Chapter 4. The Look in His Eyes
"Padahal Tante udah bicara banyak sama Satrio." Suara Tante Lydia masih parau habis bangun tidur. "Katanya kamu minta diturunin di jalan?"
Aku tak berani menjawab.
"In ... kamu itu udah kayak anak Tante sendiri, kita kan udah bahas ini berkali-kali. Udah, kesalahan itu biarlah berlalu. Tante udah minta tolong juga biar Satrio nggak cerita-cerita ke keluarganya tentang itu, dan dia bilang mereka juga nggak perlu tahu. Apa lagi sih masalahnya sekarang, kalau Tante boleh tahu? Katanya kamu bakal izinin Tante nyariin calon yang pas buat kamu ...."
Kupindah ponselku ke telinga satunya.
"Apa Satrio nggak pas juga?" terkanya. "Mungkin dia nggak cakep-cakep amat, tapi manis, kan? Mana mungkin sih Tante milihin calon suami yang kebangetan buat keponakan yang cantik kayak kamu? Nyari cowok sempurna sekarang juga susah, In, dari dulu juga sebenarnya nggak ada. Kalau ganteng banget, mapan kayak Satrio, pasti udah punya istri. Dia juga bukannya nggak bisa nyari, cuma kelewat sibuk kerja aja."
"Bukan itu masalahnya, kok, Tan ...."
Aku mendesah. Sambil memikirkan penjelasan yang akan diterima Tante Lydia, aku membuka tirai jendela dan membiarkan sinar mentari masuk menerangi kamar tidurku. Sayangnya, kayaknya nggak ada penjelasan yang pas buat pertanyaan yang satu ini. Tetap aja kesannya aku yang jual mahal, udah dicariin calon yang bagus, masih nggak terima.
"Terus apa?" Tante Lydia terus mendesak. "Tante tuh nggak tega kamu ngelajang terus begini, saudara yang lain nanyain mulu, takut kesannya kami nggak merhatiin kamu. Dikira kamu kerja terus, ngidupin anak orang lain, sampai lupa ngurus dirimu sendiri."
"Indi juga bingung mau alasan apa," kataku terus terang. "Indi yang salah dulu udah ngeiain waktu Tante bilang mau nyariin calon suami, padahal Indi-nya belum siap."
"Belum siap kenapa?" Tante Lydia mulai gemas. "Semua wanita pasti belum siap menikah kalau belum ketemu jodohnya, takut ini itu, itu ini, padahal kalau dijalanin ... nggak ada yang menakutkan sama sekali. Usiamu terus bertambah, takutnya karena kamu udah bisa apa-apa sendiri, kamu lupa bahwa kamu juga butuh pendamping. Nyari sendiri nggak mau, dicariin juga nggak cocok terus, Tante mesti gimana?"
Sebenarnya, Tante Lydia sih nggak perlu gimana-gimana. Akunya aja nggak bingung, kenapa dia mesti pusing sendiri? Masalahnya ada di standar keberhasilannya sebagai orang tua. Buat Tante Lydia, melepas anak-anaknya ke jenjang pernikahan menaikkan level sosialnya sebagai seorang ibu, selanjutnya tentu saja memastikan rumah tangga anak-anaknya sempurna, bahagia, dan mapan. Kalau mama masih hidup, mungkin nggak akan jauh berbeda. Tapi, kalau dengan mama sendiri, aku yakin akan lebih mudah menjelaskan.
"Eh, sebentar, In, jangan ditutup dulu," ujar Tante Lydia sebelum aku sempat menanggapi, lantas beliau bicara dengan orang lain tapi tak bisa kudengar jelas. Sementara itu, pintu kamarku diketuk tiga kali dan terdengar pintu membuka pelan.
Wajah Adam yang bersimbah keringat sehabis lari pagi muncul dari balik pintu. Aku menutup bibirku dengan jari telunjuk supaya dia nggak keburu buka suara. Dia mengangguk saat aku memberi isyarat sedang bicara dengan seseorang lewat ponsel. Sebagai gantinya, Adam menggerakkan kedua tangannya ke mulut, mengajakku sarapan.
Aku mengacungkan ibu jariku kearahnya.
"Tante Lydia?" tanyanya tanpa suara.
Tawaku menyembur tertahan melihat Adam membuat wajah ketakutan setelah aku membenarkan tebakannya. Sebelum menghilang kembali, ia mengibaskan tangan seperti bilang nggak usah terlalu dipikirkan.
Senyumku tak mau pergi walau pintu sudah menutup lagi. Tubuhku terasa ringan seolah sebagian besar beban hidup sudah berhasil kuletakkan. Aku sudah berjanji akan memperlakukan Adam sesuai usianya, berdiskusi dengannya, mengungkapkan alasan keberatanku jika ia berbuat sesuatu, dan tidak hanya melarang tanpa sebab. Dia juga meyakinkanku supaya mau membicarakan apa pun yang berkaitan dengan hidup kami berdua, termasuk desakan Tante Lydia, masalah keuangan jika ada, dan lain sebagainya. Dia ingin membantu semampunya. Dia ingin membalas kebaikanku selama ini.
Semalam, hubungan kami seperti menjajaki level baru. Bayangan Adam kecil yang selalu merajai benakku tiap memikirkannya perlahan memudar, berganti sosok pria beranjak dewasa yang sepertinya juga baru pertama kali membuka topeng yang selama ini kukekanakan di hadapannya. Dia melihatku menangisi diriku sendiri, menyaksikan kerapuhanku sebagai wanita, selama ini dia menganggapku selalu mampu menghadapi segalanya dan tak membutuhkan siapa pun. Mungkin aku memang bisa, tapi bukan berarti aku tak butuh dukungan.
Untuk pertama kalinya, aku tahu benar siapa yang berada di pihakku.
Aku tak mau mengecilkan jasa Tante Lydia, atau menganggapnya tidak berada di pihakku dalam artian yang buruk. Namun, tak bisa kupungkiri, selama ini aku selalu merasa dituntut. Aku harus selalu tampil kuat dan mampu menyelesaikan apa saja. Sebab kalau tidak, Tante Lydia dan anggota keluarga mama yang lain akan langsung menyasar Adam sebagai sumber kelemahanku.
Adam bagiku seperti dititipkan mama langsung untuk kujaga.
Dia seperti jimat yang diselipkan mama di tanganku sebelum meninggalkanku untuk selamanya, seperti perantara untuk menebus kesalahanku bertahun-tahun menentang kebahagiaan mama dan calon suami barunya. Kalau dulu aku langsung setuju, paling tidak mama sudah sempat bahagia sebelum ajal menjemput.
Sejengkal lagi saja, Adam akan jadi adikku dari pernikahan kedua orang tua kami. Sejengkal yang gagal itu kupertahankan hingga kini, meski aku tahu di belakangku banyak yang tak setuju, tak sedikit yang khawatir, bahkan mencibir.
Diam-diam, aku memutuskan sambungan telepon.
Kuletakkan benda itu di atas meja, dan kutinggalkan ke kamar mandi. Sengaja kulupakan begitu saja untuk turun ke dapur menemui Adam yang tengah sibuk di depan alat-alat memasak.
Dia menoleh ke arah kemunculanku. "Dadar apa ceplok?"
"Setengah matang, ya?" pesanku, lalu meracik kopi.
Aku nggak berusaha mengambil alih dapur karena Adam lebih terbiasa menggunakannya. Selama ini dia membuat sarapan sendiri, memanaskan makanan katering untuk makan siang yang dikirim oleh Tante Lydia juga sendiri karena aku hampir tak pernah ada di rumah kecuali akhir pekan. Makan malam tersedia di dapur sebelum Mbak Karmi meninggalkan rumah setiap harinya.
"Kirain bakal lama ngobrol sama Tante Lydia, ngomel apa lagi? Soal cowok kemarin itu?" tanyanya sesudah aku menawari membuatkannya segelas kopi.
"Namanya Satrio," kataku.
"Buat apa mesti nyebut namanya? Memangnya ada berapa cowok sekaligus yang disodorkan Tante Lydia dalam satu waktu," cibirnya sambil meniriskan telur. "Satu itu aja, kan? Jelek juga, nggak cocok sama kamu."
"Kamu, kamu," gerutuku protes.
"Kalau gue elo, nanti aku dikatain kurang ajar," dengusnya, memecah telur kedua ke dalam minyak panas. Sementara menunggu matang, dengan cekatan ia mengupas roti tawar dan memasukkan ke dalam toaster.
"Kakak, gitu, biar enak didengar," ralatku.
Adam membisu, malah menatap telur di wajan yang meletup kecil.
"Kenapa?" Aku menyenggol bahunya yang masih lengket oleh keringat. "Mau bilang 'kamu kan bukan kakakku' lagi?"
Kulihat sudut bibirnya membentuk senyum miring dari samping. Dia menoleh seraya menyahut spatula, "Memang bukan, kan?" katanya. "Sebentar lagi kalau aku kuliah di luar kota, kerja sendiri, menghidupi diri sendiri, lalu kakak berkeluarga dengan laki-laki pilihan Tante Lydia, pasti akan janggal kalau aku manggil kakak."
"Kok gitu? Panggilan kakak itu selalu akan pas, toh aku lebih tua darimu sepuluh tahun. Memangnya panggilan apa lagi yang cocok? Sejak kecil kamu manggil aku kakak."
"Bisa apa aja," katanya tak acuh. "Sepuluh tahun lebih tua itu pantasnya dipanggil 'tante', atau bisa 'Bu', atau apa kalau mau enak didengar—aduh!"
"Kurang ajar," kataku pura-pura, tapi jotosanku di lengannya sungguh-sungguh. "Nggak usah gitu, ah, aku maunya kita balik kayak sebelum perang dingin gara-gara foto itu. Meski sejak SMA kamu jadi susah nurut, tapi kamu tetap mau manggil aku kakak."
Adam mengangkat gorengan telur dan meletakkannya di atas pinggan. "Foto itu ...," ucapnya. "Sudah kuhapus."
Napasku tertahan sejenak, lalu kulepas tanpa suara. "Thank you."
"Jadi aku nggak akan ngirim apa-apa lagi ke cowok yang disodorkan Tante Lydia," imbuhnya dalam gumaman.
Saat Adam mengatakannya kemudian menjauh untuk mengambil roti tawar di toaster, aku sedang menuang kopi ke dalam cangkir. Entah ucapannya, atau uap panas yang mendadak menyapa wajahku yang membuatku terhenyak, tapi aku hampir saja mengenai tanganku dengan air mendidih. Masih ada yang kosong di antara kami, ternyata. Ada yang lain dengan cara Adam bicara, tapi aku tak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan kelainan itu supaya bisa kutanyakan padanya. Padahal, semalam kami sudah berjanji akan saling terbuka, tapi sepertinya kesenjangan itu telanjur ada, dan tak bisa lenyap begitu saja.
Lamunanku terpaksa buyar saat makanan sudah siap.
"Kata Tante Lydia gimana? Bakal ada cowok baru, atau masih disuruh deket sama Satrio lagi?" Rupanya Adam masih belum bisa mengalihkan topik pembicaraan.
"Nilai-nilaimu gimana, Dam? Kamu akhirnya mau daftar kuliah di mana selepas SMA nanti?" Aku balik bertanya dengan sengaja. "Aku lebih berhak tahu soal kamu dari pada sebaliknya, jadi nggak usah nanya-nanya gituan lagi."
Mulutnya yang penuh kunyahan makanan mendecap. "Kayaknya aku mau nganggur dulu setahun."
Aku nggak jadi menggigit rotiku.
Tapi Adam malah menyengir. "Tenang ... aku mau kerja dulu, ngumpulin uang dulu, baru kuliah. Kerjanya nggak di sini, jadi bilang ke Tante Lydia supaya nggak khawatir."
"Kamu jangan macam-macam, ya, Dam. Mau kerja apa? Kamu boleh kuliah sambil kerja, dulu kakak juga begitu. Tapi sampai kamu bisa biayain sendiri, aku yang akan biayain kamu. Bisa nggak sih kamu nggak bikin aku senewen sebentar aja?"
"Kuliah di luar kota butuh biaya banyak," katanya.
"Makanya kubilang kalau kamu mau sambil kerja, nggak apa-apa. Buat uang saku, buat sehari-hari, sisanya biar aku. Kamu masih punya tabungan dari uang papamu, masih ada kiriman dari saudaramu di Palu, aku juga udah nabung—"
"Tabungan papa apa?" sambarnya, tapi masih terdengar tenang, tidak berapi-api seperti biasa dia ngajak aku berdebat. "Terus buat makan dan hidupku selama ini pakai uang apa? Yang ada aku masih ngutang sama kakak, sama Tante Lydia ... memangnya aku nggak tahu saudara papa di Palu terakhir kirim uang kapan?"
"Sejak aku dan keluarga mamaku setuju ngajak kamu tinggal di sini, utang budi itu bukan perkara itung-itungan duit!" tandasku tajam. "Kamu boleh balas budi, nanti, bukan sekarang, apa lagi nyebut-nyebut kamu masih ngutang segala. Asal kamu tahu, Tante Lydia dan Om Iwan nggak pernah ngungkit-ngungkit soal biaya ngebesarin kamu, apa lagi aku. Kamu memang sengaja mau bikin aku tersinggung pagi-pagi setelah semalam kita bicara dan sepakat saling menghadapi seperti orang dewasa, atau bagaimana?"
Malah aku yang berapi-api jadinya.
"Pokoknya kamu kuliah!" putusku. "Titik."
Adam menunduk.
"Kalau nggak di luar kota karena kamu khawatir biayanya banyak, ya kuliah di sini. Kalau Tante Lydia nggak setuju kita tinggal serumah karena kita udah sama-sama dewasa, kita jual rumah ini dan beli dua yang kecil-kecil," tambahku enteng.
Sambil meredakan napasku yang tersengal, kuperhatikan Adam baik-baik. Hampir saja aku naik pitam gara-gara menyadari pipinya menggembung bukan karena makanan, tapi gara-gara menahan tawa. Sebelum aku meletus, Adam menahanku dengan meminta maaf.
"Kamu lagi nguji kesabaranku?" tanyaku kesal.
"Maaf, aku sebenarnya serius," katanya setelah kikik tawanya reda. "Tapi kakak lucu banget waktu bilang jual rumah ini lalu beli dua yang kecil-kecil, kayak lagi mainan lego aja, atau main The Sims."
"Aku serius," kataku.
"Iya, aku tahu."
"Rumah ini memang bisa buat beli dua rumah yang jauh lebih kecil, supaya semua orang tenang." Aku mengambil napas. "Kalau mereka nggak bisa percaya kita berdua tinggal serumah, kita yang mengalah. Aku nggak masalah, tapi kamu harus kuliah, kamu harus punya kehidupan yang sama kayak anak-anak lain yang masih punya orang tua, Dam ... kamu itu ... dititipin ke aku sama papamu ... kamu tanggung jawabku. Sama kayak Tante Lydia ke aku, aku paham sama kekhawatirannya, sebab aku juga ngerasain hal yang sama ke kamu, Dam ...."
Adam menatapku nanap saat aku mengakhiri kalimatku dengan suara bergetar.
Detik berikutnya, ia membersihkan tangan dengan napkis dan meneguk ludah sebelum mengucap kata maaf entah ke berapa kalinya pagi ini.
Aku sendiri berusaha keras menahan air mata jatuh membasahi pipi dengan mengutak-atik lembar roti tawar di atas piringku. "Kamu bikin selera makan orang ilang," dengusku. "Minta maaf sekali lagi, aku guyur kamu pake air kopi!"
Tawa Adam meledak.
Dia beranjak dari duduknya di seberangku dan berpindah ke sisiku.
"Kamu nurut aku, ya?" pintaku saat memiringkan tubuh supaya bisa saling tatap dengannya.
Bibir Adam mengatup, kepalanya mengangguk.
"Jangan bikin aku pusing ...," rengekku.
Adam pun tersenyum. Aku agak mengernyit merasakan bola matanya yang semula tepat menatap inti mataku perlahan bergerak memindai wajahku dari satu titik ke titik. Jantungku sempat berhenti berdegup, kenapa dia memandangku seperti itu? Sejak kapan dia menatapku dengan cara seperti ini? Aku membuang muka, mendorong dadanya menjauh sebelum kepalaku melahirkan dugaan-dugaan mengerikan yang tak semestinya.
"Sana lanjutin makanmu," suruhku.
Adam mengerjap saat dengan cepat aku menghadap kembali ke depan dan menjejalkan sepotong roti ke mulut dalam satu hitungan. Ia masih saja tertegun sampai beberapa detik kemudian saat aku meliriknya.
"Adam!" seruku, supaya dia berhenti melamun.
Kutarik piring Adam di seberangku tepat ke hadapannya. Dia baru menyentuh rotinya lagi saat kutepuk bahunya dan kutunjuk piring sarapannya.
Apa yang dipikirkannya?
Apa dia juga merasa caranya menatapku barusan memang lain dari biasanya? Apa dia juga bertanya-tanya sejak kapan dia menatapku dengan cara seperti itu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top