Chapter 12. Kamu Lain
Mau ini dilanjutin enggak?
Spam komen, dong.
Aku biasanya nggak suka dispam komen, tapi sekarang mau, deh!
Hahaha!
***
Seketika, jantungku seperti dihantam martil.
Rumah dalam keadaan gelap gulita. Hari Minggu begini Mbak Karmi memang tak datang bekerja. Kalau Adam di rumah, seharusnya dia sudah menghidupkan beberapa lampu, suara musik selalu terdengar sayup-sayup dari kamarnya karena dia seolah tak bisa hidup tanpanya. Ke mana anak itu? Kalau kami tak habis bertengkar, aku akan menduga dia hanya pergi ke tempat kawannya. Tapi dalam keadaan seperti ini, kalaupun dia hanya main, aku tetap resah menunggunya pulang.
Dengan gontai, aku menaiki tangga menuju kamarku.
Tak ada cahaya dari celah pintu kamar Adam. Aku tercenung sesaat dengan menu makan malam yang sengaja kubeli untuk Adam masih kupegang, seharusnya tadi aku ke dapur dulu dan menyimpannya. Aku tak bisa berpikir jernih, jika ia pergi meninggalkan rumah, sia-sia saja aku melawan seluruh keluarga besar. Aku hanya bisa berdoa semoga Adam bisa mengontrol emosinya. Aku mengurungkan niat masuk, perlahan dan tanpa suara, kudekati pintu kamar Adam. Kuayun handle-nya dan seperti biasa, tak terkunci.
Oh syukurlah.
Dari tempatku berdiri, meski gelap, aku bisa melihat dua kaki besarnya menyembul dari balik selimut.
Anak itu sudah demikian besar, jika kami terus bertengkar, mungkin aku benar-benar akan bikin dia nekat keluar rumah tanpa harus didesak oleh tante dan bude.
Sudah lama Adam tak lagi pulang dari pertemuan keluarga dengan wajah murung dan sedih, melainkan marah. Seolah setiap saat, ia bisa saja hengkang saking tak sanggupnya menerima perlakuan orang-orang. Kadang, diabaikan terasa jauh lebih menyakitkan daripada ditolak mentah-mentah. Dia selalu merasa terasing, tapi harus melakukannya demi aku, dan demi dirinya sendiri yang tak punya banyak pilihan.
Dengan tubuh sebesar itu, aku yakin dia tak akan mau lagi menerima begitu saja diperlakukan demikian. Jika sudah mampu berdiri sendiri, tak seorang pun mau dipandang rendah oleh siapapun.
Apa aku terlalu keras padanya?
Dan ada apa denganku ini? Aku berdiri di balik tubuhnya persis seperti apa yang dilakukannya semalam.
Paling tidak, aku yakin dia benar-benar tidur. Adam selalu bangun tidur dalam keadaan tengkurap, meski awalnya berbaring telentang,. Jika sudah mulai lelap, dalam keadaan tidak sadar posisi tidurnya pasti langsung berubah seperti saat ini. Oleh karenanya, aku selalu tahu kapan dia sudah benar-benar tidur, atau pura-pura. Mungkin, malah Adam sendiri tak menyadari kebiasaannya ini.
Selama beberapa saat, aku mengawasi punggung dan bahu kekarnya naik turun mengikuti embusan napas dengan perasaan tak menentu. Aku tahu hari di mana aku harus merelakannya pergi tak terhindarkan, tapi aku ingin ia pergi karena ia mampu, bukan karena semua orang mengkhawatirkan keselamatanku. Betapa piciknya mereka, betapa akan hancur hati Adam jika tahu selama ini mereka mencurigainya.
Yang lebih menyakitkan lagi, Adam sepertinya sudah bisa merasakan apa yang mereka pikirkan tentangnya.
Kaki Adam yang terusik membuat lamunanku turut buyar.
Tak mau membangunkannya, kuletakkan bungkusan makan malam di meja belajar. Sebelum meninggalkan kamar, kuhidupkan lampur tidur, dan kupasangkan obat nyamuk elektrik supaya ia tetap tidur nyenyak. Masih segar dalam ingatanku, sejak kami tinggal bersama hingga ia masuk SMA, setiap malam aku selalu menyempatkan diri mengecek kamarnya untuk memastikan ia sudah mematikan musik, atau memasang obat nyamuk.
Betapa cepatnya waktu berlalu.
Di dalam kamar, aku tidak langsung membersihkan diri. Rasanya letih sekali sehabis menyetir sendiri setelah seminggu penuh bekerja, belum lagi tekanan mengenai hal yang sama dan diulang-ulang, rasanya lama-lama tak sanggup kupikul sendirian. Kupikul bersama Adam pun berat, apalagi sendirian. Kalau aku masih sanggup, tadi aku akan diam. Kalau Adam tidak lebih dulu memancing emosiku, mungkin aku tidak akan melampiaskannya di depan mereka. Toh, aku sendiri sudah mulai memikirkan rencana melepaskan Adam baik-baik, pelan-pelan. Hanya saja ... aku tak tahan oleh pandangan mereka terhadap kami berdua.
Aku memijit kening. Pusing.
Sejak keluar paksa tadi aku sama sekali nggak menilik pesan dan telepon masuk gara-gara terlalu takut. Tante Lydia menelepon beberapa kali, notifikasi Line chat-ku jumlahnya sudah puluhan, tak ada yang kusentuh.
Sepuluh tahun aku hidup seperti ini, di bawah pengawasan orang-orang, dinilai, dan terus diarahkan. Aku selalu harus membalas pesan dan menjawab telepon segera, sebab jika tidak aku khawatir akan diabaikan. Aku tak lagi pernah membantah seperti ketika remaja dulu, hidupku berbalik 180derajat dalam semalam.
Namun malam ini, diam-diam aku ngerasa lega. Rasanya seluruh beban yang kuendapkan dalam perutku berhasil kumuntahkan. Mungkin nanti aku akan membalas pesan Tante Lydia sebelum tidur, tapi aku tak akan sudi bicara lagi dengan Tante Claudia. Ya ampun... dia adik bungsu mamaku, usiaku sama dengan usia putrinya, kenapa dia tidak bisa mencintaiku dan justru selalu mendesakku? Bukan hanya dia yang tak mendukung keputusan keluarga untuk membantuku membesarkan Adam, sesungguhnya tak ada seorangpun yang benar-benar setuju, tapi mereka paham terhadap perasaan bersalahku.
Dengan malas, aku beranjak dari tempat tidur.
Sesudah duduk di meja rias untuk membersihkan sisa make up dari wajah, kutanggalkan gaun merahku dan kulempar begitu saja ke tepi tempat tidur. Sambil bersenandung untuk merelakskan pikiran, kujatuhkan tali yang menggantung di bahuku hingga lengan. Tubuhku bergerak sendiri untuk memudahkan tangan kananku meraih ujung ritsleting. Begitu ujungnya terbuka hingga pinggul, bagian atas dressku jatuh ke pinggang.
Aku sengaja tidak melucuti semuanya sekaligus, aku tak pernah nyaman sepenuhnya telanjang kecuali di kamar mandi meski di rumah sendiri. Kuraih kaus bersih yang sudah kusiapkan dan kucari ujung jahitannya. Setelah bagian leher kaus itu melewati leher, baru kubiarkan sisa gaun yang masih tersangkut di pinggulku jatuh.
Kedua tanganku sedang akan memasuki lubang lengannya masing-masing ketika pintu kamarku tiba-tiba diayun dari luar.
Dari pantulan cermin rias, kulihat Adam menggosok sebelah matanya sementara tangannya yang lain memegangi kenop pintu. Tatapan kami saling songsong di pantulan cermin.
Aku membeku.
Adam juga.
Sampai kemudian bola mata Adam yang membulat mengerjap, dan rahangnya jatuh perlahan, baru aku tersadar dan memekik histeris sambil melindungi bagian tubuhku yang terbuka.
"ADAMMM!!!"
Refleks kilat Adam membanting pintu kembali tertutup hingga berbunyi sangat keras dan kudengar ia membalas berteriak, "KENAPA NGGAK DIKUNCI?!!!"
Astaga ... kupikir dia tidur!
***
Aku malu sekali.
Adegan seperti itu tak pernah terjadi selama kami tinggal berdua sepuluh tahun lamanya. Saking seringnya aku melihat adegan konyol serupa di drama-drama, aku selalu mewanti-wanti Adam supaya mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk, aku sendiri selalu mengunci pintu kalau ingin bertukar pakaian. Aku benar-benar tidak berpikir.
Belakangan, kuhampiri suara-suara yang berasal dari dapur.
Adam tengah menyantap makanan yang kubawakan untuknya di meja makan, menghadap arah kedatanganku.
Mukanya langsung cemberut. "Tadi aku denger suara-suara dari kamar sebelah, aku nggak lihat di meja ada makanan, kupikir siapa. Jadi aku ngecek aja tanpa mikir panjang."
Pipiku memanas. Sebenarnya itu bukan masalah besar, kan? Adam juga pernah melihatku dalam busana mandi kalau kami berenang. Meski aku pernah mendengar; walaupun bikini dan baju dalam wanita hampir sama, reaksi yang terjadi pada pria bisa sangat berbeda jika melihat wanita mengenakan salah satunya. Lidahku kelu.
"Aku bisa trauma," gumamnya.
"Maksudmu?"
"Aku kan belum pernah lihat badan perempuan, kalau yang pertama kulihat badan kakakku, bisa-bisa aku jadi takut sama perempuan."
"Kurang ajar," rutukku sambil kupukul pelan puncak kepalanya.
Adam mengaduh. "Harusnya pintunya dikunci kalau ganti baju," imbuhnya.
"Iya, maaf. Tadi kulihat kamu tidur...."
Kami berdua lantas diam, duduk berhadapan, agak salah tingkah kalau bisa kubilang. Adam sendiri hanya mengaduk-aduk makanannya.
Akhirnya, aku bergerak dan berlama-lama di depan kulkas untuk mengambil minuman sampai kemudian dia bertanya, "Kok bawain makanannya dari mal, emang nggak dibawain dari sana?"
"Aku duluan," jawabku.
"Karena aku nggak datang?" dia bertanya lagi.
Napasku terbuang agak lebih kencang dari yang kuduga, membuat Adam mencuatkan alisnya. Kupegang botol jus kecil dengan dua tangan.
"Kena marah?" cecarnya.
Aku kembali duduk di seberangnya. "Menurutmu?" tanyaku.
Dia mengumpulkan bibirnya ke kanan dan mendengkus tak kentara.
"Tapi aku nggak akan maksa kamu ke pertemuan lagi, kok," kubilang. Kepala Adam yang semula menunduk menatap makanannya mendongak. "Sebab aku juga hanya akan datang ke sana kalau aku ingin saja."
"Segawat itu mereka marahnya?"
"Aku yang marah."
Adam masih belum bisa mengikuti. Kerut di antara alisnya semakin dalam, sementara mulutnya menganga. Aku sengaja tidak melabuhkan tatapan padanya, menyibukkan diri membuka penutup botol dan meneguk isinya. Dari ekor mataku, kulihat Adam masih berusaha mengira-ngira apa yang terjadi.
"Nggak usah dipikirin," ujarku kemudian. "Yang penting kamu kuliah, aku bisa biayain kamu pake uangku sendiri. Kamu benar, toh udah lama sebenarnya kita nggak butuh pertolongan siapa-siapa. Aku mau tetap hormat pada mereka, tapi sebagai gantinya mereka juga harus menghargai kita berdua. Aku sudah paham maksudmu."
Adam baru mengerjap. Sepertinya dia benar-benar susah memahami apa yang kukatakan sejak tadi.
Dengan botol jus yang tinggal setengah di tanganku, aku beranjak dari kursi dan mendorongnya ke balik meja. "Aku cuma kecewa sama apa yang kamu bilang di mobil tadi pagi. Kamu boleh marah, jengkel, aku juga sering marah dan jengkel sama kamu, kamu masih muda, memang masa-masanya kayak gitu, tapi ini berlaku buat kamu juga ... aku akan menghargai kamu kalau kamu juga bisa menghormatiku."
Di ambang pintu dapur, aku menoleh sekali lagi, "Dam ...."
Adam memandangiku.
Aku berpikir cepat, sebaiknya membahas perkataannya tadi pagi, atau membiarkannya berlalu. Aku tahu dia hanya emosi, dia tidak mungkin sungguh-sungguh, kan? Kalau aku bertanya bagaimana perasaannya padaku, apa benar dia nggak pernah menganggapku kakaknya, lalu kami bertengkar lagi, bisa-bisa dia makin enggan dan malas tinggal di sini.
Aku menggeleng, "Nggak jadi. Jangan lupa cek pintu dan jendela, matikan lampunya kalau mau tidur."
Tanpa menunggu jawaban Adam, aku meninggalkan dapur.
Nggak sampai lima menit, pintuku diketuk.
"Kenapa? Minta maaf lagi?" tanyaku.
Dia menunduk, lalu mengangguk.
"Kamu serius nggak pernah menganggapku sebagai kakakmu?"
Masih sambil menunduk, Adam menggeleng,
Aku menyembunyikan perasaan legaku baik-baik, bersiap menyampaikan pertanyaan kedua mengenai malam sebelumnya. Namun, Adam keburu mengangkat kepalanya, "Aku mau kuliah di sini saja," katanya. "Aku mau tinggal di sini saja sama kamu."
"Kamu?" geramku tertahan.
"Kamu," tegasnya.
"Adaaammm," keluhku putus asa. "Kalau kamu mau tinggal di sini, berarti kamu harus tetap jadi adikku, kamu harus manggil aku kakak! Kamu harus meyakinkan keluarga kita bahwa kamu bagian dari keluarga ini. Jangan keras kepala."
"Aku selalu menganggapmu kakak, tapi kamu tetap bukan kakakku. Aku nggak mau kita pura-pura kita kakak beradik."
"Maksudmu tuh apa, sih?!" Aku mulai jengkel.
"Aku sayang sama kamu," tukasnya tegas, tanpa keraguan.
Mataku membelalak sampai mau jatuh. Tetapi, melihatnya demikian sungguh-sungguh, entah mengapa kemarahanku justru menguap. "Aku juga sayang kamu, Dam ...," kataku lemah. Kusambut tangannya yang jatuh di sisi pinggangnya. "Kumohon ... jangan bikin ulah, ya? Kita harus kerja sama, ya? Aku nggak tahu apa yang ada di kepalamu sekarang, aku tahu kamu kesal sama perlakuan keluargaku, aku juga sama. Tanpa sadar mereka sudah menanamkan kebencian di benakmu dan sulit bagimu mengakui mereka sebagai keluarga. Mungkin kamu menanti saat kamu tumbuh dewasa untuk menyangkalnya, aku paham. Tapi, kamu harus tahu, aku ada di pihakmu, aku bukan orang yang harus kamu musuhi. Aku bukan mereka, Adam."
"Kamu bukan mereka"—Adam menggenggam tanganku yang menyentuhnya—"Kamu lain."
Kamu lain.
Ya, tentu saja aku lain. Aku tidak pernah memperlakukannya seperti kebanyakan anggota keluargaku memperlakukannya, kan? Senyuman Adam membuatku ikut tersenyum. Walau demikian, senyum yang mengembang di bibirku masih terasa kering dan ragu-ragu.
Adam mengayun jemariku dalam genggamannya seperti anak kecil yang menggamit tangan orang dewasa sebelum melepasnya. Ia mundur, dan berkata, "Makanya, jangan lupa kunci pintunya kalau ganti baju, kakak bukan kakakku."
Terang saja, mukaku merah antara mau marah dan malu.
Aku nggak ngerti apa maksud anak itu, tapi yang jelas dia pandai membuatku berpikir bahwa apa yang dia pikirkan tidak seperti yang kupikirkan.
India
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top