Chapter 3. Pelukan
Adam tak bertanya apa-apa.
Kadang aku ingin sekali mengetahui kemana anak kecil yang dulu begitu menyayangiku, aktif bertanya tentang apa saja kepadaku, peka terhadap perubahan emosiku itu pergi. Akhir-akhir ini aku begitu kesepian, sampai beberapa saat lalu rasanya masalah apa pun yang menimpaku terasa ringan hanya dengan mendengar celotehnya.
Begitu menemukanku, pemuda itu menepi, dan menyodorkan helm. Sambil menungguku naik ke boncengan motornya, dia diam seribu bahasa. Baru saat jalanan menyepi menuju rumah kami, dan dia mempercepat laju motornya, tangannya menarik salah satu tanganku yang memegangi pinggulnya supaya melingkar erat di pinggangnya.
Seolah dalam bisu, dia ingin supaya aku bisa bersandar padanya.
Setibanya di depan rumah, aku turun lebih dulu untuk membuka pagar dan menutupnya kembali setelah motor Adam melewati halaman. Kami masih tak saling bicara, tapi dari caranya memandang, sepertinya dia cukup paham aku sedang tak mau ditanyai.
"Helm," ucapnya sesudah aku mengucap terima kasih.
Langkahku tertahan, sebenarnya aku sengaja ingin membukanya di kamar supaya Adam nggak lihat air mataku.
"Mau kusimpan di garasi sama motornya, Kak," katanya lagi.
Mendengarnya bersikap baik dan memanggil dengan sebutan kakak, aku luluh juga. Kuhapus bekas air mata dari wajahku sepintas sambil melepas pelindung kepala. "Nih." Kuserahkan helm itu padanya. "Gitu, dong, yang sopan."
"Kenapa nangis?" tanyanya.
"Nggak apa-apa," jawabku.
"Nggak apa-apa kok nangis?"
"Udah ah nggak usah dibahas, nanti aku cerita sambil makan malam."
Aku mendahuluinya membuka pintu dan masuk. Adam mengekor sampai depan kamarku, dan belum puas. "Apa gara-gara aku?"
Tanganku yang sudah siap mengungkit handle pintu urung. Napas yang sempat tertahan saat dia mencecar kulepas perlahan. Aku berbalik menghadapi wajah cemasnya. "Lain kali ... kalau kamu nggak suka sama siapa pun yang dekat denganku, kamu bilang aja, Dam."
"Gara-gara gambar itu?" terkanya lagi, masih belum paham. "Apa orang itu macam-macam sama gambarmu?"
Aku menggeleng.
"Lalu?"
"Adam ... kamu masih ingat keadaan kita sebelum aku kerja seperti sekarang?" tanyaku pelan-pelan.
Alisnya mengerut, dan dengan polosnya, dia menggeleng. Saat itu, aku baru menyadari betapa perbedaan usia kami berperan sangat penting dalam menyikapi selembar foto. Aku tak pernah memberitahu perasaanku tentang foto tersebut, dan Adam masih terlampau kecil buat menyadari apa yang terjadi kala itu.
"Adam ...," sebutku selembut mungkin. "Kamu benar mau tahu apa yang terjadi? Udah siap bicara baik-baik sama aku tanpa harus marah-marah dan ngerasa dituduh, atau selalu disalahkan?"
Wajahnya seketika cemberut, hidungnya mendengkus, dan bola matanya bergerak kasar ke arah berlainan dengan tatapanku. Apa dia juga bertanya-tanya kenapa kami berdua tidak bisa bicara baik-baik sekarang? Apa mungkin aku yang kurang sabar belakangan ini sehingga apa pun yang dia lakukan tampak salah di mataku?
Aku juga diam-diam mengembuskan napas, apa aku sudah terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya supaya dia kembali menjadi anak yang manis, dan lupa bertanya apa yang dipikirkannya? Saat masih remaja aku pun pernah merasa selalu dituntut, dipojokkan jika melakukan kesalahan, dikritik, dibandingkan dengan diriku saat masih anak-anak dan hanya tahu menurut. Ketika aku mulai bisa berpikir sendiri, menggunakan logikaku sendiri, aku terus membantah dan menggugat setiap kali apa yang kulakukan tak sesuai dengan harapan kedua orangtuaku.
Kurasa aku tak bisa lagi memintanya melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu hanya dengan perintah dan larangan.
"Oke ... aku akan bilang kenapa aku menangis," kataku akhirnya.
Kepalanya kembali mendongak.
"Asal—"
Adam langsung menggeram sebelum kalimatku terselesaikan. "Kenapa selalu ada asal-nya? Selalu ada syaratnya?"
"Dengerin dulu!" tahanku sambil meraih dan mencengkeram pergelangan tangannya. "Asal kamu janji kita nggak akan berantem apa pun alasannya. Aku ingin kita bicara dengan kepala dingin, jangan menganggapku menuduh, atau menghakimi, apa kita bisa melakukannya?"
Matanya masih memincing curiga. "Hanya itu?" tanyanya. "Nggak ada hukuman kalau ini, atau itu?"
"Nggak ada," jawabku. "Meski seharusnya kamu dapat hukuman karena lagi-lagi menyebarkan aibku."
"Aku tahu kamu nggak ingin kenalan sama cowok itu," sergahnya kasar sambil menepis tanganku. "Aku tahu kamu nggak tidur semalaman setelah Tante Lydia menelepon. Lagi pula ... cowok itu jelek, buktinya dia bikin kamu ngerasa buruk gara-gara selembar foto itu, kan?"
"Adam ... apa tujuanmu memperlihatkan foto itu? Apa kamu nunjukin foto itu buat ngetes mereka akan bikin aku ngerasa buruk, atau enggak setelah melihatnya?"
"Kalau dia sayang dengan tulus, dia harusnya bisa menerimamu apa adanya!"
Aku tergeragap. "Dari mana kamu dapat kata-kata seperti itu?"
"Aku sudah paham yang begitu-begitu!" katanya ketus, yang sebetulnya membuatku agak geli dalam hati.
Dengan tenang dan sedikit tersenyum, aku bersandar di pintu sambil melipat tanganku di depan dada. "Kalau cewekmu pernah berbuat hal yang sama, apa kamu juga akan menerima masa lalunya?"
"Tentu saja!" tukasnya mantap.
"Bagaimana kalau kubilang baik Bastian, maupun Satrio sebenarnya mau menerimaku apa adanya? Yah ... setidaknya itu apa yang mereka bilang."
Adam tersenyum mengejek. "Kalau benar, kenapa kakak nangis di pinggir jalan kayak tadi?"
Anak ini benar-benar nggak paham apa-apa. Dia berpikir dengan sederhana, dan karena dia masih muda, menganggap semuanya benar dari sudut pandangnya. Aku tersenyum kecil, seharusnya kami membicarakannya sejak kasus pertama. Alih-alih marah dan membuatnya reaktif melawan dengan bersikap buruk, dulu seharusnya aku menangis.
Sebab sepertinya Adam lebih luluh pada air mataku.
"Aku nangis bukan karena Bastian, atau Satrio. Aku nangis justru karena kamu tega melakukan hal itu padaku, Dam."
Mata Adam sontak membeliak. Katanya, "Aku tahu caraku salah, tapi maksudku baik. Aku nggak ingin kakak menikah dengan orang yang nggak kakak cintai."
"Bagaimana kamu tahu aku bakal cinta atau enggak sama Bastian dan Satrio?" tanyaku, dia hanya bisa gelagapan. "Karena Tante Lydia yang nyuruh?"
Malah seperti mendapat jawaban dariku, dia mengangguk sebanyak dua kali. Aku yakin anggukan keduanya justru untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Apa menurutmu aku orang yang mau menikahi orang lain semata-mata karena disuruh Tante Lydia?"
Rahangnya mengatup keras, aku bisa melihat tulang rahangnya menyembul mendesak kulit wajahnya. Lagi-lagi terlintas dalam benakku, sejak kapan Adam memiliki tulang rahang sekokoh itu? Aku melihatnya setiap hari, mengapa sosoknya yang terekam dalam ingatanku seolah berhenti pada saat aku memeluknya pertama kali sepuluh tahun lalu?
"Tante Lydia hanya mengenalkanku pada pria yang menurutnya baik, tapi keputusan itu tetap ada di tanganku, di tangan Bastian, di tangan Satrio ...."
Dia menanti.
"Bukan di tangan Tante Lydia, juga bukan di tanganmu, Dam."
Adam tampak gusar. "Kakak nggak pernah bilang," gumamnya.
"Apa yang bikin kamu ngambil kesimpulan sendiri, kalau memang aku nggak pernah bilang?"
"Aku masih ingat kakak menggerutu setelah Tante Lydia datang dan bilang kakak harus bertemu dengan Bastian."
Keningku mengernyit, aku sendiri tak ingat apa isi gerutuanku. Apa dia memperhatikanku sedetail itu?
"Kamu bilang ...," katanya tanpa kuminta. "Selalu aja berusaha nentuin jalan hidupku, siapa sih yang mau cepat-cepat menikah?"
Mulutku membuka sendiri. "Aku bilang begitu?"
"Iya."
"Selalu aja berusaha nentuin jalan hidupku, siapa sih yang mau cepat-cepat menikah, begitu?" ulangku tak percaya.
"Persis seperti itu," tandasnya dengan keyakinan penuh. "Aku juga ingat waktu kita bersih-bersih dan nggak sengaja nemu ... majalah itu ... kakak bilang, 'Kamu harus lupain yang barusan kamu lihat ya, Dam, kakak juga ingin ngelupain ini seumur hidup. Kalau cowok lihat ini, mereka pasti bakal lari ketakutan, jadi ini nggak boleh dilihat lagi.'"
Oh Adam ... bahuku langsung jatuh lemas.
Letih, aku meraup sendiri wajahku dan melenguh panjang.
"Aku tahu aku udah nyusahin," sambungnya. "Aku tahu Tante Lydia ingin aku cepat-cepat pergi dari sini. Tapi, aku juga nggak ingin hanya karena aku masih tetap di sini, kakak yang disuruh-suruh nikah supaya ada tempat buat tinggal, dan nggak serumah sama aku lagi."
"Adam, alasan utama Tante Lydia nyuruh aku nikah karena aku udah cukup umur. Kenapa kamu nggak nanya, dan malah menyimpulkan sendiri?"
Kedua bahu Adam bergerak untuk mengisyaratkan ketidaktahuannya. Ia menunduk lagi, tapi alisnya menukik tajam, antara berpikir keras, atau meredam perasaan tak menentu karena akhirnya bisa menjelaskan apa yang ada di kepalanya.
"Kalau bukan Satrio yang bikin kamu nangis," katanya lagi. "Lalu siapa?"
Inilah yang ingin kubicarakan.
Tapi Adam terus berspekulasi. "Apa aku? Apa karena aku membocorkan rahasia yang seharusnya ingin kakak lupain?"
"Salah satunya," ungkapku jujur. "Tapi bukan hanya itu alasannya. Aku tahu kamu takut ditinggal sendirian, Dam ...."
"Aku nggak takut," bantahnya.
Mataku mengerjap karena sempat berpikir dugaanku sudah tepat.
"Aku nggak takut." Dia mengulang. "Aku hanya nggak ingin kakak menikah"—jeda—"dengan orang yang nggak kakak inginkan, hanya supaya kita nggak tinggal serumah lagi."
Adam terus bicara, "Kalau hanya supaya kita nggak tinggal berdua lagi, aku bakal kerja sambil kuliah, supaya aku bisa ngekos, tapi kakak nggak seharusnya menderita seumur hidup nikah sama orang yang nggak kakak kenal. Aku tahu nyebarin foto-foto itu adalah tindakan berisiko tinggi, tapi itu sudah kupikirkan baik-baik. Daripada ngelihat kakak terpaksa, lebih baik senjata itu dikeluarkan."
"Masalahnya, Dam ... 'senjata' itu nggak melukai siapapun selain aku sendiri," kataku sedih.
Adam tak tercerahkan.
"Aku yang nggak bisa memaklumi foto itu. Seribu orang pun menganggap foto itu biasa saja, tapi kalau aku belum bisa melupakannya, hal itu hanya akan terus ngelukain aku. Orang yang kamu mau lindungin ini yang menderita ...."
"Aku ... aku—" Adam tergagap. "Aku nggak mau kamu menderita. Sebaliknya, aku—"
"Aku tahu," potongku. Dia tampak bingung dan hilang arah, sehingga aku harus menenangkannya dengan mengelus bahunya sambil mengajaknya duduk di ruang tengah lantai dua, tepat di depan kamarku. "Dulu kamu masih terlalu kecil untuk tahu, masalahnya ... mungkin aku masih terus menganggapmu terlalu kecil untuk kuberitahu alasanku yang sebenarnya."
"Apa yang udah terjadi?" tanyanya tak sabar. Jemari yang kugunakan untuk mengusap punggung tangannya supaya lebih tenang, berbalik berada dalam genggamannya. "Apa ada hal buruk yang aku nggak tahu?"
"Kamu mungkin nggak ingat, atau malah nggak pernah tahu, tahun-tahun pertama setelah kepergian mamaku dan papamu, keadaan tak semudah sekarang. Kita memang selalu punya Tante Lydia, tapi saat itu keluarga Tante Lydia pun butuh banyak biaya. Aku mencoba tahu diri, sehingga saat ada yang menawari pekerjaan, aku langsung menerima tanpa pikir panjang."
Aku tak langsung melanjutkan, kuambil jeda beberapa saat dan keadaan pun hening sama sekali.
"Aku nggak punya pikiran sedikit pun, saat berada di lokasi pemotretan, semuanya terasa begitu mencekam—"
"Apa mereka kurang ajar?" sambar Adam geram.
"Enggak, nggak ada yang kurang ajar," jawabku terus terang, senyum getir terbit sendiri di bibirku. "Semuanya karena aku tak berpengalaman, dan tak tahu apa-apa. Terlebih, sendirian di tempat yang memaksaku tiba-tiba dewasa tanpa siapa pun, bikin aku ketakutan. Aku nggak bilang Tante Lydia bahwa kontrak yang ditandatanganinya sebagai wali adalah pemotretan majalah dewasa. Aku sendiri yang mengarang cerita, dan akhirnya menanggung semuanya sendirian juga. Masalahnya ... sampai sekarang ... rasa takut itu nggak mau pergi. Setiap kali ingatan yang sudah terlanjur terpatri itu terputar kembali, aku seperti kembali ke tempat yang sama, meringkuk ngeri, dan hanya bisa menangis ...."
Dalam beberapa detik aku menyelesaikan cerita secara singkat tanpa jeda, raut Adam seketika berubah.
Seolah ketakutanku berpindah padanya, wajahnya pucat seperti kertas baru. Bola matanya membulat menatapku, tenggorokannya seperti tercekat dan tak bisa berkata-kata meski mulutnya membuka dan menutup berulang kali.
Ia lantas memutuskan tak mengatakan apa pun, punggungnya membungkuk, sikunya bertumpu di pahanya sendiri. Kedua tangannya mengepal kuat hingga otot-ototnya bertonjolan. Sewaktu bahunya kuusap, napasnya yang tersengal tertahan sama sekali. Ia kembali memutar tubuhnya dan membalas tatapanku.
Air mataku meluncur jatuh melihat matanya berkaca-kaca. "Nggak apa-apa," kataku, tawa pedihku lolos tertahan. "Bukan salahmu, Dam. Kamu nggak tahu apa-apa. Kakak yang seharusnya cerita, bukan hanya nyuruh kamu supaya merahasiakannya. Aku yang lupa bahwa kamu sudah dewasa dan berhak tahu ... tolong jangan salahin diri sendiri. Aku tetap berterima kasih karena niatmu tulus, aku sempat berpikir kamu melakukan itu karena kamu takut ditinggal sendiri ...."
"Maaf," tuturnya terbata. "Kupikir hanya aku yang ketakutan, kupikir hanya aku yang nggak bisa ngelupain betapa sakitnya ditinggal sendirian ... aku memang takut, Kak, aku memang takut ditinggal sekali lagi seperti d—"
Adam tak menuntaskan kalimatnya melihat air mataku mengucur deras. Sambil memohon agar aku berhenti menangis, ia menghapus air mataku dengan jemarinya yang besar dan kasar.
Kalau tak salah, ini pertama kalinya bukan aku yang memeluk Adam, melainkan sebaliknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top