26). My Zone is You

Pikiran Vio lantas tenggelam ke memori ketika dia, Tamara, Nevan, serta Harris menghadap Rio di ruangannya bersama Naura untuk menceritakan ulang tragedi kecelakaan tiga tahun yang lalu. Meski hubungannya dengan pria itu tidak begitu mulus, dia mengenal karakter papanya dengan sangat baik.

Bahkan jauh lebih baik daripada mamanya sendiri.

Selama eksistensi hidupnya, Rio tidak pernah sepeduli itu pada orang lain. Meski ini adalah tanggung jawabnya sebagai orang tua atas kecerobohan Vio waktu itu, tetap saja pria itu telah mengayomi keluarga Tamara dan duo Anindira lebih dari yang seharusnya.

Hingga Vio menyadari sesuatu ketika dia melihat bagaimana cara Rio memandang Naura menghapus jejak air mata Tamara dengan tatapan yang lebih lembut.

Situasi ini menampar Vio sama seperti saat dia mendengar kebenaran bahwa kecelakaan tiga tahun lalu menjadi penyebab utama retaknya hubungan kedua orang tuanya.

Vio paham secara detail bagaimana renggangnya hubungan keluarga intinya, bagaimana ketidakcocokan papanya dengan mamanya, serta bagaimana akhir dari hubungan ketiganya. Cowok itu sudah lebih dari cukup untuk mengerti semuanya mengingat umurnya yang sudah tidak belia lagi, lebih tepatnya dia sudah cukup umur untuk membedakan yang mana hubungan palsu dan yang dipaksakan.

Karena Vio sudah merasakan dan bisa dibilang keduanya sama buruknya dengan kenyataan papa dan mamanya memilih berpisah demi kebaikan bersama.

"Dad, I think I smell something weird in your office today. Would you mind to explain it, or should I find it by myself?" tanya Vio di hari yang sama setelah perbincangan di ruang Kepala Sekolah, ketika malam tiba.

Rio segera melebarkan senyumnya seakan tahu kalau hari itu akan tiba, saat Vio mencarinya hanya untuk menanyakan hal yang sensitif. "What exactly you want to know, then?"

"I'm pretty sure you know what exactly I want to," jawab Vio. Ada nada datar dalam suaranya.

"About my feelings to your homeroom teacher?" tanya Rio terus terang tanpa embel-embel basa-basi yang sejenak membuat Vio takjub. Papanya memang tipikal yang lebih suka terus terang alih-alih menjaga image-nya, sangat tidak sinkron dengan pembawaannya yang terlihat kalem dari luar. Mungkin itu juga yang membuat papanya tampak lebih muda dari usia yang sebenarnya.

"Come on, it's you who forced me to explain this. So why do you act like that?"

"Jadi, Papa udah tau kalo aku tau semuanya dan Papa nggak ada niat sama sekali untuk tanya pendapat aku?" tanya Vio, mulai menaikkan nada suaranya karena emosi.

"Lain ceritanya kalo skenarionya berbeda," jawab Rio, masih tetap stabil seakan anaknya sedang mengajaknya mengobrol ringan. "Sayangnya, skenario itu nggak sejalan dengan harapan Papa. Jadi, kamu nggak usah khawatir soal ending-nya. Sama seperti semua cerita cinta monyet yang nggak ada kepastian, begitu pula dengan cerita Papa. Ahhh... Papa jadi merasa seperti kembali ke masa muda. Menggelikan, tapi terasa manis di sisi lain."

"Papa bercanda, ya?" tanya Vio sembari menghempaskan dirinya di sofa ruang tamu rumah mereka, posisinya sekarang menghadap papanya yang sedang menyeruput teh hijaunya dengan santai, seperti tanpa beban.

Di usia matangnya, jelas Rio lebih pandai menetralkan perasaannya dengan sangat terpuji, berbeda dengan Vio yang jauh lebih ekspresif.

"Menurutmu?" tanya Rio balik, tanpa sedikit pun mengubah ekspresi wajahnya.

"Then, answer me. Do you really have that feelings to her, like a man to a woman? Tell me, if you still consider me as your boy."

"Is that really important to you? Still, you will be hurt if you know the truth. You know what? Because no one likes welcoming new mama, including you."

"I prefer knowing the truth than facing that risk," jawab Vio dengan tatapan yang sarat akan keyakinan. "Papa mau tau kenapa? Karena pada detik aku tau kebenaran tiga tahun lalu, aku sadar kalo aku nggak seharusnya memandang dari sudut pandang aku aja, tapi aku harus mempertimbangkan sudut pandang lainnya. Juga, aku bakal fokus sama apa yang aku miliki sekarang sebelum semuanya terlambat. Jadi, kebahagiaan Papa juga termasuk. Namanya munafik kalo aku masih mau mempertahankan Papa sama Mama buat rujuk kembali."

"Papa bangga sama kamu," puji Rio bersungguh-sungguh, sejenak melupakan kewajibannya untuk menjawab pertanyaan dari anak tunggalnya. "Ternyata anak Papa udah besar."

"Nama kita aja hampir mirip, Pa. Jadi aku akan berusaha yang terbaik untuk meneladani Papa," jawab Vio, yang mulai tersenyum. "Jadi, Papa harus jujur sama aku."

"Oke. Papa memang punya perasaan itu, tepat seperti tebakan kamu."

"Bu Naura tau?"

Rio mendengus geli, mendadak merasa lucu karena menceritakan perasaan pribadinya pada anaknya sendiri. Alih-alih malu, Rio malah merasa ini cukup konyol.

"Lebih tepatnya, Naura mengabaikan semuanya. Kamu tau sendiri gimana karakter wali kelasmu. Dinding pemisah di antara kami jauh lebih kuat daripada baja. Papa jadi penasaran sama kisah cinta Naura sendiri. Apa mungkin dia nggak pernah jatuh cinta sebelumnya?"

Vio mengangguk setuju. "Padahal pesona Papa nggak kalah sama Ahjussi dalam drama Korea yang pernah aku tonton sekilas," timpal Vio sembari mengerutkan alisnya. "Apa karena status Papa?"

Rio menyeruput teh hijaunya lagi, tampak begitu elegan dengan sebelah kakinya yang masih bersilang di atas kakinya yang lain di sofa. "Don't push me more, Vio. You will regret if I really get my intention to catch her."

Vio tertawa mendengar itu, lantas mencondongkan tubuhnya melewati meja kaca untuk menatap papanya dengan lebih intens. "Gimana kalo aku ambil tindakan? Rasanya nggak buruk kalo punya mama seperti Bu Naura, kali aja hukumannya bisa dikendalikan sedikit kalo mau hukum aku. Aku kan anak emasnya Papa."

"Should I be happy for this?" tanya Rio, sejenak menunjukkan sorot matanya yang bersinar. "Kalo kamu sadar sama perkataanmu sekarang, kamu nggak boleh menyesal nantinya."

"Nggak akan," jawab Vio dengan kepedeannya yang terlalu kuat untuk dilawan. "Aku termasuk tipikal yang memegang omonganku dengan baik. Jadi, Papa tenang aja. I will always stand by your side. Forever."

zZz


"Nggak mau, ah. Double date aja gue nolak apalagi four-fold date. Kenapa nggak sekalian kencan massal, aja?"

Barusan Tamara menyampaikan keinginan teman-temannya terkait ide untuk kumpul bareng dengan tema makan buffet di Restoran Hotel Celestial berbintang lima pada tanggal 4 September mendatang, yang bertepatan dengan Hari Pelanggan Nasional.

Harris dan Vica adalah pasangan yang paling antusias atas ide ini, cowok itu bahkan rela melayangkan tatapannya ke arah Nevan hanya untuk menunjukkan ekspresi memelasnya yang kentara, mengabaikan tatapan tajam nan horor sebagai balasannya.

"Anggap aja kencan massal seperti yang lo bilang," kata Tamara pasrah, yang sudah menduga bagaimana reaksi Nevan sejak awal. Siapa juga sih yang bersedia kencan ramai-ramai kayak mau serbu mal untuk merebut diskon gede-gedean?

Tamara juga sebenarnya kurang setuju dengan ide ini. Apalagi dia nggak jago makan. Mendengar judul Buffet All You Can Eat saja membuatnya merasa mual karena membayangkan harus makan sebanyak-banyaknya.

Kalau tidak mau rugi, kan?

Lain cerita kalau ajakan ini ditujukan untuk Harris. Cowok itu malah merasa beruntung karena bisa makan sebanyak-banyaknya karena perutnya persis karet, yang kelenturannya segera beradaptasi sesuai dengan makanan yang dimakannya.

"Lo milih siapa? Kencan sama gue secara pribadi atau sama mereka?" tanya Nevan yang tidak disangka-sangka terdengar merajuk, bikin Tamara tambah pusing.

Merasa harus menjadi penengah karena semua orang telah setuju kecuali Nevan, maka Tamara tidak mempunyai pilihan. Cewek itu lantas memiringkan tubuhnya menghadap Nevan, lalu berkata, "Kamu nyamannya sama siapa, aku atau mereka?"

"Ya jelas lo, lah! Tapi kenapa lo pake 'aku-kamu' sekarang? Mau hubungan kita lebih intens dari ini, ya?"

Nevan mendapat ketukan di kepala sebagai hadiah, yang lantas menerimanya dengan senang hati hingga memunculkan senyum lebarnya.

"Kalo lo nyamannya sama gue, harusnya nggak masalah dong kencan sama gue di antara mereka? Ibaratnya kayak kita kencan di depan umum, kan?"

"Mau ungkit tentang zona lagi, ya?" ledek Nevan dengan nada menggoda. "Oke, gue sama lo berada di zona yang sama. You know why? Because my zone is you."

"Cieee," ledek Clarissa yang mendengar percakapan mereka dari depan, sementara Alvian cemberut karena kalah romantis. Tidak terima, cowok itu menggenggam tangan Clarissa dan menatapnya dengan tatapan yang terlalu intens sebagai balasannya.

"Kalo gue beda, Sa. Lo bukan zona gue, tapi lo dunianya gue."

Clarissa memekik seperti cacing kepanasan, membuatnya terlihat berbeda dari biasanya yang tomboi habis.

"Kayaknya jatuh cinta emang bisa bikin orang segila itu, ya." Vica menyeletuk sementara Harris menyorotinya dengan tatapan datar.

"Kayak lo nggak aja," ejek Harris sembari menyeringai. "Kebucinan lo juga sama parahnya kayak Clarissa."

"Biarin. Gue harusnya bersyukur sama usaha gue. Buktinya lo mulai terpengaruh sama cintanya gue, kan? Hayoooo... ngaku aja."

Harris mendadak bungkam, tidak disangka-sangka rona merah mulai merambat ke pipinya, membuat Vica tertawa senang.

Sebaliknya, Talitha memandang semua itu dalam diam, mendadak merasakan sensasi seperti iri yang bercampur dengan keraguan pada dirinya sendiri.

Harris dan Vica yang berstatus sahabat aja tidak membuat Vica ragu untuk mendekati Harris dan malah berkeinginan kuat untuk menjadikannya sebagai gebetan alih-alih terperangkap dalam status friendzone seperti dirinya dan Vio.

Talitha mengalihkan atensinya ke Vio yang sedang asik bermain gim di sebelahnya. Kelas mereka sedang bebas karena jam istirahat kedua masih berlangsung.

"Kenapa liatin gue?" tanya Vio tiba-tiba, membuat Talitha terlonjak dari bangkunya. "Hati-hati loh, kita bakal jadi pasangan berikutnya kalo lo mulai suka sama gue."

"Terus terang banget sih," kata Talitha setelah menetralkan ekspresinya. "Lo main gim apa?"

Vio menunjukkan layar ponselnya ke arah Talitha sebagai isyarat untuk jawaban atas pertanyaannya.

"Level lo baru segitu?"

"Lo bisa main ini?" tanya Vio tidak percaya.

"Ya bisalah, gue ibarat masternya. Level itu mah masih terlalu gampang."

Vio melebarkan mulutnya, sukses dibuat takjub oleh Talitha.

"Sini, gue bantuin lo selesaikan levelnya," kata Talitha menawarkan bantuannya, diselingi senyum manisnya.

Vio ikut tersenyum, sekali lagi merasakan betapa manisnya senyuman Talitha hingga hampir diabetes.

Bersambung



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top