25). Celebrating

"... demikian penjelasan dari visi dan misi saya--meski saya yakin sekali di antara kalian tidak ada yang benar-benar mendengarkan pidato yang membosankan ini. Jadi, bukankah yang terbaik dari semuanya adalah kesan dari calon Ketua OSIS itu sendiri? Itulah sebabnya saya sudah menyiapkan persembahan khusus untuk teman-teman dan guru-guru sebagai pembuktian kalau saya-lah yang paling layak menjadi sang terpilih," kata Alvian panjang lebar sembari menyebarkan pandangannya ke segala arah dengan sinar kepedeannya, berhasil mengalahkan ketua partai yang sedang berkampanye.

Semua murid berkumpul di aula SMA Berdikari untuk mendengarkan cuap-cuap bertajuk kampanye pemilihan Ketua OSIS tahun ini. Meski kepedean Alvian yang paling mendominasi hingga terkesan lebay, tampaknya ini menjadi satu-satunya kekuatan untuk mendapat perhatian dari semua orang.

Yang dikatakan Alvian tidak salah. Alih-alih memusatkan perhatian pada visi-misi, biasanya para murid lebih suka memilih mereka yang mempunyai pengaruh yang kuat di sekolah.

Jelas, Alvian adalah yang terbaik daripada calon lain. Tambahan lainnya adalah, cowok itu mempunyai visual yang terlalu silau untuk diabaikan.

Jadi, siapa sih yang mampu menolak eksistensi seorang Alvian Febriandy?

Alvian memindahkan stand mic-nya ke bagian samping panggung lantas kembali lagi untuk memamerkan sebuah performance yang ternyata adalah sebuah tarian, karena ada lagu pop bernada powerful dan begitu catchy yang diputar lewat speaker pada menit berikutnya.

"Yang bener aja, Alvian mau nari?" kata Harris dengan nada tidak percaya sementara Alvian sedang berdiri dengan pose keren sebagai pembukaan sebelum menari. "Nggak make sense banget sih, ya. Alvian bukan lagi ikut audisi, kan?"

Tetapi Vica menyenggol pinggang Harris yang berdiri di sebelahnya. "Justru itu. Dia mau ngebedain dirinya sama yang lain."

"Kalo lo punya visual oke sama otak encer, lo akan dibebaskan untuk ngelakuin apa pun. Semerdeka lo deh pokoknya," timpal Clarissa yang berdiri di belakang Vica, matanya tertuju pada Alvian di atas panggung dengan penuh minat.

"Itu kan lagunya The Boyz berjudul 'Giddy Up'," celetuk Talitha yang berdiri di belakang Clarissa karena tubuh jangkungnya, yang tingginya hampir sama dengan Tamara sehingga keduanya harus berdiri di posisi paling belakang.

Alvian tampak begitu luwes menarikan koreografinya, yang segera disambut penuh antusias oleh semua orang, terutama para cewek karena pekikan histerisnya.

"Oke fix, Alvian pasti jadi Ketua OSIS tahun ini," kata Tamara yakin, sementara Nevan sibuk menyandarkan punggungnya ke dinding dan memejamkan matanya. Cewek itu menyenggol pinggangnya tidak lama kemudian ketika melihat sosok guru piket yang mengawasi para murid nakal.

"Let me sleep, Bunny," keluh Nevan dengan nada manja, mirip anak umur lima tahun yang ngambek karena tidurnya diganggu. "Lo bisa gangguin gue sepuasnya setelah gue lebih fit. Oke?"

"Masalahnya ada guru piket yang lagi jalan mendekat ke sini," lapor Tamara dengan nada cemas. "Lo mau dihukum?"

"Kalo dihukum bareng lo sih gue mau banget," goda Nevan dengan nada nakal meski matanya masih terpejam dan bergeming di tempatnya. "Lindungi gue, dong. Gue perlu tidur bentar. Semalam gue nggak bisa tidur."

"Kenapa emang? Keasikan main gim?"

"Bukan. Keasikan mikirin lo."

Lagi dan lagi. Nevan memang seenteng itu setiap membicarakan sesuatu yang romantis, yang lagi-lagi membuat Tamara harus sport jantung setiap mendengarnya.

"Tumben mikirin gue malem-malem. Nggak baik, loh." Tamara menggeser posisi berdirinya supaya bisa menutupi eksistensi Nevan dari sensor mata guru piket. Posisi Nevan menyandar membuat tubuh tingginya tidak terlalu kentara karena kakinya ditekuk dan kepalanya dimiringkan senyaman mungkin.

"Gimana nggak mikir, coba? Lo kan udah resmi jadi cewek gue. Emangnya lo nggak, ya? Atau... lo sibuk mimpiin gue?"

Tamara mulai terbatuk lagi dengan keterusterangan dari Nevan, tetapi untung saja tidak separah awal-awal. "Katanya mau tidur. Gue udah berusaha nutupin lo dari guru piket, jadi lo tidur aja."

"As expected, my cutie bunny."

Tamara lantas tersenyum lebar, yang bersamaan dengan senyum Nevan yang merekah di bibirnya. Sementara itu, Vio yang berdiri di sebelah Talitha mulai bosan dan ingin sekali kembali ke kelas. Setidaknya dia bisa duduk nyaman daripada berdiri lama-lama seperti ini.

Oleh karenanya, Vio menolehkan tatapannya pada Talitha. "Tha, lo bosen nggak?"

Talitha menatap balik Vio dengan ekspresi polosnya. "Bosen sih. Emangnya kita bisa apa?"

"Kali aja bisa diam-diam balik ke kelas tanpa ketahuan sama yang lain."

Talitha lantas mendengus geli. "Mungkin lo bisa, karena lo kan anak Kepala Sekolah."

"Menurut lo gitu? Bukannya justru kesannya bakal malu-maluin? Anak Kepala Sekolah tapi nggak menaati peraturan."

"Udah tau gitu, kenapa masih nanya?" tanya Harris yang berdiri tidak jauh dari lokasi Vio berdiri di depan dengan nada meledek. "Pedekate lo payah."

"Kayak lo hebat aja pedekate sama cewek," balas Vio tidak mau kalah, tetapi dia sebenarnya merasa senang karena ini lebih baik daripada berdiri sampai bosan tanpa ngapa-ngapain. "Setidaknya kejepit di antara dua cewek itu bukan gaya gue."

"Kok jadi ribut, sih?" tanya Clarissa yang teknisnya berada di antara keduanya karena area baris berbaris mereka tidak serapi kelihatannya. Mungkin saja karena mereka berada di belakang dan agak jauh dari sensor guru piket. "Kayaknya kalian jatuhnya ribut mulu deh tiap dideketin."

"Gue memang nggak cocok sama dia," keluh Harris kesal. "Tha, kalo gue jadi lo, gue nggak akan mau duduk sama dia. Nyebelin banget mentang-mentang anak Kepala Sekolah."

"Tamara juga anak Kepala Sekolah dan lo masih aja jadi bucinnya dia."

Harris menatap Vio dengan nyalang, jelas tidak terima tetapi aksinya segera dihalangi oleh Vica yang menatap Vio tidak kalah galaknya.

"Udah cukup, Vio. Gue bakal cari perhitungan juga sama lo kalo lo bikin mood Harris rusak."

"Jadi ceritanya Vica sekarang jadi putri berkuda putihnya Harris, ya?" ledek Vio dengan ekspresi semenyebalkan mungkin. "Oke, gue bakal berhenti karena lo seberuntung itu punya seseorang yang melindungi lo. Saran gue, lo seharusnya balas perasaan dia karena dia begitu peduli sama lo."

"Hmm... nggak jadi cari perhitungan sama lo deh. Thanks ya buat dukungannya," ucap Vica bersungguh-sungguh, mengabaikan ekspresi syok dari Harris.

"Segampang itu lo belain dia?" tanya Harris tidak percaya.

"Semakin banyak yang dukung gue sama lo, semakin tinggi respek gue ke mereka," jawab Vica dengan senyum manisnya, yang berhasil membuat Harris melunak sedikit.

Entahlah, mungkin karena kepolosan Vica yang membuat Harris tidak jadi marah?

Alvian telah menyelesaikan koreografinya, yang ditandai dengan berakhirnya lagu yang diputar. Performanya begitu baik sehingga tepuk tangan yang menyambutnya jauh lebih ramai dan heboh.

Alvian menundukkan kepalanya sebagai tanda untuk pamit, lantas melangkahkan kakinya untuk kembali ke barisan. Cowok itu berhenti setelah sampai di sebelah Clarissa lalu menyelipkan dirinya di antara Vio dan Harris.

"Selamat, Bro. Gue optimis lo bakal terpilih," puji Harris bersungguh-sungguh.

"Thanks, Ris. Gue nggak bakal lupain semua yang ngedukung gue."

"Jangan lupa soal kuliner ya, Bro. Mendadak gue pengen banget pesta barbeque," kata Harris dengan ekspresi mupeng yang kentara di wajahnya sementara Vio menatapnya jengah.

"Gimana kalo buffet all you can eat?" tanya Alvian tiba-tiba. "Gue denger dari temen deket Papa kalo hotel langganannya bakal ngadain event buffet tema barbeque ala Korea gitu."

"Jangan bilang lo mau traktir kita?" tanya Harris terharu dengan mata berkaca-kaca pada Alvian. "Lo yang ngusulin loh, ya."

"Gue juga ada denger," kata Vio yang tidak disangka-sangka ikut nimbrung. "Tapi harus rombongan biar jatuhnya lebih murah."

Vica yang mendadak mendapatkan ide segera menolehkan kepalanya dengan antusias berlebihan hingga otot lehernya tertarik. "Masi inget saran gue tentang empat pasang, kan? Gimana kalo kita berdelapan ke sana? Usus gue nggak pernah ngerasain daging berbumbu bulgogi."

"Ide bagus kayaknya," kata Talitha yang tidak disangka-sangka juga antusias.

Clarissa ikut nimbrung. "Lo yakin, Al? Bukannya makan di hotel nggak semurah itu?"

"Nggak ada kata mahal buat Alvian Febriandy, asalkan gue berhasil mendapatkan keinginan gue," jawab Alvian kepedean. "Lagian Manajer hotelnya kenal deket sama papa gue. Tapi, reservasi untuk VIP minimal sepuluh orang. Kita kurang dua lagi."

"Lagian kita masih di bawah umur, emangnya boleh nih?" tanya Clarissa yang masih ragu dengan usul ini.

"Gue punya ide," kata Vio tiba-tiba sembari melayangkan pandangannya ke papanya, yang mana adalah Kepala Sekolah SMA Berdikari, terlihat sedang berbicara serius dengan Naura yang duduk di sebelahnya. "Kita hanya perlu dua orang dewasa, kan?"

Ide cemerlang ini sebenarnya terinspirasi dari pembicaraan antara Vio dan papanya sejak cowok itu menyadari ada sesuatu di antara papanya dan Naura.

Vio kembali diingatkan oleh perkataannya sendiri sewaktu berbicara pada Talitha di kelas.

"Yang pertama, jangan terlalu fokus pada pendapat lo sendiri karena belum tentu apa yang lo persepsikan itu adalah benar. Yang kedua, hargai dan sayangi mereka yang berada di sekitar lo karena kita nggak tau berapa lama eksistensi mereka dalam hidup kita."

Vio sedang berada dalam proses untuk merealisasikan apa yang telah diucapkannya.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top