15). Day Minus 2

Harris sangat menyayangkan stand bazaar amal bagiannya dengan Vica ditempatkan di seberang stand punya Alvian cs, meski setidaknya dia masih bisa memperhatikan Tamara dengan jelas dari sana.

Acaranya tinggal dua hari lagi. Mereka yang berpartisipasi segera menyiapkan semua yang diperlukan supaya tidak ada yang kelewatan pada hari H acara. Stand Alvian adalah stand yang paling luas mengingat jumlah anggota yang bergabung cukup banyak, lantas jatuhnya jadi yang paling mewah karena mesin Espresso-nya yang bergengsi.

Sama seperti Tamara, Alvian juga bersedia mengetes kemampuannya dalam membuat menu Espresso, atau lebih tepatnya memamerkan ke semua orang yang bersedia menontonnya sekalian mengajari Clarissa supaya keduanya bisa bekerja sama dengan baik.

Tidak alang-alang, Alvian memakai apron yang mirip sekali dengan apron yang umumnya dipakai oleh para Barista yang bekerja di balik mesin Espresso. Cowok itu menggulung lengan seragamnya, membuatnya terkesan sangat macho sekaligus seksi, sukses mendorong keinginan kaum hawa untuk memeluknya meski itu hanya sebatas niat saja.

"Oke, sebelum kalian liat gue mulai, kalian harus pahami dulu apa saja komponen dalam mesin Espresso. Ini nggak bisa dianggap remeh karena kalo kalian sampai salah sedikit saja, dikhawatirkan kalian akan luka karena mesin ini menghasilkan uap panas yang sangat berbahaya. Terutama lo, Clarissa. Berhubung lo ikut mempraktekkan cara membuat kopi, jadi lo harus perhatikan dengan saksama."

Clarissa mengangguk, sementara yang lain masih menunjukkan ekspresi yang sama minatnya dengan sebelumnya. Sama seperti Tamara yang dikerumuni tidak hanya anggota inti stand-nya Alvian, tim lain juga penasaran dengan aksi cowok itu.

Lagi pula, sudah menjadi hal umum kalau menjadi barista bukanlah sesuatu yang gampang untuk dilakukan karena memerlukan teknik dan keterampilan yang baik.

Alvian menunjukkan sebuah benda yang bentuknya seperti sendok berukuran agak besar dengan tangkainya serta memiliki sepasang spout di bawahnya. "Ini namanya portafilter, yang mana sebagai alat untuk mengekstraksi kopi bubuk. Hasilnya disebut sebagai Espresso yang menjadi bahan dasar dalam membuat menu lainnya. Lo bisa liat menu campuran lain dan gue udah tambahkan keterangan di bawahnya supaya lo nggak bingung sama takarannya."

Clarissa mengangguk selagi Alvian menuang sejumlah kopi dari mesin penggiling ke dalam portafilter yang sedari tadi dipegangnya hingga penuh.

Tangan Alvian yang lain mengambil sebuah benda yang tampak seperti stempel karena permukaannya yang datar. "Ini namanya temper, gunanya untuk memadatkan bubuk kopi ini--jadi lo tekannya kayak gini," jelasnya sembari menekan-nekan isi bubuk kopi dalam portafilter. "Jangan salah, alat ini memegang peranan yang cukup penting karena semakin padat bubuk kopinya, semakin membatasi aliran air yang merambat masuk di dalamnya, jadi hasil ekstraksinya bakal lebih padat daripada nggak ditekan dengan alat ini. Oh ya, ini hasilnya nanti untuk double shot Espresso, standar yang digunakan biasanya 18-21 gram, tapi biar lo nggak bingung, kira-kira segini aja takarannya."

Alvian lantas menunjukkan pada Clarissa yang segera paham karena dia menganggukkan kepalanya.

"Oke, sekarang kita kunci portafilter-nya ke dalam mesin Espresso-nya--eh tapi sebelumnya, mesinnya harus dinyalain dulu ya biar suhunya udah panas sewaktu lo masukin bubuk kopinya. Kuncinya kayak gini, match portafilter-nya, habis itu putar ke kanan kayak gini. Setelah selesai, lo boleh tekan tombol ini." Terdengar bunyi klik tanda portafilter-nya telah dicocokkan ke tempatnya.

Alvian mengambil dua paper cup kecil yang diletakkan bersisian di bawah mulut portafilter yang mana sekarang mulai mengeluarkan hasil ekstraksinya dengan irama yang mengalir dramatis. Aroma kopi yang khas segera memanjakan hidung mereka.

"Nah, ini yang namanya double shot Espresso," jelas Alvian setelah dua cangkir tersebut telah terisi. "Biar lebih paham, gue bakal langsung buatin kopi latte aja. Dari keterangan yang udah gue siapkan buat lo, komposisi kopi latte terdiri dari Espresso, steamed milk, sama milk foam. Kita udah punya Espresso, jadi yang kita perlukan sekarang adalah susu. Lo bisa dapetin dari pipa panjang yang ini, namanya steam wand. Gelas takarannya kita pake yang ini."

Alvian menunjukkan gelas takaran khusus untuk menampung susu, lalu kemudian cowok itu melanjutkannya dengan menekan tombol hingga susu beruap panas mengalir keluar dari pipanya. "Nah, takarannya lo bisa sesuaikan dengan takaran yang gue siapkan buat lo. Sekarang untuk hasil akhir kita perlu menuangkan susu ke atas Espresso tadi untuk menghasilkan latte yang artistik."

Alvian menuangkan susu ke dalam salah satu paper cup dengan gerakan yang sama ahlinya dengan barista profesional sementara semuanya tampak takjub dengan keahlian cowok itu. Bahkan, dia berhasil menuangkan residu akhir yang mana adalah milk foam-nya.

Alvian menggunakan sebuah tusuk gigi lantas menggores permukaannya sedemikian rupa hingga membentuk sebuah hati yang rapi dan satu paper cup lainnya membentuk kepala beruang yang imut.

Tepuk tangan meriah melengkapi pertunjukan Alvian yang sekarang menatap puas hasil karyanya.

"Keren banget," puji Clarissa bersungguh-sungguh. "Kalo soal gambar-menggambar gini kayaknya gue payah deh."

"Nggak usah cemas. Gue bakal ajarin triknya. Nggak susah kok," hibur Alvian sembari tersenyum, sempat membuat Clarissa salah tingkah walau hanya sebentar saja.

"Trus, kalian gimana? Nggak ada masalah, kan?" tanya Alvian pada Vio dan Talitha, yang tidak disangka-sangka bersikap canggung satu sama lain meski keduanya pada akhirnya menggelengkan kepala.

Bukan tanpa alasan keduanya merasakan situasi canggung. Talitha teringat kembali momen saat Vio menyatakan isi hatinya di kelas beberapa hari yang lalu.

"Jadi kesimpulannya, gue akan menghargai dan menyayangi lo. Boleh, kan?"

"Hmm maksud lo apa?" tanya Talitha setelah mengatur ekspresinya supaya kelihatan tidak terpengaruh.

"Lo memang nggak paham atau memaksa gue untuk berterus terang?" tanya Vio, menarik ujung bibirnya sedikit.

"Biar gue yang berterus terang aja kalo gitu," jawab Talitha tanpa ekspresi. "Gue akan setuju kalo lo mengatakan itu semua sebagai teman dekat, bukannya sebagai cowok ke cewek."

"Lo nggak suka sama gue?" tanya Vio yang mulai sedih.

"Gue udah punya pacar. Sori ya."

Sejak Talitha mengatakan itu, Vio seperti menjaga jarak darinya. Bagi cewek itu, situasi tersebut adalah solusi terbaik.

Talitha bukannya tidak suka sama Vio. Jujur saja selama duduk bersamanya, dia merasa dihargai. Vio tipikal cowok yang memperlakukannya seperti Tuan Putri, yang memperlakukannya dengan gentle dan sopan, berbeda dengan cowok mana pun yang pernah melakukan pendekatan dengannya.

Jika ditanya apakah dia suka sama Vio? Talitha belum tahu jawabannya. Tetapi, dia bisa memberikan alasan mengapa dia mengatakan kalau dia mempunyai pacar padahal sebenarnya dia berbohong.

Karena dia masih belum siap menghadapi fakta jika dia berpacaran dengan Vio dan putus di tengah jalan, mereka tidak akan bisa kembali berteman.

Talitha telanjur nyaman dengan perlakuan Vio padanya selama ini. Dia nyaman dengan status friendzone mereka. Salahkan dia karena berpikir terlalu jauh. Walau sekarang mereka masih canggung satu sama lain, dia yakin sikap Vio tidak akan berubah karena hubungan pertemanan mereka belum berakhir.

Tamara sedari tadi duduk nyaman di bangku dan meja yang disiapkan khusus untuk areanya membaca kartu tarot. Tidak disangka-sangka, Nevan duduk di sebelahnya.

"Seperti yang gue bilang beberapa hari yang lalu, lo boleh menguji kemampuan gue."

"Gimana kalo lo ramal gue?" tanya Tamara yang tiba-tiba mendapatkan ide.

Lantas, Nevan mengocok kartu tarot yang diserahkan oleh Tamara. Meski tidak selincah cewek itu, dia bisa mengocok kartunya dengan keren bahkan bisa juga melakukan trik Riffle Shuffle.

Nevan menyebarkan kartunya membentuk setengah lingkaran di atas meja sementara Tamara memilih satu kartu, menariknya keluar dengan menggeser ke arahnya.

Nevan membalikkan kartu yang dipilih Tamara. Three of Swords.

"Tiga pedang yang ditusuk ke satu hati, mengindikasikan trauma masa lalu, sakit karena kebenaran yang terungkap, dan sakit secara fisik. Lo jelas sedang merasakan itu semua akhir-akhir ini. Kartu ini benar-benar cocok buat lo," jelas Nevan yang terdengar seperti menyindir.

"Apa saran yang lo bisa berikan sebagai pembaca kartu tarot?" tanya Tamara alih-alih tersinggung dengan sindiran Nevan.

"Semuanya tergantung pada lo sekarang, apakah lo tetap akan bergumul di dalam kubangan kesedihan atau justru melepaskannya."

"Kalo gue jadi lo, gue akan bilang kalo semua rasa sakit yang dirasakan justru akan mendewasakan kita karena rasa sakit akan mendorong kita untuk berubah. When you feel pain and do something to fix it, you grow."

"Ngomong memang selalu jauh lebih gampang daripada melakukannya," kata Nevan dengan nada dingin. "Sayangnya, nggak semua orang kayak lo yang bisa langsung menerima semua itu trus melepaskannya."

"Sebenarnya tujuan kita diskusi hanya untuk menguji kemampuan lo, kan? Gue hanya mau merubah sedikit cara lo menunjukkan intuisi lo sebagai peramal--"

"Nothing can be fixed when you lost someone," potong Nevan kasar.

"Yeah, I know, but--"

"No, you don't know," potong Nevan lagi, kali ini matanya menatap galak pada Tamara. "And you will never know."

"Then tell me," balas Tamara, mengikuti jejak Nathan dengan mendinginkan nada bicaranya juga. "Siapa tau dengan mengetahui sisa kebenaran lain, gue bisa menunjukkan ke lo sisi terlemah gue lainnya."

"Untuk apa? Supaya lo bisa mendapat pelukan gratis dari Harris? Atau... lo mau gue peluk juga?"

Mata Nevan tampak berbahaya sekarang sementara Tamara telah beranjak dari kursinya, entah sejak kapan.

"Berhenti menghina gue! Gue tau lo sebenci itu sama gue, tapi apakah harus sampai bertindak sejauh ini?"

Nevan mendorong semua kartu tarot ke bawah, mengabaikan tatapan ingin tahu dari murid lain karena mendengar suara gebrakan susulan pada meja, menimbulkan suara yang memekakkan telinga.

Tamara berusaha mengendalikan dirinya meski dia merasakan sakit lagi di dalam dadanya. Dia jelas tidak ingin bertengkar dengan Nevan karena jika dia melakukan itu, dia takut air matanya akan tumpah dan dia tidak rela kalau cowok itu melihatnya menangis.

Tamara tidak akan sudi.

Oleh sebab itu, Tamara menundukkan tubuhnya hanya untuk memungut kartu tarot yang menyebar di tanah, mengabaikan ekspresi murka dari Nevan.

"Berdiri!"

Tamara masih mengabaikannya.

"Gue bilang berdiri!" teriak Nevan.

Tepat pada saat itu, Alvian mendekati mereka disusul teman-teman lain, bahkan mereka sudah membentuk kerumunan setengah lingkaran di antara mereka.

"Apa-apaan lo, Nevan? Kepala lo mau dipukuli lagi sama bu Naura?" tanya Vio yang masih kaget karena tidak menyangka Nevan mengajak Tamara bertengkar.

"Nggak usah ikut campur!" balas Nevan dengan emosi memuncak, sementara Tamara yang sudah tidak tahan, membuang kartu-kartu yang telah dipungutnya tadi kembali ke tanah dengan luapan emosi.

"Mau lo apa sekarang, hah? Gue bersumpah akan mengingat kembali semua kebenaran yang masih belum gue ketahui, tapi apakah lo harus sekejam ini untuk memaksa gue mengingat semuanya?"

Harris menyeruak masuk di antara kerumunan secara paksa, lantas dia menerjang tubuhnya lagi untuk memukul Nevan, tetapi dihalangi oleh Tamara yang menarik tangannya.

"Lo nggak pantas pukul dia," kata Tamara dingin. Harris menatap tangannya sendiri yang dicekal oleh cewek itu dan dia bisa merasakan getaran disana.

Tamara gemetaran.

Harris lantas memilih untuk menarik Tamara keluar dari kerumunan, mengabaikan Nevan yang sekarang menendang salah satu pilar stand saking emosinya.

Tidak ada yang tahu kalau Nevan sekarang sedang mengutuk dirinya sendiri karena tersulut emosi yang berawal dari kecemburuan bodohnya.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top