31). Confessions
Tiga minggu kemudian....
Area papan pengumuman dikerumuni oleh sebagian besar murid-murid SMA Berdikari karena pada bagian tengahnya baru saja ditempeli daftar penilaian Ujian Tengah Semester, yang diurutkan dari prestasi tertinggi hingga terendah per angkatan kelas.
Sebagian memekik kesenangan ketika nilai mereka mengalami peningkatan, namun sebaliknya jika terdengar pekikan yang bersarat pilu yang kentara, bisa disimpulkan kalau nilai mereka mengalami penurunan.
"Yahhh, Ra. Seperti biasa nilai lo selalu memuaskan," puji Clarissa tetapi bermakna iri karena nilainya selalu persis di bawah cewek itu. Nama Tamara Felisha berada di urutan pertama untuk angkatan nilai kelas XI jurusan IPA.
"Seperti biasa nilai lo juga memuaskan," hibur Tamara, yang berdiri di sebelah Clarissa di antara kerumunan yang ramai di sekitar mereka. "Mengingat lo sama aktifnya dengan Alvian dalam berbagai organisasi di sekolah, kalian udah terlalu hebat untuk dibandingkan sama gue yang pasif sama kegiatan sekolah."
"Bener," sahut Alvian yang mendadak mengeluarkan suara dari balik bahu keduanya. Mata cowok itu masih melekat pada nama yang tercantum dalam daftar dengan tatapan yang terlalu intens seakan namanya paling bersinar hingga sulit untuk diabaikan. "Apalagi gue. Nilai gue turun jadi ranking tiga sejak jadi Ketua OSIS. Wajar banget sih, soalnya beban di pundak gue terlalu lebar untuk menopang segala permasalahan di sekolah."
Clarissa melirik ke arah pacarnya dengan tatapan mencela, tetapi segera berubah menjadi malu-malu ketika Alvian mengedipkan sebelah mata padanya dengan agak nakal. "Tapi selalu ada tempat buat lo di pundak gue, Sa. Jadi lo jangan cemburu, ya."
Tamara memutar bola matanya jengah, tetapi tidak mengatakan apa-apa sesudahnya karena terhalang oleh sebuah lengan yang menyandar di sisi bahu kanannya.
Pelakunya ternyata Vio, tetapi tatapannya terpancang pada daftar nama di depannya, alih-alih pada Tamara yang sekarang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
"As expected, you're always that good," puji Vio bersungguh-sungguh tetapi ekspresinya berubah menjadi horor ketika melihat nilainya sendiri. "And I'm always that bad, instead."
"Tapi nilai lo naik kok," hibur Tamara. "Dari 180 ke 175, kan?"
"Kok lo bisa ingat?" tanya Vio terharu, sekarang menatapnya dengan tatapan antara mau menangis dengan gembira. "Lo mulai stalking gue sejak kapan?"
Vio seperti hendak memeluk Tamara, tetapi tidak berhasil karena ada sepasang tangan yang merangkul bagian dada cowok itu lantas mendorongnya ke belakang hingga dia hampir saja terjungkal kalau tidak ditolong oleh Harris yang tepat pada saat itu berdiri di lokasi yang strategis.
"Stay away from my girl," perintah suara dingin sementara yang didorong nyaris terjungkal lagi yang kali ini ke arah depan karena Harris mendorongnya balik dengan ekspresi jijik dan kesal.
Siapa lagi kalo bukan Nevan yang selalu protektif sama Tamara Felisha?
Tamara tampak tidak terpengaruh karena dia sudah terbiasa dengan cara obsesi Nevan setiap menghalangi cowok mana saja yang menunjukkan tanda-tanda ingin mendekatinya, bahkan Vio sekali pun yang sudah resmi menjadi keluarganya.
"Lo mau tau kenapa Tamara bisa tau nilai lo tahun lalu?" tanya Nevan sewaktu mengalihkan tatapannya ke Vio yang sekarang tampak jengah karena perbuatan dua cowok yang tidak beradab. "Itu karena peringkat gue berdekatan sama peringkatnya lo. Yang ada, Tamara stalking gue, bukannya lo! Geer banget sih!"
"Kok lo tau?" gantian Tamara yang takjub sekarang karena hal kecil seperti ini bisa diketahui Nevan dengan sangat baik, padahal waktu itu dia hampir tidak pernah memperhatikan apa yang cewek itu lakukan.
"Mata gue tajem, Bunny. Jadi gue tetap bisa perhatiin gerak-gerik lo walau lo main sembunyi-sembunyi di belakang gue," jawab Nevan dengan senyum seringainya, mengabaikan tatapan beberapa temannya yang menatapnya mencela sekarang.
"Emang dasar munafik ya, kalo suka kenapa nggak dari dulu aja?" ledek Harris yang refleks membuka suara, sukses membuat Nevan menatapnya tajam.
"Kayak lo nggak aja," timpal Vio yang menghalangi Nevan untuk membalas perkataan Harris. "Sekarang sebelum telat mending lo ngaku aja deh ke Vica kalo lo suka sama dia daripada keburu diembat sama yang lain."
"Heh, lo seneng banget sih cari gara-gara sama gue?" hardik Harris tidak terima, sementara Nevan mengangkat bahunya cuek karena sudah ada yang sukarela membalas ucapan Harris.
Oleh karenanya, Nevan lebih memilih kembali fokus ke Tamara yang sekarang tampak speechless atas pengakuan Nevan.
"Lo kenapa?" tanya Nevan santai. "Terlalu malu atau terlalu cinta setelah denger pengakuan gue?"
"Nilai lo bagus juga ternyata," puji Tamara, memaksa untuk mengalihkan pembicaraan sementara dia berusaha menetralkan ekspresi wajahnya yang mulai merona.
"Woya jelas, gue kan aslinya jenius," jawab Nevan kepedean. "Dari ranking 179 jadi ranking 4. Pesat banget kan peningkatannya? Mungkin cuma gue satu-satunya yang mengalami peningkatan sesignifikan itu."
Tamara menganggukkan kepalanya tanda setuju. "Bu Naura pasti bangga banget sama lo."
"Termasuk lo, kan? Gue layak dapat hadiah."
"Oke. Mau hadiah apa?"
"Hadiahnya kamu, boleh kan?"
"APA???" teriak Tamara, yang rona merahnya segera menyebar terlalu cepat hingga ke daun telinganya, membuat Nevan tertawa lepas hingga matanya melengkung.
"Hei, lo parno ya? Gue minta kencan sama lo. Lo mikir apa, sih?"
Tamara menutup wajahnya dengan kedua tangannya, sementara Nevan masih saja meledeknya. Tidak jauh dari keduanya, Talitha tampak memperhatikan nilainya yang bisa dibilang tidak buruk-buruk amat karena ekspresinya tampak cukup puas.
"Nilai lo bagus banget ya, peringkat delapan," puji Vio yang memutuskan untuk mengabaikan Harris yang mengomel padanya dan segera dihibur oleh Vica di sebelahnya.
"Kalo lo?" tanya Talitha, lantas dia mencari nama Vio di antara daftar tersebut, tetapi segera dihalangi oleh cowok itu.
"Nilai gue jelek. Jangan lihat, ya? Beda jauh banget sama lo."
"Oh ya? Nggak masalah kok, tiap orang kan punya kelebihan dan kekurangan. Walau nilai pelajaran lo lemah, tapi lo hebat dalam seni."
"Kok tau?" tanya Vio dengan senyum lebar yang dibalas oleh Talitha dengan manis.
"Of course, you're my seatmate."
Vio menghela napas kecewa, baru menyadari Talitha mengatakan semua itu hanya karena mereka teman sebangku. "You're right."
"Kenapa? Lo mau lebih?" pancing Talitha yang tidak disangka-sangka mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Don't push me, Tha. You know all along how I feel."
"That's why I ask you now," kata Talitha yang masih menunjukkan senyum manis yang tampaknya akan membuat Vio diabetes sebentar lagi.
Vio menatapnya dengan tatapan antara tidak percaya namun senang di sisi lain, sehingga setiap kata yang diucapkan oleh cowok itu menjadi terputus-putus, "Hmm... mak... maksud, maksud lo a-apa?"
Talitha mencondongkan tubuhnya lantas membisikkan sesuatu ke telinga Vio. Tubuh tinggi keduanya hampir sama mengingat tubuh Talitha yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan tinggi cewek lainnya, berbanding terbalik dengan tubuh tinggi Vio.
"Soal lo bilang lo akan menghargai dan menyayangi gue. Apa itu masih berlaku?"
Vio menganggukkan kepalanya dengan semangat, tampak seperti anak umur lima tahun yang diajak bermain ke dufan sementara rona merah menjalari pipinya sekarang.
Talitha tersenyum, lantas melanjutkan perkataannya lagi, "Tapi nilai lo harus masuk setidaknya 20 besar dulu."
"Apa?" pekik Vio yang mendadak seperti terjatuh bebas setelah terbang beberapa meter ke atas.
"Udahan dong ah marahnya," bujuk Vica dari ujung kerumunan di mana dia sedang berdiri bersisian dengan Harris. "Kalo lo masih marah, gue beneran nggak mau peduli sama lo lagi!"
"Emang lo berani?" tantang Harris yang merasa kalau Vica tidak mungkin bisa menjauh darinya.
"Lo nantangin gue?"
"Gue jadi penasaran, emangnya lo bisa?"
Vica menghentakkan kakinya kesal dan mengembungkan pipinya kesal. Di satu sisi, dia juga ragu dengan dirinya sendiri jika memberanikan dirinya untuk menjauh dari Harris.
"Lo tega banget sih sama gue, mentang-mentang perasaan gue nggak dibales sama lo," kata Vica yang kedua matanya mendadak saja mulai berkaca-kaca, membuat Harris auto kicep.
"Eh, lo beneran mau nangis, ya? Gue kan cuma bercanda!"
"Bilang aja niat lo emang gitu!" tuduh Vica, yang mulai menangis.
Lantas, area antara Harris dan Vica mulai ramai dan otomatis membentuk kerumunan untuk menonton pertunjukan gratis.
"Ris, lo apain Vica?" tanya Tamara sembari mendekati Vica dan merangkul sepanjang bahunya.
"G-gue, hmm... Vic, jangan nangis dong, please?" bujuk Harris yang mulai desperate sama tingkahnya Vica. "Gue bukan bermaksud kayak gitu. Gue cuma...."
Vica segera menghapus jejak air matanya dan menatap Harris dengan tatapan menyedihkan. "Kayaknya usaha aku nggak ada hasilnya, Ris. Kayaknya aku mau nyerah aja."
"Vica! Kok lo ngomong gitu?" tanya Harris super kaget dan syok.
"Tuh kan gue bilang apa," kata Vio memanas-manasi. "Lo bakal nyesel kalo Vica udah memutuskan untuk move on dari lo."
Harris mengabaikan ucapan Vio, lantas dia mendekati Vica dan menarik ujung lengan seragamnya seperti sedang menarik bulu kucing, tampak setengah hati yang membuat Vica menatapnya dengan jengah.
"Maafin gue, Vic. Jangan gitu dong sama gue," bujuk Harris dengan nada agak diulur-ulur hingga terkesan manja. "Gue traktir makan kebab, ya?"
Vica membuang mukanya dengan sekali hempasan. "Gue nggak bisa disogok sama makanan lagi mulai sekarang. Biar lo bisa rasain nggak punya temen makan lagi."
"Kalo jadi temen hati gue, lo mau?"
Lantas terdengar 'cieeee' yang terdengar terlalu heboh dan ribut sementara Vica masih membeku di tempatnya berdiri, masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Harris lantas melepaskan kaitan tangannya pada lengan seragam Vica hanya untuk menggenggam salah satu pergelangan tangannya, membuat cewek itu langsung terpana, sementara Tamara terkikik geli di sebelahnya.
"Cieee akhirnya tambah satu pasang lagi di kelas," ledek Alvian sembari memasang ekspresi bangga seakan Harris dan Vica meneladani jejaknya.
"Lo serius, Ris?" tanya Vica yang masih tidak percaya, tetapi ekspresi bahagianya sudah kelihatan.
Harris mengangguk dan tidak disangka-sangka memamerkan senyum termanisnya hingga Vica memekik keras kayak cacing kepanasan. Cewek itu lantas memeluk Harris dengan semangat, mengabaikan tatapan iri para jomblo dan tatapan jengah bagi mereka yang telah mempunyai pasangan.
"Ckckckck... kalo udah jatuh cinta ternyata bahagianya bisa selebay ini, ya." Clarissa menyeletuk dari sebelah Alvian yang sekarang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
"Kayak lo nggak, aja. Lo kan juga teriak kayak Vica gitu waktu gue bilang kalo lo dunianya gue. Lo lupa?"
Alvian segera mendapat pukulan di lengannya sebagai hadiah.
Bersambung ke Epilog
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top