Chapter 22. Dilema

Spam komennya jangan lupaaaa😘

***

"Pagi. Tadi aku beli nasi uduk di depan." Adam menyapa tanpa melihat arah kedatanganku. Satu tangannya memegang sendok, dan yang lain menggulirkan layar ponsel. "Ada Cats and Dogs Pet Events nanti sore di Expo Kemayoran. Dulu kamu pernah janji mau pelihara kucing"-Adam mendongak, dia termangu sedetik memperhatikanku meletakkan tas tangan di seberangnya-"kan?"

"Tapi nilaimu buruk, kucing itu kujanjikan buat hadiah," kataku tenang, tak jadi duduk karena tatapannya membuatku tak nyaman. Aku memutar ke balik badannya mendekati kulkas. Adam sering tak sadar menatapku dan tertegun, tapi selalu mengalihkan tatapan sebelum aku menyadarinya. Kali ini ia tak merasa perlu melakukannya lagi.

"Bajumu bagus," katanya sambil lalu.

"Thanks."

"Aku belum pernah melihatnya."

Kuletakkan segelas susu sehabis kutuang tepat di sisinya, kemudian kuraih blazer dan kukenakan.

"Oh, pantes. Aku nggak minum susu," dia mendorong gelasnya ke arahku.

"Kamu nggak cukup makan di tempat Gisele, minum lah susu."

"Aku makan apa aja yang kumau di sana."

"Apa saja yang kamu mau belum tentu kamu butuhkan, kamu masih terlalu muda buat bisa membedakannya."

Adam tidak membalas, dia menatapku dan aku melakukan hal yang sama sambil duduk. Belakangan, dia menaikkan alis dan menyerah, meneguk setengah gelas susu sekaligus. Kusembunyikan kulum senyumku dan mulai makan.

"Sebaiknya blazernya nggak usah dipakai, blus itu sudah cukup sopan," ia mulai menilai.

Aku tidak menanggapi. Blus itu berlengan, tapi kecil sekali. Semua orang bisa melihat ketiakku kalau lenganku terulur.

"Paling enggak nanti, buat jalan di festival," imbuhnya.

"Aku nggak akan jalan ke festival, kerjaanku banyak sekali." Aku mengunyah. "Dan kamu nggak akan bisa membujukku memelihara kucing, kamu aja belum tahu mau kuliah di mana."

"Aku akan membawanya kalaupun pindah."

"Itu akan menyusahkan, tolong jangan berbuat seenaknya."

"Kata Katya, kucing membantu orang yang memeliharanya menyembuhkan patah hati dan kesedihan macam apapun."

"Apa kamu sedang ..."-aku nggak ingin menyebut-nyebut patah hati-"sedih, sampai butuh disembuhkan?"

"Itu tergantung kamu."

Aku terbatuk sedikit. Adam buru-buru menuang segelas air putih dan mendorongnya ke hadapanku. Sembari minum, kuperhatikan dia mengemasi alat makan dan menghabiskan susunya. Syukurlah, pagi ini akan segera berakhir. Paling tidak aku bisa bernapas lega di kantor sampai petang nanti. Semalam benar-benar mendebarkan. Aku tidak pernah setegang itu di dalam rumahku sendiri, sementara Adam tampak sesantai biasanya, menonton film dan menghabiskan makanan. Sesekali ia mengajakku bicara, dari nada bicaranya aku merasa dia sudah begitu yakin cepat atau lambat aku akan berkata iya.

Aku seperti terperangkap di rumahku sendiri, salah tingkah, malu, tidak bebas bergerak, namun di lain sisi menurutku ini jauh lebih baik daripada tak ada Adam di sini. seminggu yang lalu rumah ini seakan murung, kini setiap sudutnya seolah bernyanyi dan tertawa bersamanya.

Adam sudah selesai mencuci peralatan makannya.

"Jam berapa kamu pulang kerja?" tanyanya.

"Adam, kamu nggak akan bisa bujuk aku buat beli kucing," aku mewanti-wanti.

"Kucing bukan dibeli, tapi diadopsi," ralatnya. "Kalau anjing?"

Aku tak mau repot-repot menjawab.

Adam mengekeh melihatku memutar bola mata. Lantas dia meninggalkan dapur sebentar dan kembali dengan jaket dan ranselnya. Seperti biasa, aku meletakkan sejumlah uang untuk bekalnya seminggu ini di ujung meja tanpa ia minta.

"Aku ada uang," katanya.

Mulutku berhenti mengunyah.

"Dari Gisele."

"Tolong hentikan," kataku geram. Sendok di tangan yang kulepas menimbulkan denting kecil yang tak mengganggu. "Kamu nggak akan pakai uang Gisele." Aku mengambil napas. "Serahkan padaku, nanti kukembalikan ke alamatnya."

"Tapi dia sudah pindah."

"Aku nggak peduli."

"Harusnya aku nggak bilang dan langsung pakai uangmu, aku cuma ingin sesekali nggak merepotkan."

"Jadi kamu lebih milih merepotkan orang lain?"

"Itu cuma uang sisa yang kusimpan, jumlahnya juga nggak seberapa."

"Berapa?"

Adam mendesah.

"Berapa?" desakku.

Dengan bersungut-sungut, anak itu merogoh bagian belakang celananya dan mengeluarkan dompet. Mataku membelalak menyaksikan setumpuk uang yang dikeluarkannya dari sana. Kusahut tumpukan itu dari meja dan kubanting kembali karena kesal.

"Uang sisa apa sebanyak ini? Kamu disuruh ngapain sampai dikasih uang segini banyak?"

"Uang saku," katanya malas-malasan. "Aku bilang belum mau pulang setelah dia pindah, jadi dia minjamin aku uang."

"Uang saku atau uang pinjaman?"

"Uang saku."

Aku memejamkan mata, merapal mantra pengendalian emosi yang kususun sendiri untuk menenangkan diri. "Adam," sebutku lembut, namun tajam.

"Uang saku, tapi aku berniat mengembalikannya suatu hari nanti."

"Kalau begitu akan kukembalikan sekarang," tukasku absolut. "Kirimkan nomor ponselnya, nanti aku tanya ke mana aku bisa memindahkan sejumlah uang ke rekeningnya."

Sebagai bentuk tak adanya perlawanan, Adam gantian mengambil uang saku dariku yang jumlahnya jauh lebih kecil dan menyelipkannya ke dalam dompet.

"Sekarang, Dam," tegasku, dan Ia pun beralih ke ponsel dengan enggan, mengetuk beberapa kali sebelum kemudian ponselku berbunyi.

Aku mengecek dan menyimpan ponsel kembali. Bukannya tak menyadari Adam masih ada di sisiku, tapi aku memang sengaja membuatnya berpikir bahwa aku melupakan kehadirannya, "Oh, kok masih di sini?"

Dia cemberut.

"Sana berangkat, nanti kuurus uang mantan pacarmu," kataku sengit.

Kupikir, aku sudah memenangkan pagi itu dengan gemilang, senyum puas sudah terukir di bibirku. Namun, tahu-tahu Adam menarik kedua sisi bahuku hingga dudukku bergeser menghadapnya, ia merunduk, wajahnya memblok tatapanku saking dekatnya dengan wajahku. Napasku berhenti.

"Lihat saja, kalau kamu dekat-dekat Bastian, aku akan melakukan hal yang sama," ancamnya.

"Oh ya? Apa salah Bastian?" Aku menaikkan dagu.

Adam menarik sedikit wajahnya menjauh. "Tidak ada, salahnya kalau dia dekat-dekat kamu. Sebentar lagi aku juga akan tumbuh dewasa, kamu nggak bisa seenaknya mengaturku dan berharap aku tak boleh melakukan hal yang sama padamu"-Adam memause ucapannya, tahu-tahu matanya mengerjap seperti menyadari sesuatu-"astaga ... kamu kelihatan cantik sekali, apa kamu pakai rias mata hari ini?"

Aku mendorongnya.

Tubuh Adam memantul dan mendekat kembali padaku. Bibirnya mengecup pipiku tanpa bisa kuhindari. "Aku berangkat dulu, ya?" bisiknya. "Aku sayang kamu."

Aku tidak bisa menggambarkan apa yang kurasakan. Mungkin aku malah nggak merasakan apa-apa saking kagetnya. Dia makin berani. Ya ampun. Anak itu makin berani. Seolah-olah larangan kerasku tentang semua hal yang berkaitan dengan Gisele memberinya keberanian yang makin besar. OH Tuhan ... mudahnya dia membisikiku kata-kata seperti itu, dia anggap apa kebersamaan kami sebagai kakak beradik sepuluh tahun lebih ini???

Aku gemas sekali.

Ingin rasanya aku meremasnya seperti squishy. Oh mungkin aku harus membeli sesuatu untuk melampiaskan kekesalanku supaya tidak harus menahan diri menjejak-jejakkan kaki ke tanah sampai dia pergi.

Bagaimana ini? Rupanya dia sangat serius. Kalau begini terus aku benar-benar bisa gila. Oh Adam ... tadi pagi dia pasti mencukur bersih rambut-rambut tipis di wajahnya, aku tidak merasakan tusukan-tusukan yang aneh di pipi seperti kemarin saat wajahnya menempel. Aku tidak merasa pernah membelikannya after shave, apa Gisele yang membelinya? Atau dia membelinya tanpa sepengetahuanku? Mungkin saja, kadang aku tak terlalu mengawasi apa saja yang dimasukkannya ke troley saat kami belanja.

Aromanya ... aku harus mengusirnya dari kepalaku.

Kusemprot parfum ke sekitarku.

Dia benar-benar tampan (mengerikan sekali aku menganggapnya tampan, tapi dia memang sangat tampan), semakin hari garis wajahnya semakin tegas, semakin sulit bagiku menyangkal bahwa ia sudah dewasa. Meski sangat ingin kuhindari, tapi setiap kali tatapanku secara tak sengaja berlabuh pada salah satu bagian tubuhnya yang sudah berbentuk, bulu kudukku berdiri. Bahunya, lengannya, dada bidangnya ... dia bukan anak kecil lagi. Dia bisa melindungi seorang wanita dengan tubuh sekokoh itu, dan wajahku selalu terasa panas setiap kali memikirkan akulah wanita yang ingin ia lindungi.

Oh Tante Lydia. Wajahnya tahu-tahu berkelebat di benakku.

Kalau Adam tidak main-main, kalau ini bukan rasa penasarannya saja terhadap lawan jenis, berarti aku dalam masalah besar.

Kami dalam masalah besar.

Lamunanku buyar gara-gara sebuah notifikasi. Terburu-buru, aku menyingkirkan alat makan ke kitchen sink kemudian berangkat tanpa lebih dulu membuka pesan dari Bastian. Dalam perjalanan, aku membalas pesan-pesan lain dan sengaja mengabaikan pesannya. Untungnya aku cukup sibuk di kantor gara-gara kemarin izin pulang lebih awal.

Aku nggak menyangka sama sekali, panggilan telepon yang dikirim ke kubikelku dari customer service siang itu dari Bastian.

"You ignore me," katanya membuka pembicaraan.

"Oh, aku minta maaf," kataku, mencoba terdengar santai. Mungkin dia hanya mengkhawatirkanku karena seminggu lalu aku minta dibiarkan sendiri gara-gara Adam pergi dari rumah.

"Lagi-lagi," imbuhnya dingin, atau terdengar dingin, tapi hanya perasaanku saja. Aku diam, mengira-ngira. Seriuskah nada bicaranya barusan? Atau dia akan tertawa kalau aku cemas mengira ia serius?

"Mmm ... maaf, Bas, aku sibuk sekali. Tadinya aku mau balas pesanmu, tapi nggak sempat," ujarku hati-hati.

"Aku juga nelepon ponselmu, lho, India," katanya.

Memang. Aku menelan ludah, merasa tak enak, tapi haruskan Bastian bertindak sejauh ini? Menggunakan line telepon yang seharusnya dipakai untuk melayani pelanggan, seseorang mungkin dalam kondisi mendesak hendak menggunakannya. Sepertinya aku sudah bikin dia benar-benar kesal.

"Aku akan menelepon kembali sepulang kerja," ikrarku. "Kemarin aku pulang awal, jadi kerjaanku menumpuk-"

"Ya aku dengar dari Dimas," Bastian memotong. "Jadi dia sudah kembali ke rumah?"

"Ya ... sudah," jawabku ragu.

"Kenapa?" tanyanya. "Apa aku nggak boleh tahu dia sudah kembali atau belum? Kamu selalu susah dihubungi kalau ada masalah dengan Adam. Apa semuanya sudah beres?"

Sebenarnya, semuanya justru makin buruk.

"India?"

"Ya, sudah," jawabku cepat.

"Apa dia bikin ulah lagi?"-aku belum sempat menjawab-"Mungkin kamu harus mulai serius membicarakannya dengan anggota keluargamu yang lain kalau dia mulai susah diatur. Aku sangat khawatir dengan insiden terakhir kemarin, dia jelas-jelas sedang dalam masa peralihan, tapi nggak seharusnya dia-"

"Aku nggak bermaksud memberi tahu Tante Lydia, atau yang lain, Bas, apa kamu memberi tahu seseorang tentang Adam?"

Hening.

"Tentu saja tidak," kata Bastian kemudian.

"Thanks, aku dan Adam sudah sepakat ingin menyelesaikannya sendiri."

"Oh ya?"

"Terima kasih atas perhatiannya, Bas, aku sangat menghargainya. Bagaimana kalau kita lanjutkan obrolan nanti saja? Aku nggak enak karena line ini seharusnya digunakan untuk urusan pekerjaan."

"Nggak akan kupakai kalau kamu menjawab panggilanku ke ponsel, In...."

"Kamu benar, maaf-"

"Sudahlah ... jangan minta maaf terus, aku paling lemah sama perempuan yang meminta maaf, aku agak kesal tadi karena mencemaskanmu," kata Bastian lembut dan hangat, jauh berbeda dari caranya membuka percakapan tadi.

Aku termangu singkat gara-gara meragukan dugaanku, tapi Bastian seperti sudah kembali menjadi Bastian yang simpatik seperti biasanya. Mungkin perasaan bersalahku yang membuatnya terkesan demikian. Siapa saja akan merasa kesal kalau diabaikan.

"So, apa rencanamu nanti sore?" tanyanya.

Nanti sore?

"Apa aku boleh mengajakmu makan malam?"

Aku teringat Cats and Dogs event yang dibicarakan Adam, tapi kami tidak membuat janji mengunjunginya. Atau paling tidak ... aku tidak menyanggupinya, kan? Adam tidak mungkin tahu-tahu muncul di lobi kantorku usai jam kerja, lalu-tunggu dulu-kenapa aku seperti orang yang ketakutan akan ketahuan kekasihku pergi dengan pria lain? Tidak seharusnya aku takut pada Adam, aku masih boleh bergaul dengan orang lain. Siapapun dia. Lagi pula ... kami bukan sepasang kekasih. Aku ... yah ... belum menyanggupi apa-apa.

"India?"

"Maaf, kayaknya nggak bisa"-Oh, oke, aku memang cemas kalau Adam marah-"aku ... harus lembur, dan ingin istirahat. Aku lelah sekali."

"Oh ... apa kamu akan istirahat tanpa makan malam?"

"Aku makan malam di kantor saja."

"Oh ... oke ... jangan lupa makan, ya? Aku akan coba peruntunganku lagi lain waktu kalau begitu, selamat sore, India, selamat bekerja."

"Bastian, maaf, aku-"

Sambungannya keburu terputus.

Aduh, ini bisa jadi masalah kalau Bastian tidak terima. Nyaris kubanting gagang telepon saking kesalnya. Tenang, India. Aku beruntung sepertinya dia bukan tukang mengadu, semoga saja, kalau tidak ... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku tidak punya pilihan selain menjauhi Bastian karena Adam tak akan menyukainya, meski risikonya Bastian akan kesal dan mengadu pada Tante Lydia. Aku bisa berkelit dari Tante Lyd, tapi jelas tak bisa apa-apa lagi di hadapan Adam.

Adam seolah sudah menggenggamku dalam tangannya hingga tanpa persetujuanku pun, dengan percaya diri sore itu dia muncul di lobi berbekal dua tiket masuk event yang ingin dikunjunginya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top