11). This Familiar Feeling

Nevan tidak menjawab, atau lebih tepatnya dia tidak akan memberitahu kebenaran isi hatinya pada Tamara yang saat ini menatapnya dengan rasa ingin tahu yang besar.

Tamara sebenarnya hanya membutuhkan konfirmasi dari Nevan atas spekulasinya karena jika cowok itu mengiyakan, dia akan percaya kalau rasa nyaman selama ini disebabkan karena keduanya pernah terhubung di masa lampau, tidak lebih.

Itu berarti, perasaan suka Tamara pada Nevan tidaklah nyata. Dia jelas salah menafsirkannya.

Lantas, Tamara mengingat kembali ucapan Nevan tentang semua berpusat dari dirinya dan dialah yang menyia-nyiakan kepergian Nathan Anindira. Dia hendak bertanya lebih lanjut, tetapi rasa pusing dalam kepalanya mulai kambuh sehingga dia mengurungkan niatnya.

Bisa jadi, mentalnya tidak sekuat itu untuk menerima terlalu banyak informasi.

Tamara mulai mengerti kalau sepertinya dia tidak bisa mengingat semua kepingan memori tiga tahun silam karena hilang ingatan, terbukti dari dua penampakan kejadian yang muncul secara misterius di dalam otaknya dan dia sadar gejalanya mirip dengan yang biasa dirasakan oleh korban kecelakaan yang kehilangan sebagian memori.

Sebab, ada rasa sakit lain yang bersumber dari dalam ulu hatinya dan entah kenapa, rasa sakit itu juga membuatnya ingin menangis. Sebagai pelengkap, lagi-lagi Tamara merasakan dejavu yang menandakan bahwa rasa sakit tersebut tidak asing. Lantas, air matanya mulai menetes, yang intensitasnya semakin banyak, membuatnya kesulitan untuk menahan tangisan tersebut.

Vio adalah yang pertama menyadari Tamara menangis di saat Nevan mulai kelabakan untuk pertama kalinya.

Bukan, jelas bukan ini yang Nevan inginkan meski dia selalu bertanya-tanya mengapa Tamara memilih untuk melupakan memori itu. Cowok itu selalu mengira kalau Tamara sengaja berpura-pura untuk melupakan tragedi itu, yang menganggap keputusan itu adalah solusi yang terbaik untuk semua pihak. Kemarahannya pada Tamara segera membutakan logikanya, membuatnya sukses mengabaikan fakta bahwa cewek itu juga menderita.

Fakta yang juga mengindikasikan bahwa keduanya berada di posisi yang sama; sama-sama merasakan kehilangan atas kepergian Nathan Anindira.

Nevan menyesal sekarang dan dia harus menelan keinginan untuk menenangkan Tamara tatkala melihat Vio berdiri dan menghampiri bangkunya.

"Lo kenapa?" tanya Vio dengan nada cemas sementara Harris yang mendengarnya, kontan saja menoleh dan ekspresinya berubah menjadi super kaget pasca melihat situasi Tamara sekarang.

Karena Tamara yang dilihat oleh Harris sekarang membuatnya teringat insiden tiga tahun yang lalu, ketika mereka sedang berada di rumah sakit pada momen Nathan pergi untuk selama-lamanya.

Hal terakhir yang ingin dilihat Harris adalah melihat Tamara lemah seperti itu sehingga dia segera menghampiri bangkunya, mengabaikan bunyi keras yang bersumber dari tubrukan tubuhnya sendiri ke bangku cewek itu.

Termasuk mengabaikan perhatian semua murid dan Wali Kelas yang tertuju padanya.

Harris menangkup wajah Tamara dengan gemetaran karena perasaan takut sedang menyelimutinya sekarang. Apa yang harus dilakukannya jika cewek itu terguncang lagi? Meski akan ada masanya ketika Tamara akan mengingat semuanya, cowok itu berharap masa itu tidak akan pernah ada.

Salahkan Harris yang egois, dia lebih memilih bertengkar dengan Tamara daripada harus melihatnya seperti ini.

Daripada melihat Tamara menangis.

Harris segera menarik Tamara ke dalam pelukannya, setidaknya berharap bisa menyembuhkan cewek itu. Kedua matanya terhubung ke sepasang mata milik Nevan secara otomatis karena posisi mereka berhadapan saat dia memeluk Tamara.

Jika dikonversi dalam cerita komik, netra mereka pastilah dihubungkan oleh kilatan arus listrik. Dari tatapan tersebut, Harris secara otomatis mengeratkan pelukannya pada Tamara yang masih terisak, jelas menunjukkan kalau cewek itu berada di bawah perlindungannya.

Nevan tidak sadar sejak kapan tatapannya berubah menjadi tatapan penuh kecemburuan. Yang jelas, dia hampir saja mengangkat tangannya untuk menarik Tamara ke sisinya ketika Naura menghampiri bangku mereka dengan tatapan cemas.

"Ada apa ini? Kenapa Tamara menangis?"

"Maaf, Bu. Saya harus bawa Tamara ke UKS. Mungkin Ibu bisa bertanya ke Nevan karena mereka duduk sebangku. Nggak mungkin juga kan Tamara tiba-tiba menangis tanpa sebab?" tanya Harris dengan mata yang masih diarahkan ke Nevan, lebih tepatnya memelototinya.

Naura merasakan firasat aneh dalam batinnya ketika melihat Nevan yang rahangnya mengeras sementara Harris mengalungkan lengan Tamara ke sekeliling bahunya untuk memapah cewek itu keluar kelas, mengabaikan semua orang termasuk Vica yang tampak syok dengan situasi ini.

zZz

Harris mendudukkan Tamara di sisi salah satu brankar UKS, lantas menyeka jejak air matanya setelah membungkukkan tubuhnya supaya bisa berhadapan dengan cewek itu.

"Lo kenapa, Ra? Kok nangis?" tanya Harris yang berpikir lebih baik jika dia berpura-pura tidak tahu.

"Lo yang paling deket sama gue, Ris. Setidaknya umur persahabatan kita udah lebih dari tiga tahun. Lo pasti tau kan apa yang terjadi sama gue?" tanya Tamara yang meski sudah jauh lebih tenang, isakan tangisnya masih berjejak.

Harris bungkam, yang justru menjelaskan pada Tamara bahwa spekulasinya benar. "Jadi bener ya, Ris? Gue pernah kecelakaan?"

"Gue akan jelasin ke lo hanya dan hanya jika lo udah siap untuk itu," kata Harris yang kata-katanya sarat akan ketegasan. "Lo harus istirahat dulu. Lo jelas sedang syok."

"Ris, please...."

"Ra, jujur gue takut banget lo kenapa-kenapa tadi. Gue nggak akan bisa maafin diri gue sendiri kalo terjadi apa-apa sama lo karena nggak hanya lo yang dilindungi oleh Nathan, gue juga."

Mendengar nama Nathan membuat Tamara terhenyak lagi meski efeknya sudah lebih mendingan daripada awal-awal.

"Gue mau nanya, Ra. Apa Nevan yang mengungkit nama Nathan?"

Tamara bungkam, gantian menjelaskan pada Harris kalau sikap diamnya telah membenarkan spekulasinya. Cowok itu lantas mendorong bahu cewek itu dengan lembut untuk membaringkannya ke tempat tidur. "Lo tidur ya sekarang? Nanti gue akan samperin lo setelah bel pulang nanti."

Tamara tidak tahu kalau Harris telah berniat melabrak Nevan dan sedang dalam perjalanannya untuk menghampiri cowok itu.

Harris tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kembali ke kelasnya karena sepanjang perjalanan dia melakukannya dengan berlari. Napasnya menderu sementara dia mendorong pintu kelas dengan bunyi yang terlalu berisik, sekali lagi membuat kaget semua orang termasuk Naura.

Dengan tatapan marah, Harris berlari menuju bangku Nevan lantas meninju sudut bibirnya dengan kekuatan yang tidak terkendalikan. Tindakannya jelas tidak bisa dicegah karena cowok itu melakukannya dengan sangat cepat.

Alvian otomatis melerai mereka dengan memeluk Harris dari depan sementara Vio menghadang ke arah Nevan untuk menghalanginya membalas serangan Harris.

"LEPASIN GUE!" teriak Harris sekencang-kencangnya, sekilas dia terlihat seperti sedang kesurupan. "GUE HARUS KASIH DIA PELAJARAN!"

Nevan hanya menatapnya marah, tetapi dia tidak berniat untuk membalas serangan Harris sehingga Vio tampak lega akan hal ini.

Naura juga sedang diliputi kemarahan sekarang. Wanita itu segera berjalan cepat untuk menghampiri pusat penarik perhatian dengan rotan di sebelah tangannya, lantas menghempaskannya ke salah satu bangku, menimbulkan bunyi yang tidak kalah kerasnya dengan bantingan pintu tadi. Semua orang kontan saja harus kaget lagi untuk ketiga kalinya.

"Apa-apaan ini? Di mana sopan santun kalian sebagai murid di depan guru kalian? Harris Evanesco, jelaskan perbuatan kamu tadi!"

Harris menatap Naura dengan ekspresi yang sudah lebih terkendali meski sisa kemarahannya belum benar-benar lepas darinya. "Ibu pasti tau kejadian sebenarnya jadi saya nggak akan jelaskan dari awal. Saya nyerang Nevan karena dia udah keterlaluan mengungkit kejadian tiga tahun lalu, padahal dia jelas tau kalau Tamara trauma karena kecelakaan itu.

"Kalo Tamara kenapa-kenapa, gue nggak akan lepasin lo!" lanjut Harris pada Nevan dengan tatapan super galak.

Tatapan Naura dialihkan ke adiknya dengan ekspresi yang sama. "Apa benar begitu, Nevan?"

Nevan menghela napasnya, lantas hanya bisa mengangguk pasrah. Meski dia juga tersulut emosi karena Harris menyerangnya secara tiba-tiba, dia harus mengakui kecerobohannya sendiri.

"Setelah bel pulang, saya mau Nevan dan Harris temui saya di ruang Kepala Sekolah. Kamu juga ikut, Vio."

Vio yang gagal paham, tidak mempunyai pilihan lain kecuali menganggukkan kepalanya dengan segan.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top