4). Both Fate and Destiny
Meski harapan Tamara pada Nevan telah hilang separuh seperti yang sempat dikatakannya pada Harris dan Vica kemarin, tetap saja jatuh cinta pada hakikatnya tidak segampang omongan yang terucap. Matanya tidak henti-hentinya melirik Nevan semampu ekor matanya bisa menangkap, jelas menyia-nyiakan ucapannya kemarin.
Harris memutar bola matanya jengah ketika menangkap basah tindakan Tamara, sedangkan Vica bersikap seakan dia sudah terbiasa dengan hal itu. Bel masuk sebentar lagi berdering, sementara para murid yang baru datang segera menghuni bangku masing-masing dan mengambil kesempatan untuk mengobrol seru sebelum sesi belajar-mengajar dimulai.
"Siapa sih yang kemarin bilang harapannya berkurang setengah?" tanya Harris menyindir. Tamara yang mendengarnya kontan terkesiap dan segera mengalihkan atensinya kembali ke sumber sindiran.
"Oke, sori. Lo bilang apa tadi?" tanya Tamara, mengabaikan tatapan penuh celaan dari Harris.
"Nggak sepenting perhatian lo sama dia," keluh Harris yang mendadak baper.
"Ceritanya lagi ngambek nih?" goda Tamara, sepaket dengan lesung pipit samarnya sembari menusuk lengan Harris dengan jari telunjuknya. Cewek itu segera melayangkan pandangannya ke Vica dengan isyarat matanya, bermaksud untuk menyuruh sobatnya menghibur Harris meski Tamara tahu kalau cowok itu tidak benar-benar kesal.
Sayangnya bel masuk berdering pada saat itu sehingga baik Vica maupun Harris terpaksa harus menghadap ke depan, sementara semua murid yang masih berleha-leha di luar kelas mulai berhamburan masuk dan kembali ke bangku mereka. Jelas, tidak ada satupun dari mereka yang berani menerima risiko dihukum oleh Bu Naura, yang auranya mengalahkan singa tidur.
Belum lagi dengan tatapan tajam milik Wali Kelas mereka yang persis adiknya, Nevan. Itulah sebabnya meski ganteng, tidak ada yang berani mendekati cowok itu apalagi setelah mengetahui kalau dia adalah adik kandung guru mereka.
Bagi Tamara ini adalah sesuatu yang patut dirayakan karena cewek itu terlepas dari risiko disaingi oleh cewek lain yang mungkin lebih unggul darinya. Oh, tidak juga sih. Soalnya Tamara kan sudah se-perfect itu. Jangan lupa dengan visual dan kepintarannya yang dia yakin layak untuk dibanggakan atau dipamerkan.
Jika Nevan Anindira adalah zona ternyaman Tamara Felisha, seharusnya hanya dia satu-satunya yang mempunyai akses masuk ke dalam dunianya.
Naura masuk ke dalam kelas yang mana situasinya sekarang tampak lebih tenang. Semua murid kini mengeluarkan buku paket pelajaran Matematika karena spesialisasi beliau adalah dalam bidang tersebut.
"Sebentar." Naura menyela setelah merespons salam yang dipimpin oleh Clarissa dengan tangan yang bebas dari sebilah rotan. Namanya saja guru killer, jadi yang namanya rotan sudah pasti menjadi partnership-nya.
"Saya harus mengatur tempat duduk kalian," titah Naura dengan tatapan intens yang menyebar ke seluruh murid-muridnya. "Sekolah kita masih belum menganut sistem pengelompokan kelas secara nilai akademik, jadi tempat duduk kalian perlu diatur supaya murid yang kurang bisa mengimbangi kecepatan murid yang lebih jenius. Dari pengamatan sekilas saya, masih banyak di antara kalian yang duduk sama teman se-geng yang kemampuan otaknya kurang lebih sama."
Ekspresi tidak terima dari murid-murid jelas mendominasi, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang berani membantah. Alih-alih berunjuk rasa, semuanya hanya bisa saling bertukar pandang muram.
Naura cukup cekatan dalam mengatur tempat duduk para anak didiknya, karena guru tersebut sudah menghapal kemampuan mereka dalam sekali pandang, bahkan hampir lupa mengandalkan referensi.
Tamara santai saja di bangkunya bersama beberapa murid lain yang kemampuan otaknya di atas rata-rata karena Naura hanya memindahkan mereka yang IQ-nya lebih rendah. Jadi, ketika cewek itu mendengar beliau memanggil namanya, dia refleks bergeming hanya untuk menunjukkan ekspresi wajahnya yang gagal paham.
"Tamara Felisha," panggil Naura lagi dengan ketegasan yang mengental.
"I-iya, Bu?" jawab Tamara salah tingkah.
"Berdiri."
Tamara beranjak dari bangkunya lantas membawa tasnya, menunggu untuk dipindahkan.
"Saya pindahkan kamu bukan karena nilai kamu kurang, tapi karena kamu tinggi jadi harus duduk di belakang. Kamu duduk di sebelah Nevan Anindira. Alvian Febriandy, kamu juga pindah. Duduk sama Clarissa Vindy."
Sepertinya tidak hanya Tamara yang membuka mulutnya untuk melongo selebar mulutnya bisa terbuka, karena duo Alvian dan Clarissa juga sekaget dirinya.
"Saya duduk sama Alvian? Kenapa, Bu? Nilai kami kan sama-sama bagus," protes Clarissa tidak terima.
Alvian menoleh ke Clarissa dengan tatapan yang sama tidak terimanya. "Yang bener nilai saya lebih tinggi dari dia, Bu. Tapi intinya sama, sih. Saya nggak bisa duduk sama Clarissa. Yang lain aja deh ya, Bu? Saya duduk sama Vica Eleora juga boleh. Nilainya paling kurang kan, Bu?"
"Heh, apa maksud lo?" protes Vica sewot, karena namanya dilibatkan dan juga tersinggung karena dikatain nilainya paling kurang.
"Kamu nggak bisa ngatur saya," kata Naura dengan nada otoriternya yang berbahaya pada Alvian, berhasil membuatnya kicep dan segera duduk di sebelah Clarissa yang hanya bisa mengembuskan napas panjang. Tamara tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya, tetapi juga terkesiap ketika melihat Nevan memberikan tatapan super tajamnya yang galak.
Tamara duduk di sebelah Nevan lantas berkomentar, "Nggak kakaknya, nggak adiknya. Sama aja galaknya."
Meski pelan, Nevan jelas bisa mendengar komentar dari Tamara sehingga dia mendelik pada cewek itu. "Apa lo bilang?"
"Like sister like brother," ulang Tamara dengan senyum manis seakan cewek itu sudah akrab dengannya. "Cakepnya juga sama kok, nggak cuma galaknya aja."
Nevan memilih mengabaikannya sebelum level stresnya mencapai level tertinggi sedangkan Alvian yang sekarang posisi duduknya tepat di depan Nevan, hanya bisa melemparkan senyum yang sarat akan kesedihan.
"Talitha, kamu juga tinggi jadi kamu duduk di sebelah Vio."
Tamara menaikkan alisnya ketika menangkap basah ekspresi Vio yang tersenyum terlalu lebar sementara Talitha duduk di sebelahnya tanpa protes.
Vio beradu pandang dengan Tamara yang teknisnya berada di sebelah kirinya karena sama-sama duduk di bangku belakang. Cewek itu mengernyitkan alisnya tatkala melihat Vio memberikan senyum padanya walau sekilas.
Apa karena Vio sesenang itu duduk sama Talitha hingga dia melupakan kecanggungannya?
Sepertinya Tamara harus senang dengan situasi ini. Bukankah damai itu indah?
Harris ditempatkan tepat di depan Vio dan cukup bersyukur karena teman sebangkunya tidak berubah. Cowok itu melirik ke Tamara bersamaan dengan Vica yang duduk di sebelahnya. Keduanya juga mengacungkan jempol mereka diam-diam yang bermakna kalau tempat duduk mereka tidak jauh-jauh amat, yang dibalas oleh Tamara dengan semangat.
Tamara juga diam-diam memberikan senyum tipisnya pada Naura, yang juga tepat pada saat itu menatapnya.
Cewek itu bersumpah kalau dia melihat guru killer tersebut juga membalas senyumannya.
zZz
"Kakak sengaja, ya?" tanya Nevan dingin dari balik punggung Naura yang sedang berjalan menuju ruang guru.
"Ini di sekolah, Nevan. Kamu seharusnya tetap profesional di luar rumah," kata Naura memperingatkan sementara langkahnya tetap dilanjutkan tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan adiknya.
"Denger kata profesional, Bu Naura juga seharusnya melakukan hal yang sama, kan?"
Naura refleks menghentikan langkahnya, diikuti Nevan yang berakhir berdiri di hadapannya dengan sorot mata tajamnya seperti biasa. "Oke. Sekarang jelaskan pada saya bagian mana yang tidak menunjukkan ke-profesional-an saya."
"Ibu mengatur Tamara duduk sama saya. Bukankah itu sudah jelas?" tanya Nevan dengan nada geram karena ketidakpekaan Naura yang dia yakin disengaja.
"Dan kenapa kamu sebut itu tidak profesional?" balas Naura dengan nada menantang. Aura galak mulai menguasainya. "Sudah saya bilang tadi kalo dia tinggi dan juga nilaimu sudah turun drastis, jadi sudah seharusnya kamu duduk sama murid pintar kayak Tamara."
"Apa dia satu-satunya kandidat pintar di kelas?"
"Nggak ada kandidat lain yang cocok mengayomi karakter kamu. Oh ya, jangan libatkan Alvian karena saya tidak mengizinkan teman se-geng duduk bareng."
"Kak Naura!" hardik Nevan putus asa yang disambut hempasan rotan pada kakinya. "Ouch, It hurts!"
"Kalo kamu berharap dipindahkan, tingkatkan prestasi kamu di kelas supaya semester berikutnya kamu nggak perlu sebangku lagi sama Tamara. Bukankah itu solusi terbaik?
"Kalau nggak ada hal lain lagi yang mau didiskusikan, saya akan kembali ke ruang guru," lanjut Naura dengan nada menutup pembicaraan sembari meneruskan langkahnya tanpa menoleh lagi.
Nevan hanya bisa memandang kepergian kakak sekaligus wali kelasnya dengan tatapan yang begitu putus asa. Mengapa di saat dia semakin membenci Tamara, cewek itu justru semakin dihubungkan padanya?
Takdir sepertinya memang sekejam itu, karena telah seenaknya mempermainkan kita.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top