Chapter 16. Bom Waktu

Spam komen yaaa....
Lama kan kalau nggak seribu komen update-nya.
I know it's reposted, but come on baca lagi. Doain proses penerbitannya lancar.

***

Kupikir, Adam akan marah. Ternyata tidak. Aku sudah bertekad tak menghiraukannya karena ini urusanku, semakin aku mempertimbangkan perasaannya, semakin hubungan kami akan tak jelas batasannya.

Aku yang berniat bangun agak siang karena lelah, terkejut mendapatinya duduk di tepi tempat tidurku dengan sikap teramat manis. Aku berpikir cepat. Oh, kulihat rambutnya sudah basah dan rapi. Apa gerangan alasan yang membuatnya pergi mandi tanpa dikejar-kejar hari libur begini? Bandung. Benar sekali. Bandung. Aku kembali memejam, sengaja berguling memunggunginya.

"Kaaak ...," rengeknya.

Kalau begini saja dia panggil kakak. Coba kalau tetap kularang, dia pasti mengamuk dan bersikap kurang ajar. Aku pura-pura nggak mendengar dan malah membunyikan napas. Adam tahu aku nggak tidur, dia mendecapkan lidah, diam sebentar.

"Kalau nggak bangun, aku tetap pergi, kok," katanya. Mataku membuka, menatap tembok putih di hadapanku. "Bedanya mungkin aku ngambil uang kakak di dompet tanpa izin ..."—aku masih tetap tak merespons—"atau minjem Dimas, kalau nggak dikasih ya ngamen ..., kalau terpaksa bobol ATM ...."

Aku mendengkus mendengar ancamannya.

"Kakak nggak benar-benar ngelarang aku pergi gara-gara nggak ada guru yang ngawasin, kan? Aku sudah cukup gede untuk bepergian atas inisiatifku sendiri, aku ke sini mau minta duit, bukan minta izin," katanya berani.

"Kalau aku nggak ngasih?" sambarku geregetan setengah mati.

"Ya nggak apa-apa, tapi jangan salahin aku kalau aku nggak pulang—" Adam mengaduh karena aku berbalik secepat kilat dan mencubitnya.

"Semalam kupanggil kenapa diem aja?" tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.

Adam menggerakkan bahu kasar sambil menggosok bekas cubitanku.

"Kirain marah, terus misal pergi pun ... nggak mau minta uang ...," ujarku.

"Jadi maunya gitu?" tanyanya dengan nada menantang. Aku tak menjawab, kunaikkan selimut hingga dada sebelum bangkit duduk. Adam membantuku mengambil karet rajut yang biasa kupakai mengikat rambut di meja rias. Ia diam saja mengamatiku merapikan rambut, dan masih tak berkata-kata setelah aku selesai. Aku memanggil namanya, baru ia mengerjapkan mata dan bertanya, "Kenapa aku harus marah?"

"Semalam kamu kupanggil kenapa diem aja?" kuulang pertanyaanku.

"Oh. Udah ngantuk," celetuknya ketus.

Jadi dia benar-benar nggak berniat membahas, padahal sebelumnya sempat melarangku pergi dengan Bastian? Atau dia hanya menahan diri karena takut aku nggak akan mengizinkannya pergi kalau dia ngajak ribut? Kulihat Adam memainkan ujung seprai yang mencuat dengan acuh tak acuh. Mungkin dia memang nggak peduli.

"Aku harus sampai ke rumah Dimas jam sepuluh," katanya membuyarkan lamunanku. "Mau ngasih uang saku enggak?"

"Aku belum bilang kamu boleh pergi, lho, Dam. Aku masih cemas kalau kalian pergi tanpa pengawas—"

Adam mengesah. "Ya ampun ... kita semua tuh udah gede dan ini tuh cuma mau ke Bandung. Triana aja seminggu sekali pulang ke Bandung, sendirian, sampai di sana kami langsung dijemput papinya dan dibawa ke vila. Udah. Setelah itu kami nggak kemana-mana. Besok sore pulang. Kalau mau ada apa-apa, ada apa-apa-nya belum sempet ngapa-ngapain juga kami udah sampe rumah lagi, Kak!"

"Bisa aja kamu kalau belum kejadian!" gerutuku sebal meski barusan nyaris ketawa. "Kalau udah kejadian, ada apa-apa, aku juga yang repot, kan? Kamu tuh—"

"Kakak tuh cantik banget lho barusan bangun tidur sebelum bawelnya kumat," potong Adam sambil menangkap ujung bibirku dengan capitan dua jarinya. Aku terbengong sebentar sebelum menampar tangannya dan mengomel makin panjang. Adam tertawa pelan, "Semalam asyik, ya, pacarannya?"

Aku makin cemberut. "Kirain kamu nggak lihat, masih ngantuk."

Alis Adam mengerut. "Lihat apa, ya?" tanyanya.

Aku nggak tahu dia benar-benar nggak melihat kejadian rambutku tersangkut kancing kemeja Bastian di depan pintu atau tidak. Aku merasa dia hanya pura-pura nggak tahu. Semoga saja dia nggak berpikiran macam-macam. Kejadian semacam itu kalau dilihat dari sudut pandang lain bisa menimbulkan prasangka yang tidak-tidak, kalau dia menuduh, aku bisa menjelaskannya. Aku agak berharap dia menuduh, tapi mengapa? Bukannya tadi aku udah bertekad itu urusanku, dan Adam nggak berhak ikut campur?

Adam menyentuh lenganku, "Memang kakak ngapain?"

"Nggak ngapa-ngapain," jawabku sambil menghindari sentuhannya. "Udah sana keluar dulu, aku mau cek isi ranselmu sebelum berangkat."

"Jadi boleh?" serunya semringah.

"Kalau nggak boleh emangnya kamu nggak akan nekat?" bentakku sengit, kusibak selimutku dan mendorongnya minggir supaya aku bisa turun dari tempat tidur. Begitu kedua kakiku menginjak lantai yang dingin, tatapanku menyongsong pantulan penampilanku dalam gaun tidur tipis di cermin rias. Secara refleks, aku merapatkan gaun yang melukis jelas siluet tubuhku di balik bahan satin itu. Aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku sendiri, aku merasa malu. Dengan sigap, kuraih outer gaun yang tersampir di kaki tempat tidur dan memakainya. Maluku belum mau hilang menyadari Adam tak berhenti memandangiku. Dia baru berdeham saat aku menyahut tas di atas meja kerja.

"Nekat, sih ...," katanya sekonyong-konyong.

Aku menoleh.

"Tadi kan kakak nanya, memangnya aku nggak akan nekat," terangnya.

Mungkin hanya perasaanku, tapi suasana jadi lebih canggung sesudahnya. Jantungku berdebar-debar. Aku berharap Adam segera keluar kamar seperti yang kuperintahkan sehingga aku tak harus menghadapinya dengan penampilan seperti ini. Untungnya, Adam kemudian menepuk pahanya sendiri dan bangkit. "Aku tunggu di luar,ya, jangan lama-lama," katanya.

Di ruang tengah, sesudah mencuci muka dan bertukar pakaian, kudapati Adam sedang menghabiskan setangkup roti tawar dan kuulurkan sejumlah uang padanya. Senyumnya mengembang lebar. Piring roti itu langsung diletakkannya di sisi duduknya buat menerima dan menghitung uang pemberianku.

Setelah puas, dia menyerahkan ransel yang langsung keteliti apa saja isinya.

"Over protective itu nggak bagus, lho, India," katanya, mulai kurang ajar lagi. "Apalagi kalau udah punya pacar, nanti pacarmu cemburu, gimana?"

"Kamu tuh memang, ya, baiknya cuma kalau ada maunya!"

"Sebab aku dididik begitu, kalau bersikap baik ... dapat apa yang kuingini. Aku nggak diajarkan untuk selalu jujur dalam mendapatkan apa yang kuinginkan."

Terang saja, aku megap-megap mendengarnya.

Tapi, Adam malah menyahut ranselnya yang sudah selesai kuperiksa sambil tertawa kecil. "Bercanda...," kekehnya. "Makasih, ya, Kakakku yang cantik, ini sebenarnya agak kurang, sih, tapi nggak apa-apa, deh, daripada enggak!"

"Aku mendidikmu untuk selalu bersikap baik, bukannya pura-pura baik demi mendapatkan apa yang kamu inginkan," ucapku serius.

"Kan aku udah bilang, aku bercanda," kilahnya.

"Bercandamu nggak lucu, siapa bilang aku nggak ngajarin kamu untuk selalu jujur?"

Senyum Adam langsung lenyap. "Semua orang memang ngajarin jujur, tapi mereka nggak selalu suka kalau kita berkata jujur. Kalau kejujuranku nggak sesuai sama keinginan kalian, yang merasa lebih tua, akhirnya kami harus berbohong supaya kalian senang, kan?"

Aku tak bisa berkata-kata.

"Misalnya memaksaku memanggilmu kakak. Itu membuatmu senang, kan? Ya oke lah ... kulakukan, tapi dengan begitu aku harus melanggar ajaranmu yang lain, Kak ... untuk selalu jujur."

"Maksudmu?"

Adam mendesah, dia bersiap pergi dengan mencangklong ranselnya. "Kakak tahu maksudku."

Aku menyusulnya. "Aku nggak tahu maksudmu."

"Aku ingin kita berdua sama-sama sadar ... di rumah ini ada dua orang dewasa. Aku sudah dewasa. Kita sudah sama-sama dewasa dan aku bukan adikmu. Sebutan kakak untuk orang dewasa lain yang tinggal di rumah yang sama bikin aku ngerasa posisi kita nggak sejajar."

"Kamu masih minta uang dari aku, Adam, sejajar dari mana?"

"Jadi kalau aku udah nggak minta uang lagi, baru boleh?"

Wajahku memerah, panas.

"Nah, kan? Emosi, kan? Aku tuh nggak punya maksud jahat dengan ngomong kayak gitu, tapi sebagai orang paling tua di rumah ini, kakak sendiri nggak tahu jelas apa mau kakak sebenarnya. Mau aku bersikap baik, atau mau aku jujur? Mau aku manggil kakak karena aku masih pakai uangmu, atau mau bagaimana?"

Sambil menahan geram dengan kedua tangan terkepal di sisi pinggang, aku mengangkat dagu menjawab, "Aku mau kamu bersikap baik, jujur, dan memanggilku kakak karena kita memang sudah seperti kakak beradik, aku mengurusmu, Dam!"

"Terima kasih," kata Adam dingin. "Tapi aku nggak janji aku selalu bisa menepati bersikap baik sekaligus jujur, kadang itu bertentangan—"

"Kalau kamu jadi anak baik, itu nggak akan bertentangan! Itu harusnya seiring sejalan!"

"Oh ya?"

Dadaku mengembang hampir hilang kesabaran.

"Aku nggak sabar ingin keluar dari rumah ini supaya aku bisa jujur dan kejujuran itu nggak akan bikin aku jadi anak nggak baik. Aku punya hak asasi sebagai manusia, kakak tahu itu? Kadang sebagai adik buat seorang kakak, aku harus kehilangan itu semua," ujarnya panjang, tenang, dan sama sekali nggak masuk di akalku. Aku hanya bisa menekuk wajah saking nggak pahamnya. Adam lantas menggeleng seolah dia begitu lelah menghadapiku. "Aku pergi dulu, ya?"

"Jelasin dulu!" tuntutku.

"Nggak mau!" kata Adam sambil ngeloyor pergi.

"Jangan main teka-teki sama aku, Dam!" Aku mengejarnya sampai ke pintu, dan hampir menubruk punggungnya karena dia berhenti mendadak. Mataku berkaca-kaca menyaksikan kesungguhan di wajahnya.

"Bukannya kalau aku sepakat sama temen-temen, aku nggak akan tinggal di sini?" tanya Adam.

"Tapi barusan kamu kedengarannya kayak nggak sekadar mau tinggal di luar rumah!" aku menjerit gemas.

"Sekarang coba dibalik," katanya. "Kalau kakak harus milih, aku tetap tinggal di sini—baik secara harfiah, atau kedengarannya—tapi aku boleh manggil kakak dengan kamu dan India, atau aku keluar dari sini—baik secara harfiah, atau kedengarannya—tapi aku tetap manggil kakak dengan kamu dan India?"

Aku meninju perutnya, Adam meringis lalu tertawa.

"Apa yang mau coba kamu katakan, Dam?" tanyaku lembut.

Tawa Adam perlahan surut. Dia memandangi wajahku seolah menelusuri tiap bagiannya di sana dengan tatapannya. Perlahan, hampir tak kentara, ia membasahi bibirnya sambil mengembuskan napas tanpa suara, "Aku nggak yakin kakak akan ngerti."

Tanganku bergerak sendiri, kuraih bagian depan jaketnya seolah dia sudah akan pergi, padahal ia masih bergeming. "Coba lah, Dam ...," bujukku.

Adam menyentuh tanganku yang mencengkeram jaket di bagian dadanya, sentuhan itu bergerak ke pergelangan tanganku. Cengkeramanku melonggar secara otomatis saat genggaman Adam di pergelangan tanganku mengencang. Kami saling membuang tatapan. Jantungku berdetak jauh lebih kencang sampai-sampai seluruh tubuhku lemas karena energiku terkuras untuk memompanya. Aku takut. Apa yang dipikirkannya? Aku punya dugaan yang tak ingin kuakui, tapi aku bohong kalau kubilang aku tak berpikir ke arah sana.

Oh Adam ....

Apa keputusanku sepuluh tahun lalu salah?

"Aku pergi dulu, ya?" kata Adam alih-alih, melepas sepenuhnya jemariku dari bahan pakaiannya. "Senin malam aku udah pulang."

"Adam ...," aku mencegah tanpa bermaksud melakukannya.

"Nggak apa-apa," katanya. "Aku benar-benar cuma bercanda. Aku selalu senang kalau kakak panik. Kalau dulu aku selalu mencari cara supaya kakak bangga sama aku, supaya kakak bahagia, rasanya sekarang aku lebih suka lihat kakak panik sama tingkah lakuku. Jangan dipikirin, aku udah telat. Apa Bastian akan ke sini?"

Aku sama sekali tak tahu harus berkata apa. Aku hampir yakin dia berusaha mengatakan sesuatu padaku, tapi dengan mudahnya ia melompat dari satu topik ke topik yang lain. Tahu-tahu menanyakan tentang Bastian membuat sebagian hatiku terluka karena malu. Perlahan aku mundur, mungkin pikiran itu hanya ada di benakku saja.

"Kak...?" panggilnya.

"Mungkin," kataku pelan dan pendek. Kuperjelas saat Adam bertanya lagi. "Mungkin aku akan mengundangnya kalau sendirian di rumah," imbuhku tanpa berpikir dua kali. Dengan sengaja aku memberi intonasi sedemikian rupa hingga terdengar keji dan seolah berhasrat membuatnya sakit hati.

Adam mengetatkan rahang, tapi matanya menatapku sendu. Dia menangkap maksudku. Bisa kubaca itu dari kedua alisnya yang melengkung. Dalam sekilas wajah, dia berubah menjadi pria dewasa yang tengah kecewa, bukan lagi pemuda ceria yang sengaja ingin membuatku marah. Dia diam dan seakan menungguku meralat ucapan.

"Enggak," ralatku tak tega, meski tak seharusnya aku merasa demikian. Aku mundur dan berdiri di dekat pintu seperti akan menutupnya. "Dia nggak akan ke sini, dan aku nggak akan mengundangnya."

"Kenapa kakak nggak ikut saja denganku?" tanyanya.

"Untuk apa?"

"Daripada sendirian di rumah."

Aku menyengalkan napas seolah ide Adam sangat konyol, tapi itu nggak sepenuhnya salah. Itu memang terdengar konyol. Aku nggak ingin berada di tengah kawan-kawannya yang membuatku merasa tua, aku nggak mau menjadi saksi sisi lain kehidupannya yang bikin aku semakin nggak mengenalinya lagi. Aku menolaknya.

Namun Adam tak juga beranjak. "Apa kakak benar-benar nggak ngerti maksudku?" tanyanya dengan kepala menunduk memandangi ujung sepatu. "Kenapa aku keberatan manggil kamu kakak akhir-akhir ini?"

Jantungku mencelus.

Saat mengucap pertanyaannya, bola mata Adam bergerak lambat sebelum menyorot tepat pada inti mataku. Wajahnya yang kaku dan sungguh-sungguh membuat nyaliku ciut. Aku memegangi handle pintu lebih erat, sebagian tubuhku beringsut ke balik pintu. Ragu, tapi tahu itu yang harus kulakukan, aku mengangguk. "Karena aku memang bukan kakakmu," jawabku, padahal aku punya satu jawaban lagi yang tak mau kusebutkan, jangankan pada Adam, pada diriku sendiri pun tidak.

"Ya," kata Adam lemah. "Kadang ... sesuatu yang terdengar menyakitkan buat orang lain justru menjadi harapan buat seseorang. Evil is just a point of view, iya, kan, Kak?"

"Menurut Lestat."

"Menurut Lestat," Adam tersenyum. Ia mengambil jeda sebentar untuk membasahi bibirnya. "Apapun yang ada di benakmu, aku yakin pasti salah. Apa yang jadi alasanku membandel soal yang satu ini pasti nggak ada dalam daftar penyebab di benakmu, tapi itu jelas bukan karena kamu salah membesarkanku, Kak. So just relax, okay? Aku nggak mau itu jadi pikiranmu."

"Itu sudah terlanjur jadi pikiranku," aku menggumam.

"Aku sudah besar," bisiknya. "Sebentar lagi aku bakal bisa ngurus diriku sendiri, siapa tahu malah bisa membalas jasa keluargamu. Aku paham kakak juga berhak bahagia," Adam menarik napas panjang dan mengembuskannya lewat mulut tanpa suara. "Tapi ada hal-hal yang akan meringankan bebanku kalau aku nggak melulu didikte."

"Oh ... Dam," aku merintih. "Apa maksudmu? Aku nggak paham."

"Jangan suruh aku melakukan hal-hal yang aku nggak mau lagi melakukannya."

"Ini masih soal manggil aku kakak?"

"Ini perkara yang jauh lebih rumit daripada itu!"

"Kalau rumit, coba katakan!"

"Nggak mau," Adam menggelengkan kepala kuat-kuat. "Kalau kukasih tahu ... aku hanya akan menghalangi kebahagiaanmu."

Aku memijit pelipisku. "Terserah kamu aja lah," kataku menyerah.

"Karena bilang kamu bukan kakakku aja, kamu nggak cukup paham," sergahnya.

"Kubilang; terserah kamu!" bentakku.

"Kalau cuma itu saja alasanku, aku nggak akan keberatan manggil kamu apapun, India!"

"Cukup. Kalau kamu nggak mau jelasin tanpa kiasan macam-macam, cukup. Lakukan apa saja yang mau kamu lakukakn, kamu sudah besar, kan? Sebentar lagi kamu nggak butuh aku lagi, kan? Perasaanku nggak perlu kamu pertimbangkan."

"Perasaanmu yang paling kupertimbangkan—"

Mulutku menganga, kepalaku menggeleng tak percaya. "Perasaanku? Adam, buatku ... denger kamu nyebut namaku itu sakit banget rasanya—"

"Sama juga denganku, manggil kamu kakak mungkin nggak berarti banyak, tapi melihatmu berpikir aku memanggilmu kakak dengan alasan yang tinggal di benakmu bertahun-tahun itu yang menyakitkan, tahu nggak?!" nada bicara Adam meninggi dan ia tidak menyesal atau meminta maaf sudah menggunakan nada yang kurang sopan padaku, malah, kedua tangannya mencengkeram erat tali ransel seperti memberitahu bahwa dia siap pergi.

Dan sesudah tak mendapatkan apapun dariku, dia mundur dan pergi.

Aku jadi merasa ditantang oleh sikapnya sehingga dadaku mengembang penuh tarikan napas saking emosinya. Sebelum mencapai pagar—aku membuka mulut tapi tak tahu pasti apa yang ingin kukatakan—Adam menoleh. Kami bertukar tatapan dengan amarah, dan pada detik yang sama saling membuang muka.

Sampai Senin tiba, aku tidak mendengar, atau mencari tahu kabar tentangnya. Seharusnya aku tahu mengapa ia berpura-pura tak melihat apa yang terjadi denganku dan Bastian di teras, juga pembahasan mengenai panggilanku yang terus menerus sampai membuat kepalaku mau pecah. 

Anak itu benar-benar seperti bom waktu. 

Dia penuh dengan strategi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top