Chapter 5. Daffodil

Tante Lydia akhirnya menyerah.

Beliau menelepon sekali lagi dengan latar belakang suara Om Iwan mendikte. Aku nggak tahu apa yang mereka bicarakan sebelumnya, tapi tiap kali Tante Lydia melenceng dan masih mengisyaratkan ketertarikannya menjodoh-jodohkanku, kudengar sayup-sayup Om Iwan berdeham.

Sejak awal, Om Iwan memang paling nggak suka ikut campur, tapi beliau sangat peduli pada Adam, jauh lebih peduli daripada keluarga mama yang lain. Aku bisa memahami mengapa saudara mama hanya memperhatikanku dan terkesan lebih ingin Adam buru-buru bisa ngurus diri sendiri, sehingga perhatian Om Iwan sangat berarti bagi kami.

Setiap ada acara dengan keluarga besar, aku sering tak tahan tinggal terlalu lama karena Adam selalu dikucilkan. Anak-anak Tante Lydia yang paling dekat dengan kami semuanya perempuan, Adam nggak punya kawan bicara tiap kumpul-kumpul. Aku melihat kesan mereka ingin membuat Adam tak nyaman, dan tak bisa kubilang itu sama sekali nggak berhasil. Pulang dari setiap acara keluarga, anak itu pasti murung. Sesekali kubiarkan dia tak ikut, tapi di mata mereka malah kesannya dia tak tahu terima kasih.

Siang menjelang sore itu, setelah seharian menghabiskan waktu membantuku mengurus tanaman dan ikan hias di kolam, Adam duduk-duduk di depan televisi. Tampangnya bosan sekali.

"Kamu nggak ke mana-mana malam minggu gini?" tanyaku sambil membenarkan handuk yang kupakai membungkus rambut basah sehabis keramas.

Dia menggeleng suntuk.

Aku duduk di sisinya. "Makanya kamu nggak mandi?"

Dia melirikku bosan, "Nanti," katanya malas. "Nunggu keringat kering."

Omong-omong, aku tak pernah mendengarnya membicarakan perempuan, apa lagi pergi berkencan. Mungkin aku nggak tahu aja, tapi lebih sering dia hanya pergi dengan sahabat-sahabat prianya. Kadang mereka ke sini buat main game, bikin rumah gaduh dan acak-acakan, atau keluar main basket, jalan ke mall ... hmmm ... mungkin dia punya teman kencan, tapi aku nggak tahu.

"Temen-temenmu nggak pada ke sini?"

Kaget mendengarku menyebut teman-temannya, Adam mendramatisir dengan menggerakkan kepala pelan-pelan sekali ke arahku. "Kenapa tahu-tahu peduli banget sama temen-temenku?" tanyanya curiga, lengkap dengan mata memincing.

"Nggak boleh?"

"Biasanya kalau pada ke sini juga bikin kesel karena berisik, kalau aku ikutan keluar diingetin melulu jangan pulang malem. Kadang malesnya kalau nggak berantem, tuh, kakak nanyanya suka kebanyakan," keluhnya panjang lebar sambil sengaja mencet-mencet remote control televisi.

"Ya ampun ... timbang ditanyain gitu aja. Ya udah—"

"Mau ke mana?"

Aku nggak jadi beranjak. "Katanya nggak mau ditanya-tanyain?"

"Memangnya ngobrol yang lain nggak bisa kalau nggak pake nanya-nanya?"

Sambil pura-pura mendengus, aku duduk lagi sambil memijat-mijat rambut dengan handuk. "Maksudku kalau kamu mau senang-senang sedikit, sekarang lah saatnya. Sebelum nanti sibuk nyiapin ujian masuk perguruan tinggi."

"Males," katanya pendek.

Hampir aja aku nanya kenapa, tapi urung gara-gara sebelumnya sudah diprotes. Tapi, karena Adam malah tertawa tahu aku menahan diri, aku mencubit lengannya sambil nekat bertanya, "Kenapa kok males?"

"Habis temenku udah pada punya pacar," jawabnya, mengusap bekas cubitanku dengan agak berlebihan. "Sebagian pada jadian habis kelulusan kemarin, ada yang nembak, ada yang ditembak. Mereka keluar bareng malam ini."

"Terus ... kamu nggak diajak?"

"Ya diajak, tapi ngapain, kan nggak asyik yang lain berduaan."

"Masa iya sih jadian bisa bareng-bareng gitu, aneh," tukasku heran.

"Memang biasa gitu, kok, kalau habis kenaikan kelas, atau lulus-lulusan, pasti ada aja yang jadian," jelas Adam enteng.

Aku makin penasaran. Kalau emang benar apa yang dia bilang, kok dia enggak? Maksudku ... dia jelas tipe boyfriend material khas anak-anak zaman sekarang. Masa nggak ada yang mau jadi pacarnya? "Kamu nggak ada yang nembak memangnya?"

Adam menyandarkan punggung di sofa. "Nggak ada."

"Nggak nembak siapa-siapa juga?"

"Nggak."

"Kamu galak kali, Dam, cewek-cewek nggak berani dekat-dekat sama kamu. Mungkin ada yang naksir, tapi kamunya nggak peka."

Dia malah nguap aku bilang begitu.

"Hmmm ... kalau gitu ... gimana kalau kita makan di luar? Sekalian belum belanja bulanan, kan?"

"Malam minggu belanja bulanan?"

"Memangnya kenapa?"

"Nggak ah, penuh ntar kasirnya, Kak. Males." Lalu dia diam sebentar. "Tapi kalau makan di luar aku mau, gimana kalau kita gabung temen-temenku aja? Kayaknya mereka mau nonton John Wick. Filmnya Keanu yang baru."

"Nggak doyan film action."

Adam mendecap kecewa. "Ayo, deh, aku mau kalau makan, terus nonton. Lagian pasti seru kalau temen-temenku lihat kita jalan, terutama Dimas."

"Dimas yang mana?"

"Yang itulah pokoknya," kibasnya, seraya kemudian melompat dengan bersemangat sambil mengamit tanganku dan menarikku berdiri. "Ayo, please. Nggak akan kerasa ngenes banget kalau aku ikut mereka jalan sama kakak, pacar-pacar mereka bakal nggak keliatan menarik sama sekali. Mereka kan kalau ke sini cuma mau lihat kakak pake baju rumahan. Berani taruhan, mereka bakal berhenti ngejek-ngejek karena aku masih belum pacaran sampe sekarang."

"Apa serunya sih jalan di depan temen-temen sama kakak sendiri," kataku sambil tertawa. Meski begitu, kurasa nggak ada ruginya juga sekali-sekali jalan sama Adam. Udah lama kami nggak meluangkan waktu berdua dan bersantai.

"Mereka kan tahu Kak Indi bukan kakakku," katanya.

Tawaku langsung berhenti. "Maksudnya?"

"Ya mereka tahu kita nggak ada hubungan apa-apa. Mereka selalu bilang, pantesan aku nggak pernah mau punya pacar karena di rumah udah ada pemandangan bagus setiap hari. Dimas yakin aku nggak akan bisa ngajak kakak jalan selain buat belanja bulanan, kupikir ide yang seru aja kalau kita muncul di depan mereka nonton film yang sama—"

Tanpa sengaja, aku menahan pergelangan tanganku yang masih ada dalam genggamannya. "Mereka tahu aku bukan kakakmu?"

Adam mengangguk tanpa dosa. "Semua teman dekatku tahu."

"Kamu yang ngasih tahu?"

"Nggak usah kukasih tahu juga semua orang tahu aku anak tunggal dan yatim piatu, kan? Tapi memang teman-temanku udah tahu kenapa aku bisa tinggal sama kakak, memangnya kenapa? Nggak apa-apa, kan?"

"Iya, tapi—"

"Come on ...," bujuknya. "Sekali ini aja. Please?"

Aku menjatuhkan bahu, menyerah. "Oke ... tapi kamu kan udah dikasih tahu sebaiknya nggak cerita-cerita soal hubungan kita yang sebenarnya. Kamu bisa bilang aku sepupumu, atau tantemu, orang bisa mikir macam-macam kalau tahu—"

"Yang mikir macam-macam itu cuma keluarga besar kita, yang lain nggak ada yang reseh kayak mereka," katanya seenaknya. "Apa lagi temen-temenku. Let's go, kalau keburu gelap, nanti macet. Bisa siap satu jam lagi, kan? Aku mandi dulu, oke?"

Nggak pakai nunggu jawabanku lagi, Adam melesat naik masuk ke kamarnya sendiri. Mungkin aku aja yang terlalu khawatir, mungkin Adam benar, semua orang juga sudah tahu. Mau bagaimana lagi? Tetangga kami juga semuanya tahu, hanya karena kami tinggal di kota saja mereka nggak terlalu mengurusi urusan rumah tangga orang lain. Dulu memang sempat kudengar mereka kasak-kusuk bertanya-tanya apa orang tua kami sudah sempat menikah atau belum. Atas saran Tante Lydia, aku diminta mendiamkan saja rumor beredar. Kalau mereka ambil kesimpulan orang tua kami sudah sempat menikah, itu lebih baik buat ke depannya.

Satu jam kemudian, Adam mengetuk pintu kamarku.

Kalimat pertama yang diucapkannya saat melihatku sudah siap pergi adalah, "Kita jadi pergi makan di luar, kan?"

Aku nggak paham apa maksudnya. Aku sudah full make up meski dengan tampilan natural, rambutku sudah rapi ku-blow dry, kujalin manis, tidak kugerai seperti biasa karena kami pasti akan mengendarai motor Adam. Aku menilik diriku sendiri di depan cermin, blus dan celana katunku juga tampak menawan meski bergaya klasik.

"Jadi lah, aku udah siap," kataku sambil menyahut tas tangan yang biasa kupakai ngantor.

"Tunggu," tahan Adam. "Ngapain bawa tas segede gitu buat makan dan nonton, coba? Apa aja isinya sampai gede banget gitu?"

Sebelum kujawab, Adam duluan menjambret tasku dan menaruhnya di atas tempat tidur. Tanpa izin, dia mulai membuka dan menggeledahnya. "Serius, nih?" pekiknya saat melihat bagian dalam tas itu. "Siapa yang butuh alat make up sebanyak ini buat jalan ke mall?"

Aku mencoba mengambil kembali tasku, tapi Adam menjauhkannya. "Itu kan memang barang yang kubawa-bawa sehari-hari!"

"Pantesan tanganmu gede sebelah!" ceplosnya. "Kita nggak perlu touch up apa-apa selama di mall, Ini ditinggal aja."

"Hey!" seruku tersinggung. "Aku yang nentuin butuh nggak-nya retouch make up!"

"Kak ... kita bakal berada di ruang ber-AC, malam pula, paling kakak cuma butuh kertas yang biasa ceweknya Dimas pake kalau idungnya berminyak! Oke lah ... bedak sama lipstik!"

Meski menggerutu, aku pasrah saja Adam mengambil bedak dan lipstik dari tas make up-ku. Selanjutnya, dia mengeluarkan ipad, buku catatan—menyisihkan sisir dan dompet bersama bedak dan lipstik yang artinya boleh kubawa—tempat pensil, power bank, charger, payung—

"Payung perlu!" kataku.

"Nggak akan hujan malam ini," tegas Adam.

"Oke, sudah puas?" tanyaku kesal, kurebut tasku dan kumasukkan barang-barang yang disisihkannya. "Apa sih pedulimu tas apa yang kubawa?"

"Kita mau ketemu temen-temenku," kata Adam sambil celingukan, lalu mendekat ke tempat penyimpanan tas di sudut ruangan. Sesudah menemukan waist bag dari bahan kulit berwarna hitam, dia menyodorkannya padaku. "Aku nggak mau dikira jalan sama tante-tante, Kak. Nah. Pake ini."

"Adam ... itu nggak cocok sama bajuku!"

"Justru itu," gumamnya sambil melewatiku begitu saja dan membuka lemari pakaian, memilah-milah deretan gaun yang digantung di dalamnya. "Hmmm ... mana itu jumpsuit motif daffodil yang dikasih sama Bude Laudia oleh-olehnya dari Singapura waktu kita arisan keluarga bulan lalu?"

Aku mengernyit. "Aku nggak mau pakai itu!"

"Kenapa?"

"Memangnya kenapa dengan pakaianku sekarang?"

"Pakaianmu sekarang hanya cocok dipakai ke kantor pada hari Senin," cemoohnya tanpa perasaan. "Masa iya sih mau nonton pakai blus sama celana katun?"

Aku menggeram. "Pokoknya aku nggak mau pakai itu. Terlalu terbuka!"

"Apanya yang terbuka? Dia panjang sampai mata kaki!" kata Adam sama ngototnya. "Itu kelihatan bagus sekali waktu kakak coba, come on ... aku mau kakak pakai itu di depan temen-temenku."

"Bahuku kelihatan, Dam ...."

Adam mendesah panjang dan putus harapan. "But it looks good, Kak. Semua orang nggak akan keberatan ngelihat bahumu. Aku juga enggak keberatan sama sekali. Memangnya kenapa?"

Mulutku langsung menganga, pipiku terasa panas. Adam mengucapkannya tanpa beban dengan wajah memohon. Ya ampun ... mengenakan busana seperti itu jalan dengan seorang pemuda berusia sepuluh tahun di bawahku, apa nggak memalukan kalau dilihat orang? Mana aku udah lama nggak jalan sama siapa-siapa tiap malam minggu, rasanya aneh tiba-tiba berdandan kasual seperti anak muda meski nggak akan ada juga yang tahu kapan terakhir kali aku pergi berkencan.

Akhirnya, lagi-lagi aku menurut.

Di balik jumpsuit berwarna daffodil bertali bahu tipis itu, aku mengenakan tank top putih supaya lebih nyaman. Rambutku tetap kujalin dan kujatuhkan di bahu seperti semula. Sebelum menemui Adam yang menanti di luar kamar, aku memulas tipis kelopak mataku dengan eye shadow senada warna bajuku.

Adam tersenyum lebar dan tampak puas saat aku muncul di depannya dengan wajah keruh.

"Gimana? Aku nggak salah, kan, milihin baju?" tanyanya.

Aku berdecih nggak mau ngaku.

Dia mengulurkan tangan ke arahku. "You look amazing, Kak, begini ini kalau mau jalan sama anak yang baru lulus SMA."

Kutepis tangannya. "Ini pemaksaan," kataku. "Aku kelihatan konyol, Dam!"

"Sama sekali enggak!" bantah Adam. "Bukan cuma aku yang ngerasa kakak memang cocok banget sama oleh-oleh Bude Tiwi itu, semua orang bilang bagus waktu kakak coba. Aku aja heran kok nggak pernah dipake."

"Memangnya mau dipake ke mana, coba?"

"Ya udah, kapan lagi, kan?" Adam kembali menawarkan tangannya untuk kusambut. "Warna eye shadow-nya juga bagus gitu."

"Nggak usah ngeledek terus." Aku berjalan mendahului, tapi Adam bergeming di tempatnya semula. "Jadi pergi nggak, nih?"

"Jadi, tapi ini tangannya belum digandeng," katanya santai.

"Nggak usah gandeng-gandengan segala!"

Adam memaksa. Dia menggamit tanganku kuat, tapi menariknya lembut sampai aku selangkah mundur sejajar dengannya.

"Ini kan kencan, meski pura-pura," bisiknya. "Jadi tangannya harus digandeng. Memangnya nggak diajarin sama Satrio?"

"Adam!!!"

Adam tertawa renyah, tapi jantungku diam-diam berdebar kencang .... Tangannya besar dan kuat, dia benar-benar sudah dewasa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top