17). Stand or Ignore?

Nevan membuang tasnya asal saja ke salah satu bagian sofa dan tidak peduli ketika tas itu memantul ke meja kaca hingga menciptakan bunyi berisik. Mood-nya jelas sangat buruk, seperti bom waktu yang sebentar lagi akan meledak.

Tidak puas, Nevan menenggelamkan wajahnya ke dalam tangan besarnya, seakan berharap dia bisa mengumpulkan kembali puing-puing kesabaran supaya bisa menahan keinginan untuk melakukan hal lain sebagai pelampiasannya.

Melempar barang, misalnya.

Nevan sama sekali tidak mengharapkan pertengkaran dengan Tamara, entah kenapa emosinya bertambah dua kali lipat setiap teringat momen kedekatannya dengan Harris, padahal dia sendiri yang memilih menghindar dan menunjukkan kebenciannya.

Benar apa yang dikatakan oleh Tamara padanya tentang ketidakpahaman atas apa maunya Nevan sejak mereka duduk bareng karena dia sendiri juga tidak mengerti apa kemauannya.

Naura masuk ke ruang tamu dan menatap jengah Nevan. "Kakak nggak habis pikir sama tingkah kamu."

"Aku lagi nggak mood ladeni debat Kakak," kata Nevan dengan nada lelah yang kentara, seakan memohon belas kasihan. "Leave me alone, please?"

"Oke kalo itu mau kamu, tapi jangan salahkan Kakak kalo kamu telat selangkah dari Harris lagi," sindir Naura dengan nada geram. "Munafik banget jadi cowok."

"Jangan ejek aku, Kak." Nada bicara Nevan terdengar berbahaya.

"No wonder you always be a loser for almost three years," ejek Naura, mengabaikan ekspresi murka dari Nevan. "Even now."

"Jangan menyebut aku kayak gitu!" hardik Nevan marah, otomatis beranjak dari duduknya. Tinggi badannya mendominasi, tetapi seperti biasa tidak memberikan pengaruh pada wibawa yang dipancarkan oleh Naura.

"Then what? Should I praise you? Sayangnya Kakak nggak bisa memberikan pujian walau kita membagi darah yang sama."

Nevan memerlukan jeda yang cukup lama untuk meredakan amarah dan menahan keinginan untuk melempar barang-barang yang sempat terlintas dalam otaknya barusan. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk kembali ke kamar daripada meladeni ejekan Naura yang terdengar semakin lama semakin menyebalkan meski jauh di dalam lubuk hatinya, dia mengakui kalau apa yang dikatakan oleh kakaknya itu benar adanya.

Nevan Anindira memang sepengecut itu. Bahkan setelah Nathan Anindira meninggal pun, dia masih tidak bisa menghadapi dirinya sendiri. Malahan, dia menyalahkan Tamara yang sengaja melupakan memorinya.

Nevan tidak hanya pengecut, tetapi juga makhluk paling egois karena merasa lebih baik setelah menyalahkan Tamara. Rasa bersalah yang dirasakannya lantas berubah menjadi semacam penghiburan untuk dirinya sendiri.

Meskipun demikian, Nevan tidak pernah bahagia sejak saat itu. Ah ya, satu lagi. Selain pengecut dan egois, dia juga munafik. Itulah sebabnya dia berpura-pura baik-baik saja padahal sebenarnya dia sangat lemah. Dia terlihat tidak peduli padahal dia sebenarnya mengharapkan perhatian. Dia terlihat tegar padahal sebenarnya dia yang paling membutuhkan hiburan dan pelukan.

Naura menghalangi Nevan dengan tubuhnya sendiri ketika adiknya hampir melewatinya. "Kakak nggak bisa memberikan pujian, tapi Kakak bisa memberikan kamu kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

Nevan menundukkan kepalanya untuk menatap Naura dengan tatapan tajamnya yang menusuk. "Kalo Kakak bilang kayak gitu, apa aku punya pilihan lain?"

"Oh, jangan mulai lagi deh," protes Naura dengan geram. "Kamu ngomong gitu seakan Kakak terlalu mengintimidasi kamu. Trust me, you will be more grateful to me after this.

"Tamara mungkin sedang dalam perjalanan ke rumah lama kita karena dia sempat nemuin Kakak, katanya ada yang mau dipastikan. Kamu pasti lebih tau apa yang mau diketahui sama Tamara, mengingat kamu pernah berteman sama dia. So, will you stand by her side or ignore her as usual? Ini mungkin kesempatan terakhir kamu sebelum semuanya terlambat. Jadi, pikirkan baik-baik."

Naura lantas menepuk bahu Nevan pelan, seakan membawa wibawa sebagai orang tua yang bijak pada anaknya sebelum meninggalkan ruang tamu, mengabaikan ekspresi Nevan yang tampak membeku di tempat.

zZz


Tamara memang mengatakan pada Naura kalau dia akan mencari Harris jika sesuatu buruk terjadi padanya, tetapi itu hanyalah sebatas ucapan semata karena dia tidak akan melakukannya. Sama seperti dia bertingkah seakan dia baik-baik saja di hadapan teman-temannya, situasi ini juga berlaku sama karena dia tidak ingin melibatkan siapa pun. Harris pasti cemas dan dipastikan menemaninya berkeliling satu kompleks jika dia tahu soal ini. Daripada nantinya semakin ribet dan situasi menjadi tidak terkendali, Tamara lebih memilih menghadapi semuanya sendiri.

Tamara sampai di rumah sesuai alamat yang dirincikan oleh Naura. Namanya kompleks perumahan, jadi desainnya kurang lebih mirip dengan rumah lainnya--yang membedakan adalah warna cat dan model pagarnya.

Meski tidak berpenghuni, Tamara yakin sesekali akan ada salah seorang pengurus yang merawat rumah tersebut karena dia bisa memperhatikan bagaimana rumput-rumput liar tidak tumbuh merajalela di sana dan potongannya jelas rapi. Pekarangannya juga bebas dari sampah atau residu dari korban gejala alam seperti daun-daun kering yang berguguran. Kalaupun ada, intensitasnya termasuk sedikit.

Tamara lantas membuka pagar rumah Nevan, yang menimbulkan derik yang cukup memekakkan telinga karena gesekan pada engselnya. Pandangannya meluas, lalu berhenti pada ring basket yang menjulang tinggi di halaman yang bebas dari rumput. Meski warna papan yang menopang ring tersebut telah pudar dimakan oleh waktu, Tamara masih bisa menebak tulisan yang ditempel di sana.

Anindira. Tamara heran sendiri dia bisa membaca tulisan yang beberapa hurufnya telah hilang dan juga di saat yang sama, dia bisa menceritakan kembali asal usul nama itu dari dalam otaknya.

Ibarat rekaman yang diputar ulang, Tamara diingatkan kembali oleh sejumlah memori yang belum pernah dilihatnya, tetapi dia tahu itu semua pernah dialaminya.

Penglihatannya berubah....

Nevan sedang berada di puncak tangga besi lipat yang dijaga oleh Tamara di bawahnya. Ekspresi keduanya bertolak belakang sekarang karena Tamara tampak sangat kesal sedangkan Nevan tertawa seakan menikmati situasi ini.

"Udah belum, sih?" protes Tamara kesal, karena Nevan sudah terlalu lama di atas tangga. Cewek itu menduga sepertinya Nevan sengaja mengerjainya supaya bisa berlama-lama di atas.

Nevan membungkukkan tubuhnya supaya bisa meneliti wajah Tamara yang sekarang mengkilat karena paparan sinar matahari yang lagi panas-panasnya. Senyumnya melebar dengan tatapan jenakanya yang khas hingga matanya melengkung yang tampak seperti mata kucing. "Nama Anindira itu panjang, Bunny. Apa gue perlu hitung berapa jumlah hurufnya? Belum lagi gue mesti ukir manual."

"Apa?" pekik Tamara kaget. "Bukannya lo tadi bilang sama gue kalo lo hanya perlu tempel stikernya? Kok jadi ukir, sih?"

"Yahhh... soalnya gue yakin kalo pake tempel pasti nggak bakal tahan lama. Jadi, gue berubah pikiran. Ukir aja deh, ya?"

"Gue bisa jadi manusia panggang dong kalo nungguin lo sampai selesai ngukirnya. Gue cabut duluan, ya? Tangganya juga aman kok menurut gue."

"Eh, eh!!" teriak Nevan karena Tamara melepas pegangannya pada tangga. Rencananya mengerjai Tamara lebih lama tidak berhasil sehingga cowok itu akhirnya menempel stikernya di papan pantul asal-asalan.

Penglihatan Tamara berubah....

Sepertinya itu momen pertama Tamara bertemu dengan Nevan karena dia tampak gugup saat mengetuk pintu rumahnya sambil sesekali melirik ke sekitarnya karena takut ketahuan oleh yang lain.

Pintu yang diketuk Tamara dibuka dari dalam oleh seseorang, yang kontan membuat cewek itu membungkukkan kepalanya ke bawah dengan gugup.

Nevan menatap Tamara dengan bingung. "Ada apa, ya?"

Tamara menyerahkan sebuah amplop berwarna pink pada Nevan. "Hmm, i-ini da-da-darrrii...."

"Mau nyatain perasaan sama gue? Niat banget sampe ke rumah segala," komentar Nevan sembari menerima amplop yang diberi oleh Tamara. "Tapi tunggu... kayaknya gue pernah liat amplop ini sebelumnya. Amplop ini pasti tanpa nama, kan?"

Lidah Tamara mendadak kelu. Masalahnya dia ingin meluruskan sesuatu pada Nevan, hanya saja dia terlalu gugup sehingga kata-kata yang ingin diucapkannya tidak bisa keluar dari tenggorokannya.

Nevan memeriksa setiap bagian amplopnya dan bahkan mengecek isinya. Dugaan cowok itu benar karena tidak ada nama yang tercantum di sana kecuali pernyataan cinta.

"Jadi lo ke sini... sekalian nunjukin ke gue siapa pengirimnya, ya? Lo kan, orangnya?"

"Bu-bu-bukan, hmmm bukan g-gue...."

"Ngomongnya yang jelas bisa nggak, sih? Gue tau wajah gue ganteng kayak artis, tapi nggak perlu sampe segitunya juga."

Tamara menghirup napas dalam-dalam lantas mengembuskannya dengan penuh penghayatan. Tingkahnya sempat membuat sebelah alis Nevan terangkat, tetapi dia memilih untuk tidak berkata apa-apa. Cowok itu kemudian menyandarkan punggungnya ke ambang pintu, membuat visualnya semakin kentara.

"Pokoknya ini bukan seperti yang Kakak kira. Maaf ya udah gangguin Kakak. Tadinya gue pikir, nggak akan sopan kalo cuma menyelipkan surat cintanya tanpa permisi."

"'Kak'? Kayaknya lo seumuran deh sama gue. Rumah lo sekompleks sama gue, kan? Wajah lo familiar soalnya dan kayaknya gue sering liat wajah lo di daerah sini."

"Hmm... iya. Rumah gue nomor 18."

"Oke, jadi siapa pengirimnya? Lo kan orangnya?"

"Kalo surat hari ini memang dari gue. Tapi kalo sebelumnya, bukan gue. Suer."

"Hari ini suratnya dari lo, tapi sebelumnya bukan? Apa maksudnya itu?"

Alih-alih menjawab, Tamara membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan Nevan yang tidak disangka-sangka merangkul bagian belakang lehernya dengan lengannya yang lebar.

Mata Tamara kontan melebar ke bukaan maksimal sementara setiap bagian tubuhnya sukses dibuat membeku oleh Nevan.

"Jelasin dulu ke gue, lo udah telanjur buat gue penasaran soalnya," perintah Nevan yang diam-diam tertawa tanpa suara di belakangnya. Ekspresi Tamara entah kenapa memberinya dorongan untuk menjahilinya terus. Apalagi, dia sempat mendengar rumor kalau dia mempunyai kendala dalam bersosialisasi.

"Hmm sebenarnya... gue nggak sengaja ikut permainan Truth or Dare sama teman. Jadi, gue terpaksa kirim surat cinta buat lo. Sekali lagi, maaf ya."

Tamara berbalik lantas membungkukkan tubuhnya dengan sopan.

Nevan menempelkan kedua tangannya ke pinggangnya, menatap Tamara dengan intens. "Jadi, surat sebelumnya itu... dari teman random lo yang main Truth or Dare, ya?"

Tamara mengangguk. Lantas secara tidak terduga, Nevan tersenyum lebar padanya hingga kedua matanya melengkung indah seperti mata kucing.

"Tapi lo yakin nggak suka sama gue? Permainan itu hanya modus doang, kan?"

Saat itu seharusnya Tamara berkilah, mengatakan kalau dia tidak sekonyol itu hingga harus memainkan permainan supaya bisa menyatakan cinta pada Nevan. Juga, Tamara bukan tipikal cewek yang cepat jatuh cinta pada cowok yang baru pertama kali berbicara padanya.

Namun, Tamara heran sendiri karena kata-katanya tersumbat lagi dalam tenggorokannya, dan itu malah membuat Nevan meyakini kalau dia memang mempunyai intensi untuk menyatakan perasaan padanya.

Sejak saat itu, Nevan jadi mempunyai kebiasaan baru, yaitu menjahili Tamara Felisha.

Tanpa sadar, langkah kaki Tamara membawanya kembali ke rumah lamanya bernomor 18. Berbeda dari rumah Nevan, rumah ini tampak tidak terurus seakan dibiarkan kosong begitu saja. Rumput-rumput liar meninggi tidak merata, dibarengi oleh tanaman parasit lain yang tumbuh. Pagar besi yang dibuka olehnya berderit lebih heboh karena pagar itu sudah berkarat.

Tamara melangkahkan kakinya menyusuri rumput yang tidak terurus itu, lalu berhenti setelah sampai di meja dan bangku yang terbuat dari kayu, yang warnanya mirip dengan pohon tinggi di dekat situ. Cewek itu lantas duduk di sana, berusaha menggali memorinya yang lain.

Penglihatan Tamara berubah lagi....

"Kenapa? Mau ledekin gue lagi? Gue bener-bener marah sama lo jadi sebelum gue semprot lo pake selang ini, mendingan lo cabut dari sini," ancam Tamara galak ketika melihat sosok Nevan yang mendekat padanya.

Nevan perlahan mendekatinya, lantas duduk di salah satu bangku kayu milik keluarga Tamara. "Nggak, gue nggak akan ledekin lo."

"Tumben," ejek Tamara yang masih menyiram tanaman di sekitarnya dengan selang di tangan kanannya. Tamara sibuk dengan kegiatannya hingga tidak melihat jelas ekspresi Nevan. "Tapi gue yakin nggak akan bertahan lama. Lo selalu sesenang itu jahilin gue."

"Emangnya gue sering ejek lo apa?" tanya Nevan dengan nada yang agak serius, membuat Tamara bingung.

"Masih nanya lagi. Lo kan suka ejek gue 'Bunny', lo bilang karena gigi gue agak mancung kayak kelinci waktu ketawa, padahal gue yakin nggak gitu."

"Nggak mirip kelinci kok," kilah Nevan. "Nggak ada mirip-miripnya sama sekali."

Tamara selesai menyiram tanaman lalu dia ikut duduk di bangku kayu, yang berseberangan dengan Nevan. "Trus kenapa lo ejek gue kayak gitu?"

"Nggak akan lagi. Gue nggak akan ejek lo begitu lagi. Kita berteman, kan? Mungkin hanya lo satu-satunya teman yang gue punya. Gue harap, lo betah temenan sama gue."

Tamara yang gagal paham mengira kalau Nevan sedang berakting untuk menjahilinya. "Lo pasti bohong. Gue nggak akan percaya."

"Gue akan buktikan kalo gue nggak gitu lagi," kata Nevan dengan tatapan tajamnya yang intens pada Tamara, membuat cewek itu mengernyitkan alisnya dengan bingung. Ini jelas tidak seperti Nevan biasanya yang selalu menatapnya dengan tatapan jenaka.

Lalu pada akhirnya, Tamara menganggukkan kepalanya yang segera disambut oleh Nevan dengan senyum tipisnya.

Tamara kaget sendiri karena kedua matanya telah basah oleh air mata. Memori terakhir baru disadarinya sekarang karena Nevan yang duduk di bangku kayu itu adalah Nathan Anindira.

Tamara menatap nanar bangku di hadapannya yang sekarang tidak berpenghuni. Rasanya seperti nyata ketika memori tadi menghampiri otaknya, seakan Nathan benar-benar duduk di sana, berbicara padanya.

"Kenapa gue baru ingat sekarang?" bisik Tamara pada dirinya sendiri. "Kenapa gue harus lupa sama lo, Nathan?"

"Dan juga kenapa lo harus lupa sama gue?" tanya sebuah suara di sebelah Tamara, membuat cewek itu terlonjak kaget.

Tamara berpikir dia sedang berhalusinasi atau karena memorinya yang sejak tadi bermunculan dalam otaknya telah bercampur dengan dunia nyata, sehingga untuk sesaat cewek itu tampak sangat bingung dengan pemandangan di depannya.

Tetapi pada detik berikutnya, Tamara sadar kalau cowok yang di depannya memang Nevan yang asli, bukan yang berasal dari bagian memori karena model seragam yang dipakainya sama dengan seragam yang dipakai oleh Tamara.

Menyadari kalau ini bukan ilusi, membuat tangis Tamara semakin pecah dan suara tangisannya terdengar begitu pilu hingga Nevan mendekatinya lantas membungkukkan tubuh untuk memeluknya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top