18). One-sided Love
Vica sadar benar kalau cinta tidak bisa dipaksakan sama halnya seperti memaksakan pencampuran boba ke dalam indomie goreng yang dari mendengarnya saja membuatnya bergidik ngeri karena bisa membayangkan seperti apa rasanya.
Meskipun demikian, Vica tipikal cewek yang merasa harus mengungkapkan perasaannya pada Harris cepat atau lambat, kurang lebih prinsipnya terinspirasi dari Tamara yang pernah secara terus terang menunjukkan minatnya pada Nevan.
Risikonya sudah pasti ada dua kemungkinan. Yang pertama, cowok itu akan langsung menghindarinya dan dalam kasus persahabatan mereka, kemungkinan besar hubungan keduanya akan renggang. Yang kedua, Harris mungkin akan langsung menolaknya mentah-mentah tanpa berpikir.
Ya iyalah, Vica kan sudah tahu siapa yang ada di dalam hati Harris selama ini.
Memikirkan dua risiko tersebut sempat membuat Vica ragu, tetapi tetap saja dia merasa ingin mengungkapkannya. Soalnya begini, Harris juga sebelas dua belas berada dalam posisi yang sama dengannya karena Tamara tidak menyukai cowok itu.
Jadi, bukankah Vica masih mempunyai peluang?
Yahhh... siapa tau kisah cinta Vica mirip drama Taiwan Meteor Garden yang mana dia tidak ada bedanya dengan Dao Ming Si yang cintanya hanya tertuju pada San Chai, lantas tidak malu-malu untuk mengungkapkannya alih-alih mencintai dalam diam.
Oleh karenanya, Vica berencana mengunjungi rumah Harris--mumpung mereka diizinkan pulang lebih cepat dari biasanya. Cewek itu toh bosan juga di rumah, jadi daripada tidak tahu apa yang harus dilakukan, mending dia mengapeli rumah cowok itu.
Vica saat itu tidak sadar kalau dia melewati rumah kosong di mana ada Tamara yang sedang memandangi ring basket di depannya.
Jarak rumah Harris bernomor 20, jaraknya cukup jauh dari rumah lama berhubung masing-masing memiliki pekarangan yang luas jika berjalan kaki. Vica sempat menoleh sekilas ke rumah lama Tamara yang tidak terurus sejak kepindahan mereka tepat setelah kejadian itu.
Orang tua Tamara memutuskan pindah dan memulai lembaran baru setelah insiden yang membuat anak semata wayangnya trauma hingga amnesia, yang bagi mereka adalah solusi terbaik.
Karena justru setelah Tamara hilang ingatan, watak dan kepribadiannya berubah.
Dari anak pasif menjadi esktra aktif di sekolah meski rada malas berpartisipasi dalam klub atau organisasi, dari anak yang suka memilih-milih teman bisa berteman dengan siapa saja tanpa memikirkan apakah mereka layak menjadi temannya atau tidak, dan dari anak super gugup setiap bertemu pandang dengan orang asing menjadi lebih berani.
Perubahan yang positif seperti itu tentu tidak akan disia-siakan oleh kedua orang tua Tamara.
Vica membuka pagar rumah Harris dan masuk ke dalamnya.
"Eh, ada Tante. Selamat siang," sapa Vica sopan begitu tatapannya menangkap siluet sosok mamanya Harris yang sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya.
Wanita itu menolehkan tatapannya pada Vica dan kontan saja tersenyum lebar. "Eh, ada Vica. Mau ketemu Harris, ya? Baru aja tuh dia pulang dan lagi makan. Mungkin udah habis disantapnya kali. Biasalah, makannya selalu cepet, kayak kamu. Kamu udah makan belum?"
"Ah, Tante. Tau aja aku belum makan. Hmm tapi nggak dulu deh, Tan. Makasih tawarannya. Aku mau ngomong sesuatu sama Harris. Boleh?"
"Boleh dong, Sayang. Masuk aja."
Vica tersenyum riang, lantas masuk ke dalam rumah Harris yang segala isinya didesain rapi dan permukaannya bersih mengkilat. Mamanya Harris tipe perfeksionis jadi selalu menuntut segala sesuatunya bersih dan rapi, yang menurun ke anak sulungnya.
Vica disambut adik laki-laki Harris yang bernama Harry, berumur kisaran 7 tahun.
"Eh, ada princess-nya Bang Harris," celetuk Harry, yang sedang bermain di sekitar meja makan yang mana salah satu kursinya diduduki oleh Harris.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Harris. Tepat seperti dugaan mamanya, piring Harris sudah bersih dan sedang beranjak untuk mencuci piringnya.
"Mau ngomong sama lo. Boleh?"
"Oke, bentar. Gue cuci piring dulu."
Harris kembali tidak lama sesudahnya. "Lo udah makan?"
"Belum. Temani gue makan, yuk? Gue traktir deh. Perut lo masih bisa diisi, kan?" tanya Vica dengan ekspresi lucu.
"Hmm tiga piring sih tadi. Kalo nambah satu porsi nasi goreng lagi mungkin masih bisa," jawab Harris sembari menyatukan jari telunjuk dan jempolnya hingga membentuk isyarat 'oke' pada Vica.
"Yuk."
Lantas keduanya berjalan keluar setelah sebelumnya pamit pada mamanya Harris. Mama Harris seperti kesenangan melihat kedekatan mereka.
"Mama lo mungkin mengira kita pacaran," kata Vica, mencoba menyentuh topik yang ingin disampaikannya sedari tadi sementara mereka melangkah keluar pagar.
"Maunya mama gue sih gitu. Lo tau nggak alasan absurdnya kenapa nyokap gue suka sama lo, padahal Tamara juga pernah beberapa kali mampir ke rumah?"
Vica menggeleng.
"Hanya karena napsu makan kita berdua sama. Bagi Mama gue, itu situasi yang langka bagi cewek."
"Kenapa kedengarannya kayak Tamara ya waktu nyaranin kita harus duduk bareng karena kita sehobi?" tanya Vica polos.
"Oh, jangan ulangi itu lagi," sahut Harris kesal. "Gue benci dengan fakta kita disamain sama makhluk itu padahal kita nggak ada mirip-miripnya. Diliat dari posisi mana pun, gue punya visual yang bisa dibanggakan."
Vica mengangguk setuju. "Ya iyalah, lo kan cakep."
"Tumben muji gue," kata Harris curiga. "Apa jangan-jangan...."
Omongan Harris terhenti karena melihat sesuatu dari balik pagar rumah Tamara ketika langkah kaki mereka telah sampai di sana.
Harris menghentikan langkahnya dan matanya kontan melebar selagi melihat sebuah adegan romantis yang mana Nevan mendekati Tamara lantas memeluknya setelah menundukkan tubuhnya.
Vica mengikuti tatapan Harris dan ikut membelalak juga. "I-itu Tamara, kan?"
Harris hendak mendekati mereka, salah satu kakinya malah sudah siap untuk melangkah, tetapi otomatis diurungkannya ketika melihat Tamara membalas pelukan Nevan.
Awalnya Harris mengharapkan Tamara menolak pelukan itu karena keduanya sempat bertengkar hebat tadi di sekolah, meski hati kecilnya menyadari kalau Tamara tidak akan pernah menolak perhatian dari Nevan, sekecil apa pun dan itu sukses membuat Harris tidak jadi melerai keduanya.
Karena Tamara jauh lebih perhatian pada cowok itu.
Mendadak, Harris teringat akan perkataan Tamara di halaman belakang sekolah beberapa jam yang lalu.
"Gue menyadari esensi penting dari kebenaran tiga tahun lalu, tentang apa arti dari eksistensi gue selama ini."
"Seharusnya eksistensi gue berakhir sejak kecelakaan itu, tetapi Nathan yang memberi kesempatan pada gue untuk bertahan hidup. Kalo lo jadi gue, lo bakal gimana?"
"Maksud gue, gue nggak akan bisa melakukan solusi yang lo ajukan itu sebelum menebus kesalahan gue."
"Tamara memang selalu mempunyai caranya sendiri untuk membuat gue kagum, tapi di saat yang sama gue benci dengan fakta kalo gue nggak bisa melakukan sebaliknya. Lo mau tau kenapa, Vic?" tanya Harris tiba-tiba dengan tatapan yang masih tertuju pada pemandangan di depannya.
"Apa karena Nevan yang berhasil membuat Tamara kagum dengan caranya?" tebak Vica pelan.
Harris mengalihkan pandangannya ke Vica, membiarkan cewek itu melihat matanya yang sarat akan luka dan kesedihan. "Lo benar. Ternyata lo pinter juga, ya? Gue hampir lupa kalo nilai lo terendah di kelas."
Mata Harris memerah sekarang, dan ternyata turut memberikan efek pada Vica karena ulu hatinya juga merasa nyeri.
Dia tidak suka melihat Harris seperti itu. Sehingga, Vica lantas mengambil tangan cowok itu dan menggenggam hangat tangannya, persis seperti waktu Harris menarik tangan Tamara di sekolah.
"Kalo gitu, udah saatnya lo berhenti sekarang," kata Vica sementara Harris tampak kaget dengan genggaman tangannya yang entah kenapa terasa lebih hangat. "Sama seperti lo sakit saat liat Tamara sama Nevan, gue juga merasa sakit saat liat lo sama Tamara. Posisi kita sama, one-sided love."
Harris hendak membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi Vica sudah mencegahnya duluan.
"Gue belum selesai. Sebelum lo nolak gue, biarkan gue selesaikan omongan gue. Lo bilang lo nggak suka sama gue. Oke, gue ngerti. Tapi gue akan buat lo suka sama gue. Jadi plis, jangan datangi dia."
"Gue nggak bermaksud bilang kalo gue nggak suka lo," kilah Harris dengan kernyitan di alisnya.
"Jadi lo suka gue?"
"Ya nggak gitu juga!" Harris tiba-tiba ngegas. "Nyesel gue bilang lo pinter."
Vica langsung memberengut kesal. "Jadi apa?"
"Gue lagi nggak mood sekarang. Gue mau isi ulang mood gue dulu."
Vica yang paham segera melebarkan senyumnya hingga maksimal, membuatnya terlihat seperti anak kecil. "Kita makan sepuasnya hari ini. Gue traktir!"
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top