22). Clarissa and Alvian

Clarissa Vindy bisa saja cepat menyerap materi pelajaran dalam bentuk apa pun selama berkaitan dengan akademik, tetapi tidak untuk seni yang mengandalkan keterampilan tangan dan kreativitas. Itulah sebabnya mengapa cewek itu begitu lamban menguasai coffee brewing yang sempat diajari oleh Alvian dua hari yang lalu.

Bagi Clarissa, ini cukup merepotkan dan mendadak menyesal karena menawarkan diri untuk menjadi barista, yang benar-benar tidak seperti dirinya yang biasa.

Clarissa termasuk pribadi overthinking, yang sering memikirkan berbagai kemungkinan atau skenario terburuk sebelum mengambil keputusan atau tindakan. Maka, bukankah seharusnya dia yang paling terakhir menawarkan diri menjadi barista? Kenapa dia malah menawarkan diri untuk mempelajari sesuatu yang jelas-jelas keribetannya ngalah-ngalahin baca kartu tarot?

Clarissa jujur sangat gagal paham dengan pertanyaan yang baru saja nangkring dalam otaknya selagi dia berusaha menetralkan ekspresinya untuk tidak menunjukkan ke yang lain kalau dia tidak mampu. Meski untuk sementara tidak banyak yang mengantri di depannya, tetap saja cewek itu merasa dirinya payah berhubung setelah lima belas menit terlewat, dia masih bingung dengan langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Klimaksnya, Clarissa melukai tangannya sendiri secara tidak sengaja gegara wadah yang seharusnya digunakan untuk menampung susu, tergelincir. Cewek itu otomatis menjerit sembari menahan luka bakar pada pergelangan tangannya yang berhasil mengalihkan perhatian Alvian dari duo Tamara dan Nevan. Cowok itu melangkah kembali ke belakang mesin Espresso, lantas dibuat kaget ketika melihat luka di pergelangan tangan cewek itu.

"Udah gue bilang hati-hati!" hardik Alvian dengan nada yang dinaikkan satu oktaf, membuat Clarissa merasa seperti sedang dibentak oleh papanya sendiri. Cewek itu memang sering ceroboh karena hal-hal kecil seperti tidak memegang sesuatu dengan benar atau sering merusak barang tertentu yang tingkat keawetannya dipertaruhkan.

"Kita ganti tugas aja. Gue yang buat kopi, lo yang ngawasin stand. Oke?" Alvian memberi saran sembari mengambil kotak P3K yang untungnya sempat dipersiapkannya. Namanya juga calon ketua OSIS, bukankah kriteria utamanya harus cepat tanggap?

Clarissa mengangguk. "Siniin obatnya. Thanks, ya. Lo lanjut aja."

"Bukan gitu caranya, Sa. Lo harus basuh dulu sama air mengalir sebelum pake salepnya."

"Luka bakarnya dikit kok. Tinggal pake salep pasti besok udah sembuh," kata Clarissa yakin sambil nyengir dan bersiap untuk memutar bagian tutup pada salep, tetapi tindakannya dihalangi oleh Alvian.

Alvian menarik sebelah tangan Clarissa yang bebas dari luka bakar kemudian menoleh ke Vio, "Yo, lo urus di sini bentar sama Talitha, ya? Gue mau nolongin tomboi satu ini buat bersihin luka bakarnya. Bisa?"

Vio menyatukan jari telunjuk dan jempolnya untuk membentuk isyarat 'oke'. "Gampang. Gue masih inget cara buat kopi. Biar nanti gue yang urus. Tha, lo urus kasir buat sementara, ya?"

Talitha sempat kaget karena dipanggil oleh Vio, tetapi pada akhirnya dia menganggukkan kepalanya dengan ekspresi yang agak kikuk. Ini cukup bagi Alvian untuk meneruskan langkahnya dengan tangan yang masih menggenggam pergelangan tangan Clarissa, sementara yang dipegang tiba-tiba saja baper dan mulai berimajinasi liar.

Seakan orang-orang di sekeliling mereka memudar dan diatur ke dalam mode slow motion, Clarissa memandang bagian punggung Alvian yang berjalan di depannya dengan tatapan memuja.

"Ini kok mirip banget ya sama adegan yang pernah aku tonton dalam drama?" bisik Clarissa pelan, tetapi sayangnya didengar oleh Alvian karena mereka sudah sampai di salah satu bilik toilet yang sekarang sepi.

Ya iyalah, suara Clarissa sudah pasti menggema karena terpantul oleh dinding toilet yang ukurannya tidak terlalu besar.

"Adegan apa?" tanya Alvian yang gagal paham selagi membuka salah satu keran untuk memberikan pertolongan pertama pada luka bakar di pergelangan tangan Clarissa.

"Hah?" Clarissa malah nanya balik dengan tatapan bloon.

"Hah lagi! Kan lo sendiri yang ngomong. Nanya balik lagi," gerutu Alvian yang sekarang mengangkat bagian luka tersebut ke posisi agak tinggi untuk memperhatikan lebih detail. "Ini kalo masih sakit banget, lo minum obat pereda nyeri ya, sejenis Paracetamol gitu."

"Lama-lama lo mirip papa gue deh, selalu bertindak berlebihan untuk sesuatu yang sepele."

"Ini bukan sepele, Sa! Kalo membekas, gimana? Ngaku cewek tapi cuek banget sama penampilan. Contohin gue nih, punya jerawat sekecil biji sesawi aja langsung rutin maskeran, apalagi punya jerawat segede biji jagung?"

Clarissa menatap Alvian dengan tatapan persis seperti saat cowok itu mengungkapkan alasan absurdnya ingin menjadi Ketua OSIS, lalu berkata, "Gue jadi nyesel udah mengomentari nasihat lo tadi."

Alvian cengengesan. "Maklumin aja, untung gue ganteng. Ya kan? Cowok ganteng itu selalu dimaafkan. Oke, karena udah selesai, yuk kita balik ke stand."

"Jadi habis ini udah boleh kasih salep, nih?" tanya Clarissa sembari melangkahkan kakinya, membuntuti langkah Alvian yang berjalan duluan.

Alvian menoleh pada Clarissa, kemudian menunggu untuk berjalan bersamanya. "Iya, udah boleh. Atau lo mau gue bantu olesin lukanya?"

"Tumben lo baik," puji Clarissa bersungguh-sungguh. Sebenarnya lebih tepatnya, cewek itu keceplosan memuji Alvian, membuat cewek itu gagal paham lagi karena bertindak di luar keinginannya.

"Gue selalu baik, ganteng lagi. Makanya cocok kan jadi Ketua OSIS?" tanya Alvian, bermaksud sengaja memancing ekspresi tidak terima dari Clarissa lagi karena menurutnya itu cukup lucu.

"Iya, cocok banget."

Langkah Clarissa mendadak berhenti, lantas membuat langkah Alvian juga berhenti secara otomatis. Cewek itu melipat bibirnya dan bertingkah seperti sedang ketahuan melakukan sesuatu yang tidak benar.

"Lo kenapa?" tanya Alvian heran sembari mengerutkan alisnya.

"Gawat, mati gue." Clarissa menatap horor wajah Alvian.

"Lo kenapa, sih? Jangan nakutin gue deh."

"Kayaknya yang lo bilang bener. Soal kartu tarot itu."

"Kenapa emangnya?"

"Tanpa gue sadari, kayaknya gue udah menata perasaan gue buat seseorang," kata Clarissa yang herannya malah menyatakannya pada Alvian, alih-alih menyembunyikannya.

"Seseorang? Bukan gue, kan?" tanya Alvian yang bermaksud sarkastik supaya kedengarannya humoris.

"Sayangnya, itu memang lo orangnya," jawab Clarissa sembari melepas tawa konyol. "Tapi lo nggak usah khawatir, karena ini masih awal dan kayaknya tanggapan gue terlalu berlebihan atas sikap manis lo tadi. Seperti yang lo bilang, semua cewek pasti langsung suka sama lo, kan? Mungkin gue juga salah satu dari semua cewek yang tertular sindromnya elo."

Alvian mendadak speechless serta clueless karena ungkapan perasaan dari Clarissa yang menurutnya terlalu to the point dan tanpa malu-malu, membuatnya berbeda dari cewek lain.

"Lo boleh langsung nolak gue, Al. Biar gue langsung sadar dari kehaluan gue. Oh ya, satu lagi. Semua remaja pasti merasakan gejolak cinta monyet sama lawan jenis, kan? Anggap aja gue lagi merasakan hal itu dan gue rasa itu bukan hal buruk. Gue menaruh minat sama calon Ketua OSIS, soalnya."

Alvian masih terdiam, tetapi pada akhirnya dia berjalan mendekati Clarissa, lantas berhenti ketika jarak mereka sudah dekat, bahkan terlalu dekat hingga cewek itu bisa membaui aroma maskulin dari cowok itu.

Clarissa hampir saja ingin menyandarkan tubuhnya ke dada bidang milik Alvian, yang untungnya bisa ditahannya dengan sangat baik.

"Gue mau nolak lo, tapi kenapa gue nggak tega ya?" tanya Alvian dengan dengusan geli dan tatapan nakal. "Apa gue terima aja ya pengakuan cinta lo?"

"Jangan permainkan gue, Alvian Febriandy. Lebih baik lo nolak gue sekarang biar nggak ada cerita yang perlu diperpanjang lagi. Lo tinggal menamatkan episode ini sebelum memulai yang baru."

Nada Clarissa mengandung makna ketegasan dan peringatan, yang justru semakin membuat Alvian merasa tergoda untuk memancing emosi cewek itu.

Entahlah, Alvian juga gagal paham dengan tindakannya sendiri. Apakah ini disebabkan dia juga mulai tertarik padanya atau semata-mata ingin memancing emosinya saja?

"Rasanya nggak buruk kalo pacaran sama lo," kata Alvian tiba-tiba, membuat Clarissa gagal paham, meski di sisi lain dia merasa sedang mengapung di atas awan-awan.

Alvian menempelkan jemarinya ke dagunya sebagai isyarat untuk mengajukan argumennya. "Selama ini yang suka sama gue tuh nggak pernah buat gue terkesan. Tapi lo beda, kemampuan lo sebelas dua belas sama gue--soal keaktifan lo dalam organisasi sih nggak usah ditanya lagi. Intinya, kita ini selevel. Bukankah keren kalo kita jadi pasangan?"

"Jadi, lo tertarik sama gue hanya karena keaktifan gue sebagai murid di sekolah?" tanya Clarissa dengan gigi menggertak dan tatapan yang super galak.

Alvian menaikkan kedua bahunya dengan cuek. "Who knows? Kalo sekarang gue langsung bilang suka sama lo juga itu namanya bohong dan gue nggak suka bohong untuk sesuatu yang sama sekali nggak menguntungkan gue. Tapi jika kedekatan kita setelah berpasangan malah bisa memunculkan perasaan itu, kenapa nggak? Lo nggak jelek-jelek amat dan... layak juga sih bersanding sama gue karena kebetulan hanya lo satu-satunya yang berani debat sama gue."

"Lo niat muji apa ngejek sih?" tanya Clarissa galak meski sebenarnya dia juga suka dengan gagasan ini.

"Tergantung jawaban lo sekarang. Kalo lo setuju sama gue, gue bakal muji lo."

"Oke, sekarang coba muji gue. Kalo berkesan, gue nggak nolak jadi pacar lo."

"Bukannya tadi lo yang nyatain cinta ke gue?" protes Alvian tetapi detik berikutnya dia menuruti juga apa maunya Clarissa.

Alvian menundukkan kepalanya lantas membisikkan sesuatu ke salah satu telinga milik Clarissa. "Yang lebih sempurna dari lo itu mungkin banyak, tapi nggak ada yang seberani elo. Jadi, gue udah boleh panggil 'Sayang' belum sekarang?"

Clarissa memelototkan matanya semaksimal mungkin, sementara rona merah menguasai seluruh wajahnya tanpa permisi, membuat Alvian menatapnya dengan ekspresi puas.

"Kayaknya lo makin jatuh cinta sama gue deh. Yahhhh... wajar sih. Pesona gue kan susah dihindari, apalagi ditolak," kata Alvian yang radar narsistiknya kambuh lagi.

Clarissa mendadak bertanya-tanya pada diri sendiri apakah keputusannya berterus terang pada Alvian itu sudah benar atau tidak.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top