20). Comeback

"Kayaknya gue nggak jadi makan deh," kata Harris begitu dia dan Vica telah sampai di sebuah rumah makan yang menyajikan menu bervariasi, mulai dari nasi goreng hingga ketoprak. Rumah makan tersebut adalah favorit keduanya karena selain menunya banyak, harganya juga terjangkau.

"Loh, kenapa? Bukannya lo mau ngisi ulang mood lo?" tanya Vica yang tampak kecewa di sebelahnya.

Keduanya lantas mengambil tempat duduk yang berdekatan dengan jendela.

Harris mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap syahdu pemandangan yang sebenarnya tidak layak untuk dilihat karena suasana macet. Rahangnya mengeras dan kentara sekali kalau dia sedang terluka.

Vica yang selesai memesan menu yang diinginkan, lantas menopang dagu di hadapan Harris dengan ekspresi yang sama, memperhatikan cowok itu dengan saksama. "Ternyata begini ekspresi gue kalo lagi patah hati. Menyedihkan banget, ya."

Harris memalingkan wajahnya untuk membalas tatapan dari Vica. "Gue boleh tau nggak kenapa lo suka sama gue?"

Ditanya seperti itu, Vica jadi gelagapan. "Hmm... harus dijawab, ya?"

Harris mengangguk. "Biar gue bisa tanyain ke Tamara juga, mengapa dia nggak bisa memandang gue dengan cara yang sama seperti lo."

"Cinta nggak bisa dipaksakan, Ris."

"Gimana dengan lo? Bukannya lo juga ngelakuin hal yang sama?" tanya Harris keras kepala, mulai emosi. Meski merasa tidak enak dengan Vica karena terkesan menuduh, tetapi di sisi lain, dia merasa ingin melampiaskan semua kekesalan di dalam hatinya sekarang.

Vica memahami Harris karena selain merasakan perasaan yang sama, dia juga telah berteman dengannya dalam waktu yang cukup lama. "Gue nggak memaksa lo suka sama gue. Lo bebas suka sama siapa aja, itu hak lo."

"Trus, yang tadi itu apa?"

"Gue cuma minta lo berhenti suka sama Tamara, bukannya memaksa lo harus menerima gue. Gue minta lo berhenti bukan semata-mata karena keegoisan gue, tapi karena gue nggak bisa liat lo sedih."

Harris mengerjap, tampak terkejut dengan pernyataan Vica. Mendadak, dia merasa menyesal karena telah menuduh cewek itu seenak hatinya.

"Kalo mau nangis, nangis aja. Lo jelas-jelas lagi patah hati."

"Lo sendiri? Gue suka sama Tamara, dan lo suka sama gue. Bukankah lo juga ada di posisi yang sama?"

Vica tertawa lepas, membuatnya terlihat sangat cantik. Sayangnya, Harris bertemu dengan Tamara terlebih dulu dan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang hinggap dalam benak Harris. Jika saja dia bertemu dengan Vica Eleora duluan, apakah dia akan suka padanya duluan?

"Memang. Dipikir-pikir lucu juga, ya, kalo kita nangis bareng untuk orang lain yang nggak membalas perasaan kita. Gue baru sadar kalo ternyata bertepuk sebelah tangan itu rasanya sakit banget apalagi cowok yang gue sukai itu suka sama sahabat gue, tapi... gue nggak mau mencintai secara sepihak dalam diam, Ris. Walau pada akhirnya lo nggak berakhir sama gue, gue nggak akan menyesal karena setidaknya gue udah berusaha sebelumnya."

Harris bungkam, lebih tepatnya speechless karena tidak menyangka seorang Vica bisa mengeluarkan kata-kata bijak seperti itu.

Pesanan Vica tiba tidak lama kemudian. Cewek itu rupanya memesan berbagai macam menu yang seharusnya terlalu berlebihan jika dimakan sendirian. Oleh karenanya, dia memancing napsu makan Harris dengan mendekatkan salah satu makanan kesukaan cowok itu tepat di bawah hidungnya.

"Yakin lo masih nggak napsu makan?" goda Vica, dan dia tertawa ketika melihat kilat penuh semangat yang terpancar dari kedua mata Harris.

"Mendadak gue laper lagi," kata Harris yang tanpa sungkan menjejalkan makanan kesukaan itu ke dalam mulutnya, lantas menikmatinya dengan ekspresi yang bersaing dengan para selebgram mempromosikan bisnis kulinernya.

"Motto kita sama, Ris. Makan untuk hidup. Bener, kan?" tanya Vica sembari menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama lagu yang sedang diputar di rumah makan.

"Salah. Yang bener, makan dan hidup nggak bisa dipisahkan," jawab Harris yang sekarang terlihat lebih ceria.

"Hmm bener juga. Kayak aku sama kamu. Muehehe...."

Harris memandangnya dengan tatapan mencela, tetapi anehnya dia tidak protes atau meralat kata-katanya, yang situasinya sama seperti saat Vica menggenggam erat tangannya di depan pagar rumah Tamara tadi.

zZz

Alvian memang tidak terlalu kaget sewaktu tahu kebenaran masa lalu Nevan, tetapi dia yang paling heboh dan kaget ketika melihat perubahan drastis sahabatnya pagi ini.

Nevan tadi menyapanya dengan mimik wajah yang terlalu ceria hingga memunculkan mata kucingnya, mengingatkan Alvian sewaktu mereka masih di zaman SMP dan mendadak berpikir kalau dia sedang berhalusinasi.

Keduanya masih berdiri di ambang pintu kelas, mengabaikan para cewek yang menatap keduanya dengan ekspresi lapar, terutama pada Nevan.

Jelas ini adalah situasi langka dan menjadi yang pertama kalinya karena mereka tidak pernah melihat Nevan tersenyum seperti itu. Banyak di antara mereka yang mengaguminya dan bertanya-tanya pada teman di sebelahnya apa yang terjadi selama ini hingga tidak menyadari pesona Nevan yang seharusnya bersaing dengan Alvian sekarang.

Nevan merangkul belakang leher Alvian dengan akrab lantas membimbingnya masuk ke dalam kelas, berlatarbelakangkan tatapan penuh minat dari semua cewek.

"Jadi, lo udah siapin pidato buat kampanye OSIS belum?" tanya Nevan berbasa-basi, yang sangat bertolak belakang dengan sikapnya yang biasa.

Alvian hendak menjawab, tetapi dihalangi oleh kedatangan Tamara yang juga membuat kaget sejumlah orang karena terlihat sama cerianya dengan Nevan. Bahkan mereka bersikap seakan pertengkaran di stand-nya Alvian kemarin tidak pernah terjadi.

Clarissa membalikkan tubuhnya menghadap bangku Tamara. "Lo baik-baik aja kan?"

"Baik banget," jawab Tamara riang, sembari melirik Nevan yang memberikan senyum manisnya.

Seakan ada tangan transparan yang memutar kepala Alvian dan Clarissa sedemikian rupa hingga keduanya bertatapan pada detik yang sama, masing-masing menunjukkan ekspresi yang gagal paham.

"Temen lo kenapa?" tanya Alvian dan Clarissa bersamaan, yang sukses dibuat kicep karena menanyakan pertanyaan yang sama.

Rio sudah sedari tadi menghuni bangkunya karena tiba lebih awal. Bisa dibilang dia memperhatikan keempat temannya dalam diam dan cukup senang dengan fakta kalau Tamara sudah jauh lebih baik. Cowok itu juga menarik kesimpulan kalau apa yang dikatakan oleh papanya ternyata benar; Tamara jauh lebih tegar dari kelihatannya.

Sementara itu, Talitha masuk ke kelas yang tatapannya langsung bertemu dengan mata Vio, tetapi dia segera memalingkan wajahnya ke arah lain dan berpura-pura tidak melihat cowok itu sebelumnya.

"Jangan hindari gue," kata Vio saat Talitha telah duduk cantik di sebelahnya.

"Nggak gitu, kok."

"Trus yang tadi apa?"

"Apanya?"

"Lo kayak menghindari gue. Waktu kemarin juga."

"Nggak kok, gue biasa aja," kilah Talitha meski ekspresinya berubah sedikit.

"Gue jadi berpikir, apa karena lo mau nolak gue jadi lo bohong soal lo punya pacar?"

Talitha langsung kicep, tetapi dia segera menetralkan ekspresinya. "Mau gue punya pacar atau nggak, itu nggak penting. Yang penting bukannya kita tetap berteman?"

"Apa berteman segitu pentingnya buat lo?"

Talitha mengangguk. "Iya. Gue suka lo jadi teman gue."

Vio menyeringai, lebih tepatnya ekspresi itu ditujukan pada dirinya sendiri. "Kok rasanya sakit ya denger pernyataan lo? Padahal lo jelas tau apa isi hati gue yang sebenarnya. Lo sengaja, ya?"

Talitha terdiam sejenak untuk berpikir, lantas dia memiringkan tubuhnya menghadap Vio. "Lo mau denger isi hati gue? Oke, gue jujur sama lo. Gue mau berteman sama lo karena lo anaknya Kepala Sekolah jadi kesannya lo jadi punya keistimewaan tersendiri bagi gue."

"Apa maksud lo?" tanya Vio yang gagal paham.

Gantian Talitha yang menyeringai sekarang. "Maksud gue, gue lagi memanfaatkan lo. Lo tau nggak apa persamaan lo sama plester? Sama-sama dibuang abis dipake. Jadi kalo gue merasa lo nggak berfungsi lagi, gue akan buang lo sama seperti plester itu."

Melihat Vio yang speechless dan tampak syok, Talitha menambahkan, "Jadi gimana? Apa lo masih mau pacaran sama gue dengan kenyataan kalo gue cuma manfaatin lo? Itulah sebabnya gue lebih suka lo jadi teman gue, jadi kita nggak perlu saling melibatkan perasaan dalam berteman, because that's very annoying. Gue nggak suka sama status dan ikatan, soalnya."

Talitha mengira Vio bakalan emosi atau setidaknya memberikan tatapan yang bersarat luka padanya, tetapi ternyata tidak. Cowok itu memberikan senyum lebarnya lantas menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"I see. Gue mulai paham kenapa lo tiba-tiba menghindari gue padahal gue nggak maksain lo untuk mengubah status kita atau mengikat lo seperti yang lo bilang tadi. It's okay. Lo tenang aja, untungnya gue belum terlalu mendalami perasaan gue jadi gue nggak terlalu baper denger lo ngomong gitu. Bener lo bilang, kita nggak perlu melibatkan perasaan kita kalo berteman."

Vio lantas tersenyum padanya, membuat Talitha sejenak gagal paham dengan dirinya sendiri yang kelihatannya mulai plin-plan.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top