16). The Essence Part

Perhatian Harris sewaktu sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk hari H acara amal bersama Vica langsung pecah tatkala mendengar suara gebrakan yang memekakkan telinga.

Harris bertukar tatapan dengan Vica dan segera merasakan firasat buruk setelah mendengar teriakan Tamara yang menyusul setelahnya. Tanpa menunggu lebih lama, cowok itu melaju dengan kecepatan kakinya bisa membawanya ke sumber suara.

Sudah ada kerumunan yang mengelilingi pusat perhatian. Harris mengabaikan seruan kaget dari sejumlah penonton yang dipaksa minggir olehnya dengan kekuatan yang ngalah-ngalahin benteng ngamuk karena menyelinap masuk dan dia merasakan jantungnya seperti terjun bebas ketika melihat Tamara berhadapan dengan Nevan.

Kartu-kartu tarot menyebar dengan menyedihkan di tanah sementara kursi tergeletak secara terbalik di dekat Tamara—–sepertinya cewek itu beranjak dari kursinya dengan kekuatan penuh hingga membuatnya jatuh terbalik. Baik Tamara maupun Nevan saling melemparkan tatapan tajam, membuat Harris geram.

Seumur-umur Harris tidak pernah bertemu cowok sebangsat Nevan. Jika dia mempunyai kekuatan superhero, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk melemparnya ke bulan sekalian supaya eksistensinya hilang dari muka bumi ini.

Oleh karena dia tidak mempunyai kekuatan seperti itu, Harris memilih untuk menerjangnya lagi seperti waktu di kelas.

Sebab Nevan memang layak diberi pelajaran.

Tetapi Tamara menghalanginya. Awalnya, Harris ingin menarik lepas cekalan yang membelenggu pergelangan tangannya, tetapi dia diurungkannya ketika merasakan getaran di sana.

Tamara gemetaran.

Harris menelan salivanya sendiri termasuk menelan keinginannya mengubah Nevan menjadi bakso. Cowok itu akhirnya memutuskan untuk menarik Tamara keluar dari kerumunan, mengabaikan tatapan ingin tahu dari semua orang.

Termasuk Vica. Dia menunggu di belakang kerumunan dengan ekspresi cemas yang kentara, lalu berubah menjadi super kaget saat melihat duo Harris dan Tamara.

Karena Tamara tampak kacau meski untungnya dia tidak menangis, sementara Harris masih kukuh dengan tatapan yang sarat akan kemurkaan yang mengental.

"Ra, lo nggak apa-apa?" tanya Vica cemas.

"Gue tenangin Tamara dulu, ya. Lo bantuin gue nyusun perlengkapan buat stand kita. Udah nggak banyak lagi kok, nanti gue nyusul. Yuk, Ra."

Harris melepas rangkulannya di sekeliling bahu Tamara, hanya untuk menggenggam hangat tangan miliknya, membuat Vica merasakan sensasi baper karena cemburu.

Sayangnya, Harris tidak akan tahu dan mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya berada di posisi Vica.

Posisi bertepuk sebelah tangan, ketika dia harus melihat orang yang disukainya memberikan perhatian lebih pada yang lain.

Pada sahabatnya.

Harris membawa Tamara ke halaman belakang sekolah, membimbingnya ke salah satu bangku panjang yang tersedia, lantas duduk di sebelahnya.

"Daripada lo dengerin hal yang nggak berfaedah sama sekali, mendingan lo denger kata-kata manis dari gue." Harris memulai, karena Tamara sepertinya tidak berada dalam mood yang bagus untuk berbicara. Cewek itu memilih untuk melempar tatapannya jauh ke arah pohon rindang di hadapan mereka.

Meski tatapan itu kosong, Harris tahu kalau cewek itu sedang banyak berpikir.

"Mau denger, nggak?" desak Harris, berusaha terdengar ceria untuk menghibur Tamara.

"Iya, gue denger kok."

"Mulai sekarang apa pun masalahnya atau apa pun yang terjadi, gue akan selalu menyukai lo. Jadi, jangan menangis sendirian ya. Lo punya gue dan lo boleh jadikan gue sebagai milik lo."

"Usaha yang manis sekali," puji Tamara tetapi bermakna sindiran.

"Gue serius, Ra."

"Gue juga serius, Ris. Dari dulu gue tau lo suka sama gue lebih dari sahabat, jadi gue nggak kaget sama pernyataan cinta lo."

Harris terdiam, tampak agak terpukul dengan keterusterangan Tamara.

"Gue menyadari esensi penting dari kebenaran tiga tahun lalu, tentang apa arti dari eksistensi gue selama ini," kata Tamara secara tiba-tiba, berusaha terdengar riang dan tidak terbebani.

Seharusnya kata-kata Tamara sekarang sangat tidak nyambung dengan topik pembicaraan Harris, namun cowok itu memilih untuk membiarkannya. Jika diberi pilihan, dia malah lebih suka kalau Tamara banyak berceloteh daripada diam seperti tadi.

Tamara sengaja memberi jeda setelahnya, seakan berharap Harris berkomentar atau setidaknya memberikan reaksi. Kedua matanya masih memandang jauh ke depan, ekspresinya jelas lelah dan tampak begitu menyedihkan.

"Seharusnya eksistensi gue berakhir sejak kecelakaan itu, tetapi Nathan yang memberi kesempatan ke gue untuk bertahan hidup. Kalo lo jadi gue, lo bakal gimana?"

"Gue akan memilih untuk membuka lembaran baru dan menyukai cowok yang balas menyukai gue," jawab Harris tanpa berpikir terlebih dahulu, membuat Tamara memutar bola matanya dengan jengah.

"Apa lo harus semodus itu?" tanya Tamara, berusaha meredam rasa geregetnya, tetapi gagal sehingga giginya menggertak.

"Sebenarnya iya, tapi ini juga solusi yang terbaik menurut gue," kilah Harris membela diri, mengabaikan ekspresi wajah Tamara. "Nathan menyukai lo dan dia mengorbankan dirinya buat lo. Demi apa? Tentu saja demi kebahagiaan lo. Bukankah menyukai seseorang berarti membuat dia bahagia? Dan lo jelas nggak akan bahagia kalo terus menerus terkurung dalam kesedihan lo. Tiga tahun udah cukup buat lo berkabung, Tamara."

"Tiga tahun karena gue baru tau kebenarannya belum lama ini."

"Meski lo tau lebih awal pun, gue yakin bukan ini yang Nathan inginkan. Jika lo menghargai pengorbanan hidupnya, lo seharusnya menjalani kehidupan lo dengan sepenuh hati, bukannya menangisi kepergiannya sehingga membuat lo menderita sendirian."

"Gue nggak menderita sendirian," kilah Tamara cepat. "Bukan cuma gue, Nevan juga. Meski dalam cara yang berbeda."

"Di saat seperti ini, lo masih aja mikirin dia?" tanya Harris emosi. "Perlu gue ingatkan, Ra. Dia bukan Nathan dan mereka jelas adalah pribadi yang berbeda!"

"Gue nggak sebego itu sampai nggak bisa bedain yang mana Nathan dan Nevan, kali!" balas Tamara kesal. "Maksud gue, gue nggak akan bisa melakukan solusi yang lo ajukan itu sebelum menebus kesalahan gue."

"Emangnya apa yang bisa lo lakuin untuk orang yang udah meninggal?" sindir Harris. "Lo pikir ini sama pengertiannya dengan transaksi di Indomaret, yang belanja seratus ribu rupiah bisa tebus minyak goreng satu rupiah?"

"Lucu sekali, Tuan Evanesco."

"Gue nggak lagi bercanda! Pertanyaan gue bermakna sarkastik, loh!"

Tamara menghela napas panjangnya lagi, lantas dia beranjak dari duduknya. "Kita balik, yuk. Kita terlalu lama di sini."

"Lo belum jawab pertanyaan gue," desak Harris sembari menahan tangan Tamara sebelum cewek itu melangkahkan kakinya.

Tamara sebenarnya sudah menjawabnya, tetapi itu semua hanya terucap dari dalam batinnya. Dia tidak ingin menyuarakannya pada Harris karena dia bisa menduga bagaimana reaksi cowok itu jika mengetahui rencananya.

"Gue belum tau cara menebusnya, masih gue pikirin. Yang jelas, caranya nggak mungkin dengan menebus barang murah di toko serba ada."

Harris tiba-tiba merasa ingin membenturkan kepalanya ke pohon terdekat.

zZz


Demi melaksanakan rencana yang telah disusun rapi dalam otaknya, Tamara menemui Naura di ruang guru. Murid-murid dipulangkan lebih cepat hari ini, sebagai apresiasi atas kerja keras mereka dalam mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara amal. Juga, tenaga mereka telah terkuras lebih banyak hari ini.

Tamara agak lega melihat Naura masih di sana dan sendirian.

"Permisi, Bu. Ada yang mau saya tanyakan, boleh?" tanya Tamara sopan, disambut tatapan serius dari yang bersangkutan. Namanya juga guru killer, jadi tatapannya tidak mungkin sarat akan tatapan jenaka.

Naura menunjuk salah satu kursi beroda di dekatnya, mengisyaratkan Tamara untuk duduk di sana. "Tentu saja boleh. Tapi saya dengar kayaknya kamu ribut sama Nevan ya, kenapa?"

Pertanyaan tersebut sempat membuat Tamara mati kutu, tetapi untungnya dia bisa segera mengendalikan dirinya. "Hmm... bukan hal besar kok, Bu. Biasalah saya debat sama dia karena hal-hal absurd dan nggak penting."

"Oke kalo gitu. Pokoknya kalo Nevan keterlaluan sama kamu, kamu harus segera laporkan ke saya, ya? Nah sekarang kamu mau nanya apa?"

"Hmm, saya boleh minta alamat rumah Ibu, nggak?"

"Kenapa?"

"Hmm, saya... saya sebenarnya mau mengingat kembali memori saya. Jadi saya pikir, saya harus... hmm..."

"Oh, saya ngerti. Itu memang hak kamu untuk menggali memori kamu kembali, tapi apa kamu nggak terlalu memaksakan diri? Pertemuan kita di ruang Kepala Sekolah kemarin masih belum lama dan juga bukankah kamu udah tau kebenarannya?"

"Benar, Bu. Tapi memori itu hanya sebatas tentang awal pertemuan saya dengan Nathan dan kecelakaan. Saya perlu kepastian yang lain."

"Kepastian yang lain?" ulang Naura menggantung dengan kernyitan di alisnya, tetapi tidak berkata apa-apa lagi setelahnya. Wanita itu lantas mengambil secarik kertas kecil dan menulis sesuatu di permukaannya.

"Ini alamatnya," kata Naura sembari menyerahkan kertas itu pada Tamara. "Rumah kamu yang dulu itu nomornya 18, buat jaga-jaga kalo kamu mau ke sana juga. Jadi, kamu rencana pergi sendiri?"

Tamara mengangguk. "Tenang aja, Bu. Rumah ini deket sama rumah Harris. Jadi kalo ada apa-apa, saya bakal nyari dia."

Meski Tamara memberikan senyum lebar setelahnya, Naura tidak bisa mengabaikan perasaan cemas dalam batinnya.

Oleh karena itu, Naura juga berpikir untuk merencanakan sesuatu karena membiarkan Tamara menghadapi traumanya sendiri jelas bukan ide yang baik.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top