1). Comfort Zone

Mungkin bagi sebagian besar siswa, kembali ke sekolah setelah liburan akhir semester adalah sesuatu yang mengesalkan; entah karena liburan tidak pernah cukup atau belajar tidak pernah terasa menyenangkan. Bagi mereka, kembali ke sekolah sama pengertiannya dengan persiapan mental untuk mengemban banyak tugas serta penghafalan rumus dan teori, yang menyesakkan pikiran dan emosi.

Meskipun demikian, di antara mereka yang mengeluh karena kembali ke sekolah, Tamara Felisha tidak merasa demikian. Perbandingannya, dia adalah satu dari seratus siswa yang mengomel tentang liburan yang terlalu lama dan memekik kesenangan ketika hari pertama sekolah tiba.

Mau tahu apa yang membuatnya sesenang itu?

Bukan karena belajar pastinya, karena Tamara tidak pernah mengeluh soal pelajaran. Nilainya yang selalu mencapai sempurna malah mengundang iri. Gimana ya, dia itu tipikal siswi yang tidak perlu belajar keras untuk mendapatkan nilai bagus atau lebih tepatnya, Tamara itu jenius. Jadi, meski dia terlihat begitu absurd dan lebay, orang yang baru pertama kali mengenalnya tentu tidak percaya kalau dia selalu absen dalam penerimaan berbagai piala dan reward lainnya.

Selain pintar, Tamara juga sempurna dalam segala hal. Dia cantik, tinggi, termasuk anak dari keluarga golongan atas meski bukan konglomerat, serta pandai bersosialisasi. Pelengkap lainnya, Kepala Sekolah SMA Berdikari--nama sekolahnya sekarang, adalah papa angkatnya.

Jadi jelas, tidak ada yang berani macam-macam dengan Tamara. Yang ada, cewek itu malah semakin populer. Sebagian besar memujanya karena dia mempunyai pengaruh di sekolah, tetapi dia bukan itu yang menjadi fokus utamanya.

Karena yang paling penting dari segalanya adalah seorang siswa bernama Nevan Anindira.

Dia pelaku yang membuat Tamara tidak sabar masuk sekolah. Dia yang membuat Tamara jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia juga yang membuat Tamara ingin terus memandanginya kemana pun ekor matanya menangkap.

Jika ada yang bertanya padanya alasan Tamara menyukainya, cewek itu tidak akan berpikir dua kali untuk menjawab kalau Nevan membuatnya merasa nyaman. Cowok itu adalah zona ternyamannya.

Entah kenapa setiap Tamara memandanginya, dia merasa begitu familier pada cowok itu. Hmm gimana ya, dia seperti merasakan dejavu setiap kali berada di dekatnya.

Ketidakpahaman itu membuat Tamara menarik satu kesimpulan kalau mungkin saja pada kehidupan sebelumnya, mereka berjodoh dan ada benang yang menghubungkan keduanya, sehingga cewek itu merasa tidak terpisahkan dengan Nevan.

Tamara tersenyum sendiri sembari berjalan menuju papan pengumuman yang mana telah ditempeli banyak kertas berisi daftar nama murid-murid di sekolah. Cewek itu segera bergabung bersama teman-teman yang lain untuk mengecek namanya sendiri di daftar kelas XI. Suara hatinya tidak henti-hentinya berdoa supaya bisa sekelas dengan Nevan tahun ini.

Terdengar pekikan keras tidak lama kemudian. Pelakunya adalah Tamara sendiri yang begitu bahagia karena doanya terkabulkan, namun pada detik berikutnya dia sadar karena dia tidak berteriak sendiri.

Ada yang berteriak juga di sebelahnya dan itu membuat Tamara menaikkan alisnya dengan tatapan mencela.

"Lo sadar nggak sih teriakan lo membuat telinga yang sebelah sini meradang?" protes siswa yang dari name tag-nya terbordir nama Harris Evanesco. Dia menggunakan salah satu jemarinya untuk mengorek ke dalam telinga yang telah dikorbankan dengan tatapan yang sama mencelanya. Rupanya, dia ikut berteriak karena latah.

Belum sempat Tamara menjawab, ada sebuah tangan yang merangkul bahu cewek itu dari belakang, meski tidak terlalu pas karena tubuhnya lebih pendek. Dia adalah Vica Eleora. "Asik! Kita sekelas lagi! Gue juga sekelas sama lo, Ris!"

"Tahun ini gue yang harus duduk sama Tamara ya soalnya waktu kelas X lo kan udah duduk sama dia," titah Harris otoriter pada Vica, yang kontan memajukan bibirnya beberapa sentimeter ke depan, membuatnya terlihat seperti bebek.

Vica jelas ingin protes, tetapi dia terpaksa harus menelan kembali suaranya karena dihalangi oleh Tamara yang mengangkat tangannya dengan gaya lebay seakan cewek itu adalah orang penting. "Gini ya, gue tau kalian sesenang itu duduk sama gue, tapi gue terpaksa harus nolak karena gue harus duduk sama Nevan tahun ini. DIA SEKELAS SAMA GUE, OH MY GOD!"

Harris memutar bola matanya dengan kesal sementara Vica tampak tidak terpengaruh akan hal itu.

"Bagus, gue tadi malah mau bilang kalo gue mau duduk sama Harris," kilah Vica yang sekarang tatapannya beralih pada Harris. "Kita duduk bareng, ya?"

"Sebutkan alasannya mengapa saya harus duduk sama kamu dan jabarkan ke dalam bahasa yang lebih dimengerti," perintah Harris, mengikuti nada wibawa Bu Naura, salah satu guru killer di SMA Berdikari.

Gue suka sama lo, kata suara hati Vica tetapi itu tidak mungkin diutarakannya karena cewek itu tahu kepada siapa Harris memberikan hatinya. "Hmm apa ya, karena lo ganteng?"

Tamara yang kala itu sedang berimajinasi tentang kisah asmaranya dengan Nevan, kontan saja melebarkan matanya hingga bukaan maksimal saat mendengar alasan dari Vica. "Lo kasih alasan yang masuk akal dikit, kek. Kayak Harris gini lo bilang ganteng? Mestinya lo bilang alasannya karena kalian sehobi. Kalian kan sama-sama jago makan kayak salah satu makhluk hidup di peternakan Old Macdonald yang bunyinya oink oink. Tau kan?"

"Lo katain kita babi?" tanya Harris tersinggung, apalagi Vica yang memasang raut wajah terhina.

Tapi Tamara mengendikkan bahunya dengan sok innocent. "Gue pikir akan nggak sopan kalo langsung ngatain kalian kayak babi. Berhubung kalian paham maksud gue, yahh bagus deh."

"Oke, gue doain moga lo bisa duduk sama Nevan tanpa halangan. Biar kita-kita yang lo sebut babi ini duduk bareng aja," ujar Harris sarkastik, segera disambut tatapan penuh kegembiraan oleh Vica karena permintaannya dikabulkan.

Tamara lalu mengedipkan sebelah matanya diam-diam pada Vica. Rencananya menjodohkan kedua sahabatnya berhasil karena sejak awal cewek itu tahu tentang perasaan Vica, termasuk perasaan Harris pada dirinya. Meski mereka terlibat dalam cinta segitiga, Tamara merasa hubungan di antara mereka tidak akan seribet drama di balik layar kaca karena dia telah menambatkan hatinya pada cowok lain bernama Nevan Anindira. Soal Harris dan Vica, dia yakin kalau cowok itu secara perlahan akan luluh pada sobatnya itu.

Alasannya simpel saja, karena seperti yang Tamara bilang tadi, keduanya mempunyai hobi yang sama. Katanya, cinta bisa muncul karena mempunyai ketertarikan yang sama. Kurang lebih mirip dengan pernyataan kalau cinta bisa muncul karena kebiasaan. Ya, kurang lebih seperti itu bagi Tamara.

Sebagian besar murid lantas bertolak menuju kelas mereka masing-masing, termasuk Tamara dan dua sahabatnya. Harris masih kesal padanya sehingga dia memilih untuk berjalan bersama Vica. Dia bahkan sengaja merangkul bahu cewek itu untuk menyindir Tamara.

Vica senang-senang saja diperlakukan seperti gitu sementara Tamara mengabaikan mereka karena dia sama sekali tidak terpengaruh dengan sikap Harris. Ketiganya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke kelas, mengingat letaknya yang tidak jauh dari koridor papan pengumuman tadi.

Mata Tamara segera menyisir ruangan dan tersenyum kegirangan tatkala menemukan Nevan yang menempati bangku paling belakang kelas yang letaknya di bagian tengah. Tambahannya, belum ada yang duduk di sebelahnya sehingga tanpa mau menunggu lama-lama, dia segera melaju menuju bangku kosong tersebut.

Sialnya, ada seseorang yang menghalanginya dengan cara meletakkan tasnya di meja sebelah Nevan. Bunyi tas yang beradu dengan meja terdengar cukup keras sehingga Nevan yang sedari tadi membaringkan kepalanya di atas meja berbantalkan lengannya, terhenyak tanpa bisa dikontrol dan menatap dengan tatapan mencela karena acara tidurnya terganggu.

Kedua mata tajam Nevan juga diarahkan ke Tamara, yang saat ini tidak balas menatapnya karena sedang fokus pada pelaku yang melempar tasnya tadi.

"Alvian Febriandy! Gue yang duluan, jadi lo harus ngalah sama gue!" titah Tamara otoriter, lengkap dengan menempelkan sepasang tangannya pada pinggangnya dengan galak. Jika saja tidak ada Alvian di sana, dia pasti sudah ketar-ketir dengan tatapan Nevan yang super ganteng itu.

Teruntuk kali ini, Tamara terpaksa mengabaikannya karena dia harus memperjuangkan bangku itu.

Alvian menaikkan alisnya dengan seringai di bibirnya. "Tapi tas gue udah menempati bangku ini duluan. Lagian, kenapa lo nggak duduk sama komplotan lo? Gue aja duduk sama komplotan gue."

"Nggak! Pokoknya gue mau duduk di sini! Lagian lo kan populer, lo bisa duduk sama cewek mana aja. Mereka pasti nggak bakal nolak duduk sama lo."

"Bener. Banyak cewek mau duduk sama gue, tapi gue kasian sama mereka nanti pada bertengkar buat berebut duduk sama gue. Jadi biar adil, gue harus duduk sama Nevan. Gue bakal pindah kecuali Nevan milih lo duduk sama dia."

Alvian jelas tahu kalau Nevan benci sama Tamara. Bisa dibilang cowok itu selalu menghindar setiap melihatnya. Jadi, wajar saja jika dia begitu percaya diri kalau dia bakal memenangkan bangku itu.

Dan persis seperti dugaan Alvian, Nevan langsung saja mengendikkan kepalanya dengan isyarat kalau Alvian yang harus duduk bersamanya, mengabaikan pelototan protes dari Tamara.

Tamara tentu merasa sakit hati sementara Alvian menatapnya dengan seringai yang lebih lebar, jelas puas karena telah menang. Cewek itu lalu menyebarkan pandangannya ke area lain, dan harus puas menempati bangku di arah jam dua dari bangku Nevan sebelah kanan.

Cukup strategis sih, setidaknya Tamara bersyukur tahun ini dia bisa sekelas dengan cowok itu.

Harris memilih duduk di depan bangku Tamara, setelah mengejeknya puas karena cewek itu tidak berhasil duduk bersama Nevan. Vica juga memberikan tatapan yang mirip meski tidak terlalu kentara, karena perasaan bahagia duduk bersama gebetannya lebih mendominasi.

Tamara mendengar dengusan keras Alvian ketika tatapan cowok itu beradu dengan salah satu murid yang baru saja tiba dan mengambil bangku di depannya.

Dia adalah Clarissa Vindy, yang sering cekcok dengan Alvian. Dia pastilah mengeluh karena harus sekelas dan duduk berdekatan dengannya lagi selama setahun ke depan.

Clarissa Vindy. Namanya feminin banget tetapi pembawaannya bertolak belakang. Dia juga sebelas dua belas dengan Tamara yang mempunyai pengaruh di sekolah karena kepintarannya.

Namun berbeda dengan Tamara yang tidak begitu aktif dalam organisasi maupun klub sekolah, baik Clarissa maupun Alvian sama-sama aktif dan begitu kompetitif dalam semua acara sekolah dan kompetisi yang diadakan. Oleh karenanya, keduanya sering kedapatan bersaing dan terlibat adu debat, termasuk yang sepele sekali pun.

Contohnya seperti sekarang ini.

"Heh! Nggak ada tempat lain, apa?" tanya Alvian galak setelah Clarissa duduk cantik di depan bangkunya.

Alvian menendang kursi tersebut dengan kaki jenjangnya hingga menimbulkan suara berisik. Mau tidak mau Clarissa membalikkan tubuhnya ke belakang untuk berhadapan dengannya.

"Kalo nggak terima, lo pindah aja."

"Enak aja! Kan gue duluan yang disini!"

"Nggak ada pahatan nama lo."

"Lo!"

"Apa? Gue punya nama."

"Al, kalo lo mau pindah bilang aja, ya. Gue siap tukar posisi sama lo," kata Tamara yang ikut nimbrung dengan senyum lebar, membuat Nevan yang mendengarnya langsung memberikan tatapan penuh celaan lagi.

Alvian menghela napas kesal sementara Clarissa mengendikkan bahunya dengan cuek. Bel masuk berdering pada akhirnya, sementara ada seorang murid lagi yang masuk ke dalam kelas dengan langkah buru-buru.

Cowok itu menyebarkan pandangannya ke sekeliling dan harus menerima kalau dia tidak punya banyak pilihan. Hanya dua bangku yang tersisa di sana; antara duduk di sebelah Tamara atau di belakang Tamara.

Pada akhirnya dia memilih duduk di belakang Tamara, yang tidak bergeming sewaktu dia lewat.

Dia adalah Vio Harvey, anak Kepala Sekolah. Hubungannya dengan Tamara menjadi agak canggung karena papanya adalah papa Tamara juga meski tidak ada pertalian darah. Lumrah saja terjadi karena Vio tentu cemburu pada fakta papanya berbagi kasih sayang dengan orang lain.

Salah seorang guru yang terkenal killer-nya masuk ke dalam kelas--Bu Naura Anindira. Banyak dari mereka yang mengeluh karena itu berarti selama setahun ke depan, guru tersebut yang akan menjadi Wali Kelas.

Tetapi bagi Tamara, dia senang akan fakta ini karena Naura adalah kakak kandung Nevan. Segala yang berhubungan dengan cowok itu, pastinya akan direspek olehnya tanpa berpikir dua kali.

"Selamat pagi, Anak-anak. Denger dari banyaknya keluhan kalian, itu berarti kalian tau kalau saya yang jadi Wali Kelas tahun ini. Tapi sebelum saya mulai, ada murid baru yang bakal bergabung di kelas kita."

Pintu kelas dibuka dari luar dan seseorang masuk. Semua mata tertuju padanya dan tidak sedikit dari mereka yang melongo hingga terpesona.

Karena murid baru itu mempunyai wajah yang sangat cantik.

"Oh my gosh. Is she an angel?" tanya Vio yang bertanya pada dirinya sendiri dari belakang Tamara.

"Selamat pagi, semua. Saya Talitha Venesya, pindahan dari SMA berbasis internasional. SMA Bernard namanya."

"Nih cewek mau pamer kali, ya." Vica menyeletuk di sebelah Harris dengan cibiran. "Jangan bilang lo tertarik sama dia?"

"Gue bukan tipikal cowok yang langsung jatuh cinta pada pandangan pertama soalnya gue belum ngenal dalamnya. Don't judge people from their covers, right?"

Pendapat Harris jelas terbalik dengan pendapat Vio yang berbisik sendiri lagi di belakang.

"No wonder I fall for you so easily. Your smiles grabbed my heart."



Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top