Chapter 18. Limit
Ayo Ayo Ayo spam komen!
Aku lagi happy nih makanya update lagi.
Buruan baca Adam and The Girls from School part 2 di KaryaKarsa buat tahu apa yang Adam lakuin di Bandung sama Gisele sampe dia berani ciuman di depan Indiaaaa
Cuma gocengggg😂 kalau sayang, kasih tip juga boleh!
***
Adam seolah tahu aku akan bersikap seperti apa, dia sama sekali tidak buru-buru menghentikan perbuatannya. Mungkin mereka akan terus berciuman kalau saja perempuan itu tidak mendorong dadanya dan melompat menjauh.
"Kamu bilang mamamu nggak di rumah!"
Aku bisa mendengar wanita itu mendesis dan memelototi Adam. Dia bersikap terlalu manja untuk usianya, meski wajahnya cukup jelita. Saat kupindai sekilas, ia mengingatkanku pada diriku sendiri saat Adam mendandaniku untuk menjumpai kawan-kawannya. Penampilannya manis, namun dewasa.
"Dia bukan mamaku, masa dia mamaku?" kekeh Adam seolah aku nggak ada di sana. "Ini kakakku India, dan itu ... yah ... itu pacarnya, Bastian."
Wajahku merah padam dibuatnya, terutama gara-gara kalimat terakhirnya. Bastian sama sekali tak bereaksi di balik tubuhku, entah bagaimana ia menyikapi pernyataan Adam yang terkesan meremehkan.
"Adam," panggilku, berusaha menguasai diri.
"Ini Gisele," kata Adam sambil menyentuh bahu perempuan yang diperkenalkannya. Caranya memanggil nama seseorang yang jelas jauh di atasnya dari segi usia membuatku mengernyit. Ada apa dengan mereka berdua? Oh, apa aku masih harus nanya? Mereka saling melumat di depan pintu rumahmu, India!
Gisele menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.
"Teman sekolah Adam?" tanyaku sengaja.
Sepertinya, Gisele tahu aku bermaksud tak baik. Tatapannya yang semula ramah dan seakan tersenyum berubah fokus dengan pupil mengecil dan alis berkerut, perlahan bibirnya yang melengkung siap tersenyum urung. Adam menggeleng samar di sisinya.
"Aku selalu bersikap baik pada tamumu," kata Adam padaku.
"Oh kamu selalu bersikap baik pada tamuku?" tanyaku sengit.
Jelas, ia langsung sadar pernyataannya tak bisa dipertanggungjawabkan. Ia lantas mendengkus dan bersikap tak peduli saat aku memohon maaf pada Gisele. "Dia masih muda dan terlalu sering tidak memikirkan apa yang dilakukannya, aku minta maaf kalau sudah bersikap buruk."
"Nggak apa-apa," kata Gisele, senyumnya kecut. "Kami ketemu di vila dan kebetulan pulang pada hari yang sama, itu saja, jangan khawatir."
Aku justru makin khawatir. Dia bilang itu saja—bertemu di vila dan kebetulan pulang pada hari yang sama—tapi sudah berani-beraninya anak ingusan itu menyumpalkan lidahnya ke dalam mulut perempuan. Aku sudah hampir meledak, tapi aku tahu benar hal itu hanya akan bikin Adam makin senang.
"I'll call you later?" Gisele beralih pada Adam yang bersandar malas di dinding. Ekspresi murung dan marah yang selalu diperlihatkannya padaku itu seakan tak pernah dimilikinya. Ia mengerucutkan bibir, bersikap seperti anak kecil yang sedang kecewa. Sementara Gisele, mengira pemberontak itu lebih bahagia bersamanya, mengusap pipinya lembut sekali seraya tersenyum pengertian. Adam nggak akan membiarkanku melakukannya tanpa mengataiku aneh dan sentimentil. Aku selalu melakukannya saat ia masih kecil, sebelum dia berubah jadi jelmaan monster.
Wajahku berpaling saat Adam dan Gisele bertukar kecup perpisahaan. Saat itulah aku melihat jelas Bastian tengah mengawasiku, tatapanku berlabuh pada sorot mata tajamnya sebelum ia mengerjap dan berpura-pura lebih tertarik pada kemesraan Adam dan Gisele. Dengan tanpa suara seiring kepergian Gisele yang ditemani Adam sampai pagar, Bastian juga kembali ke ruang tamu dan duduk diam di sana.
"Itu yang kamu dapat dari bepergian tanpa pengawasan? Pulang-pulang bercumbu sama perempuan yang pantas jadi tantemu?" serangku dengan suara tertahan.
"Dia lebih muda dari kamu," balas Adam sambil menggertakkan rahang. "Lagi pula, bukannya aku udah menawarkan diri buat diawasin langsung, tapi kamu menolak"—matanya melirik ke arah Bastian yang duduk membelakangi pintu—"lebih milih berduaan di rumah kosong sama Bastian, apa bedanya aku sama kamu?"
"Aku udah dewasa, lagi pula aku nggak berduaan!"
"O ya? Lalu siapa lagi yang ada di ruangan ini?" Adam celingukan. "Aku nggak lihat siapa-siapa."
"Kami cuma makan malam."
Adam tersenyum mencemooh. "Gisele juga cuma ngantar aku pulang."
"Aku nggak berciuman seperti orang bar-bar di depan pintu seperti kamu barusan, meski itu hakku, aku boleh melakukannya, dan itu belum jadi hakmu karena kamu masih di bawah umur!"
Tawa Adam menyembur tertahan. "Belum cukup umur? Sejak kapan umur 19 belum cukup untuk berciuman?"
"Tapi enggak dengan perempuan seumuran Gisele!"
"Oh ya? Kenapa?"
"Karena—" aku terdiam, suaraku tercekat di tenggorokan. Aku nggak punya alasan apa-apa, aku hanya tak suka melihatnya. Itu terlihat tak pantas, bukan?
"Kenapa?" desak Adam. "Menurutku Gisele sama sekali nggak terlalu tua, atau dewasa, sebentar lagi juga aku bakal jadi lelaki dewasa, kok. Orang nggak akan tahu dia lebih tua. Penampilan dan gayanya nggak ketinggalan zaman, dia banyak tersenyum, dan nggak terlalu ngurusin apa yang pantas dan nggak pantas!"
Adam seolah menampar mukaku, sekujur wajahku terasa panas tersengat. Dia sedang membicarakanku dengan cara membandingkanku dengan Gisele. Perempuan itu tentunya punya banyak waktu memikirkan dirinya sendiri, bukannya menghabiskan seumur hidupnya mencari nafkah dan menjadi tameng anak ingusan seperti Adam, kan? Siapa yang punya uang untuk berpenampilan seperti itu, kalau kamu seorang diri mempertahankan hidup?
Aku masih belum bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menimpalinya.
"Aku sudah boleh nyium siapapun yang kumau, asal orang itu mau kucium. Itu hak-ku, aku sudah dewasa menurut hukum. Aku bahkan sudah bisa menikah kalau aku mau! Dengan siapapun. Tapi kalau kamu nggak suka aku ciuman sama Gisele karena dia jauh lebih tua dariku, oke ... aku bisa ciuman dengan cewek seumuranku, itu nggak apa-apa, kan?"
Aku baru mau bilang terserah, tapi Adam tak memberiku waktu. "Nanti kalau aku sudah tua, aku baru boleh ciuman di depan pintu, asal malam udah larut, dan nggak ada siapapun yang lihat, kan?" tanyanya, bola matanya mengilat penuh makna.
"Apa maksudmu?" tanyaku tergeragap.
Tentu saja, bukan Adam kalau mau repot-repot menjelaskan. Sambil membenahi letak ransel di punggungnya, ia melirik ke balik bahuku—ke arah punggung Bastian—sebelum ia mendekatkan wajahnya ke telingaku, "Atau kakak sebenarnya hanya nggak suka aku dekat dengan siapapun, dan ingin aku jadi milikmu sendiri, padahal kamu seenaknya jalan sama laki-laki lain tanpa peduli aku suka atau nggak suka? Iya?"
Apa katanya?
Dengan senyum samar yang terlukis miring dan jahat di bibirnya, dia melenggang masuk dan menghilang di balik tirai yang menyekat ruang tamu dan bagian lain rumah, seolah-olah dia sudah bisa menebak apa isi hatiku dengan benar. Aku benar-benar syok. Rahangku jatuh. Mulutku membuka lebar hingga dadaku penuh udara yang tak sengaja terhirup. Aku tengah menenangkan diri dengan bersandar di dinding saat Bastian muncul kembali di hadapanku.
"Kamu lihat sikapnya, kan?" tanyaku terbata.
Bastian mengatupkan bibir, kedua tangannya tersimpan di kantung celana. Dengan wajah prihatin, baru ia mengangguk.
"Masa-masa pemberontakan juga?" sengalku sengit.
"Menurutku sih iya," kata Bastian pelan, namun aku bisa merasakan bahwa ia ingin aku menangkap keraguannya. "Semoga saja iya."
Napasku masih tersengal-sengal, aku tak menanggapi ucapan Bastian dan lebih konsentrasi menetralkan degub jantung. Kepala dan dadaku sudah terlanjur penuh dan siap kumuntahkan, jangan sampai aku salah sasaran.
"Kupikir aku sebaiknya pulang," tukas Bastian, aku tak akan mencegah. "Menurutku dia hanya mencoba menarik perhatianmu, India, jangan terlalu keras, atau dia akan makin menjadi-jadi."
"Menurutmu begitu?" suaraku terdengar sinis tanpa bisa kutahan.
Bastian mengembangkan dadanya dengan tarikan napas, kemudian mengembuskannya sambil menepuk bahuku. Dia berbisik, "Aku ciuman sama guru lesku waktu masih kelas satu SMA—don't judge me—dia udah kuliah. That's boys, India, kami suka menaklukkan perempuan yang lebih tua. Jangan terlalu histeris."
Mataku sontak mencelang mendengar imbauan Bastian, tapi dia tak berniat meralatnya. Jangan terlalu histeris, katanya? Setelah aku melawan semua orang demi mempertahankan anak itu, sekarang dia juga bersikap seperti musuh, lalu aku harus tenang-tenang saja? Namun, aku nggak berniat mencari lawan baru, kuendapkan kembali emosiku, dan kuucapkan terima kasih untuk sarannya yang 'pengertian' itu.
Begitu mobil Bastian pergi, aku naik ke lantai dua, bertepatan dengan kemunculan Adam dari balik pintu kamarnya.
"Mau ke mana kamu?" tanyaku menyaksikannya menggendong ransel yang jauh lebih besar dari yang dibawanya ke Bandung.
Dia memalingkan wajah.
"Dam ...?"
"Aku capek," katanya ketus. "Aku mau menginap di luar, di rumah Dimas, atau yang lain—"
"Mana boleh begitu? Kamu bisa ngerepotin orang tua mereka, Dam."
"Mereka nggak akan keberatan, aku tinggal bilang saja memang sudah saatnya aku keluar dari rumah. Ini bukan rumahku, kalian bukan keluargaku, kan?"
"Adam ...," bujukku. "Kamu mau mereka menganggapku jahat karena ngusir kamu dari rumah?"
"Itu kan yang terus menerus kamu khawatirkan? Apa yang orang katakan. Kamu nggak pernah mikirin hal lain selain itu. Kamu terus menerus nyuruh aku nurut, tapi apa pernah kamu dengerin apa mauku?"
"Apa maumu? Diizinin jalan sama Gisele?" terkaku, agak di luar kendali.
"Syaratku masih sama, aku nggak akan jalan sama Gisele, kalau kamu nggak jalan sama Bastian!" katanya, persis anak kecil yang menuntut hak, tanpa tahu bahwa hal itu terdengar sangat kekanak-kanakan.
"Terus kalau aku bilang iya, kamu akan terus begini setiap kali aku dekat dengan seseorang?"
Adam tak menjawab, hanya napasnya diembuskan kuat.
"Gimana kalau nanti gantian kamu yang dekat dengan seseorang yang nggak kusuka? Apa aku harus pakai cara yang sama juga? Atau kalau saat itu tiba ..., baru aku boleh memilih seseorang buat mendampingi hidupku?"
"Itu nggak akan terjadi," kata Adam.
"Maksudmu aku nggak boleh memilih seseorang buat mendampingi hidupku?"
"Aku yang nggak akan dekat dengan seseorang—"
"Kamu barusan ciuman sama perempuan seusiaku, Adam, nggak akan gimana?"
"Karena kamu jalan sama Bastian."
"Aku cuma pergi makan malam sama Bastian, Dam, tapi bukan itu masalahnya. Apa sebenarnya maksudmu?"
"Kamu benar-benar nggak paham apa maksudku?" tanya Adam, suaranya melembut.
Kami berdiri berjauh-jauhan. Aku di ujung tangga, sedangkan Adam tepat di depan pintu kamarnya. Jarak kami sekitar dua meter jauhnya, tapi aku seperti bisa mendengar bunyi napas dan detak jantungnya. Bercampur dengan sengal napas dan deru degub jantungku yang memburu hingga nyaris tak bisa kubedakan yang mana satu.
Ada apa ini? Apa aku selalu merasakan kerecokan semacam ini jika berdekatan dengan Adam? Aku merasa malu, sangat malu, seolah aku tidak lagi bisa mengingat bagaimana menempatkan diriku sebagai kakaknya seperti biasanya. Adam melangkah mendekatiku, semakin dekat jarak di antara kami, semakin sulit aku bernapas. Jantungku seperti akan meledak, kemudian aku mulai meragukan diriku sendiri. Apa hanya Adam yang tak ingin aku bersama pria lain?
Tatapan Adam hanya padaku, sedangkan aku terus berusaha mengalihkan tatapanku darinya. Semakin dekat, semakin ingin aku lari saja. Namun, aku tak bisa lari atau mundur. Tepat di belakang tumitku ada tangga, dan aku tak mau Adam tersinggung jika tahu aku sangat ketakutan. Bukan terhadapnya, melainkan terhadap perasaanku sendiri.
Adam menyentuh lenganku, dan membawaku menjauh selangkah dari tempatku semula berdiri tanpa ia beranjak dari langkah terakhirnya. Kami berhadapan begitu dekat, begitu lekat, hingga aku bisa mencium aroma parfum wanita bercampur dengan cologne remaja yang selalu kupilihkan untuknya. Aku menatap lurus ke depan, menekuri kancing kemeja ketiganya. Ada ujung benang yang mencuat di balik kancing itu saking serius aku memperhatikannya agar aku bisa mengalihkan perhatianku pada apa yang akan terjadi di antara kami berdua.
Jantungku berhenti berdetak.
Adam mencubit daguku dan mendongakkan kepalaku menatapnya. Kedua bola mataku bergerak kasar, bertanya-tanya, apa yang membuatnya merasa pantas memperlakukanku demikian? Apa karena dia pikir dia sudah dewasa?
Oh, India, dia memang sudah dewasa.
Gurat wajahnya sudah tidak menyisakan lagi kesan anak-anak yang selama ini tinggal di benakku. Kedua matanya menyiratkan kesungguhan yang membuatku menggigil, membuat nyaliku menciut hingga kerdil. Alis tebalnya, hidungnya, bibirnya ... aku memejam karena tak ingin melihat wajahnya lagi, tapi Adam justru membenamkan bibirnya ke bibirku. Aku tersentak hebat, mataku membelalak lebar menyaksikan kelopak matanya yang menutup saat bibirnya berdiam di permukaan bibirku.
"Adam," aku menghardiknya, tapi Adam justru menegaskan kecupan tadi menjadi ciuman yang sesungguhnya. Bibir bawahnya berada di celah bibirku yang terbuka saat menyebut namanya. Darahku bergolak, bulu-bulu halus di sekujur tubuhku meremang, aku tak bisa lagi melawan reaksi dari dalam tubuhku saat Adam mengulum bibirku, tangannya menekan tengkuk dan pinggangku merapat padanya. Kakiku lemas, ketika ciuman itu diurainya, aku hampir melesak jatuh ke tanah seandainya ia tak menahanku.
"Bilang padaku, kamu nggak merasakannya," bisiknya, napasnya memburu di telingaku. Aku menggeliat meronta, Adam membenamkan wajahnya di lekuk leherku.
"Adam," aku menekan dadanya dengan lenganku yang terlipat melindungi bagian depan tubuhku.
"Ini yang kumaksud, waktu kubilang aku nggak ingin memanggilmu kakak, karena kamu bukan kakakku. Dulu, mungkin. Tapi, perasaanku sudah berubah sejak lama. Aku mendambakanmu, India, aku nggak mau kamu dimiliki yang lain. Itu juga mengapa aku mencoba menjauhkan mereka darimu, meski awalnya kupikir aku hanya mencoba melindungimu dari keinginan Tante Lydia yang akan membuatmu gila."
Aku kehilangan kata-kata.
Sejak kapan dia bicara dengan nada seperti itu?
Aku tahu dia sudah beranjak dewasa, tapi aku tak pernah menyangka dia bisa membuat suara yang begitu meyakinkan, persuasif, hingga hampir saja membuatku terbuai dan jatuh dalam pelukannya. Dia bukan anak-anak lagi—tidak, aku sudah tahu itu—dia bukan Adam yang selama ini kukenal. Dia tinggal di bawah atap yang sama denganku, tidur hanya terpisah dinding dariku, bagaimana mungkin aku tak pernah menyadari perubahannya?
Dia menciumku seperti pria dewasa lain yang pernah menyentuh bibirku.
"Kamu adikku, Dam ...," aku meratap.
"Bukan," katanya.
"Kamu selalu akan jadi adikku."
"Jangan membohongi dirimu sendiri, aku tahu kamu juga menginginkannya. Kamu hanya tak ingin menggali bagian dirimu yang menginginkanku, tapi aku tahu. Aku lebih tahu kamu yang satu itu, yang terus menerus mengelak dari kenyataan bahwa kita bukan kakak beradik. Kamu dan aku sama, India, kita bisa menghadapinya berdua."
"Nggak, ini salah. Kalau kita melakukan ini ... berarti apa yang dipikirkan orang-orang itu benar tentang kita, Dam!"
"Persetan apa yang mereka pikirkan!" bentak Adam. Seketika membuatku membatu. "Kalau aku tinggal di sini, aku mau hubungan kita berubah, sebab aku nggak bisa kembali seperti dulu lagi. Tapi jika benar aku salah, dan bukan ini yang kamu inginkan, aku janji ... aku nggak akan mengganggumu lagi."
"Kamu mau ke mana?"—Adam yang semula memelukku, kini bersikeras mengusirku menjauh—"Adam! Kamu mau ke mana?"
Lalu dia pergi.
Aku terlalu bingung, tak terlalu bisa mengikuti apa yang sebenarnya baru terjadi, sedangkan Adam menghilang bagaikan asap.
Please take a note: FORCED KISS IS NOT ROMANTIC. IT'S AN ABUSE
Adam is a teenager and he doesn't really know what he's doing.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top