10). Nathan Anindira
Nevan sebenarnya tidak mengerti mengapa dia harus seketus itu pada Tamara, padahal ada cara lain yang lebih efektif daripada capek-capek membuang energi untuk melibatkan emosinya.
Contohnya adalah cukup dengan mengabaikannya seperti biasa dan menganggap kalau Tamara adalah bagian dari bangku di sebelahnya.
Tetapi sejak mereka duduk bersama, mengapa Nevan jadi kebiasaan sewot sendiri? Bahkan bisa dibilang, Tamara sudah tidak seagresif sebelumnya. Maksudnya, setidaknya cewek itu sudah bisa mengontrol dirinya untuk tidak memasang tampang pengin berlebihan yang mirip dengan cara fans memuja idolanya.
Seharusnya Nevan lega dengan hal ini. Dia hanya perlu meneruskan kebiasaan yang sudah-sudah, yaitu dengan mengabaikannya.
Alih-alih mengabaikan Tamara seperti biasa, cowok itu malah merasa tergiur untuk memancing kemarahan Tamara karena perkataannya.
Nevan seharusnya tidak perlu merespons niat baik Tamara tentang tidak ingin melibatkannya menjadi mitranya, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tergerak untuk membalas perkataan cewek itu. Dia merasa puas karena bisa mengaduk-aduk perasaannya karena perkataannya.
Nevan tidak kunjung mengerti apa sebabnya, tetapi satu hal yang membuatnya sadar sepenuhnya adalah, hobinya berubah dari suka mengabaikan eksistensi Tamara menjadi suka membuatnya marah. Cowok itu tahu kalau ini tidak benar, karena perlakuannya persis seperti kebiasaannya di masa lalu, saat dia senang menjahili Tamara. Bahkan hingga sekarang pun, cowok itu masih mengakui kalau dia tampak lebih imut ketika sedang marah.
Tamara memberikan buku panduan yang dikeluarkannya dari dalam tas pada Nevan, lantas tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya. Bel masuk baru saja berdering sementara sebagian siswa yang sejak tadi merapat di antara Tamara, kembali ke bangku mereka masing-masing.
Ekspresi kesal masih nangkring di wajah Tamara, sempat membuat Nevan berpikir untuk menambah emosinya tetapi batal ketika Naura masuk ke dalam kelas. Nevan sampai lupa kalau pelajaran berikutnya adalah Matematika. Kakaknya selalu masuk tepat waktu bahkan terkadang bisa lima menit lebih awal.
"Setelah saya perhatikan secara mendetail ide-ide kalian terkait stand bazaar yang akan dipersiapkan, saya cukup salut dengan kekreativitas kalian. Saya harap hasilnya bisa melebihi target dari yang ditentukan oleh yayasan tahun ini. Kerja bagus dan jangan lupa, meski acara ini bertujuan untuk amal, kalian juga harus mengoptimalkan performance kalian saat hari H nanti."
Terlihat senyum sumringah yang ditunjukkan oleh sebagian besar murid karena pujian dari Naura.
"Baiklah. Karena kalian udah memberikan kesan yang baik, saya akan beri kalian kelonggaran. Terkhusus hari ini, kalian boleh berdiskusi dengan teman sebangku kalian. Diskusi, bukan menyontek ya."
Senyum seringai otomatis muncul dari bibir para siswa selagi Naura berbalik lalu menulis soal-soal Matematika di papan tulis. Suasana kelas segera tenang beberapa saat kemudian, sementara gesekan pena di atas kertas sayup-sayup terdengar.
Meski mereka diizinkan untuk berdiskusi dengan teman sebangku mereka, tidak ada yang berani berbicara keras-keras. Mereka seperti telah disetel untuk mengendalikan diri di bawah hidung Naura. Tidak heran jika wanita itu bertahan dengan julukan guru killer, padahal pengalaman mengajarnya di SMA Berdikari belum terlalu lama.
Tanpa menoleh, Tamara sudah mengerti kalau Nevan tidak mungkin mau berdiskusi dengannya sehingga cewek itu yakin hanya di antara dia dan Nevan saja yang tidak berinteraksi satu sama lain. Oleh sebab itu, dia begitu terkejut ketika Nevan menyenggol tangannya dengan sudut buku paket hanya untuk memanggilnya.
Tamara menatapnya dengan kedua matanya yang besar, sementara Nevan masih dengan tatapan datarnya.
"Kerjain punya gue."
"Hah?"
"Gue lagi mager."
"Bu Naura nyuruh diskusi, bukannya nyontek."
"Itu bukan nyontek, tapi nyuruh lo salin."
"Sama aja."
"Ya beda, lah. Ejaannya aja beda," kata Nevan dengan ekspresi seakan Tamara adalah cewek paling bego di kelas.
"Gue nggak mau," tolak Tamara. "Mau lo gimana bujuk gue, gue nggak akan mau."
"Bukannya lo suka sama gue?" tanya Nevan, dengan bisikan yang hanya didengar oleh Tamara. "Prediksi gue nggak salah rupanya, karena rasa suka lo memang sedangkal itu. Atau, ini karena lo udah buang perasaan lo? Cepat juga ya."
"Jangan ngeledek gue," bisik Tamara dingin. "Bukannya lo nggak peduli sama perasaan gue? Kenapa sekarang kayaknya lo peduli?"
"Karena mengabaikan lo udah nggak menarik lagi bagi gue," jawab Nevan dengan seringai di bibirnya. "Lihat lo marah gini ternyata asik juga. Hitung-hitung ngebantu lo supaya lebih cepat lupain gue. Ini kayak win-win solution, kan?"
"Hati-hati, Nevan. Terlalu banyak interaksi dengan cewek yang lo benci bakal bikin lo yang jatuh cinta nantinya," balas Tamara dengan sebelah alis terangkat, berusaha menutupi rasa sakit hatinya. "Saran gue, lebih baik mengabaikan daripada terlalu peduli."
"Gue bukan peduli, jadi lo nggak usah ge-er."
"Lalu apa?" tantang Tamara.
"Udah gue bilang, mengabaikan lo udah nggak menarik lagi bagi gue."
"Salah gue apa sih sama lo?" tanya Tamara dengan mata yang sarat akan kesedihan. "Gue terima waktu lo bilang, lo benci sama gue. Gue juga udah meyakinkan lo kalo gue akan berusaha lupain lo. Tapi sekarang, apa sih maunya lo? Semua yang gue lakuin selalu aja salah!"
Keduanya tidak sadar kalau sedari tadi Alvian mendengar keduanya berbicara sehingga cowok itu segera mencekal pergelangan tangan Clarissa ketika cewek itu juga mendengar sayup-sayup percakapan mereka yang terdengar seperti debat.
"Untuk kali ini, biarkan mereka aja ya," kata Alvian yang sukses membuat Clarissa gagal paham, tetapi dia akhirnya memilih untuk menuruti sarannya.
Alvian sudah bersahabat dengan Nevan sejak SMP, jadi dia sedikit banyak tahu tentang masa lalunya yang hingga sekarang masih terbawa-bawa. Cowok itu juga tahu kalau ini ada kaitannya dengan Tamara meski sahabatnya tidak pernah memberitahunya secara langsung.
Namanya juga jenius.
"Jelas salah, karena semuanya berpusat dari lo," jawab Nevan dingin. Untuk pertama kalinya, Tamara sadar kalau jenis tatapan itu adalah tatapan paling dingin yang pernah dilihatnya, karena sepasang mata itu juga sarat akan kesedihan yang begitu kentara hingga menciptakan kemerahan di dalamnya.
"Lo tau apa yang membuat gue benci banget sama lo? Gue marah atas keegoisan lo untuk melupakan kejadian itu dan lo menyia-nyiakan pengorbanan seorang Nathan Anindira!"
Untung saja Nevan masih bisa mengendalikan suaranya sehingga semua yang diucapkannya tadi tidak terdengar keras dan dia bisa mengubahnya dalam mode sedingin mungkin pada Tamara.
Meski tidak mengerti, tetapi Tamara tidak merasa asing dengan nama itu. Sama seperti dejavu yang sering dirasakannya selama berada di dekat Nevan, nama itu juga memberikan efek nostalgia padanya.
"Nathan Anindira?" ulang Tamara dengan tatapan kosong. Pikirannya seperti ingin mengingat sesuatu dan sekilas dia yakin kalau ada sekelebat bayangan di dalam otaknya meski dia tidak bisa mendefinisikan seperti apa gambarannya.
Lalu kemudian, secara mendadak ada bayangan jelas yang muncul begitu saja dalam pikirannya, tentang seorang cowok yang Tamara yakin adalah Nevan.
"Nama gue Nathan. Nathan Anindira."
Ada sekelebat bayangan lagi yang muncul berikutnya, yang sama mendadaknya dengan bayangan pertama. Wajahnya sama seperti tadi, namun Tamara bisa melihat matanya yang memerah karena sarat akan kesedihan yang mendalam.
"Dan juga, gue suka sama lo."
Pernyataan terakhir yang didengar dan disaksikan sendiri dalam memorinya refleks membuat cewek itu menoleh cepat ke arah Nevan dengan mata membulat sempurna.
Situasi yang sangat tidak dimengerti oleh Tamara adalah tentang fakta kalau cowok yang mengaku bernama Nathan tetapi berwajah persis dengan Nevan, sedang terbaring di sebuah brankar dengan wajah dan tubuh yang terluka, serta banyak darah yang melumuri sisi kepalanya.
Sedangkan Nevan, dia mulai curiga kalau perkataannya tadi telah memberikan efek yang serius pada Tamara.
"Nathan Anindira itu... apa dia saudara kembar lo?"
Nevan sempat kaget karena Tamara sudah mulai ingat, namun ada sesuatu hal lain yang lebih penting baginya sekarang sehingga dia mendekatkan kepalanya secara tiba-tiba.
Jarak mereka tidak lebih dari sejengkal tangan sekarang. "Jadi, apa lo bisa jelasin ke gue sekarang alasan lo memilih untuk lupain kejadian tiga tahun lalu?"
"Tiga... tahun lalu?" ulang Tamara dengan polos seakan pertanyaan yang diajukan Nevan benar-benar tidak bisa dicernanya dengan baik. "Jadi... bayangan itu bener? Tapi kenapa gue merasa nggak pernah...."
Omongan Tamara terpotong karena dia mendadak merasa sangat pusing sehingga dia refleks menekan sisi kepalanya sembari memejamkan matanya dengan kuat seakan berharap kalau sakitnya akan jauh lebih baik jika dia melakukan hal itu.
Sementara Nevan, di satu sisi dia sebenarnya hendak membantu Tamara dengan menahan sisi tubuhnya yang mulai oleng, tetapi diurungkannya karena di sisi lain dia merasa masih belum cukup untuk memaafkan cewek itu. Untungnya, rasa pusing itu tidak berlangsung lama karena Tamara yang kini berwajah pucat menoleh padanya dengan ekspresi yang sangat bingung.
"Dari semua perkataan lo ke gue, gue mulai menyadari sesuatu."
"Menyadari apa?" tanya Nevan yang berusaha terdengar cuek meski matanya menatap cemas pada Tamara.
"Soal kecelakaan gue. Ini ada hubungannya dengan kecelakaan gue, kan? Dan ini juga ada hubungannya sama lo."
Seharusnya Tamara tidak pernah menyadari kalau dia pernah terlibat dalam kecelakaan tiga tahun silam, tetapi cewek itu menyadari ketika dia melihat sendiri potongan memori di dalam otaknya. Tidak hanya itu, ada banyak kejanggalan yang sering dirasakannya selama tiga tahun terakhir ini, seakan ada kekuatan magis yang merebut sebagian memorinya. Juga, alasan mengapa dia merasa nyaman berada di dekat Nevan.
Bahwa Nevan adalah zona ternyamannya.
"Akhirnya gue tau alasannya mengapa gue merasa nyaman berada di dekat lo. Walau gue masih belum mengerti detailnya, tapi satu hal yang pasti, satu-satunya jawaban logisnya adalah, itu karena kita pernah terkait satu sama lain di masa lalu. Bener kan, Nevan?"
Bener. Mungkin yang membuat lo nyaman selama ini adalah bukan karena eksistensi gue, tapi karena eksistensi Nathan. Hanya saja gue terlahir kembar identik dengan dia sehingga lo bingung dengan hal itu.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top