhlak.

"Oh ya, satu lagi. Lo belum jadi ketua OSIS, tapi kenapa lo udah ngaku-ngaku? Belagu banget, ya elah."

Tamara dan Clarissa segera ber-high five ria, terlihat bahagia satu sama lain karena terlibat dalam konspirasi yang estetik. Alvian kontan menekuk kepalanya sedemikian rupa, tampak begitu dongkol dengan keduanya.

"Itu karena lo sukanya sama Nevan. Jadi jelas lo nggak mungkin suka sama gue," kilah Alvian, membela dirinya sendiri, namun pada detik berikutnya dia sedikit menyesal karena cowok itu mendadak merasakan aura aneh dari balik punggungnya.

Aura tersebut berasal dari Nevan, yang membelalakkan matanya sedemikian rupa hingga ekspresi galaknya tampak mengerikan.

"Tenang aja, harapan gue udah berkurang setengah," kata Tamara setelah melihat reaksi Nevan, dan pada detik itu juga dia merasakan nyeri lagi pada ulu hatinya.

Karena ekspresi wajah Nevan jelas menamparnya secara abstrak, semakin memberinya kejelasan kalau cowok itu memang benar-benar membencinya.

Jadi, untuk apa Tamara mengakui kalau dia masih sesuka itu pada Nevan?

Tamara pernah mendengar kalau kita bebas menyukai seseorang sesuka hati kita, tetapi kita tidak bisa memaksakan orang itu membalas perasaan kita, apalagi kalau sampai mempunyai perasaan benci.

Maka, alih-alih menunjukkan rasa sakit hatinya pada Nevan, Tamara lebih memilih untuk membuang wajahnya ke arah lain seakan apa yang dikatakannya tadi sama sekali tidak berefek padanya.

Tamara tidak tahu kalau Nevan sedikit terpengaruh dengan sikapnya dan mulai memikirkan apakah reaksinya tadi bisa disebut sebagai reaksi yang keterlaluan.

zZz

"Lo pulang naik bis?" tanya Vio pada Talitha dengan ekspresi agak kaget. Dia hanya tidak menyangka saja kalau cewek secantik dan sefeminin Talitha Venesya bisa ikut berdesakan dengan penumpang lain. Vio pernah mengalaminya sehingga bisa membayangkan bagaimana situasinya.

Talitha mengangguk. "Why do you act like that? I think that's really not a big deal. It's just a usual habit."

Melihat Vio terdiam, Talitha tersenyum lebar. "Ups sori ya, gue terbiasa pake bahasa Inggris dalam percakapan soalnya itu jadi bahasa pengantar di SMA Bernard. Lagian muka lo setengah bule, jadi gue kira lo terbiasa ngomong bahasa Inggris."

Vio sempat terpana dengan senyuman Talitha yang manisnya mengalahkan permen mana pun yang pernah dia cicipi, tetapi dia berusaha menetralkan dirinya supaya tidak kentara. "Hmm... gue memang campuran, sih. Mama gue asli dari Australia. Kalo lo mau ngomong pake bahasa Inggris nggak apa-apa kok. Gue bisa respons dikit-dikit dan lo bisa bimbing gue supaya bisa lancar ngomongnya."

"Itu jelas modus, Tha," celetuk Harris secara tidak terduga dari depan bangku mereka, membuat Vio melotot tidak terima. "Biasa Vio ngomong sama mamanya, kok. Lancar kayak air keran."

Vica segera mencubit lengan Harris dan ikut melotot padanya juga. "Heh, lo nggak bisa baca situasi, ya? Vio modus kan karena mau pedekate sama Talitha! Lo gimana sih?"

Namun Vio mendelik pada Vica juga. "Heh, lo juga satu! Sama aja dong lo buka kartu gue!"

Vica langsung kicep sementara Harris menertawakan teman sebangkunya yang hanya bertahan beberapa detik karena ekor matanya menangkap tatapan tajam Vio yang kini beralih padanya.

Harris menelan salivanya dengan gerakan pelan lantas melipat bibirnya dengan ekspresi canggung. "Oke, santuy dong. Gue nggak bakalan gangguin kalian lagi."

Vio mendecakkan lidahnya sebal selagi Harris kembali menghadapkan tubuhnya ke depan bersamaan dengan Vica, sementara Pak Jacob masuk ke dalam kelas dengan langkah terburu-buru karena telat.

Dan Vio mendecakkan lidahnya sekali lagi karena acara pedekatenya dengan Talitha harus ditunda karenanya.

Tidak ingin kehilangan kesempatan, cowok itu mendekatkan kepalanya dan berbisik pada Talitha. "Nanti gue antar lo pulang aja, ya. Tenang, itu mobil pribadi keluarga gue."

Talitha tampak senang. Dia lantas menganggukkan kepalanya, tidak lupa menyertakan senyum manisnya lagi dan Vio merasa ketagihan karenanya.


Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top