30). Tight or Loose?
Naura percaya bahwa akan ada hari di saat dia dipertemukan kembali pada Joseph Pratama yang pernah dekat dengannya, karena urusan keduanya belum selesai meski pertemuan yang tidak disangka-sangka itu sukses memberikan kejutan yang luar biasa.
Sama seperti takdir antara Nevan dengan Tamara, benang yang terhubung di antara mereka juga tidak akan pernah putus jika tidak ada yang berniat untuk menghadapi sumber permasalahan yang pernah terjadi di masa lalu, terlepas dari apakah keduanya berjodoh atau tidak.
Lantas, bagaimana akhir dari hubungan Naura dengan Yusuf? Wanita itu jelas tidak akan pernah tahu bagaimana ending-nya karena berharap masing-masing akan melupakan eksistensi satu sama lain.
Ternyata semesta masih senang dengan teori tarik ulur, ketika pertemuan yang bagi Naura terlalu kebetulan untuk terjadi lantas berubah menjadi kenyataan.
Sekali lagi, Naura mengira kalau tindakan super cuek dan dinginnya akan menjadikan malam itu sebagai malam terakhir pertemuannya dengan Yusuf, namun semesta sekali lagi tidak membiarkannya berbuat seenaknya.
Fatalnya, ini ternyata ada hubungannya dengan Rio dan Nevan.
Dua jam kemudian pasca kebersamaan mereka di Hotel Celestial, ponsel Naura yang tergeletak di meja ruang tamu berdering. Ketika mendapati nomor tersebut asing dan sudah larut, wanita itu memutuskan untuk mengabaikannya.
"Angkat aja, Kak. Aku yakin dia itu Kak Yusuf," kata sebuah suara yang sempat membuat Naura kaget karena sedari tadi dia sendirian di ruangan yang redup gegara minimnya cahaya.
"Kamu belum tidur?" tanya Naura datar, tidak mengira kalau Nevan masih berkeliaran di luar kamarnya jam segini. "Dan juga... kenapa kamu bisa tau ini Yusuf?"
"Karena Kepala Sekolah kita yang tercinta telah berbaik hati untuk menyumbangkan nomor Kakak ke Kak Yusuf," jelas Nevan yang sama sekali tidak berniat untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya. "Sayangnya aku melihat sendiri aksinya, jadi aku merasa harus bertindak juga."
Tepat pada saat itu, deringan panggilan tersebut berhenti, diiringi dengan ekspresi kesal Naura. "Kenapa Pak Rio harus ikut campur?"
"Oh, I'm pretty sure you know what's exactly the reason," jawab Nevan sembari menyandarkan dirinya di ambang pintu ruang tamu. "Even you choose to ignore all this, just like a loser."
Deringan pada ponsel Naura berdering lagi, tetapi wanita itu telanjur marah atas perkataan Nevan hingga dia mengatur ponselnya ke mode diam, mengabaikan panggilan tersebut.
"A loser?" ulang Naura yang kekesalannya ngalah-ngalahin singa marah yang ditantang saat lagi asyik-asyiknya tidur.
"Yes, a loser. Should I spell it?" tanya Nevan menyindir, mengabaikan ekspresi marah Naura seakan mengajaknya bercanda. "Aku sadar sesuatu waktu liat Kakak natap Yusuf seperti tadi di restoran itu. Sadar kalo rupanya kita sama, Kak. Kita sama-sama adalah orang pengecut yang menghindari akar masalah yang membuat kita kayak gini, meski kasusnya sedikit berbeda. Kalo akar masalahku tentang tidak bisa menerima kepergian Nathan dan menyalahkan Tamara atas semuanya, akar masalah Kakak adalah membuang kebahagiaan Kakak sendiri yang berefek pada kesalahpahaman Kak Yusuf."
Naura bungkam, untuk pertama kalinya. Jika biasanya dia yang bisa menundukkan Nevan dengan perkataannya, sekarang gantian adiknya yang mengambil alih posisinya.
Meski kesal, ternyata Naura sadar kalau apa yang dikatakan adiknya benar. Itulah sebabnya mengapa dia tidak berkilah atas pernyataan dari Nevan.
"Menurut aku, Kakak masih bisa memperbaiki semuanya sebelum semuanya terlambat, karena mungkin ini adalah kesempatan terakhir," kata Nevan yang secara tidak langsung mengikuti jejak Naura yang menasihatinya dengan cara yang sama waktu itu. "Selesaikan semuanya, kalo Kakak memang mau Kak Yusuf lepas dari benang yang terhubung sama Kakak karena Kak Yusuf berhak tau apa yang terjadi tiga tahun yang lalu. Selebihnya, hanya Kakak yang bisa memutuskan sendiri apakah masih mau melanjutkan hubungan Kakak sama dia atau nggak."
Maka, di sinilah Naura sekarang, sedang duduk di hadapan Yusuf yang menatapnya dari seberang yang dibatasi oleh meja kecil di antara mereka.
"Makasih, Ra. Kamu sudah bersedia menemui aku," ucap Yusuf bersungguh-sungguh dengan tatapan yang berhasil membuat Naura bernostalgia ke masa mudanya dulu ketika ada eksistensi pria itu di sisinya.
Yusuf adalah teman terbaik yang pernah dimiliki Naura, mengingat karakternya yang dingin dan tidak bersahabat membuatnya sulit mendapatkan teman yang bersedia tinggal di sisinya dalam waktu yang lama.
Naura adalah anak pertama keluarga Anindira. Selisih umur antara dirinya dengan adik kembarnya yang terlampau jauh secara tidak langsung membentuk karakternya menjadi orang tua tunggal pengganti papa dan mamanya, karena keduanya selalu sibuk dengan bisnis mereka yang bisa dibilang tidak tetap. Mereka harus berpindah dari satu kota ke kota lain dalam waktu tertentu, hingga sekarang. Itulah sebabnya karakternya menjadi galak dan lebih dewasa dari usianya seiring berjalannya waktu.
Saat itu, Naura memilih untuk mengambil jurusan Manajemen di Universitas Ekonomi Indonesia, yang merupakan salah satu kampus populer di Jakarta. Mungkin dari sana takdirnya dengan Yusuf dimulai karena keduanya sama-sama mempunyai orang tua yang sibuk dengan bisnisnya sendiri sehingga menuntut mereka untuk membentuk karakter mandiri dalam usia yang terbilang masih muda. Kalaupun ada bedanya, Naura menjadi panutan untuk kedua adiknya sedangkan Yusuf menjadi panutan untuk dirinya sendiri.
Walau tidak banyak berbicara satu sama lain, Yusuf senang menjadi temannya. Entah karena usahanya membuahkan hasil atau Naura luluh dengan sikapnya, yang jelas keduanya menjadi akrab seiring berjalannya waktu. Bahkan Yusuf juga dekat dengan Nevan, saking seringnya pria itu mengunjungi rumah mereka.
Yusuf juga tahu tentang eksistensi Nathan yang jarang keluar karena penyakit bawaannya sejak lahir. Oleh karenanya, pria itu juga sering melibatkan diri untuk membantu saudara kembarnya Nevan di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa.
Hingga setelah keduanya wisuda pun, Yusuf masih ingin terus dikaitkan dengan Naura. Dia memilih magang di tempat kerja yang sama dengan wanita itu hingga status mereka menjadi pegawai tetap selama beberapa tahun.
Naura menghela napas panjangnya, mendadak melunak setelah menyadari bagaimana rasanya perasaan Yusuf selama tiga tahun terakhir ini. "Aku yang makasih sama kamu karena bersedia untuk bertahan selama ini. Dari dulu hingga sekarang, kamu ternyata masih sama."
Yusuf tersenyum manis mendengarnya, lantas menopang kedua tangannya ke dagunya sendiri sembari memasang ekspresi terkece yang sering diperlihatkannya pada Naura. "Karena aku yakin dan percaya kalo kamu punya alasan khusus sampai mengabaikan aku kayak gini. Jadi sekarang kamu mau cerita, kan?"
"Tapi sebelumnya, aku mau minta maaf sama kamu. Nggak seharusnya aku pamit tanpa mengucapkan selamat tinggal dengan benar. Aku salah fatal karena mengira dengan mengabaikanmu, kita akan sama-sama melupakan semuanya dengan alami seiring berjalannya waktu."
"Meski begitu, toh kita akhirnya bertemu lagi," hibur Yusuf dengan senyum miringnya yang kentara. "Aku percaya sama takdir, Ra. Dan aku juga percaya kalau takdirku itu kamu. That's why I never stop, aku nggak pernah sekalipun melupakan kamu."
Namun Naura menggeleng, lantas menunjukkan tatapan intensnya yang tajam seperti biasa. "Aku ke sini hanya untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi tiga tahun yang lalu, Yus. Tidak untuk hubungan kita yang selanjutnya."
Yusuf tampak seperti ditampar di wajahnya, otomatis bungkam dan matanya jelas sarat akan kesedihan dan luka yang mendalam, tetapi Naura sengaja mengabaikannya.
Termasuk juga mengabaikan rasa sakit yang mulai terasa tepat di ulu hatinya.
"Alasannya adalah kepergian Nathan secara mendadak tiga tahun lalu karena kecelakaan," kata Naura tanpa ekspresi seakan dengan mengatakan begitu, perasaannya akan menjadi lebih baik sementara seperti yang bisa diduga, Yusuf membelalak dengan syok. "Dan pelakunya adalah anak Kepala Sekolah SMA Berdikari. Kamu udah ketemu sama dia kemarin."
"Pak Rio Harvey?" tebak Yusuf yang masih saja belum bisa mengendalikan ekspresi kagetnya.
Naura mengangguk, lantas berkata, "Nama anaknya adalah Vio Harvey, yang jaketnya motif bintang-bintang. Saat itu anaknya masih di bawah umur dan itu murni kecelakaan yang nggak disengaja. Kecelakaan itu nggak hanya melibatkan Nathan, tetapi juga teman dekatnya Nevan. Ceritanya cukup panjang, tapi yang paling pentingnya adalah, kecelakaan itu memberikan efek yang besar pada kami semua.
"Nevan berubah total 180 derajat; karakternya jadi mirip Nathan versi pemberontak. Kedengarannya mungkin seperti mencari-cari alasan, tetapi aku mengira jalan yang terbaik adalah membuka lembaran baru dengan melupakan semuanya meski ternyata itu adalah kesalahan besar dan baru kusadari belakangan," lanjut Naura lagi.
"Sama kasusnya dengan aku," kata Naura lagi karena Yusuf sepertinya memutuskannya untuk membiarkan wanita itu menjelaskan semuanya tanpa jeda. "Aku, yang memilih untuk pamit tanpa menjelaskan semuanya padamu adalah kesalahanku. Ini murni kesalahanku, jadi kuharap kamu bisa melepaskan beban dalam hati kamu mulai sekarang."
"Beban? Kamu sama sekali bukan beban buat aku. A-aku--"
"Ya, apa pun itu," potong Naura cepat, tanpa memberikan kesempatan pada Yusuf untuk menjelaskan lebih lanjut.
Karena rasa nyeri dalam dada Naura semakin membesar sehingga wanita itu merasa harus segera menyelesaikannya secepat yang dia bisa.
"Seperti yang aku bilang sebelumnya. Waktu yang terlewat nggak akan bisa kembali lagi. Mau tiga tahun atau bahkan sampai sepuluh tahun sekali pun, masa itu nggak akan bisa terulang lagi. Jadi karena kamu udah tau kebenarannya seperti apa, bukankah udah saatnya kamu fokus ke kehidupan kamu yang sekarang?" tanya Naura dengan senyuman, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun berlalu.
"Then, let me ask you one question," kata Yusuf, masih dengan nada yang sedih. "Have you ever--even for a brief while, had that thing, feeling, the way I feel it?"
Naura tahu, sangat tahu kalau pertanyaan itu akan tiba pada waktunya karena hubungan mereka yang terlalu dekat. Sangat mustahil jika tidak ada sesuatu di antara mereka.
Seperti yang dikatakan orang-orang; bukankah tidak ada yang namanya persahabatan di antara lawan jenis?
"Munafik kalo saya bilang nggak ada," jawab Naura yang memutuskan untuk mengatakan semua kebenarannya tanpa ada yang ditutupi lagi. Juga, ini saatnya untuk mengungkapkan segala unek-uneknya di hati sebelum berpisah karena seperti yang dikatakan Nevan, mungkin ini adalah kesempatan terakhirnya meluruskan semuanya dengan Yusuf. "Tapi kalau kamu mau bertanya apakah aku menyesal dengan pilihan aku tiga tahun lalu? Aku bakal jawab nggak. Mau tau kenapa? Karena kebahagiaan adik aku adalah segalanya meski pada akhirnya aku harus mengorbankan diri aku sendiri."
Naura mendengus sambil mengeluarkan tawa hampanya, mengabaikan sepasang mata Yusuf yang memerah sekarang. "Karena pada detik aku kehilangan seorang Nathan Anindira, aku juga takut bakal kehilangan seorang Nevan Anindira. Bagaimana dia begitu frustasi hingga membentuk pribadinya yang lain, bagaimana dia begitu desperate hingga menyalahkan dirinya sendiri, dan bagaimana dia hidup seperti layaknya mayat hidup tanpa kebahagiaan, hanya aku yang bisa merasakannya. Itulah sebabnya, aku minta maaf padamu karena melibatkanmu terlalu lama hingga sekarang.
"Jadi, apakah kita udah boleh saling melepaskan benang di antara kita?" tanya Naura yang sekarang baru kelihatan ada luka yang bersarang di dalam kedua matanya. Wanita itu begitu hebat dalam menyembunyikan ekspresinya, tetapi kali ini sepertinya situasi ini terlalu menyesakkan baginya. "Makasih buat semuanya, Joseph Pratama. Seumur hidupku, kamu memang teman terbaik yang pernah aku punya. Kita tidak tahu takdir apa yang menanti kita ke depannya, tapi aku berharap, kamu sama sepertiku untuk terus melangkah ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi. Will you promise me?"
Naura beranjak dari kursinya, mungkin sebentar lagi air matanya akan tumpah, tetapi wanita itu masih berusaha bertahan dengan pendiriannya. Sedangkan Yusuf, air matanya telah mengalir beberapa tetes dengan kesan yang begitu menyedihkan.
Karena Yusuf tidak kunjung menjawab, Naura memutuskan untuk meninggalkan tempat itu bersama kenangan yang terlalu manis untuknya.
Namun, tepat ketika Naura telah membuka pintu cafe yang menjadi spot tongkrongan favoritnya bersama Yusuf dan berjalan beberapa langkah, tangan pria itu menariknya dari belakang yang sukses membuat wanita itu berputar balik ke arahnya.
Yusuf meremas kedua bahu Naura, air mata keduanya jelas telah mengalir deras tanpa bisa dicegah.
"At least, let me do something for you as best friend even tough it will be the last," kata Yusuf lirih, lantas mencondongkan tubuhnya mendekati Naura. Pria itu merengkuhnya dengan erat, mengabaikan ekspresi syok dari wanita itu.
"Kamu bilang kamu paling bisa merasakan bagaimana penderitaan adikmu. Tapi aku, setidaknya aku yang paling bisa merasakan penderitaan kamu. Kamu juga pasti menderita selama ini. Maaf karena aku telat mengetahui kebenarannya. Andai waktu bisa terulang kembali, aku tetap akan mencarimu, bahkan sampai ujung dunia sekali pun."
Naura menangis sesenggukan sekarang, untuk pertama kalinya wanita itu merasakan bagaimana mencurahkan emosinya yang tidak pernah sekali pun dikeluarkannya dengan bebas. Jika pelukan adalah obat dari luka, wanita itu akan setuju kalau efeknya benar-benar seluar biasa ini.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top