Klassische Romantik von Belgien

My Short Story  Land
its real from my mind!!!!!

Rabu, 01 Maret 2017

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Beansprucht und Inhalt Ihres Herzens begraben

Sebuah papan persegi panjang berdiri kokoh sejajar di pinggir sungai Achterdok, Ghent yang terletak di kota Belgium. Setiap aksen tulisan Jerman, bermakna sebagai himbuan pemuda-pemudi untuk menyalurkan perasaan terpendam, dengan cara menggulung secarik kertas yang sudah ditulis, lalu dimasukan dalam botol. Kemudian, botol itu di hanyutkan. Tradisi unik ini sudah ada sejak lama. Dan penduduk sekitar tidak kaget dan heran ketika melihat wanita atau pria yang berkunjung jika menghanyutkan surat dalam bentuk botol.

Nesya menyusuri jalan seberang tepi sungai Ghent yang masih tertutup hamparan putih. Matanya melihat sisi jalanan yang penuh dengan gundukan salju. Hampir semua gundukan salju menutupi seluruh bagian akses jalan. Pohon pinus dan cemara yang menjulang tinggi ikut sebagian tertutupi.

Nesya mengulas senyum kala melihat antusias penduduk Belgia cinta akan kebersihan. Lihat! Sebegitu cekatan dan uletnya penduduk-penduduk sekitar, terlihat bertebaran, membersihkan rumah masing-masing. Sebagian penduduk membawa peralatan kebersihan termasuk pengeruk salju. Ada sebagian penduduk  tidak peduli, malahan memilih menikmati salju tersebut dengan bermain ice skating  atau ski. Ia melihat anak-anak kecil bercanda ria saling melemparkan bola salju. Tidak hanya mainan lemparan, salju itu bisa menjadi boneka-boneka salju. Musim dingin tahun ini sangat damai, sejuk, dan tentram. Musim yang menyenangkan!

Nesya termasuk mahasiswa beruntung. Dari sekian ratusan mahasiswa indonesia, ia medapatkan beasiswa, bisa mengenyam pendidikan ke luar negeri. Ia terpilih setahun yang lalu, saat berhasil mendapatkan IPK tertinggi di kampus ternama yang terletak di kota Bandung. Kini Nesya tengah menjalankan kuliah di Universitair Ziekenhuis Gent, program S2 , semester 3, mengambil jurusan bisnis.

Langit masih setia menghiasi hamparan luas berwarna kelabu. Membuat matahari malu-malu menutup diri di balik awan. Semilir angin yang bercampur udara dingin mengganggu helaian rambut Nesya. Hingga Nesya berkali-kali menyampirkan rambut ke belakang daun telinga.

Nesya berjalan sambil mengalungkan kamera SLR dan mulai membidik, mengambil sebuah objek yang pas untuk dipotret. Salah satu tangannya fokus mengarahkan dan mencari pencahayaan bagus agar hasil fotonya maksimal.

Posisi kamera berubah menjadi vertikal, Nesya seketika melihat dua pasangan manula sedang menunjukan kemesraan seraya membersihkan salju di halaman rumahnya. Nesya tersenyum, melihat mereka saling bertatapan mesra meskipun sudah lanjut usia. Sungguh romantis! Tanpa aba-aba Nesya menekan tombol shoot dan akhirnya, dapat.

Sekali lagi, Nesya membidikan kamera, tetapi berubah arah. Ia memilih membidik objek dekat tepi sungai. Kameranya terfokus pada objek yang dibidik, objek itu adalah sebuah papan berbahasa Jerman yang tertancap sejajar antara sekumpulan bongkahan batu es.

Nesya menekuri objek, mata sebelahnya menyipit kala melihat sebuah botol yang tergenang di tepi sungai. botol tembus pandang itu telah menarik perhatian Nesya.

Nesya mengurungkan niat memotret. Dari kejauhan ia melihat jelas posisi botol tembus pandang itu tergenang. Dia melangkah lebar, berlari melintasi kendaraan yang berlaju kecepatan sedang, kemudian, menuruni anak tangga dan duduk, berusaha meraih botol tergenang.

Botol tembus pandang itu sulit diraih. Nesya berulang kali mengulurkan tangan, dengan harapan bisa meraih botol tersebut. Namun, susah terjangkau. Kakinya maju selangkah lagi. Sebelum itu, ia melepas tali gantungan yang menyambungkan kamera dan menjauhi kamera dari risiko terkena air.

"Berpikirlah! Berpikirlah, Nesya!"

Bagaikan seember air bongkahan es yang mendadak tumpah di atas kepala, tiba-tiba mendapatkan ide cemerlang.

Nesya berlari, menuju sebuah pohon tua tanpa ditumbuhi daun, kemudian, mematahkan ranting pohon kayu. Dan membawa hasil patahan kayu tadi kembali ke tepi sungai.

Gadis itu tersenyum tipis, Oke! sekarang, ia bisa meraih botol yang membuat rasa penasarannya semakin menjadi.
Ranting tadi kembali dijulurkan untuk meraih botol. Namun, sayangnya semua itu tidak seperti ekspetasi Nesya. Tiba-tiba ranting kayunya hanyut, terlepas dari genggaman dan ia tidak sengaja menekuk pergelangan kakinya sendiri sehingga memicu bunyi bagian sendi yang cukup kuat.

"Aw! aw! sakit," pekik Nesya meringis kesakitan, ia mencoba meluruskan kaki, tetapi rasa sakit semakin mendera. Tangannya bertumpu tak berdaya, melawan rasukan hawa dingin.

Ketika seseorang mengulurkan tangan, Nesya menoleh. Ia tidak langsung membalas uluran pria, Nesya ragu dan takut. Kalau pria yang di hadapannya merupakan pria jahat atau bisa saja pria jahat yang sedang menyamar. Bagaimana pun juga, ia tidak boleh percaya, apalagi dengan orang asing.

Pria itu tersenyum tipis dan tetap keukeuh menawarkan bantuan. Nesya membalas dengan semyuman kaku.

Nesya meneliti keseluruhan penampilan pria di hadapannya. Rasanya tidak mungkin, jika pria ini penjahat. Dilihat dari baju kemeja tebal abu-abu yang terbungkus jaket long coat senada dengan bawahannya, tak lupa ada syal berwarna abu-abu melilit mengelilingi leher. Ditambah tas ransel yang bertengger di bahu memberikan kesan bahwa pria ini seperti anak pelajar.

Nesya mempertimbangkan cukup lama, kali ini ia harus menyingkirkan rasa ego. pasalnya, saat ini ia membutuhkan bantuan.

"Hello! Fräulein," (Hallo, Nona)

Nesya tersadar dan segera menerima uluran dari pria tersebut. Pria itu memapah tubuh Nesya dengan teliti. Keduanya berjalan menuju tempat kayu yang terletak tak jauh dari sungai.

"Danke," (terimakasih) ucap Nesya ragu-ragu, matanya masih menyiratkan tidak percaya.

Pria itu menoleh ketika mendengar, intonasi nada lembut dari Nesya. Matanya menyusuri dari atas kepala sampai ujung kaki Nesya. Semua serba pink, gumam pria itu.

Satu kata yang terpikir oleh pria itu, wanita itu feminim. Kemudian, ia melihat sebuah kamera SLR di sisi badan Nesya. Kalo dilihat cara berpakaiannya sepertinya dia adalah traveller. Tak sadar, pria itu makin tenggelam dalam berbagai asumsi.

Hening dan tak ada pembicaraan. Telah mendominasi suasana keduanya. Rasa canggung menguasai perasaan Nesya. Ia ingin berbicara lebih dengan pria yang di hadapannya, tetapi pria itu malah asyik dengan tablet smartphone.

"Can you speak english? I can't speak germany language too fluently," ucap Nesya mencairkan suasana.

"Really? Okay," jawab pria itu santai.

Belum sempat menciptakan obrolan lebih lanjut. Tiba-tiba Handphone Nesya berdering nyaring memecah konsentrasi untuk berbicara.

"Wait for a moment, please."

Nesya mengambil Handphone dan menekan tombol berwarna hijau.

"Kakak mau coklat lagi?"

"Mau berapa bungkus?"

"Okey, mau yang rasa buah apa rasa susu?" tawar Nesya seraya mengambil sebuah buku catatan kecil dari saku coat blazzer tebal.

Pria itu terbelalak mendengar pelafalan aksen Bahasa indonesia wanita itu sangat lancar, sempurna, tak cacat sedikit pun. Perlahan sudut bibirnya terangkat membuat sebuah senyuman.

Nesya menutup telepon dan kembali menatap pria di hadapannya, tetapi ada yang aneh, pria itu tiba-tiba tersenyum.

"What's wrong?" tanya Nesya heran.

Pria itu tidak menjawab pertanyaan Nesya, malah ia balik bertanya.

"Kamu, bisa berbicara Bahasa Indonesia?"

"Kamu!" seru Nesya spontan.

Keduanya terdiam saling menahan senyum. Sedetik kemudian, keduanya tertawa.

"Benar, aku bisa bahasa indonesia dan berasal dari Indonesia," ujar Nesya bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama ia menemukan teman yang bisa satu bahasa, jadinya kan gak perlu kesulitan penyamaan bahasa.

"Kita sama, aku juga tinggal di Indonesia. Sekarang aku lagi menempuh study akhir,"
balas pria itu.

"Oh, sudah mau selesai. Kalau boleh tau kamu ngambil jurusan apa?"

"Aku mengambil jurusan aquaculture dan studyku di sini tinggal beberapa bulan lagi."

"Wah! keren, berarti hampir setiap minggu ya ada kegiatan snorkeling," kata Nesya bernada lembut.

"Gak setiap minggu, sih, tapi dua bulan sekali. Terus, bukan hanya snorkeling ada diving, survey biota laut, masih banyak kegiatan lain."

"Kamu jurusan apa?" lanjut pria itu.

"Jurusan bisnis, yah ... fokusnya mengenai tentang bisnis tata boga, fashion, dan perkembangan bisnis industri," tutur Nesya, merapatkan jemarinya dalam saku coat.

"Jurusan menarik, emang kamu mau buat sebuah usaha yang sampai tertarik masuk bisnis?"

"Rencananya begitu, mau buat toko kue ala Eropa."

"Pastikan aku pelanggan pertama yang mencicipi semua kue-kue buatan kamu, oke?"

Nesya tertawa pelan. "Boleh, asal kan kamu siap membayar dua kali lipat," ucap Nesya diplomatis.

Pria itu mengalihkan pandangan ke sesuatu tempat dan menyuruh Nesya tetap duduk di tempat. Pria itu menyebrang cepat karena keadaan jalan raya sepi, lalu masuk ke sebuah kedai.

Cukup lama Nesya menunggu. Dia memutuskan mengaktifkan ponsel dan mengecek sejumlah notifikasi aplikasi, pesan, dan lain-lain.

Tak lama kemudian, Nesya menahan senyum, melihat pria itu datang membawa dua gelas cup yang masih mengepul dari celah tutup plastik.

"Buat kamu," Pria itu mengambil posisi duduk bersejajar dengan Nesya.

Nesya mengangguk dan menerima segelas cup yang berasa hangat menjalar seluruh telapak tangannya.

"Gimana kaki kamu, masih merasa sakit?"

"Sedikit."

"Bagian yang mana, yang ini atau yang ini," Pria itu berlutut, memeriksa pergelangan kaki milik Nesya.

Perlahan dengan hati-hati, pria itu memutarkan, menggoyang-goyangkan pergelangan kaki Nesya. Nesya menahan rasa perih sekaligus ngilu.

"Hanya bergeser sedikit," ucap pria itu tenang, setelah mengobati Nesya.

Kaki Nesya kembali normal, ia perlahan menggerakan kakinya dan rasa sakitnya sekarang hilang.

Mata Nesya membulat sempurna ketika melihat jarum jam tangannya menunjukan pukul 16:00 PM. Oh My God! Ia lupa kalau sedang ada janji dengan teman satu asrama.

"Sudah sore, aku pamit pulang. Senang bertemu dengan kamu," Nesya beranjak berdiri bersiap meninggalkan tempat.

"Aku juga, lain kali kita bertemu lagi ya," balas pria itu dengan senyuman menawan.

Nesya melambaikan tangan lalu menyebrang secepat kilat hingga pria itu hanya bisa menatap punggung Nesya makin mengecil dan hilang.

Saat ingin beranjak pergi, alis pria itu terangkat, ia mengambil sebuah buku yang tertinggal di atas bangku tanpa penyangga tralis, dan ternyata buku itu milik wanita yang barusan bersamannya. Di halaman pertama buku tergores ukiran pena dengan kalimat 'Nesya' , Ternyata nama dia Nesya.
☆☆☆☆

"Ghent-Zuid."

Bus mendadak berhenti menepi, ketika mendengar teriakan salah satu dari belakang. Nesya berjalan pelan, tangannya bergantungan silih berganti lalu memberikan E-card yang di-scanner oleh mesin pendeteksi. Tak lama, layar mesin pendeteksi itu muncul tulisan biaya ongkos sebesar 12€ .

Nesya segera turun dan berlari kearah St.Keizervest, memasuki sebuah asrama dan berjalan cepat mencari lorong-lorong asrama.

Langkah Nesya terhenti ketika melihat daun pintu berwarna putih, yang bersebelahan dengan kamar asrama miliknya sendiri.

"Sherry, Sherry, I'm coming," Nesya menekan interkom, berbicara sesuatu.

Tidak ada jawaban, sekali lagi dia mencoba mengetuk, menunggu jawaban. Hasilnya nihil! Sepertinya, sudah terlambat. Teman satu asramanya yang bernama Sherry sudah pindah. Bagaimana ia bisa lupa dengan teman akrabnya sendiri.

Tidak ada pilihan lain, ia memasuki kamar asramanya dan langsung menyambar handuk, menuju kamar mandi.

Rasa segar sekaligus dingin menyelimuti sekujur tubuh Nesya. Pegal-pegal dan rasa lelah hilang seketika.

Nesya melilitkan rambut yang terbungkus handuk, beranjak ke atas ranjang, berbaring sambil merentangkan tangan.

Hari ini terasa singkat namun membekas di hati. Pertemuan tak terduga itu membuahkan rasa yang manis. Seperti durian runtuh, tiba-tiba mendapatkan seseorang yang mempunyai banyak persamaan. Sudah itu, dia perhatian dan tidak terlihat jahat. Beruntungnya, Nesya bisa bertemu seseorang yang sama dari seluas tanah Belgia.

Tetapi ada satu hal yang bisa ia lupakan, mereka belum berkenalan secara resmi. Jangan kan berkenalan, namanya saja tidak tahu.

Andai saja, Nesya kembali di pertemukan lagi . Dia pasti akan mengucapkan terlebih dulu.

Andai saja, Nesya bisa bertukar nomor. Dia pasti sudah saling bertukar pesan.

Andai ... Oke! cukup berandai-andai. Nesya menarik selimut dan menghidupkan lampu tidur.

"Semoga kita bertemu lagi."

☆☆☆☆
Sepulang kuliah, Nesya langsung menuju ke perpustakaan kampus yang tak jauh dari letak fakultas Economic of Universitair Ziekenhuis Gent. Dan ia sekarang sudah berdiri tepat di depan pintu kaca perpustakaan.

"Excuse me," ucap Nesya sopan sembari memberikan kartu mahasiswa.

"Please, enter," pinta petugas perpustakaan.

Kartu itu di-scann dan setelah bunyi Beep, palang otomatis terbuka.

Kedua mata Nesya sibuk menjelajahi pemandangan seluruh ruangan. Rata-rata pengunjungnya mahasiswa akhir. Sepertinya, mahasiswa dalam tahap penyusunan skripsi. Sunyi senyap mendominasi ruangan tersebut.

Mata Nesya menatap sebuah kursi kosong terletak di sudut meja panjang yang lengkap dengan fasilitas colokan listrik, beberapa alat tulis, dan setoples berukuran kecil yang berisi permen karet.

Nesya berjalan pelan menuju kumpulan jajaran rak buku. Ia berjinjit pelan ketika melihat buku yang dicari. Yaitu buku mengenai profil-profil bisnis di benua Eropa.

Nesya mencoba meraih buku itu yang terletak paling atas. Namun, apa daya rak buku itu lebih tinggi dibanding tinggi badannya. Tangannya masih berusaha menggapai-gapai buku sampai dapat.

"Kamu, Jangan menyiksa diri sendiri. Kalo merasa tidak mampu, kenapa tidak meminta bantuan?"

Satu suara berat khas milik pria itu membuat Nesya menoleh, melihat pria berdiri di hadapannya dengan menahan buku yang ingin ia ambil. Matanya beradu pandangan lekat. Jarak keduanya sangat dekat, membuat Nesya yang tiba-tiba menoleh gelagapan. Tak karuan, menjadi salah tingkah.

Nesya tersenyum, menggaruk tengkuk tidak gatal. "Aku ingin mandiri, mengerjakan segala sesuatu sendiri."

"Okey, tapi jangan ragu meminta bantuan jika tidak mampu melakukanya," tutur pria itu seraya membantu Nesya mengambil beberapa buku.

"Of course," Nesya membawa buku setumpuk dan berjalan beriringan dengan pria itu.

Nesya menatap wajah tenang milik pria itu. Dan kali ini ia tidak lupa sesuatu itu. Tidak akan.

"Nama kamu siapa?" tanya Nesya.

"Kamu beneran mau tau?" pria itu bertanya balik, membuat Nesya bingung, harus menjawab apa.

Pria itu tidak memberikan jawaban sama sekali, malahan ia mempercepat langkah menuju meja diskusi.

"Eh ... Eh ... "

Nesya menyusul pria itu yang sudah duluan duduk, ia menarik kursi asal dan duduk berhadapan.

"Mari kita berkenalan secara resmi. Rasanya aneh aja, kita sering bertemu tapi belum pernah berkenalan, bukan begitu?"

Aktivitas membaca bukunya terhenti, pandangan beralih ke hadapan wanita yang membuatnya gemas.

Pria itu tertawa pelan,
"Bukannya, kita baru sekali bertemu? dan hari ini yang kedua kali?"

Kini giliran Nesya terdiam. Sial. Tanpa sadar ia menunjukan bahwa menginginkan pertemuan lebih. Pipi Nesya tiba-tiba memanas, Tangannya meremas rok kuat. Ada rasa yang tak biasa.

Pria itu menahan senyum,
"Kalo itu mau kamu, oke. Perkenalan nama saya Samudra, panggil saja Sam".

Nesya mengganguk, tersenyum tipis.

"Aku senang kita bisa bertemu, aku jadi punya kesempatan," lanjut Sam dengan kalimat menggantung.

Nesya mengernyitkan dahi, apa maksudnya,
"Kesempatan untuk?"

"Mengembalikan buku kamu Nesya," balas Sam spontan sambil menunjukan sebuah buku catatan kecil.

"Syukurlah, aku kira buku ini terjatuh di bus atau terjatuh di jalan. Buku ini isinya penting." Buku itu berpindah ke tangan Nesya.

Sam hanya menggangguk dan tenggelam dalam aktivitas membaca. Sam membaca buku-buku tentang kelautan sedangkan Nesya membaca buku bisnis.

Sam beralih pandangan dan menatap heran, melihat tangan Nesya aktif mencatat semua informasi di sebuah binder catatan.

"Kamu serius mau mencatat semua di buku-buku itu? Kenapa tidak browsing, sekarang banyak situs-situs edukasi," kritik Sam.

"Memang sih banyak, tapi banyak juga situs-situs yang menipu, jadi lebih baik mencari di buku-buku, lebih original," jawab Nesya sambil menepuk tumpukan buku.

"Dunia itu memang sempit. Masih gak nyangka kita bertemu, kita berasal dari negara yang sama dan sekarang satu universitas."

"Mungkin semua ini skenario tuhan, dan aku yakin pertemuan tak terduga ini ada makna tersendiri," ucap Nesya tulus.

Keduanya saling senyum dan bertatapan lekat. Senyuman penuh arti.

"Sebentar lagi bulan Juli dan kita libur semester. Kamu mau liburan bersama?"

"Aku punya tiket liburan, tapi aku tak tahu mau pergi sama siapa, makanya aku ajak kamu karena cuman kamu teman saya di sini," jelas Sam seraya menyodorkan dua tiket.

"Boleh Sam, aku juga ingin refreshing."

"By the way, Kapan rencananya kamu pulang ke Indonesia?"

"Seminggu lagi, abis liburan sama kamu. Nanti aku hubungin kalau mau berangkat."

"Okey!"

Waktu cepat berlalu, sekarang waktu sudah menunjukan jam 4 sore. Dan Nesya sudah menyelsaikan semua tugasnya dan berpamitan pulang.

"Kamu sudah selesai?" tanya Sam kala melihat Nesya merapihkan tumpukan buku.

"Sudah, sekarang aku mau pulang," Nesya beranjak dari kursi.

"Bisa kita pulang bersama?"

"Tapi, tapi ... aku mau membeli kebutuhan di market. Soalnya besok hari sabtu, semua toko libur," elak Nesya.

"Aku juga mau beli sesuatu."

Nesya seketika membeku, Okelah! bukannya ini kesempatan bagus agar bisa berlama-lama dengan Sam. Tetapi, di balik itu juga Nesya harus siap mental hati. Harus siap.
                     ☆☆☆
Selama perjalanan dari kampus ke mini market, banyak oborolan yang mengalir, banyak hal yang dibicarakan mulai dari hal-hal yang kecil sampai hal berat. Semua itu karena Sam mempunyai sifat terbuka dan humble social.

Mereka berdua keasyikan mengobrol, sampai keduanya merasa kelaparan.
Keduanya berhenti di sebuah kios kecil. Kios yang menjual makanan jajanan khas Belgia. Sam berdiri di depan kios dan memesan makanan.

"One moules-frites and one Mayo-frites, take away," ucap Sam penuh pelafalan bahasa Inggris.

Keduanya kembali melanjut obrolan yang sempat terputus, sembari menunggu pesanan mereka datang.

Tak terasa, benda langit berwarna jingga tenggelam, perlahan langit berubah menjadi gelap dan lampu-lampu kelap-kelip mulai bertebaran di atas permukaan jagat raya.

Selama perjalanan banyak obrolan, canda, dan tawa. Mereka terlihat bahagia. Keduanya saling bergandeng tangan.

Namun, karena sudah malam, Sam mengantarkan Nesya ke halte bus, keduanya berpisah dekat persimpangan halte.

"Sampai jumpa dan terima kasih sudah mengantar." Nesya mengucapkan salam perpisahan dan berbalik menuju halte.

"Sama-sama," sahut Sam tersenyum, memamerkan deretan gigi seraya melambai ke arah Nesya.

Nesya berjalan, mencari celah keluar dari kerumunan asing yang berbicara bahasa jerman dan menyebrangi jalanan, lalu bersiap masuk bus.

"Tunggu Nesya!!"

Sekelompok orang yang tengah asik berbicara bahasa jerman berhenti seketika, beralih memperhatikan seorang pemuda yang menurutnya aneh.

Merasa ada memanggil namanya, Nesya mengurungkan niat masuk bus dan berlari ke arah Sam yang mau mengahampirinya.
Kemudian keduanya bertemu lagi.

"Kita boleh bertukar nomor? jadi kalau ada hal yang penting aku bisa menghubungi kamu," pinta Sam menjelaskan rinci.

"Boleh." Mereka saling bertukar nomor kemudian, keduanya saling mengucapkan salam perpisahan. Setelah itu, Nesya masuk bus rute terakhir sedangkan Sam berjalan menuju halte dekat stasiun Gent-Sin-Pieters.
☆☆☆☆
Malam ini Nesya tidak bisa tidur, ia sudah mencoba ganti-ganti posisi tidur beberapa kali tetap tidak tidur. Ada apa sebenarnya. Terlebih lagi, Nesya teringat dengan Sam.

Kalau melihat Sam dari segi penampilan dan potongan wajah, boleh di akui, Sam masuk  daftar kriteria Nesya. Apalagi dari cara Sam berbicara itu lembut. Ada kenyamanan yang diam-diam hinggap.

Belum habis memikirkan Sam, tiba-tiba handphone berdering, di layar terlihat nomor tanpa nama.

"Kamu sudah sampai rumah?" tanya seseorang dari seberang tidak sabaran.

Nesya tertawa pelan.
"Sudah Sam, malah dari sejam yang lalu. Ada apa?"

"Gak ada. Aku cuman mau memastikan kamu pulang dengan selamat," polos Sam tanpa sadar.

Diam-diam Nesya tersenyum. Apakah pernyataan barusan bisa di sebut dengan salah satu bentuk perhatian. Hatinya berbunga-bunga~

"Aku baik-baik aja."

"Syukurlah. Ingat ya janji kita dua hari lagi kita liburan bersama." Sam mengingatkan Nesya, takut wanita itu lupa.

"Kata kamu seminggu lagi, kok dua hari lagi?" protes Nesya.

"Lebih cepat lebih baik, Nes. Sudah dulu yaa, Guten Nacht."

Belum sempat menjawab telepon terputus lebih dahulu. Padahal kan mau balas ucapan tidur dia.
'Guten Nacht too, Sam.' batin Nesya.
☆☆☆☆☆

Dua hari kemudian ...
Sudah satu jam Nesya menunggu Sam di halte bus, tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan batang hidungnya. Kemana dia. Rasanya tak mungkin kalau dia sampai lupa dengan janjinya sendiri sebab dia lah yang semangat menggebu-gebu selalu mengingatkan Nesya.

Kedua mata Nesya menatap langit. Cuaca hari ini cukup bersahabat, setidaknya hari ini tidak ada cuaca terlalu ekstrim. Hari ini cukup stabil. Tidak terlalu dingin, tidak terlalu panas. Sepertinya semesta mendukung kegiatannya hari ini. Good!

Nesya mulai gusar, kakinya diayun-ayunkan lalu berdiri, kemudian kembali duduk dan berdiri lagi, mondar-mandir sambil menghubungi Sam. Tidak ada jawaban. Kemana sih dia. Atau jangan-jangan Sam hanya mempermainkan saja. Diam-diam rasa kecewa merambat di hatinya. Rasa kesal dan sesak beradu sekaligus.

"Paling gak enak di suruh nunggu tanpa kepastian," keluh Nesya tanpa sadar.

"Penipu, pembohong, nyebelin, udah dua jam, lama-lama jadi lumutan, jamuran!" seru Nesya sendirian, mulai merasa badmood.

"Siapa yang kamu bilang penipu dan pembohong?" ujar Sam tiba-tiba muncul.

Nesya melotot melihat Sam tiba-tiba muncul. Bisa membuat Nesya jantungan. Heran, hoby sekali makhluk satu ini muncul tiba-tiba.

"Kamu."

"Aku minta maaf deh, udah telat," rayu Sam melihat muka badmood Nesya.

"Yasudah ayo," ajak Nesya hatinya mulai melunak.

"ayo, today it's our memorise."
☆☆☆☆☆

Jarak dari halte Gent-Zuid ke Sungai Leie tidak lah jauh, hanya memakan waktu 48 menit. Tentunya, jika di tempuh dengan menggunakan bus dalam keadaan akses jalan sepi, akan lebih cepat sampai.

Saat melangkahkan kaki, pertama kali yang mereka lihat adalah paronama keindahan Sungai Leie. Banyak terdapat kastil-kastil tua berwarna kuning ke-emasan telah berdiri kokoh selama ratusan, terletak berjajaran di dua sisi dari sungai Leie. Selain itu, ada sekolah antik dan bangunan tua yang bersejarah yang menarik perhatian pengunjung wisata. Tak lupa, setiap dua sisi sungai terdapat berbagai macam bunga berwarna-warni menghiasi sepanjang sisi sungai.

Sebenarnya, setiap lima tahun sekali selalu diadakan festival bunga namun karena tahun ini belum ganjil lima tahun, sebagai gantinya setiap hari minggu diadakan festival permen coklat yang menggugah selera.

Nesya dan Sam berjalan beriringan. Sesekali Nesya memotret objek yang menurutnya menarik. Ia terkesima melihat sebuah bangunan yang menarik perhatiaanya, yaitu bangunan dengan arsitektur seperti ujung lancip krystal, yang terletak di sebelah jembatan st.Michel yang bergaya Gothic-classic. Tempat itu sepeetinya merupakan tempat romantis, banyak anak remaja yang memadu kasih dan saling mengekspresikan cinta.

"Nesya sini," sahut Sam dekat dermaga boat ride dari kejauhan.

Aktivitas memotretnya terhenti ketika melihat Sam memanggil dari kejauhan, berjalan menuju tempat Sam berada.

Nesya mendapati Sam sedang bertransaksi dengan pemandu sungai. kemudian, kedua matanya melihat sebuah perahu berukuran kecil dengan muatan 6-7 orang. Masing-masing perahu itu siap membawa para wisata berkekeliling sepanjang sungai Leie.

Salah satu perahu kembali singgah dan menurunkan penumpang. Sekarang giliran, Sam dan Nesya menaiki perahu secara bergantian.

Pemandu tour menawarkan berbagai macam paket kunjungan wisata. Ada rute wisata De bootjes van Gent ( jendela untuk seribu tahun arsitektur) , Gent watertoerist ( perjalanan putaran sejarah), dan Rederij
De Gentenaer (lintas air). Keduanya sepakat memilih semua paket yang ditawarkan oleh pemandu.

Pertama, mereka menyusuri dua sisi sungai. melewati kanal-kanal, melihat beberapa bangunan kastil-kastil yang mewah.

Nesya menatap ke arah Sam yang fokus memandangi bangunan berbentuk kubus yang menjulang tinggi, mirip penjara zaman dahulu. Wanita itu tertegun, melihat wajah maskulin Sam. Tak menutup kemungkinan, ia tervonis sindrom cinta.

Diam-diam Nesya memotret wajah Sam. Pria itu tersadar langsung menoleh kearah Nesya. Tiba-tiba rasa panas-dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, pipinya memanas, ia tertangkap basah mengambil foto tanpa sepengetahuan pemiliknya.

"Hapus fotonya!" Sam berusaha mengambil Kamera milik Nesya.

"Jangan. Fotonya buat kenangan aku, hasilnya bagus kok."

"Apalagi di foto ini kamu terlihat ganteng." Nesya menutup mulut.

Tanpa sadar kata itu terucap. Salah tingkah menghampirinya. Harus bagaiman. Semakin lama ada atmosfer canggung di antara mereka.

Sam tersenyum manis.
"I can hear you girl." Sam berbisik pelan, membuat Nesya berdesir tak karuan.

Keduanya memalingkan muka. Sam tersenyum sedangkan Nesya menahan senyum.

Setelah puas mengelilingi sungai dengan perahu, mereka memutuskan berjalan-jalan dengan menyewa sepeda tandem couple. Keduanya bersepeda menyusuri taman bunga-bunga warna-warni, berputar melihat pertunjukan sekumpulan pemain musik-musik tradisional eropa, lalu mengintari toko-toko unik sepanjang sungai.

"Kita istirahat sejenak, aku capek mengayuh," pinta Sam turun dari sepeda.

"Kamu benar, kakiku terasa-"

"SAM!!"

Sam tersenyum puas melihat wajah cemberut dari Nesya. Sebelumnya, ia berhasil memotret gambar Nesya dalam keadaan badmood.

"Makasih ya!" seru Sam, mengacak puncak rambut Nesya yang tertutupi kupluk.

"Terkadang foto wanita sedang merengut lebih menggemaskan di banding foto yang sedang tersenyum," sindir Sam secara halus.

"Hapus fotonya, itu foto aib!"

Sam tertawa mengejek, melihat tingkah Nesya berusaha mengambil ponselnya.

"Ambil aja kalau kamu bisa," tantang Sam, tangannya menggegam ponsel dan semakin meninggi sehingga sulit di raih oleh Nesya.

"Sini!" Nesya mencoba meraih ponsel milik Sam.

"Aku ngambil foto kamu sedang tersenyum, terus kamu ngambil foto aku pas lagi jelek, kan gak adil!"

Nesya mengejar Sam yang berusaha kabur sambil memamerkan hasil foto. Menyebalkan! Sam berlari ke bawah, menuruni anak tangga, lalu di susul Nesya sampai mereka terus berkejaran di tepi sungai.

"Nesya basah!!"

Nesya memercikan air ke seluruh tubuh Sam. Seluruh baju Sam menjadi basah. Nesya terus memercikan air sedangkan Sam terus berkelit menghalau air. Keduanya jadi keasyikan bermain air. Ada rasa bahagia yang menyelimuti keduanya.

"Biarin, itu hukuman buat kamu, karena berani ngambil foto aku sembarangan," seru Nesya tidak peduli melihat Sam kewalahan mengahalau air.

"Awas kamu ya! aku tangkap!"

Nesya berlari menghidar dari kejaran Sam. Sesekali masih menyipratkan air ke arah Sam. Membuat Sam semakin semangat menangkap Nesya. Mereka terus berkejar-kejaran. Sampai akhirnya, Hap!

"Kena!" Sam mengangkat tubuh Nesya dari belakang.

"Lepasin! fotonya hapusin!" seru Nesya.

Sam tertawa, semakin mengeratkan rengkuhannya.
"Anak nakal harus dapat hukuman, lihat baju Abang, Dek, basah semua!"

"Biarin."

Sam terkekeh sambil mencium pipi tirus milik Nesya. Sekali lagi, mencium pipi. Nesya kaget menerima perlakuan dari Sam. Jantung Nesya berdetak tidak karuan, Kedua pipinya seperti udang rebus. Perasaan senang sekaligus kaget bercampur menjadi satu.

Sam tersadar akan kelakuannya, segera melepaskan Nesya. Sekarang rasa gugupnya amat dahsyat.

"Ayo kita lanjut perjalanan," ucap Sam sambil merangkul Nesya. Ia mencoba menetralisirkan rasa gugupnya.

Nesya terdiam, tidak menjawab pertanyaan Sam. Masih kaget tetapi ia menuruti ajakan Sam.

Setelah keduanya puas mengelilingi gang-gang dekat sungai, Mereka memasuki sebuah kedai coklat yang terkenal di Belgia. Nama kedainya Leonidas. Pertama kali mereka melihat
sebuah ruangan berdesain coklat gelap, rata-rata didominasi dengan interior kayu dan bata memberikan kesan klasikal. rak-rak keranjang coklat tersusun rapi mengikuti sisi bentuk ruangan serta perapian corobong yang dekat meja kasir menjadi pelengkap ruangan. Selain itu, ruangan sengaja dibuat bersuhu dingin dan ada etalase-etalase pendingin coklat bertujuan agar suhu coklat tetap terjaga.

Nesya terkesima melihat beberapa deretan coklat tersusun rapi, Ia segera mengambil keranjang belanja dan sibuk memilah coklat sedangkan Sam setia berdiri di sampingnya. Ia memberikan pendapat saat melihat wanita itu dilema memilih coklat.

"Coklat produk Leonidas ini coklat ter-enak dan favorit di Belgia," celoteh Sam.

"Aku setuju. Coklat ini cukup terkenal dan menjadi legendaris sepanjang masa," timpal Nesya, tanpa mengalihkan pandangan.

"Sebenarnya coklat Leonidas mempunyai sejarah romantis, aku mengetahuinya dari teman sekampus, mau dengar?"

"Mau, ayo ceritakan," ucap Nesya tidak sabar.

"Jadi, nama Leonidas berasal dari nama perintis pertama kedai ini. Dia adalah seorang pemuda berasal Yunani. Saat itu ia jatuh cinta dengan wanita Brussel dan mencari cara yang bagus untuk mengungkapkan cintanya."

"Terus?"

"Kemudian, ia mengembara ke suatu tempat sampai akhirnya dia menemukan bahan untuk membuat coklat. singkat cerita, wanita itu menerima ungkapan sang pria dan merintis sebuah kedai coklat bersama-sama."

"Wah! Keren. Ini namanya cinta dari nol. Terkadang lebih baik mendaki bersama-sama daripada menunggu di pucak."

"Benar, hanya cinta tulus yang bisa bertahan lama, sebab keduanya berbagi rasa sakit dan kebahagiaan secara bersama."

"Dan terkadang cinta penuh perjuangan lebih kekal."

"Cinta itu seperti coklat kadang terasa manis, kadang terasa pahit, karena tidak selamanya coklat itu manis, tetapi tetap mengundang orang untuk menikmatinya."

"Excellent, satu kata berjuta makna, satu kata merangkai ungkapan kalimat, itulah coklat." Senyum Nesya merekah.

Sam membalas senyum manis Nesya. Keduanya tersipu malu-malu. Saling curi-curi pandang.

Sam menuju kasir, membayar semua coklat sedangkan Nesya menyusul.
Baru mau melangkahkan kaki keluar dari kedai, seorang photograper menarik keduanya ke sesuatu tempat.

"Let's take the picture, free for couple," sapa photographer ramah.

Keduanya terdiam. Saling berpandangan. Keduanya menggangguk lalu mengkuti arahan dari photograper.

"Dekat sini, jangan kayak orang lagi berantem," tegur Sam sambil merangkul Nesya. Nesya mendekat.

Keduanya berfoto bersama. Dan kegiatan foto ini adalah akhir penutup liburan mereka berdua.
☆☆☆☆
Nesya merentangkan tangan, setelah melihat bapak berkepala botak itu keluar dari kelas, mahasiswa satu per satu keluar menghirup udara segar, mereka merasa tertekan belajar selama delapan jam tanpa durasi istirahat.

Nesya menghembuskan napas, "Melelahkan."

Samudra. Hanya nama itu yang berkeliaran dalam pikiran Nesya. Membuatnya susah berkonsentrasi menerima materi kuliah.
Perasaan resah dan gelisah beradu. Apa maksud dari semua ini. Nesya bertanya dalam hati.

Jalanan kota padat merayap. Himpitan sesak memenuhi rongga jalan. Transportasi bersahutan memecah keheningan kota. Pejalan kaki tumpah ruah memenuhi jalanan. Aktivitas pekerja yang padat tertuntut oleh waktu.

Nesya terjebak dalam kerumunan penduduk. Mereka tidak mau mengalah, saling berdorongan dan menyenggol bahu. Ia hanya bisa pasrah melihat keadaan jalan penuh sesak , walaupun harus rela menyita waktunya.

Suara getaran handphone membuat langkah Nesya terhenti. bibirnya membentuk sebuah lengkungan kala melihat nama tertera dalam layar handphone.

"Sam?"

"Hai Nes, Apa-"

"HEI!!!"

"OH NO!!"

"MY PHONE!!"

"I'm so sorry." wanita tua itu mengiba.

Nesya berdecak kesal. Melihat ponselnya naas. Ponselnya terjatuh dalam gorong-gorong air. Matanya menatap wanita yang terus mengiba. Kasihan. Mungkin, tak sengaja. Nesya mengagguk dan tersenyum kepada nenek, seolah memaafkannya. Padahal dalam hatinya sedih. Rela tak rela ia harus ikhlas kehilangan benda kesayangan.

'Mau gimana lagi, yasudahlah.' batin Nesya, mencoba menyemangatkan diri.

Tinggal selangkah, Nesya melihat bangunan stasiun Pietersint. Belum menuju gerbang stasiun, ia teringat dengan HP-nya yang jatuh. Selain itu, ia nampak kebingungan menghubungi Sherry dan Sam. Bukan Sam yang ia pikirkan, tetapi Sherry teman akrabnya. Hari ini Sherry meminta Nesya mengunjungi asrama baru. Mereka telah berjanji di depan stasiun. Namun, kalau mereka tidak saling mengabari bagaimana bisa bertemu. Dan ia tidak mungkin ingkar janji untuk kedua kali.

Kedua mata Nesya terpejam, berusaha mencari solusi. Perlahan, pandangannya kembali terang. Saat melihat sebuah box telepon umum berwarna merah di seberang perempatan stasiun.

Tanpa berpikir panjang, dia berjalan menuju box telepon umum
                ☆☆☆☆
Sam menduduki kap diatas mobil. Mencoba melihat damainya guratan langit. Hatinya bersenda gurau. Sejak tadi, ia mencoba menghubungi Nesya namun, ponselnya tidak aktif. Terbesit pikiran khawatir terhadap Nesya. Sekali lagi, Sam mencoba menghubungi Nesya, tetapi panggilannya di jawab oleh operator.

Mata Sam tertuju kepada sebuah bangunan loket yang menjual tiket pesawat terbang. Kemudian, melirik secara bergantian antara HP-Nya dan tiket pesawat. Tinggal beberapa jam lagi waktu untuk bertemu Nesya.

Sam mengendarai mobil menuju tempat tinggal Nesya. Sesampai di sana, Sam mencari kamar asrama milik Nesya. Namun, hasilnya nihil! Nesya sedang tidak ada di asrama. Pintunya asramanya tertutup rapat. Mungkin, moment kemarin adalah liburan terakhir keduanya. Mau tidak mau ia harus rela, tidak bertemu Nesya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia katakan. Sesuatu yang penting baginya.

Tujuan terakhir Sam ke perpustakaan. Di perpustakaan dia mencari sesuatu dan menuliskan sesuatu. Semoga ini pilihan yang terbaik.

Jam menunjukan pukul empat sore. Sam segera bergegas keluar dari perpustakaan. Mobil Sam membelah jalan menghalau kemacetan kota. Kali ini ia dalam perjalanan menuju rumah sahabatnya, Andrew.

"Thank you my friends, i'll go to indonesian now and bring this for her." Sam menyerahkan sesuatu untuk diberikan ke seseorang.

"Okey! Don't forget me!" Andrew menerima sesuatu itu.

Sam mengembalikan mobil milik sahabatnya. Kemudian, ia menaiki taxi, mengejar jadwal penerbangan. Hanya butuh waktu dua puluh menit, ia sampai di bandara Brussel. Dia menunggu di loby bandara sembari melewati pos keamanan barang. Tak lama kemudian, terdengar sebuah pemberitahuan penerbangan. Dan dalam beberapa detik, pesawat yang di tumpangi Sam, sudah bersiap lepas landas.

Selamat tinggal Nesya
             ☆☆☆☆☆
Malam ini Nesya merasa tidak tenang. Sejak insiden tadi siang, ia menjadi gelisah. Tidak tahu mengenai kabar Sam. Pikirannya kalut. Tiba-tiba teringat dengan ucapan Sam mengenai jadwal keberangkatan. Sekarang, tak yang ia bisa lakukan selain, menebak-nebak mengikuti firasatnya. Rasa rindunya memuncah. Keinginan untuk mendengar suaranya makin kuat. Namun, apa daya. Tak ada satu pun yang bisa menghubungkan keduanya, selain menunggu. Memang, menahan rindu yang tak bisa berbuat apa-apa terasa menyakitkan.

Esok harinya, Nesya berusaha mencari keberadaan Sam. Dari perpustakaan, tempat pertama mereka bertemu sampai lingkungan kampus sudah ia telusuri. Gadis itu terduduk lemas, menatap hamparan kapas putih yang menghiasi langit. Rasa putus asa menyelimutinya. Inikah akhir kisah kita? Setelah, tuhan perlahan menghapus semua penghubung antara kita? Apa ini akhir dari skenario cerita kita? Kenapa dan mengapa? Semua terasa begitu cepat namun, setiap moment berlalu tak kusadari, bahwa berdekatan denganmu membuatku menginginkan lebih.

Belum sempat, Nesya membalik badan, tiba-tiba lelaki asing datang menghampirinya.

"Are you, Mrs.Nesya?"

"Yes, it's me. What is this?" Nesya menerima sebuah kotak kecil, berwarna biru laut yang dilingkari ikatan pita berwarna sama. Kotak itu diguncang-guncang, ternyata tidak menghasilkan bunyi.

Alis Nesya mengernyit. Saat melihat pria itu memegang foto miliknya. Dan yang mengejutkan, ternyata foto itu adalah foto aib Nesya saat bersama Sam. Foto aib! Ia merebut fotonya dan membaliknya sehingga terlihat sebuah tulisan kecil.

Maha karya tuhan yang terindah

Di balik, sebuah foto ada selipan kertas. Kertas tersebut terpisah dari foto dan terjatuh. Melihat itu, Nesya memungutinya dan membuka sebuah kertas yang berisikan beberapa kalimat. Kalimat yang singkat, padat, dan jelas. Isinya,

Sekarang, pergi ke perpustakaan dan cari halaman penting tentang kita!
-S-

Tanpa berpikir panjang, Nesya berlari ke arah gedung perpustakaan. Kertas dari Sam memicu sejumlah pertanyaan. Membuatnya  penasaran berlanjut. Setelah, berhasil masuk ke area perpustakaan. Nesya mencoba mengingat tentang kejadian saat ia berduaan. Sepertinya, saat itu terlalu banyak buku yang ia baca. Namun, buku apa sebenarnya yang di maksud Sam. Seketika ia ingat sesuatu. Di bongkarnya semua susunan buku, mengambil satu buku dan mulai membuka halaman per halaman. Pelan, pelan, pelan, pelan. Nesya mencoba bersabar sekaligus yakin.
Butuh waktu setengah jam, Nesya bersabar membolak-balik halaman. Dan akhirnya, usahanya berbuah manis. Dia menemukan surat dari Sam yang berisikan ...

            Ich Liebe Dich
Satu kalimat, tiga kata, dua belas huruf sukses membuat Nesya melambung tinggi. Hatinya terombang-ambing, suasana suka cita memeluk dirinya. Kemudian, ia membalikan kertas dan terlihat sebuah untaian kata yang mampu mengguncang hati.

Kau menyibak dunia kelamku
Seolah memberikan  warna pelangi
Secercah matamu menyiratkan   keteduhan
Senyummu menawan hatiku
Semangatmu mendekap hangat
Sanubariku tersihir oleh perkataanmu

Waktu seolah berpihak suka cita
Menggulung waktu
mempersempit dunia
rentang senja tak mengobati dini hari
Merindu malam tiada berujung

Rantaian perkara merajut jadi satu
Untaian kata berbaris menjadi saksi
Mencambuk cinta tuk lebih dekat
Bait sederhana berbisik mengungkapkan bahwa, aku mencintaimu ...

             ☆☆☆☆☆
Dua hari kemudian ...

Surat dibalas oleh Nesya namun, tidak menyalurkan secara langsung.

To: Kamu
Aku memang tidak bisa se-puitis kamu. Tak seromantis kamu. Namun, aku tahu semua jawaban teka-taki kita selama ini. Ternyata, cinta tumbuh seiring waktu. Tanpa kusadari, semua menjadi letupan yang terpendam. Sekarang, rasa itu berangsur sirna kala kutahu hatimu yang sebenarnya. Bisakah kita bertemu kembali merajut cinta yang sempat tertunda?
Aku ingin menjawab semua teka-teki cintamu.

Nesya menggulung kertas menjadi bentuk pipa lalu memasukan ke dalam botol kaca. Menghanyut sejauh mungkin. Seperti perasaan ini, seketika lega  menyalurkan isi hatinya, walaupun itu hanya benda mati, tetapi tetap menjaga rahasia hatinya.

Aku percaya satu hal. Kita pasti akan bertemu kembali. Meskipun kita berada di naungan langit yang sama, walaupun, berbeda ruang dan waktu.

                  The End
~○●○●○●○●○●○●○●~

NOTE: Good bye Febuari!
            Hello Maret!
Fiuh, dengan bermodalkan 5000 lebih akhirnya tantangan dari 'kak Abi' menuliskan berdasarkan setting LN . Dari sekian 5 kota yang diajauin kenapa gue milih Belgia?
Alasannya, gue lebih srrk dengan keindahan sungai ghent, selain itu kan ada landmarkanya yg terkenal kayak coklat dll jadi gak susah payah nyambungin dari satu ke satu yang lain. daaaan selesai juga wkwk.
Hmm.. banyak suka duka sih selama pengerjaan naskah ini wkwk.
Kyak bikin puisi, duh gue itu gak jago" amat buat puisi. Sempet frustasi sih, beberapa kali revisi puisi karena puisinya ngaco. Senangnya yaaa akhirnya jadi juga 😂😂
Oke! sambye cerita selanjutnya♡♡
Dan aku lagi proses nyoba shoot-story LN Jepang, doain aja yaa😊😊
































































Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top