1
Raden Rangga Dewantara!
Ah. Bisa kupastikan begitu Bu Silvi memanggilku di kelas. Namun, sayang sekali aku tidak di sana. Duduk sambil mendengarkan pelajaran itu membosankan.
Tidak tidak, aku bukan membolos karena main. Jangan samakan aku dengan kalian, ya. Apalagi yang hobinya bolos buat ngenet atau ngabisin uang buat gacha.
"Oi, Rang. Sini kau, bantu aku bawa bagian ini."
"Siap bang!"
Dengan sigap kupakai topi pengamanku lagi. Membantu mengangkat sebuah bagian dari sumber energi terbaru. Yea, aku bekerja menjadi pekerja fisik di sebuah perusahaan yang fokus dibidang pengembangan teknologi dan sumber energi.
Dan ini, keluaran terbaru mereka. Sebuah pilar yang akan menghasilkan energi dari air secara minimalis. Bisa dibilang, benda ini dapat memecah dan menggandakan energi yang dihasilkan oleh setetes air menjadi pasokan listrik ukuran Jakarta untuk seminggu.
"Hati hati membawanya, kalau jatuh ganti ruginya semiliar!"peringat salah seorang senior kepadaku.
"Ahahaha, tenang saja, paman! Aku ga selemah itu!"
"Ye siapa tau, nak muda kayak kau kan biasanya diem liatin gejet,"tambah pak tua yang kubantu membawakan barang ini.
"Yeeee, pak, ga semuanya lah kayak gitu."
Engga. Kayaknya hanya aku yang mau begini dengan senang hati. Aneh memang.
Setelah menyelesaikan sampai memasang semuanya, para pekerja fisik mundur. Ini giliran para ilmuan itu mengurusinya.
Dan saatnya istirahat!
"Nak Rangga, gimana sekolahmu kalau kamu kerja di sini terus?"tanya senior tadi. Ah ya, namanya Gerald. Aku sering memanggilnya paman dibanding namanya.
"Gimana penghasilan keluargaku kalau aku duduk di sekolah terus, paman?"balasku sembari menyeringai,"aku perlu membiayai sekolahku, juga adikku."
"Jika aku di-DO dari sekolah, itu bagus,"tambahku.
"Kok bagus sih? Bukannya malah gelar lulusan SMA-mu hilang?"
"Ah... itu, memang bakal hilang, tapi sekiranya aku bisa membelikan makanan enak untuk adikku. Dia belajar lebih giat dariku jadi dia yang pantas mengenyam pendidikan."
Aku menyesap tehku. Menatap para ilmuan itu mulai mengoperasikan mesin itu. Di antara mereka, ada gadis seumuranku yang menarik perhatianku.
Kulit putih bersih, wajah cantik bak model, dan rambut cokelat gelombang seperti ombak laut. Ya bukannya aku tertarik secara hati, tapi aku kagum. Dia semuda itu, tapi sudah bisa kerja di tempat ini.
Duh, sepertinya dia tahu aku melihatinya. Dia menatapku sambil tersenyum dan melambai. Seolah berkata hai kepadaku.
"Sial. Aku ketahuan,"gumamku sembari segera beranjak dari kursiku. Menghilang dari kerumunan.
"Paman, aku pamit dulu."
"Eh? Iya, jangan lupa titipkan salamku ke adikmu!"
Aku menggangguk dan langsung meninggalkan ruang itu. Bukannya apa apa, tapi dia membolos juga sepertiku. Dia juga teman sekelasku. Punya teman bolos senasib artinya satu teman akan ditumbalkan untuk hukumannya. Tentu, atas nama penyebab bolos alias yang ngajak.
"Ah, moga aja dia ga bawa bawa namaku."
Tentu saja. Jika dia membawa namaku dalam kasusnya, alasan yang kubuat akan gagal total.
Kulepas seragam pekerjaku. Rasanya jauh lebih sejuk saat melepasnya. Walau sistem udara juga dimasukan ke dalam seragam pekerja fisik, tetap saja panasnya ada.
"PERHATIAN KEPADA SEMUA PERSONIL GEDUNG PERCOBAAN."
"DIHARAPKAN SEGERA KELUAR DARI GEDUNG KARENA ADANYA MALFUNGSI PADA RUANG SUMBER ENERGI."
Hah?
Seketika langsung segerombolan manusia melewati ruanganku. Aku tahu karena pintu ruangan ganti ini tembus pandang keluar ruangan. Aku sedikit merasa aneh melihat mereka. Semuanya tak familiar di wajahku.
Jangan jangan tidak ada pekerja yang keluar dari ruang itu. Paman juga tidak terlihat. Tunggu, jangan jangan sistem mengira tidak ada orang di dalam karena suhu dingin di ruangan itu. Ini sih bahaya!
Aku kembali memakai seragamku secepat mungkin. Berlari menuju ruangan itu. Pintunya macet, tak bisa kubuka. Apalagi ini pintu baja.
BRAK!
Beberapa kali kucoba untuk mendobrak pintu ini. Hasilnya nihil, gagal. Lenganku sakit, tapi ada nyawa yang harus selamat di dalam.
Yen bumi kelangan swarga
Suara itu lagi. Entah bagaimana muncul kembali di dalam kepalaku. Namun, seiring dengan suara itu, sebuah cahaya emas tipis menyelimuti lenganku. Rasa sakit yang kurasakan juga lenyap, justru aku merasa sangat kuat.
Dan benar saja, dengan sekali dorongan, pintu itu terbuka. Semua orang tampak kaget dan bersyukur melihatku. Kulihat mesin itu mengalirkan listrik tampak. Inti energinya bercahaya terang dan makin terang seiring waktu.
"SEMUANYA KELUAR SEGERA."
Otomatis, mereka segera keluar dan berlari tanpa berdesakan. Jaraknya tak jauh dengan pintu keluar. Kurasa itu yang membuat mereka merasa aman.
"Rangga! Kau hanya bisa selamat dalam 3 menit! Cepatlah lari!"
Baru saja aku ingin berlari keluar, suara itu memanggilku. Perempuan itu, teman sekelasku. Kulihat dia masih berada di kotak eksperimen. Terperangkap dalam ruangan kaca tebal.
Kau bercanda?
"Percuma menolongku, aku terjebak dan tak ada yang bisa memecahkan kaca ini. Cukup titipkan salamku pada keluargaku kalau aku menyaya-"
"KAU BODOH KAH?"
Aku berlari mendekatinya. Tanganku mengepal. Itu perasaan yang sama seperti saat aku mendobrak pintu. Tubuhku terasa seperti terisi oleh energi aneh. Namun, ini membuatku percaya diri akan kekuatanku. Kupukul kaca di depannya dengan sekuat tenaga. Kulihat, wajahnya masih tak percaya dengan apa yang kulakukan.
KRAK!
Satu pukulan, retakan mulai muncul.
KRAK!
Pukulan kedua, retakannya mulai membesar. Melumpuhkan dan menghancurkan kaca itu dengan sentuhan kecil. Tanpa ba bi bu, aku langsung menarik perempuan itu dan meletakkannya di punggungku.
2 menit yang tersisa dari ledakan. Itu waktu yang cukup untuk kabur. Kami berhasil sampai di depan gedung. Bersamaan dengan langkah terakhirku, sebuah dinding besi langsung menutup gedung itu. Meredam ledakan yang ada.
"Kau tak apa?"tanyaku pada gadis di punggungku.
Sial. Ponselku di dalam gedung. Aku baru ingat sekarang.
"Kau harusnya menanyai kedua tanganmu. Kau harus merawat lukamu, bodoh."
Saat dia mengatakannya, tanganku seketika terasa sakit sekali. Kulihat tanganku yang menopang pahanya berdarah hebat. Rasanya sungguh menyakitkan. Juga, rasa pusing mulai menyerang kepalaku. Membuatku bergoyang sedikit.
"Turunkan aku,"pinta gadis di punggungku dengan paksa,"aku tak yakin tanganmu kuat menopangku."
Kuturunkan gadis itu perlahan lalu aku berbalik. Menatapnya dengan penasaran. Dia balik menatapku aneh.
"Kau kenapa, Rang? Ada yang aneh denganku?"
"Namamu, siapa?"
"Aduh, kau ini masih mudah dah pikun aja, Rang! Namaku Cin-"
Belum satu kata nama itu disebut. Aku kehilangan kesadaranku. Rasanya sungguh melelahkan entah mengapa. Sampai sampai, tubuhku memaksaku tidur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top