T W O 🔫

Tak ada yang tahu jika dia sudah sangat bosan dengan kehidupannya. Bukan karena dia terlalu banyak mendapatkan masalah. Tidak! Hidupnya begitu tenteram. Begitu lurus tanpa hambatan. Tak ada yang mampu atau bisa mengganggu hidupnya. Karena dia adalah peramal, bahkan dia yang bisa menjungkirbalikkan kehidupan seseorang dengan bakat istimewanya. Hanya satu yang kurang, karena dia peramal. Dia terlalu ikut campur dalam kehidupan orang lain.

Blace juga tidak pernah mempercayai seseorang dalam hidupnya bahkan sahabat sekalipun. Ia terlahir dengan kepercayaan pada Tuhan dan diri sendiri. Blace tidak pernah memusingkan jika ada hal yang perlu ditanyakan tentang kepercayaannya yang aneh, ia akan menjawab dengan lancar 'Aku hanya percaya Tuhan.' Sekarang, ia hidup sebatang kara di Skotlandia, tak perlu tahu bagaimana masa lalu keluarga. Yang jelas, ia hanya sendirian di dunia ini. Oh, jangan lupa Theresa-yang mungkin bisa disebut-teman yang selalu ada untuknya. Tetapi bukan berarti Blace selalu ada untuk Theresa. Blace selalu menghindari semua orang yang ingin menjadi populer, selalu menghindar di saat dirinya diundang pada pesta-pesta para pelanggannya. Alasannya mungkin sangat sederhana, ia tidak suka menarik perhatian siapa pun. Karena Blace tahu dalam dirinya sudah ada kharisma itu, jika ia mengasahnya mungkin saja ia akan populer dengan cepat, tetapi Blace bukan tipe orang seperti itu. Blace adalah Blace. Sang peramal yang aneh.

Bau melati dan kayu manis bercampur menjadi satu, membaui ruangan itu begitu kuat. Bau yang sudah menjadi ciri khas rumah seorang Blace. Bau yang menyengat seperti lebah yang tertarik untuk meminum madu dari kelopak bunga. Walaupun bau itu terus tercium, namun tidak mengganggu seorang pun di sana. Hanya menyebarkan harum yang penuh ketenangan dan kenyamanan.

Blace menatap seseorang yang berada di hadapannya. Ia tidak menyangka jika akan kedatangan seorang pelanggan pada pagi-pagi buta, bahkan matahari saja belum terlihat sama sekali. Wanita itu meminta untuk diramal tentang jodohnya lalu bertanya bagaimana cara supaya bisa membuat seorang pria menyukai wanita itu. Setengah mengantuk, ia duduk di ruangan kerjanya, duduk di depan meja bundar, lalu menarik tirai yang membatasi dirinya dengan pelanggan ketika wanita itu duduk di hadapannya. Rambut yang berwarna hitam itu masih berantakan, wajahnya kusut karena kurang tidur, bahkan ia belum berdandan layaknya peramal. Blace hanya memakai piyama terusan yang panjangnya sampai sebatas lutut. Baru kali ini Blace merasa tidak kompeten dengan pekerjaannya. Biasanya ia akan selalu mengenakan pakaian ala gipsi yang membuatnya tampak seperti penyihir. Ia harus mengakui jika selera berbusananya memang payah.

Blace berdehem, dibalik celah-celah tirai yang terbuat dari berbagai pernak-pernik berwarna hitam dan coklat. Ia menatap ke arah wanita itu yang masih muda dan cukup cantik. Mungkin seumuran dengan Blace. Wanita itu terlihat frustrasi dan ... stres.

"Sebelum aku memulai ... aku akan bertanya. Apa kau percaya ramalan?" mata Blace yang tajam, seperti menguliti wanita di hadapannya. Tanda jika moodnya sedang buruk. Biasanya Blace tidak bersikap kurang sopan seperti ini.

"Aku percaya!" wanita itu menjawab dengan cepat. Terlalu cepat.

"Siapa namamu dan siapa nama orang yang kau sukai sekarang?" Blace tidak ingin membuang waktu lebih lama, ia akan menyelesaikan tugasnya dan kembali tidur. Tangan Blace meraih botol di atas rak yang berada di belakangnya, lalu meletakkan botol di atas meja. Ia menuangkan setetes air ke arah mangkuk, yang berada dekat dengan bola transparan putih besar layaknya bola ramalan seorang penyihir. Ruangan itu remang-remang, hingga sebagian kegelapan menyelinap, membungkus ruangan itu karena cahayanya sebagian kecil hanya berasal dari beberapa lilin.

"Namaku Selena Wicthermien, aku menyukai seorang pria bernama Frank Anthonio. Aku mencintainya, tetapi ia mencintai wanita lain. Aku ingin kau membuatnya menyukaiku, membuatnya melihat ke arahku dan meninggalkan wanita yang dicintainya."

Blace terdiam, ia merenungkan sejenak. Walaupun Blace terlihat seperti orang yang sedang menahan rasa kantuk. Percayalah, sebenarnya otaknya berjalan sangat keras hanya untuk memikirkan kata-kata wanita itu. Ada yang salah dengan wanita ini. Blace kembali berbicara. "Berapa harga kau sanggup membayarku?"

Seketika Blace melihat keraguan yang besar di mata wanita itu. Ia bisa melihat dengan jelas sekalipun tirai itu menghalangi pandangannya. Blace menghela napas. Ia tahu apa yang akan keluar dari mulut wanita itu dan ia akan menahan dirinya untuk tidak mendengus keras.

"A-Aku belum tahu. Ta-tapi aku punya tabungan di bank dan akan menyerahkan semuanya padamu." Wanita itu tampak gelisah dan panik. Keringat mulai menurun di sisi wajahnya.

Blace menghela napas lagi. Ia tahu, seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Wanita itu tidak punya uang untuk membayarnya. Dan Blace bukan orang yang baik hati untuk memberikan keistimewaan dari bakatnya dengan percuma. Peramal itu bangkit dan berjalan ke arah pelanggannya, seanggun rusa. Saat ia melintasi meja, cahaya menyinari wajah Blace. Wanita itu-- Selena terkejut, ia mulai ketakutan.

Blace menghirup udara kenikmatan yang memuakkan. Tubuhnya berada begitu dekat dengan Selena. Perlahan bibirnya mendekati telinga si pelanggan dan berbisik dengan mengerikan. "Kau tidak punya uang untuk membayar, kau sudah tahu di sini aku tidak bekerja sendirian. Aku memberi mereka makan dan itu sebabnya bayaranku mahal."

"Ta-tapi aku butuh bantuanmu. Aku akan membayar." Selena mengigil ketakutan.

"Kau bahkan tidak membawa uang, bagaimana bisa membayar? Aku tidak suka menunggu, hanya karena bayaran tidak ada di depanku." Rasa kantuk yang awalnya masih tersisa dalam diri Blace, menghilang tak tersisa. "Jika kau mencintainya maka kau tidak akan merusak apa yang kau cintai. Kau akan menjaganya dan akan terus bersamanya sekalipun kau tidak bisa berada di sampingnya. Tetapi kau masih punya pilihan. Kau masih bisa menyalurkan rasa cintamu dari jauh padanya. Bukankah itu sudah cukup? Kenapa kau menginginkan lebih dari itu?"

Blace menjauh dari pelanggannya. Selena benar-benar merasa ketakutan, ia seolah sedang bicara dengan mahkluk astral yang mengerikan. Ia meneteskan air matanya bahkan kesusahan menarik napas. Peramal itu mengerikan. Dan peramal itu memang serakah seperti rumor yang ia dengar. Seharusnya ia tahu, ia telah salah memilih tempat. Ia tidak butuh bantuan yang mahal. Bahkan untuk biaya hidupnya, Selena saja kesusahan. Ia menangis, ia menyesal.

Blace berdecak keras. Sepertinya Blace terlalu serius malam ini. "Aku tidak bermaksud kasar. Tetapi begitulah cara kerjaku. Akan ada ramalan jika ada uang. Jika tidak, maka tidak ada ramalan atau apa pun yang kau inginkan dari keistimewaanku."

"Ta-tapi ... kumohon bantulah aku. Tolong aku." Wanita itu menunduk dan badannya terus bergetar hebat.

Pandangan lekat itu terarah pada Selena. "Aku tidak bisa membantu,"

"Kumohon," Selena mulai mendekati Blace dan berlutut di bawah kakinya. Blace mengernyit tidak suka, tetapi ia mencoba mengabaikan apa yang dilakukan Selena.

"Kau cantik, Selena. Jangan buang-buang waktumu untuk menatap sesuatu yang tidak bisa kau raih." Blace menunduk, menarik dagu Selena hingga mata mereka saling menatap. "Aku akan memberitahumu satu hal. Kau punya pesonamu sendiri dan kau punya seseorang yang mencintai lebih dari nyawanya. Lebih dari apa pun yang ada di dunia ini. Tugasmu adalah mengenyahkan masa lalumu dan mencari orang yang tulus padamu. Orang yang diam-diam mencintaimu, selalu bersamamu. Ia bahkan selalu mendukungmu sekalipun kau selalu bertindak bodoh."

Blace menegakkan tubuhnya, menjauh dari Selena. Ia melangkahkan kakinya ke arah tangga, jalan menuju kamarnya yang berada di lantai atas. "Tadi itu hanya bonus saja, aku tidak meminta apa pun. Kau bisa pergi dan tutup pintunya dengan rapat."

Setelah tubuh Blace menghilang dari tangga melingkar yang terbuat dari kayu, Selena masih tercengang mendengar tuturan Blace. Ia sungguh terkejut. Bagaimana bisa wanita itu tahu yang terjadi dalam hidupnya? Selena juga baru sadar. Seseorang yang mencintainya itu terlalu dekat dengannya. Tidak perlu dicari lagi. Selena sudah tahu, dan ia tidak membuang waktu lagi saat keluar dari rumah sang peramal.

Selena tidak melupakan permintaan Blace agar pintunya ditutup rapat. Setelah itu, ia pergi dari sana.

*****

Blace baru saja selesai berpakaian. Kali ini ia tampak segar dengan pakaian warna hitam yang senada. Kecuali kali ini rambutnya berwarna merah. Ia bukan mengecat rambutnya, hanya saja Blace memakai rambut palsu yang sangat mirip rambut asli. Sebenarnya Blace menyukai rambut aslinya yang berwarna hitam, hanya saja setiap ia berpenampilan ia selalu terlihat seperti boneka dan Blace tidak menyukai hal itu.

Blace menyiapkan makanan cepat saji untuk sarapannya. Hanya sereal yang dicampurkan buah-buahan segar dan segelas susu. Beberapa menit setelah sarapan, pintu bel rumahnya berbunyi, disusul dengan pintu terbuka. Ia tidak perlu repot-repot untuk membukakan pintu karena ia sudah tahu siapa yang datang.

"Blace!" pekikan itu terdengar nyaring, disusul dengan langkah lari menuju ke arah dapur, ke arahnya.

"Blace! Aku merindukanmu," seseorang yang amat sangat ia kenal, langsung berjalan ke arahnya dan memeluknya dengan erat. Pelukan seorang sahabat. Dan Blace juga membalas pelukan wanita itu.

"Apa kabar, Theresa Esmeralda? Apa kau membawa oleh-oleh untukku?" Blace melepaskan pelukannya dan mulai menatap lekat ke arah satu-satunya teman yang ia miliki di Skotlandia.

"Wah, kau mulai melanggar perjanjian kita. Jangan pernah menyebut nama panjangku lagi. Aku takut jika ada orang yang menaruh teluh untuk mengikatku, membuatku tidak bisa melakukan apa saja yang aku inginkan." Omel Theresa cemberut, lalu bersedekap imut.

Blace memutar matanya, kembali menyesap susunya yang masih hangat. "Aku bertanya sekali lagi, apa kau membawa oleh-oleh untukku?"

Theresa mengeram kesal, "kau mempermainkan aku. Kau bahkan tidak rindu padaku! Dan malah kau menanyakan oleh-oleh! Selalu saja seperti itu. Kau tidak pernah berubah. Selalu egois!"

"Iya, iya... terserah kau saja. Aku tidak ingin berdebat hari ini." Blace membawa mangkuk dan gelas lalu mencucinya dengan cepat. "Moodku sudah terlalu hancur dari pagi tadi. Dan aku tidak ingin menambah daftar terburuk untuk hari ini," lanjutnya seraya memasukkan mangkuk dan gelas ke rak lemari di atas meja pantry.

"Kau selalu begitu," Theresa mulai merengek.

Blace hanya mengangkat bahunya. Agak heran memang karena sebenarnya Theresa jauh lebih tua dari Blace, mereka beda empat tahun. Sekarang usia Blace baru 22 tahun. Bayangkan betapa kekanak-kanakannya Theresa yang merengek padanya seolah Blace adalah kakaknya. Beruntung Theresa mengubah kelakuannya menjadi lebih dewasa saat mengadakan pertunjukan sulap. Iya, Theresa selalu bisa membuat semua orang kagum dengan kemampuannya.

"Blace! Kau mengabaikanku lagi. Aku tidak akan memberimu oleh-oleh." Theresa mulai mengancam dan hal itu sangat menyebalkan bagi Blace.

Mata Blace melirik Theresa dengan malas. Baiklah, Blace sedang bad mood. Dengan masa bodoh Blace berjalan keluar dari dapur. Ia benar-benar tidak peduli dengan ancaman Theresa. Paling juga sebentar lagi, Theresa akan memberinya oleh-oleh. Akan lebih baik ia memikirkan halaman rumahnya yang minim tumbuhan, padahal sebenarnya Blace menyukai rumah yang nyaman dan tenteram. Walaupun bentuk rumahnya agak sedikit mirip toko, atau mungkin toko yang ia anggap rumah. Walaupun begitu Blace selalu menganggap jika rumahnya sekarang adalah rumah terakhir yang ia miliki. Sekali pun tiap bulan ia harus membayar uang sewa pada pemilik toko yang asli.

"Kurang ajar, kau bitch!"

Blace menghentikan langkahnya. Otaknya bahkan berhenti berpikir. "Hati-hati dengan ucapanmu," ia sama sekali tidak menyukai perkataan Theresa. Kini Blace sepenuhnya menghadap Theresa yang berjarak tiga meter darinya. "Remember, I not bicth. But i am witch."

Theresa menyengir lebar lalu mengangkat jari telunjuk dan jari tengah hingga membentuk tanda peace. "Aku hanya bercanda. Sungguh."

Theresa berjalan mendekat. Saat tiba di hadapan Blace, wanita itu menyentuh belakang rambut Blace dengan gerakan cepat. Awalnya memang tidak ada apa-apa di tangannya, tetapi saat ia menarik tangannya ... sebuah kalung antik yang dibalut emas, dengan motif yang sangat kuno berada di tangan Theresa. Bahkan Blace lupa caranya bernapas, karena baginya kalung yang berada di tangan Theresa adalah buruan terlangka yang ingin ia koleksi. Katakan saja jika Blace adalah pengoleksi barang antik. Saat Theresa meletakkan di telapak tangan Blace, wanita itu tersenyum. Dan kali ini, Theresa bisa bersikap sedikit dewasa.

"Aku tidak pernah berbohong untuk membawa oleh-oleh untukmu. Aku memberikan ini untukmu," ungkap Theresa merasa senang karena ia dapat melihat senyuman di bibir Blace.

Blace menatap kalung itu dengan lekat. Ia tidak bisa berbohong jika ia sangat senang. Sekarang ia mengenggam kalung impiannya yang sudah lama ia incar. Bukan barang yang bisa dijual di setiap toko emas, barang itu benar-benar langka.

"Sangat langka, tapi tidak masalah jika kuberikan untukmu. Itu sangat berharga. Aku yang mengali sendiri dari kuburan seorang Lady di Italia. Itu memang terdengar agak sinting. Tapi aku melakukannya untukmu, kuharap kau menyukainya."

Bibir Blace menyungging senyuman yang lebar. Itulah kenapa kalung di tangannya sangat langka. Kalung itu adalah kenangan milik seorang Lady dari Italia. "Aku menyukainya,"

Satu kalimat yang keluar dari mulut Blace, nyaris membuat Theresa mati kegirangan. Ia sangat semangat jika Blace berkata begitu. Namun kegirangannya hanya bertahan beberapa menit karena bel rumah Blace berdenting. Ugh ... bersyukurlah karena Theresa tidak berteriak kesal karena ada orang yang menganggu pertemuan mereka.

Walaupun begitu, Theresa tetap tersenyum. "Waah, sepertinya kita kedatangan tamu. Apa kau mau menerimanya?"

"Tepatnya itu adalah tamuku, bukan tamumu." Setelah berkata begitu dengan nada yang lembut, Blace terang-terang memilih menjauh dari Theresa. Blace mulai berpikir negatif. Bisa saja Theresa berubah pikiran dan kembali mengambil kalung yang sudah diberikan padanya. Ia menyimpan kalung itu ke dalam lemari dinding yang di dalamnya juga terpajang beberapa barang antik. Mulai dari perhiasan seperti mahkota, gelang, kalung, cincin bahkan peralatan rumah seperti guci, piring, gelas, dan lain sebagainya. Semua harganya miliar-an jika kembali dijual.

Theresa meringis kesal. "Ishhh ... kau ini! Lupakan tentang apa itu tamuku atau tamumu. Jadi bagaimana sekarang? Kau menerima tamu atau tidak?"

Dengan tegas Blace menggelengkan kepalanya. "Kepalaku sakit karena aku kurang tidur. Jadi, hari aku tidak menerima tamu hari ini. Kau bisa kan membantuku mengatakannya pada mereka."

"Aku bukan asistenmu, Blace." Theresa membantah.

"Kali ini saja, bantulah aku. Dan usir mereka dengan halus." Blace memasang ekspresi memelas, lalu menarik bibirnya untuk tersenyum. Theresa mulai jengkel, karena ia tidak bisa menahan dirinya untuk menuruti apa yang Blace inginkan.

Setengah mendengus kesal, Theresa berkata. "Baiklah, kali ini saja."

Alih-alih diam, mulut Theresa terus saja mengoceh saat kakinya hampir tiba di depan pintu. Saat tangannya berhasil meraih gagang pintu, membuat pintu itu terbuka. Matanya langsung terbelalak begitu menatap ada enam mobil berjajar rapi di trotoar jalan depan toko Blace. Banyak orang yang berpakaian sama, memakai jas hitam berdiri di beranda, di hadapan Theresa. Beberapa orang berbisik-bisik seolah penasaran apa yang membuat kelompok berbaju hitam mengunjungi rumah sang peramal. Dua di antara kelompok itu, adalah orang yang paling tampan yang pernah Theresa lihat. Ekspresi mereka bahkan hampir sama, datar dan ... Theresa kesusahan menebak apa yang mereka inginkan.

"Apa Madame Blace ada di rumah?"

Mata Theresa tidak berkedip saat seorang pria yang tampan berambut cokelat berkata padanya. Saat pikirannya mengingatkan tentang bayangan Blace yang mengatakan untuk mengusir para tamu. Theresa langsung tersadar. "Maaf, hari ini kami tidak menerima tamu. Anda bisa pergi dari sini. Dan kembali besok."

Secepat mungkin Theresa menutup pintu dan menguncinya. Ia bisa merasakan orang-orang berpakaian hitam itu bukanlah orang biasa. Dua orang yang berdiri di barisan depan, sangat menyakinkannya jika Blace bisa saja berada dalam masalah. Telinganya masih bisa mendengar seseorang mengeram kesal karena kelakuannya.

Tetapi mungkin kenyataannya orang itu pasti marah dengan kelakuan Theresa yang tidak mendengar sepatah kata pun dari mereka. Padahal baru saja lima langkah Theresa meninggalkan pintu, ia kembali terdengar gedoran pintu yang sangat keras. Nyaris membuat Theresa jantungan karena terlonjak kaget. Apakah tadi ia kurang sopan? Rasanya Theresa sudah berkata baik.

Ia melirik ke belakangnya, tepat di mana Blace terlihat duduk menonton tv. Lalu kembali berpaling pada pintu yang masih digedor keras. Mungkin Theresa harus mengusir tamu Blace terlebih dahulu, baru setelah itu ia akan menghabiskan waktu bersama Blace sepanjang hari.

Saat gedoran itu berhenti, Theresa memutar kunci dan membuka pintu.

"Maaf, Tuan. Anda seharusnya kembali datang be---"

Theresa membungkam mulutnya, ia tidak menyangka seseorang yang berbicara sebelumnya padanya, pria tampan berambut cokelat. Pria itu menodongkan pistol ke arahnya, tepat di keningnya. Saat terdengar bunyi pelatuk yang sudah terisi, tubuh Theresa bergetar. Ia sama sekali tidak percaya jika hal ini akan terjadi padanya.

"Biarkan kami masuk, sebelum darah keluar dari kepalamu."




______________________________________________

(Jum'at, 31 Agustus 2018)

[FOLLOW IG : risennea]

Semoga suka 😄😄

See you 😂

Salam hangat ❤️

P A H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top