Chapter 8. The One That Got Away
A
khirnya, aku yang mengalah.
Kami mampir ke kedai kopi langganan Dimas dulu sebelum pulang.
Begitu memasuki sebuah kedai kopi sederhana yang biasa dipakai nongkrong anak muda, aku langsung menyesal tidak bersikap lebih tegas sebelumnya. Adam juga keterlaluan. Sudah tahu aku paling nggak bisa menolak kalau dibujuk, dia sama sekali nggak membelaku sewaktu Katya dan Ivanka merengek supaya kami nggak pulang duluan.
Baru selangkah melewati ambang pintu, sekujur tubuhku membeku.
Di antara puluhan pengunjung kedai, orang pertama yang kulihat adalah Bastian. Seolah memancarkan sinyal, tanpa kucari, aku menemukannya. Tak sampai hitungan kedua aku segera membuang tatapan ke arah lain, berharap Bastian tak melihat. Namun, sapaan pelayan kedai yang terlalu riang setiap ada pengunjung baru tiba menarik perhatian semua orang, termasuk pria itu. Tak mungkin dia tak melihatku.
"Sudah kubilang kita seharusnya pulang," bisikku saat Adam menggiringku ke meja yang lebih dulu dipilih Dimas.
"Aku ke sini cukup sering," balasnya, yang juga langsung menyadari siapa yang kutemukan tengah duduk di meja bar. "Dia nggak pernah ada di sini."
"Kalau begitu kita sedang beruntung," desisku sengit.
Paling tidak, aku bersyukur tak menanggalkan jaket saat meninggalkan parkiran motor. Entah apa yang akan terlintas di benak Bastian kalau dia melihatku berpakaian seperti salah satu remaja ini. Beberapa kali bertemu, aku masih mengenakan busana kantor yang resmi dan sopan. Gaun malam yang kupakai waktu kencan pertama dengannya pun, dipilihkan oleh Tante Lydia.
Berharap Bastian tak menyapa kami jelas mustahil. Tak lama setelah salah seorang pelayan mencatat pesanan rombongan kami, pria dewasa itu mendekat dengan santai seperti kawan lama yang sudah lama tak bertemu.
Bastian nggak ubahnya seperti Musa yang membelah laut merah. Semua orang menepi saat ia memecah kerumunan dengan kedua mata menyorot hanya padaku. Seolah semua orang dalam ruangan itu tak terlihat olehnya, dia juga yakin aku hanya melihat padanya. Senyumnya merekah lebar, gigi-gigi putihnya memaksa tampil di sela rambut wajah yang tumbuh lebat. Aku selalu merasa kecil di hadapannya.
"Halo, selamat malam semua." Bastian menyapa meja kami.
Jantungku jelas empot-empotan dibuatnya, sekaligus agak malu juga karena kupikir dia hanya akan menyapaku saja. Apa mungkin dia hanya kelebihan kepercayaan diri?
"Halo Om Bas, apa kabar?"
Ternyata, aku salah. Dimas membalas sapaannya akrab, membuatku dan Adam saling pandang dengan wajah penuh tanda tanya. Mereka bahkan berjabat tangan. Bukan hanya itu, Bastian juga menyalami kami satu per satu.
"Baik, Dim, makasih ya udah diramein terus kafenya. Salam kenal semuanya," katanya. Saat tangannya menjabatku, senyumnya berubah dari ramah menjadi hangat penuh makna. "Hai, In, apa kabar?"
Singkat cerita, aku tahu adik bungsu Bastian adalah pemilik tempat ini.
Singkat cerita juga, Bastian berhasil menggiring Dimas dan kawan-kawan pindah ke ruang hiburan yang baru akan diresmikan minggu depan oleh pemilik kedai, dan diam-diam mengajakku bicara saat mereka sibuk sendiri-sendiri, termasuk Adam.
"Aku nggak nyangka adikmu ternyata teman sekolahnya Dimas," kata Bastian.
"Kok kamu kenal Dimas? Apa kamu selalu akrab dengan semua pengunjung di sini?" tanyaku basa-basi sambil memandangi permukaan coffee latte.
"Enggak, sih," jawabnya, memandangiku yang tengah salah tingkah sambil memainkan telinga cangkir. "Kebetulan aja sama Dimas kenal. Aku juga nggak sering-sering kemari, kok. Kamu sering ke sini?"
Sembari menggeleng, aku menatapnya sebentar, kemudian kembali menekuni buih susu seolah buih-buih itu menarik sekali untuk diperhatikan. Aku berharap ada sesuatu muncul dari sana supaya kami terkejut dan melupakan apa yang sepertinya tak terhindarkan untuk dibicarakan.
Bastian menghela napas.
"Aku sibuk ngurus proyek pengembangan resort di Raja Ampat," jelas Bastian tiba-tiba. "Kamu masih kerja di perusahaan asuransi itu?"
"Masih." Aku tersenyum.
Dia juga tersenyum. "Kayak udah lama banget nggak ketemu ya aku nanyanya?"
"Iya." Entah kenapa senyumku makin lebar meski bibirku tetap tertutup.
"Kamu nggak pernah balas meneleponku," kata Bastian dengan suara rendah dan berkesan tak ingin bertele-tele.
"Aku tahu, kok, kamu sibuk di Raja Ampat," ucapku. "Tante Lydia yang ngasih tahu. Kupikir ...."
"Kamu pikir aku yang menjauh?" terkanya. "Kamu yang bilang pengin jaga jarak dulu, karena kamu bilang dulu, kupikir kamu akan balas menghubungiku kalau jaga jaraknya udah selesai. Tapi sampai aku pulang, kamu nggak menghubungiku sama sekali. Akunya ... nggak enak mau tahu-tahu nelepon, takut kamu udah sama seseorang ...."
"Kapan balik ke Raja Ampat lagi?"
Bastian mengatupkan bibir di balik lebat rambut wajahnya. "Kamu nggak pengin ngomongin itu?" tanyanya.
"Nggak," jawabku pendek.
"Mungkin aku nggak akan balik ke sana lagi." Pria yang malam ini mengenakan kemeja biru itu mendesah panjang. "Di sana memang enak. Indah ..., tapi ... sepi."
Aku mengangguk-angguk. Kedai begitu ramai, tapi meja kami terasa sunyi.
Bastian mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. "India ...," panggilnya gusar.
Aku menaikkan bola mata menanti apa yang akan dikatakannya.
"Apa aku boleh ngajak kamu jalan-jalan kapan-kapan?"
"Ke mana?"
Bastian menertawakan pertanyaanku sambil mengelus jambangnya. "Ke mana aja, ke mana yang kamu mau juga boleh," katanya geli. "Kamu ... nggak lagi ada yang ngajak jalan, kan?"
Sambil menyelipkan rambut ke balik daun telinga, aku menggeleng samar. Jujur, dibanding dengan Satrio, aku sempat berharap pada pria di depanku kini. Pria berjiwa bebas yang banyak bertualang, jarang menetap, dan punya banyak cerita seru untuk dibagi. Aku nggak paham mengapa menurut Adam dia tak cocok denganku. Usianya memang sudah nyaris pertengahan 30an, pernah bertunangan tapi tak berhasil, dan pernah hampir hilang dalam sebuah upaya pencarian korban gunung merapi meletus saat masih muda. Agak liar, kata Tante Lydia saat menggambarkannya. Menurutku enggak, dia justru sangat hati-hati dalam bicara dan berbuat.
"India ...," panggilnya lagi membuyarkan lamunanku.
"Ya?"
"Aku tahu mungkin ini bukan saat yang tepat, kita baru ketemu lagi, dan suasananya juga kayak begini. Tapi, entahlah ... aku pikir ... kalau nggak kubilang sekarang ... aku malah khawatir kamu bakal jaga jarak lagi kayak dulu."
"Soal gambar itu?"
"Aku tahu kamu nggak ingin ngomongin itu," katanya.
"Ngomong aja," kataku.
"Aku ... pengin kamu tahu itu nggak menggangguku sama sekali. Aku sudah mengatakannya padamu dulu, tapi kurasa masalahnya bukan apa itu mengangguku, atau tidak. Tanpa orang lain merasa terganggu, itu sudah mengganggumu. Benar, kan?"
"Benar."
"Masalahnya ... kalau kamu terus merasa begitu dan nggak mengizinkan orang lain meyakinkanmu bahwa itu tidak seharusnya mengganggumu lagi, kamu akan terus dipenjara perasaan terganggu itu. Aku yakin kamu nggak mau hal itu terjadi. Iya, kan?"
"Lalu?"
"Yah ... hanya itu yang ingin kukatakan sebetulnya. Terus terang, ekspresi wajahmu saat kutanyai dulu lumayan menghantuiku dengan perasaan bersalah selama ini. Aku sangat khawatir dan sempat menyesal, kenapa aku harus bertanya kalau memang hal itu nggak menggangguku. Aku minta maaf, ya, In ...."—jeda beberapa saat—"Aku tahu kamu pasti mau bilang aku nggak perlu minta maaf."
Mau tak mau, senyumku melebar lagi. "Memang kamu nggak seharusnya minta maaf, Bas, kamu benar, kok. Memang itu yang kurasakan. Aku yakin banyak orang nggak peduli dengan masa laluku, akulah yang nggak bisa mengabaikannya."
"Syukurlah ...." Bastian mengelus dadanya lega. "Bebanku berkurang banyak sekali sudah nyampein itu ke kamu. Aku juga punya masa lalu yang tak begitu baik, yang kalau orang lain tahu dan bisa menerimanya, bukan lantas aku sendiri bisa memaafkannya. Aku tahu pembicaraan ini terkesan maksa mengingat kita baru ketemu lagi, tapi ... yah ... belum tentu kamu benar-benar mau ketemu lagi sama aku."
"Gara-gara aku nggak pernah nepatin janji untuk menghubungi?"
Tanpa menutup-nutupi, Bastian mengangguk membenarkan. Kami sama-sama tertawa salah tingkah. Dan setelah hening sebentar untuk menghirup minuman masing-masing, Bastian kembali menatapku dalam-dalam. "Aku senang sekali bisa ketemu kamu lagi," tukasnya.
"Aku juga," balasku.
"Terlebih ... entah kenapa ... kamu kelihatan jauh lebih segar."
Aku tak tahu apa maksudnya, jelas wajahku sudah tak secantik saat keluar rumah tadi, tapi aku berterima kasih.
"Mungkin karena kamu sering jalan sama adikmu," ujar Bastian menyimpulkan sendiri.
Sekilas, aku malah mengingat kata-kata Adam di depan toko pakaian tadi.
Bastian menyambung, "Kamu dari mana aja jalan sama anak-anak SMA? Nggak nyangka kamu bisa hang out juga sama anak seumuran adikmu. Kirain kamu orangnya lebih suka sendirian di rumah kalau malam minggu nggak ada kegiatan, nonton Age of Adeline, atau Titanic, atau ... baca Harlequin gitu, kayak adik perempuanku."
"Biasanya juga enggak." Aku baru bisa menggelak. "Adam yang maksa, ini aja aku tadinya nggak pengin mampir ke sini. Capek banget keliling-keliling cuma lihat-lihat."
"Takdir banget berarti reuni kita kali ini, In," canda Bastian sambil tertawa renyah. "Aku baru aja landing tadi sore, naruh barang sebentar, dan entah kenapa pengin banget nyapa kawan-kawan di sini. Biasanya kalau baru pulang aku bisa tidur sampai dua harian, bangun cuma buat makan, sama mandi doang."
"Jadi ...," katanya lagi. "Kejutan yang menyenangkan, atau sebaliknya?"
Aku hanya mengernyit.
"Pertemuan nggak terduga ini maksudku," jelasnya. Senyum seperti tak bisa tanggal dari wajahnya.
"Oh ... kejutan yang ... mengejutkan," jawabku setengah bercanda, setengahnya lagi jujur setengah mati.
Sesudah melepas tawa yang ditahannya dalam senyuman sejak tadi, Bastian kembali menanyaiku dengan suara rendah yang tak pernah gagal menimbulkan kesan serius. "Kapan bisa kujemput buat jalan-jalan?"
"Bukannya kamu butuh tidur dua hari habis landing?" Aku membalik ucapannya sendiri.
"Ini malam minggu," gumamnya. "Minggu ... senin ... selasa?"
Aku menggaruk daun telingaku yang tak gatal, meringis menunjukkan bahwa itu bukan ide yang bagus.
"Akhir minggu depan kurasa terlalu lama," katanya keberatan. "Ayolah ... makan malam saja? Kamu suka seafood, kan?"
Mulutku baru membuka untuk mengatakan sesuatu saat kulihat sosok Adam berdiri di depan pintu ruang hiburan sambil mencari-cari. Seolah tahu aku tak lagi fokus padanya, Bastian memanggil namaku supaya kembali memperhatikannya.
"Selasa," katanya. "Kujemput di kantor?"
Aku menjilat bibir kemudian menggigitnya pelan, dari kejauhan Adam sepertinya sudah bisa menemukanku, "Oke," jawabku sebelum adikku yang mendekat ke meja kami sambil mengenakan kembali jaket berkendaranya tiba.
"Adam," sebutku sebelum Bastian menanggapi kesanggupanku.
Bastian menoleh mendapati Adam sudah sangat dekat dengan kami. Saat wajahnya kembali menghadapku, dia mengangkat kedua alisnya tahu sama tahu.
"Aku mau pulang," beritahu Adam.
"Kalian nggak suka tempat barunya?" Bastian menyela.
"Suka," jawab Adam pendek. "Kakak mau pulang juga, atau mau di sini dulu?"
Tanpa memastikan pun, aku tahu maksud Adam bukan begitu. Dia mau aku segera angkat kaki dari sana, atau dia akan duduk di antara kami dan memasang tampang galak sepanjang malam tanpa peduli orang lain nggak nyaman melihat mukanya. Aku segera mengemasi ponsel dan tas mungilku di atas meja, sesekali memohon maklum lewat tatapan mata pada Bastian yang menungguku berpamitan.
"Aku antar sampai depan," kata Bastian.
Adam lebih dulu meninggalkan meja.
"Nomormu masih sama dengan yang terakhir dulu, kan, In?" Bastian bertanya dan langsung kubenarkan. "Nomorku juga masih sama."
"Masih kusimpan," kataku.
"Boleh sekali-sekali kutelepon?"
"Boleh."
Kami melewati ambang pintu kedai, tapi Bastian sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan melepasku di sana. Aku sempat berhenti sebentar, tapi dia terus berjalan pelan hingga aku harus menyusulnya.
"Naik motor?" Dia menanyai Adam yang sedang mengenakan helm.
Adam hanya mengangguk, menantiku mendekat sambil mengulurkan helm kedua. Aku mempercepat langkah supaya dia tak menunggu terlalu lama dan menyahutnya. Entah mengapa seperti ada keharusan menjaga perasaannya sejak Bastian tiba-tiba muncul sebab Adam jelas tak terlalu senang melihatnya.
"Hati-hati, ya?" pesan Bastian lembut.
"Thanks." Aku naik ke boncengan Adam.
"I'll call you," imbuh Bastian. "Jangan suruh aku nunggu kamu yang nelepon duluan."
Aku tertawa malu, jawaban untuk menyilakan Bastian menghubungiku tak sempat terlontar karena Adam lebih dulu memutar motornya keluar dari parkiran tanpa aba-aba. Kami bahkan tak berpamitan pada Bastian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top