19). Memory and Recovery

Tamara mengira rasa nyaman yang dirasakannya selama ini adalah karena dia melupakan eksistensi Nathan, sehingga dia mengingat sosoknya dalam diri Nevan sejak mengetahui kebenaran di ruang Kepala Sekolah waktu itu.

Seharusnya spekulasi yang benar adalah Tamara menyukai Nathan, bukannya Nevan. Itulah sebabnya, cewek itu menjadi lebih mawas diri dan cukup tahu diri untuk tidak mencampuradukkan perasaan sukanya karena dia tidak ingin dianggap sebagai cewek yang tidak bisa membedakan yang mana Nathan dan Nevan meski keduanya kembar identik.

Maka, pada detik memorinya kembali, Tamara merasa tertohok dengan kenyataan kalau Nevan pernah dekat dengannya dan ternyata yang lebih dulu mengenalnya.

Spekulasinya berubah pada detik yang sama. Tamara menjadi tahu siapa sebenarnya yang disukainya.

Pelukan Nevan membuatnya merasakan kenyamanan itu lagi, bahkan lebih baik dari pelukan Harris. Entah kenapa, Tamara merasakan keadaan seperti... sembuh. Cewek itu tidak lagi merasakan nyeri yang hebat dalam ulu hatinya setiap mengingat memori di bawah alam sadarnya dan rasa pusing yang terkadang muncul karena berusaha mengingat puing-puing ingatan ikut menguap.

"Gue boleh nanya nggak?" tanya Tamara tiba-tiba ketika ada sebuah pertanyaan penting yang lewat dalam otaknya.

"Harus banget nanya sekarang?" tanya Nevan dari balik bahunya karena mereka masih dalam posisi berpelukan, nadanya terdengar sedang kesal seakan sedang diganggu oleh sesuatu yang sangat tidak penting.

"Lo masih mau meluk gue?"

"Bukannya lo seneng?" tanya Nevan lagi, malah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain seperti biasa.

"Bukannya lo benci gue?"

"Tapi gue meluk lo, kan?"

Tamara mendorong tubuh Nevan dengan sekali sentakan, lantas menemukan kalau ekspresi cowok itu sedang menikmati situasi ini dengan tatapan jenakanya yang khas hingga melengkung indah seperti kucing.

"Gue serius," kata Tamara dengan penuh tekanan sembari menghapus jejak air matanya dengan gerakan cepat.

"Lo pikir gue nggak serius?"

"Nevan Anindira!" panggil Tamara dengan nada tegas.

"Yes, Bunny?"

Tamara langsung kicep mendengar panggilan itu, membuat Nevan sengaja mendekatkan kepalanya ke arahnya, tersenyum lebih lebar lagi. "Udah gue duga lo pasti udah inget semuanya."

"Makanya gue mau nanya sama lo. Ini penting. Kenapa lo sama sekali nggak ngasih tau gue kalo kita pernah dekat?"

Nevan tidak langsung menjawab. Cowok itu menegakkan tubuhnya lantas memutari bagian belakang Tamara untuk mengambil tempat duduk di sebelah kanan cewek itu. Kakinya begitu jenjang hingga dia harus menekuk kakinya sebagai penyesuaian dari ukuran bangku kayu tersebut.

"Dengan fakta Nathan mengorbankan dirinya untuk lo membuat gue jadi merasa nggak layak," jelas Nevan akhirnya dengan tatapan nanar tepat di hadapannya seakan dia menganggap Nathan duduk di seberangnya, persis seperti Tamara tadi.

Tamara bungkam, itu sengaja dilakukannya supaya Nevan bisa menceritakan lebih rinci.

"Tepat seperti yang dideskripsikan oleh Kak Naura, gue dan Nathan adalah pribadi yang berbeda meski terlahir identik. Kasarnya, gue produk unggul sedangkan Nathan adalah produk gagal. Kesempurnaan yang gue dapetin sejak lahir membuat gue tumbuh menjadi anak yang sombong dan kayak berada di atas awan, yang lantas membuat gue mengabaikan Nathan, padahal dia saudara gue. Gue bahkan hampir melupakan eksistensi dia saking sibuknya gue dalam dunia gue sendiri."

Nevan mengalihkan tatapannya pada Tamara setelah memiringkan tubuhnya menghadap cewek itu. "Sampai di satu titik ketika gue tau dia diam-diam ketemu sama lo dan berteman dengan lo, tapi tetap menggunakan identitas gue sebagai Nevan. Menurut lo, apakah gue bisa memakluminya saat itu?"

Nevan menyeringai pada dirinya sendiri, "Jawabannya tidak. Alih-alih memaklumi dia, gue malah kecewa sama dia karena menggunakan identitas gue untuk berteman sama lo padahal seharusnya dia bisa menjadi dirinya sendiri. Tapi di sisi lain, gue juga egois karena gue merasa dia nggak layak menjadi gue."

"Gue jahat kan, Ra?" tanya Nevan yang matanya mulai memerah karena menahan kesedihan dan luka. "Gue tegas sama dia kalo kami bukanlah pribadi yang sama meski terlahir kembar. Dan juga, gue nggak bisa membagi kehidupan sama dia, apalagi menggantinya. Lalu, kecelakaan itu terjadi nggak lama kemudian. Gue bener-bener merasa bersalah sama dia dan gue bahkan belum sempat minta maaf ke dia."

Mata Nevan tidak mampu lagi menahan air matanya sehingga secara perlahan menetes turun ke pipinya, yang intensitasnya semakin lama semakin banyak.

Tamara mengulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Nevan, matanya ikut berkaca-kaca selagi melakukan hal itu. Dia jelas ikut merasakan kesedihan yang dirasakan olehnya.

"Gue punya pesan dari Nathan buat lo," kata Tamara yang membuat Nevan mengangkat kepalanya untuk menyambut tatapan cewek itu.

Tamara melayangkan memorinya ke masa di saat dia berada di sisi Nathan sebelum dipanggil ke sisi Tuhan, ditemani oleh Harris dan Vica.

"Gue mau bilang ke lo kalo gue bukan Nevan. Nama gue Nathan. Nathan Anindira. Dan gue punya alasan mengapa gue berbohong dan pake nama saudara kembar gue selama ini. Gue pikir, dengan menggunakan nama saudara kembar gue, gue merasa kelihatan lebih sehat dan juga lo sedari awal udah berteman sama dia. Gue udah divonis punya kelainan jantung sejak kecil. Itu sebabnya terkadang gue sering nampak lebih pucat dari biasanya atau gue nampak lemah karena cepat kelelahan. Hidup gue memang ditakdirkan singkat, tetapi gue bahagia karena bisa ngenal lo. Jadi, gue lebih milih untuk melindungi lo dengan nyawa gue yang nggak bakalan bertahan lama.

"Jadi, Ra. Lo jangan salahin diri lo sendiri, ya. Gue tulus lakuin ini karena lo teman terdekat gue. Dan juga, gue suka sama lo."

Tamara menggenggam kedua tangan Nathan erat, seakan tidak rela jika dia harus melepas cowok itu dengan keadaan seperti ini.

Jika Tuhan memang ingin mengambil nyawa Nathan, seharusnya Tamara tidak dilibatkan, apalagi dia diberi kesempatan hidup semata-mata karena pengorbanan Nathan untuknya.

Bagaimana Tamara bisa melewati hari setelah ini? Dengan perasaan bersalah sepanjang hidupnya?

"Gue bener-bener berterima kasih sama Nevan, tapi gue nggak bisa sampaikan ke dia. Lo bisa bantu gue kan, Ra? Lo harus hibur dia setelah gue pergi, karena gue tau dia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri. Sama seperti lo, dia juga nggak salah. Nggak ada yang perlu disalahkan, karena ini adalah takdir gue yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan kalian."

Tamara hanya bisa menangis sembari menggeleng beberapa kali dengan kuat, seakan bisa merasakan kalau waktu Nathan telah menipis. Genggaman cewek itu juga menguat sampai-sampai jemarinya serasa kebas.

Alih-alih menunjukkan rasa sakitnya, Nathan malah tersenyum lebar hingga sekilas senyumnya dengan Nevan begitu identik. Cowok itu bahkan bisa meniru mata Nevan yang melengkung seperti kucing. "Lo bisa lepas gue sekarang, Ra. Tangan gue mulai sakit, soalnya. Oh ya, ada hal penting lainnya. Lo harus jadian sama Nevan, ya. Gue tau dia suka banget sama lo. Lo juga, kan? Jadi, kalian harus bahagia ya supaya pahala gue bisa bertambah."

Tamara masih tidak percaya karena setelah mengatakan semua itu, Nathan memejamkan matanya dan napasnya langsung berhenti meski senyumnya masih tercetak di sana seakan menunjukkan pada Tamara bahwa dia memang bahagia dengan pilihannya.

Tamara menatap Nevan dengan mata yang telah basah oleh air mata baru, yang situasinya sama dengan cowok itu sekarang.

"Jadi, lo jangan salahkan diri lo lagi, ya?" hibur Tamara meski sebenarnya dia jelas gagal melakukannya karena ekspresinya tidak sinkron dengan perkataannya.

"Gimana gue bisa," jawab Nevan terputus-putus karena tangisannya dibarengi dengan rasa sesak dalam dadanya. "Itu mustahil untuk dilakukan. Gimanapun, gue nggak berada di sisinya sewaktu dia pergi. Gue bener-bener payah."

"Yang dibilang Harris itu bener. Tiga tahun udah lebih dari cukup untuk berkabung. Udah saatnya kita melepas Nathan pergi karena itu juga yang diinginkannya. Gue yakin, Nathan juga menginginkan kebahagiaan lo. Bukankah itu makna keluarga yang sebenarnya?"

Mendengar kata keluarga membuat Nevan semakin terisak. Selama tiga tahun dia tidak pernah menangis seperti ini, bahkan sewaktu mendengar Nathan meninggal pun, dia hanya mengurung dirinya sendiri dan perlahan mengubah karakternya persis kembarannya; pasif, introver, dan menutup diri dari pergaulan. Nilainya bahkan turun drastis dan tidak ada kebahagiaan dalam dirinya sejak saat itu.

Tamara mengulurkan tangannya untuk membantu Nevan menghapus jejak air matanya, yang tindakannya ditiru oleh cowok itu. Keduanya saling menyentuh sisi wajah masing-masing selagi air mata mereka terus menetes ke bawah tanpa henti.

"Ini nggak cukup buat menghibur gue," bisik Nevan.

"Kalo gitu, apa?" tanya Tamara meski dia sudah menduga apa yang diinginkan oleh Nevan.

"Your hug until I feel better."

"Come here."

Tanpa berpikir dua kali, Tamara mengangkat kedua lengannya untuk memeluk Nevan yang dibalas oleh cowok itu lebih erat, untuk saling mengobati dan berbagi luka.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top