T W E N T Y S E V E N🔫
A/N : part ini panjang banget 😂
Bacanya pelan aja
*****
"Kita harus keluar dari sini. Mereka sudah membawa barangnya."
Blace merasa detak jantungnya berhenti, ketika Havrelt sudah berada di sampingnya, mengajak berbicara dengan nada rendah yang mengerikan. Ia tidak bisa menyembunyikan raut ketakutan saat menatap Havrelt baru saja mengagetkannya, ia sempat mengira Havrelt adalah orang lain.
Detak jantung Blace kembali, saat ia menyadari Havrelt berdiri terlalu dekat dengannya. Samar-samar ia bisa menghirup wangi pria itu yang tercium memabukkan. Sontak, wajah Blace menghangat di situasi yang salah. Wanita itu tahu, Havrelt terlihat menyeramkan malam ini, ia tampak marah mengetahui informasi yang baru ia ceritakan pada Blace. Namun, karena itulah pesona Havrelt semakin kuat, hingga rasanya Blace ingin bersembunyi agar ia tidak bisa menatap pria itu lagi.
"Kita harus pergi." Havrelt mencengkram tangan Blace, memaksa wanita itu untuk lari.
Napas Blace tercekat, kaget lantaran tangan Havrelt yang mencengkramnya terasa sangat hangat. Berbanding jauh dengan tubuhnya yang mengigil, yang menahan rasa kedinginan. Udara malam tidak malu-malu berhembus kencang, bahkan salju juga turun untuk menambah kekejian malam itu. Kristal-kristal dingin dan kecil itu menerpa wajah Blace dan Havrelt ketika langkah mereka semakin berlari cepat.
Blace mencoba mengikuti langkah Havrelt yang panjang, ia sedikit kesusahan apalagi mereka harus berlari cepat tanpa suara.
"Itu mereka! Cepat tangkap!"
Detak jantung Blace menjadi semakin mengila, napasnya juga mulai tersenggal-senggal.
Mereka tertangkap basah!
Lalu saat itu, Blace menoleh ke belakang. Ia melihat ada enam orang bersenjata, persis seperti orang-orang yang ia lihat, yang berjaga di depan gerbang rumah mewah. Dua di antara mereka, berhenti memeriksa dua mayat yang tergeletak di tanah.
"Hei! Jangan lihat ke belakang!" suara tajam Havrelt menyusup ke dalam pendengarannya. Blace berpaling ke depan, kembali fokus berlari dan mengikuti langkah Havrelt yang kian cepat, dan juga mencoba menenangkan rasa takutnya.
"Jangan biarkan mereka lolos! TANGKAP PENYUSUP ITU!"
Suara bernada perintah itu mengagetkan Blace, ia kembali merasa ketakutan semakin menguasainya. Dadanya terasa sesak ketika ia menarik napas dan perutnya mulai melilit karena rasa takut. Blace menoleh kepada Havrelt, di antara cahaya yang remang-remang Blace bisa melihat wajah Havrelt mengeras, cengkramannya juga semakin mengencang di pergelangan tangan Blace. Lalu di saat bersamaan suara letusan senjata api mulai terdengar.
Napas Blace memburu, dan kakinya mulai melemah. Mungkin jika mereka berlari lebih lama lagi, mungkin Blace akan terjatuh lalu pingsan. Walaupun begitu, Blace tetap berlari, karena tidak ada kata selain 'berlari' di kepalanya.
Tiba-tiba Havrelt menarik kepala Blace ke arahnya, otomatis tubuhnya juga ikutan mendekati pria itu. Ternyata Havrelt baru saja melindunginya dari peluru yang siap melubangi kepala Blace.
Havrelt meraih senjata di belakang sakunya, dan ia juga menembak dalam posisi berlari ke arah enam orang penjaga yang semakin mengejar mereka. Dua orang terjatuh saat pria itu berhasil menembak dua pelurunya tepat sasaran, ke kepala mereka.
Empat lainnya tidak menyerah mengejar mereka, dan kembali menembakkan senjata. Beruntung peluru-peluru itu tidak berhasil mengenai Havrelt dan Blace.
Di satu sisi, Blace merasakan wajahnya sudah pucat pasi, ia mulai mual dan tertekan dalam situasi yang menegangkan. Apalagi rasa tegang itu mulai menyiksa ingatannya yang ingin kembali pada masalalu. Untuk sekarang, yang Blace lakukan adalah berusaha sekuat tenaga berlari mengikuti Havrelt. Rasa takut benar-benar mengacaukan rasional Blace. Wanita itu tidak bisa berpikir. Bagaimana jika mereka akhirnya berhasil ditangkap? Bagaimana jika Blace pingsan saat berlari? Apa yang akan terjadi jika mereka benar-benar tertangkap? Apa mereka akan mati malam ini?
Mati? Tidak! ITU TIDAK BOLEH TERJADI!
Blace belum siap mati, ia masih menginginkan hidupnya yang berharga. Di hidup ini ada beberapa hal yang belum ia dapatkan, yaitu ketenangan dan kebahagiaan.
Mereka berhenti di depan pagar—tempat mereka memanjat sebelumnya—yang menjulang dengan angkuh. Havrelt masih mencoba menembak sembarangan, setidaknya bisa membantu menghambat kejaran para penjaga.
"Cepat, panjat!" titah Havrelt, pria itu melepaskan cengkraman di tangan Blace, dan mulai fokus menembak, yang hanya bermodal berlindung di balik pohon berbatang kecil.
Di tengah ketakutan, Blace masih sempat kebingungan. Jika tadi, Havrelt membantunya memanjat, sekarang siapa yang akan membantunya?
Blace terdiam, menatap pagar yang tidak lebih dari dua meter setengah itu. Apa dia bisa memanjat?
Suara tembakan yang melesat di samping Blace, membuat wanita itu terkejut. Peluru itu beradu dengan besi pagar, menimbulkan bunyi dentingan yang nyaring. Sepertinya Blace tidak punya pilihan. Blace memang harus memanjat, ia tidak mungkin membiarkan dirinya tertangkap. Dengan gemetar, dia memegang pagar itu, dan mulai menaikinya.
Entah karena Blace terlalu ketakutan, wanita itu tidak menyadari jika dia sudah sampai di atas puncak pagar. Blace menoleh pada Havrelt, sibuk mengurus tiga orang lainnya yang masih hidup, dan dari kejauhan Blace melihat ada puluhan orang yang berlari ke arah mereka.
Tak membuang waktu lagi, Blace langsung meloncat dari ketinggian dua meter lebih itu. Tidak peduli jika setelahnya ia akan mendapatkan luka. Pendaratannya tidak begitu mulus, Blace harus merelakan tangannya mengikis tanah dan lututnya nyaris tidak bisa menopang tubuhnya ketika ia berdiri. Blace menepuk kedua tangannya dengan hati-hati, membersihkan tanah dari sana. Ia meringis ketika rasa perih itu terasa, dan Blace tahu jika ia telah terluka.
Di sisi lain, Havrelt memasukkan peluru lagi ke Desert Eagle kesayangan. Ia berdecak kesal, para musuh penjaga itu semakin mendekatinya dan mereka tidak berhenti menembak. Ada peluru yang berhasil melesat ke arahnya, dan mengenai Havrelt. Beruntung, hanya menggores lengan atas, tanpa mengenai dalam daging.
Havrelt bernapas lega melihat penyihir itu berhasil memanjat, setidaknya ia sudah memastikan orang yang membantunya menemukan barang, sudah aman.
Memastikan keadaan, Havrelt tahu ia melihat ada puluhan orang yang ingin menghampirinya. Jadi, sebelum mereka tiba di sini. Havrelt harus pergi. Ia menembak tiga orang yang menahannya, peluru yang ditembakannya mengenai sasaran, dan membuat mereka langsung tumbang di tanah. Lalu saat itu lah kesempatannya untuk lari, Havrelt langsung mencoba memanjat.
Ketika ia sampai di puncak pagar, dan bersiap meloncat. Havrelt merasakan dua sengatan di bahu atas dan di betisnya. Tubuhnya tersentak, Havrelt terjatuh tanpa pijakan yang benar di ketinggian dua meter lebih itu.
Blace yang sengaja menunggu Havrelt di balik pagar, menahan pekikan melihat Havrelt jatuh agar tidak memancing para penjaga lainnya. Wanita itu berlari, mendekati Havrelt.
"Kau baik-baik saja?" Blace membantu agar Havrelt bangkit, tetapi pria itu langsung lemas dan terjatuh lagi.
Pria itu mengerang, dan saat itu Blace menyadari jika Havrelt telah terluka.
Degup jantung Blace semakin berdetak cepat, ia berkata. "Kita harus pergi," ia menoleh ke belakang, para musuh penjaga itu mulai muncul. "Sebelum mereka menangkap kita," lanjutnya.
Havrelt menggeleng dua kali, merasakan jika kepalanya mulai sakit dan pandangannya mengabur. Ia menatap sesuatu yang menyengat di betis. Dan melihat ada peluru yang menyerupai suntikan di sana. Havrelt mencabut dua peluru itu dari betis juga di bahunya. Ia tahu jenis peluru apa itu.
Lalu Havrelt berpaling ke arah penyihir itu, ia berkata. "Cepat bantu aku berdiri!"
Degup jantung Blace berdetak semakin kencang, persis ia mendengar ada sebuah lonceng berbunyi di dekat telinga. Blace gemetar saat mendekati Havrelt dan menarik lengan Havrelt ke lehernya, lalu merangkul pinggang pria itu dan mulai menariknya berdiri. Ia merasa Havrelt terlalu berat untuk ia tumpangi, bahkan Blace nyaris terhuyung saat itu.
Setelah berhasil menyesuaikan diri, Blace mengajak Havrelt berlari ke arah mobil. Blace sempat menoleh, ada dua orang yang mengejar mereka, ikut memanjat pagar. Ardenalin Blace semakin terpacu untuk menarik Havrelt agar menjauh dari tempat itu, dan menyelamatkan nyawa mereka berdua. Ternyata firasat Blace memang benar, sesuatu yang buruk itu telah terjadi.
Sebenarnya Havrelt tahu jika ia bukan tertembak peluru biasa. Bisa saja peluru tadi adalah obat bius yang cukup mematikan, mengingat pandangannya mulai mengabur. Di saat itu juga, Havrelt sadar para penjaga tidak akan melepaskan mereka dengan mudah, menyadari ada dua orang yang sedang mengejar mereka dari belakang. Dan lainnya seolah berencana mengepung mereka dari sisi lain.
Havrelt mengeratkan rangkulan di leher Blace, memaksa kakinya tidak terseok-seok saat berlari. Tangannya yang masih memegang pistol, terangkat ke udara. Ia mencoba mencari titik fokus pada dua objek yang bergerak, apalagi ia tahu jika dirinya juga sedang berlari. Ketika menemukan dua titik fokus yang tepat, Havrelt menarik pelatuknya dua kali, dan seketika peluru itu meluncur ke arah dua penjaga, tepat ketika mereka tiba di puncak pagar. Dua peluru itu berhasil mengenai sasaran, tepat di mana jantung mereka berdetak. Dua orang itu jatuh seperti bongkahan batu. Dan Havrelt tahu nyawa mereka telah menghilang.
Setelah melalui rintangan berlari, dengan Blace yang masih merangkul Havrelt, dan membawa pria itu ke mobil yang tersembunyi di semak-semak. Akhirnya usaha Blace membuahkan hasilnya juga.
Wanita berwajah Asia itu menekan tombol kecil di tangannya, yang menghubungkan agar pintu mobil terbuka otomatis. Kemudian, Blace membuka pintu penumpang, membantu Havrelt masuk. Saat itu Havrelt menatapnya kebingungan, dengan fokus tatap yang tak pasti. Blace mencoba mengabaikannya, ia membantu Havrelt mengenakan seat belts dengan cepat, membanting pintu penumpang. Sebelum akhirnya masuk dan duduk di depan kemudi mobil.
"Bagaimana kunci mobil ada padamu?" Havrelt menyuarakan kebingungannya.
Blace tidak menjawab. Wanita itu mengenakan seat belts, tubuhnya bergemetar hebat. Detak jantungnya lagi-lagi berdegup kencang. Keringat dingin mengalir deras di sisi wajahnya, turun ke leher. Havrelt bisa melihat wajahnya pucat pasi seolah kehilangan warna. Lalu saat itu ada seseorang yang muncul di hadapan mereka, orang itu langsung menembakkan pistol ke arah kaca mobil. Bunyi letusan terdengar beberapa kali, belum lagi ada suara ribut tak jauh dari sana mulai mendekati mereka.
Blace memasukkan tuas transmisi dan menginjak pedalnya. Wanita itu membawa mobil itu mendekati si penembak. Dan semakin membuat peluru itu meluncurkan ke arah mobil. Tetapi, Havrelt tahu mobilnya menggunakan kaca anti peluru yang tebal, hingga tidak akan pecah dengan begitu mudah.
Suara retakan kaca mulai terdengar, sepertinya jika peluru terus menembak di tempat yang sama. Mungkin peluru itu bisa menembus kepala mereka. Namun, ketika itu Havrelt melihat ada yang berbeda dari si penyihir itu.
"Apa yang kau lakukan?"
Havrelt tahu, mobil itu semakin melaju mendekati si penjaga. Penjaga itu akhirnya berhenti menembak, mencoba menyelamatkan dirinya dari tabrakan mobil. Namun, semuanya telah terlambat. Blace menabrak orang itu, dan kembali melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi di kegelapan malam.
"Apa yang kau lakukan?! Jawab aku! Dan mengapa kunci mobilku ada padamu!?" Havrelt berteriak penuh emosi di sisa dirinya masih menguasai kesadaran. Ia marah pada wanita itu karena si penyihir memilih untuk bungkam.
"Jawab aku!" Havrelt berteriak lagi.
Blace menoleh padanya, Havrelt bisa melihat mata wanita itu tampak berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Begitu juga dengan tubuhnya yang ikut gemetar.
"Maaf, aku menabraknya! Orang itu terlihat mengerikan di mataku!" Blace menjerit tiba-tiba. Napasnya tercekat, seolah baru ada orang yang mencekiknya. Ia kembali berteriak. "Dan maaf, aku mengambil kunci itu dari sakumu!"
Havrelt mencuramkan alisnya.
Penyihir itu mengambil kunci dari sakuku? Ulang Havrelt dalam hati.
Mengapa Havrelt tidak menyadari gerakan penyihir itu? Dan ... ada yang aneh. Penyihir itu tahu cara mengendarai mobil mewah Lamborghini Aventador miliknya? Mengapa hal itu baru ia sadari.
Terlalu banyak berpikir, sesuatu menghantam kepala Havrelt tiba-tiba. Ia menyentuh kepalanya, memejamkan mata merasakan jika obat bius itu mulai bekerja. Refleks, Havrelt mengerang kesakitan, sepertinya obat bius itu memiliki reaksi yang lambat dan menyakitkan.
Seketika itu, Blace yang sedang fokus mengendarai mobil, menoleh pada Havrelt.
"Kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?" suaranya terdengar pelan, Blace berhasil menenangkan dirinya sendiri dengan kecepatan mobil yang melaju tinggi.
Lalu sebelum Havrelt menjawab pertanyaan Blace, ada tiga mobil yang bergerak cepat mengikuti mereka, dan saat mereka dekat dengan mobil yang dikendarai Blace. Bagian mobilnya ditabrak dari belakang. Dan saat itu Blace langsung menyadarinya.
"Ya Tuhan! Kita diikuti." Blace mulai berteriak panik. Ia meliriknya di spion mobil. "Bagaimana ini?"
Suara tembakan terdengar beberapa kali, menembak ke arah mobil mereka. Untuk sesaat Blace berusaha mengendalikan dirinya dari rasa takut. Rasa takut berdesir dalam darah Blace. Bohong, jika ia sudah merasa tenang dan aman. Untuk situasi ini Blace bagaikan berada di ujung tebing, yang di belakangnya adalah api. Pilihannya terlalu sulit. Dibunuh atau membunuh.
Blace menarik napas panjang, menghembusnya dengan perlahan. Ia menoleh pada Havrelt, menyadari jika wajah pria itu menahan erangan rasa sakit dan wajahnya juga pucat pasi. Seharusnya Blace sadar, Havrelt telah menolongnya beberapa kali dari peluru, bahkan dia sendiri terluka karena Blace.
Dari spion mobil, tiga jeep hitam itu semakin mendekati mobil mereka. Tetapi di malam bersalju itu, Blace tidak akan membiarkan ada satu orang pun bisa melukai mereka lagi. Blace sekarang berpikir, ia punya rencana. Menginjak pedal, Blace mencoba memancing mobil-mobil itu ke arah jalan tol yang cukup sepi.
Mobil Blace melakukan aksi kejar-kejaran dengan tiga mobil lainnya.
Blace berdehem, melirik Havrelt yang sekarang menutup matanya. Ia berkata dengan ragu. "Sepertinya mobil cantikmu harus berkorban malam ini."
"Maksudnya?"
"Aku akan mengunakannya untuk menyelamatkan kita,"
Napas Havrelt terengah, ia masih menahan rasa sakitnya. "Tidak, aku tidak mengerti. Sebaiknya kita ganti posisi, biar aku saja yang mengendarai mobil. Dan kau diam saja,"
"Tidak!" Blace menjerit, seraya melakukan monuver tajam di tingkungan, membuat Havrelt langsung melotot kaget.
"Kau terluka!" Blace kembali menjerit. Dan mobil mereka semakin melaju kencang, diikuti tiga mobil lainnya yang mengejar mereka. "Kita tidak akan berganti posisi, aku akan mengatasi mereka."
Havrelt mengernyit dalam, detik selanjutnya ia merasa sengatan dari dua obat bius yang mengenainya, masuk ke dalam saraf-saraf kulitnya, menyakiti tubuhnya dari dalam. Havrelt harus mengertak giginya untuk menahan rasa sakitnya. Dan malam ini ia menyadari sesuatu tentang si penyihir. Wanita itu tidak takut dengan kecepatan. Pantas saja saat pertama kali mereka tiba di London, berakhir kejar-kejaran mobil yang dikendarai oleh James, wanita itu terlihat tenang. Well, sebelum akhirnya ia berakhir ketakutan.
Dan malam ini, Havrelt melihat raut wajah yang lain. Tekad untuk melindungi dan tekad untuk menghancurkan.
Sementara itu, Blace mengambil pistol dari belakangnya. Tidak akan mengira jika malam ini akan menggunakan pistol yang Havrelt berikan padanya. Blace menghela napas, ia harus tenang. Blace bisa mengatasi tiga jeep itu.
Ia menatap ke depan, melihat ada satu mobil yang berjalan dengan pelan. Rencana mulai tersusun di kepalanya. Blace harus melakukannya, untuk menyelamatkan mereka. Walaupun hal itu melukai orang lain.
Saat mobilnya berhasil mendekati mobil sedan yang berjalan lambat, secara mendadak Blace menginjak pedal rem bersama dengan pedal laju. Saat itu yang ia lakukan adalah memancing mobil belakang mengikutinya, sengaja membiarkan mereka berdekatan karena nanti Blace akan membuat mobil jeep itu menabrak mobil lainnya. Dan Blace berhasil melakukannya.
Satu mobil jeep menabrak mobil sedan, hingga mobil itu hilang kendali. Supirnya membanting setir dan menabrak trotoar, dengan posisi mobil yang terbalik.
Mata Blace berkilat tajam. Semenjak beberapa menit yang lalu, tidak terdengar suara tembakan lagi, mengingat jika jalanan mulai ramai dengan mobil. Dengan ahli Blace menyelip setiap mobil yang berada di di tol itu. Dan dua mobil jeep masih saja bertahan mengikuti mereka.
Menyadari jika ketenangan sudah menjadi miliknya, Blace mendengus kesal. Sekarang ia tidak ketakutan. Tubuhnya bahkan tidak mengigil lagi. Blace berpaling ke arah Havrelt yang tampak kesusahan bernapas, melihat bagaimana pria itu menekan dada, tempat pernapasannya. Ada yang salah, dan Blace tidak tahu apa itu.
Havrelt menoleh padanya. Netra abu-abu menatap Blace dengan pandangan yang lain, tidak ada tatapan tajam. Hanya ada tatapan yang menahan rasa sakit. Blace jadi tidak tega melihatnya.
Blace menarik bibirnya, membentuk sebuah senyuman kecil. "Semua akan baik-baik saja." Blace berbisik.
Havrelt mendengar ucapan Blace, dan ia tidak mengatakan apa-apa.
Satu mobil jeep berhasil mengejar, jeep itu menghantam badan mobil ke badan mobil yang Blace kendarai, membuat mobilnya oleng. Namun Blace berhasil menguasai setir dengan baik dan mobil itu kembali melaju.
Ketika itu tidak akan lagi di pikiran Blace selain menyelamatkan diri. Ia tidak ingin mati malam ini. Dan Blace akan melakukan berbagai cara agar dirinya dan Havrelt selamat. Blace menatap pistol di tangannya. Tidak ada pilihan. Blace akan menggunakannya.
Blace memang tidak tahu caranya menembak. Tapi ia masih ingat pesan Havrelt.
"Tembak apa saja, terserah. Kaki, tangan, dada, perut ... terserah! Yang penting jaga dirimu sendiri,"
Benar, walaupun dalam konteks yang berbeda. Setidaknya intinya sama, Blace akan menembakkan apa saja. Asalkan mereka selamat.
Blace sengaja melambatkan laju mobil, kini membuat dirinya dikepung dari depan dan belakang mobil. Ia membuka jendelanya, mengeluarkan tangannya dengan hati-hati. Dan mulai menembak.
Blace terus menembak apa saja, sampai ada beberapa peluru mengenai ban mobil jeep depan dan sepertinya peluru juga mengenai supir yang membawa mobil. Sebenarnya ia sendiri bingung harus menembakkan apa. Jadi ia menembak asal-asal saja. Akhirnya mobil jeep kedua membanting setir, dan menabrak mobil lainnya. Akhirnya mobil itu terguling beberapa kali di jalanan.
Jeep kedua selesai.
Blace membuang senjata di tangan ke dalam mobil. Kembali menutup jendelanya. Lalu ia berpaling pada Havrelt. Wajah pria itu terlihat sangat lemah.
Blace melirik spion mobil. Ia tidak lupa ada satu jeep lagi di belakang mereka. Oleh karena itu, Blace membawa mobilnya kembali ke jalan tol yang sepi. Saat tiba di sana, ia memastikan keadaan. Benar, malam itu mobil jarang berlalu lalang di jalan itu. Dan jeep itu juga masih mengikuti mereka. Kembali memastikan keadaan aman, Blace melakukan monuver tajam, dan membalikkan arah jalan sebaliknya. Ia menginjak pedal, matanya terfokus ke arah mobil yang melaju ke arahnya. Blace semakin gila. Ia meraih senjata di tangan Havrelt, dan mulai menembak.
Ingat, tembak apa saja.
Blace mengingat dirinya sendiri. Ia terus menembak. Ban mobil berhasil terkena. Dan saat dua mobil yang saling bersinggungan itu semakin berdekatan. Blace bisa mendengar detak jantungnya lebih keras dari sebelumnya. Wanita itu membantingkan setirnya dan melakukan menover tajam untuk menghindari tabrakan maut.
Wajah Blace mengeras, melihat mobil jeep itu kehilangan kendali dan juga berguling beberapa kali di jalanan.
Blace menghentikan mobilnya, ia meraih pistol jenis lain di belakang tempat duduknya, dan ia ingin keluar dari mobil. Untuk kembali melakukan aksi gila seorang peramal yang mendadak menjadi pahlawan. Sontak, sebuah tangan menahan lengan Blace.
"Apa yang akan kau lakukan?" suara Havrelt terdengar hanya bisikan.
Blace menoleh pada Havrelt. Memberanikan diri mendekati Havrelt dan menyentuh keningnya, mengelap keringat pria itu dengan sentuhan ringan. Lalu ia berkata dengan nada gemetar. "Percayalah padaku. Hu-hubungi Niel untuk melacak kita. Karena aku tidak tahu kita berada di mana."
Sebuah senyum hadir di bibir Blace, senyum yang tak sampai pada lipatan mata. Senyum itu seolah bermaksud menenangkan dirinya sendiri. Blace menghela napas, tanpa menunggu jawaban Havrelt keluar dari mobil. Wanita itu mengangkat senjata dengan kedua tangannya. Matanya terfokus pada mobil yang terguling, mencoba mencari satu titik yang bisa memicu sebuah kehancuran.
Setelah menemukannya titik fokus itu, Blace memejamkan mata lalu mulai menembak. Tanpa sepengatahuan Blace, peluru itu beberapa kali mengenai tangki mobil. Wanita itu terus menembak. Diingatannya hanya satu.
Tembak apa saja. Terserah!
Blace terlonjak kaget, saat mobil yang ia tembak meledak. Blace langsung berlari masuk ke dalam mobil. Tubuhnya kembali gemetar.
Ledakan tadi, mengingatkan Blace pada sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan masalalunya.
Blace merasa wajahnya menghangat, dengan penglihatan yang memburam tertutup air mata. Bibirnya bergetar, keringat dingin kembali menurun di sisi wajah. Wanita itu kembali ketakutan. Sisi beraninya yang menjadi seorang pahlawan telah menghilang. Wanita itu menenggelamkan wajahnya di kemudi mobil.
Havrelt mengernyit, melihat reaksi si penyihir yang sangat langka. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Tangannya menyentuh bahu Blace, ingin memastikan sesuatu hal. Ternyata gerakan Havrelt mengejutkan Blace, wanita itu menjerit pelan. Tetapi hanya sebentar. Setelah itu, ia mengangkat wajahnya, menatap Havrelt dengan pandangan tanya.
"Aku sudah menghubungi Niel, mungkin...," Havrelt tersenggal. "Mungkin kita bisa mencari tempat untuk menunggu. Tapi tidak di jalan ini."
Blace berkedip dua kali. Lalu ia menarik napas panjang dan menghembusnya perlahan lalu mengangguk. Havrelt benar, mereka tidak bisa berada di sini terlalu lama. Mungkin para polisi akan menyadari kekacauan malam ini. Dan untuk itu, Blace harus memastikan jika mereka berada dalam situasi yang aman.
Mobil itu kembali melesat ke jalan. Bergerak sedikit pelan dan nyaman. Lima menit kemudian mereka menepi di sisi trotoar di depannya ada toko mainan.
Blace turun sejenak dengan tubuh yang gemetar, memastikan jika mobil mereka tidak terlalu rusak parah. Hanya beberapa kaca yang retak saja dan badan mobil hancur satu sisi. Saat ia kembali masuk, ia melihat Havrelt menutup matanya, dan tubuhnya terlunglai lemas.
Dilanda ketakutan, Blace mendekati Havrelt, ia menepuk pipi pria itu beberapa kali.
"Kumohon, tetap sadar. Jangan buat aku ketakutan."
Seketika Havrelt menoleh pada Blace. Ia mencoba menatap dengan jelas raut wajah si penyihir. Tetapi yang terlihat di matanya hanyalah keburaman. Ia hanya bisa mendengar, dan suara penyihir itu terdengar khawatir. Peluh turun banyak dari sisi pelipisnya. Napas Havrelt memburu. Ketika lagi-lagi ia harus menahan rasa sakit.
"Aku ... aku merasa pusing." Havrelt terengah, ia mengatakan apa yang dirasakan.
Tangan penyihir itu, mulai mendingin di pipinya. Sesaat sensasi dingin itu menghilang, digantikan dengan sebuah tangan yang bergetar hebat menghapus keringat dari wajahnya dengan sapu tangan yang entah dari mana. Havrelt tahu jika penyihir itulah yang melakukannya, ia sama sekali tidak berniat menepis tangan Blace yang menyentuhnya.
"Apa kau kesakitan?"
Havrelt mengerang, merasakan sengatan di tubuhnya semakin hebat dan menyiksanya. Di antara keburaman penglihatan, ia tahu tubuh Blace bergetar hebat, kadang ia bisa melihat suaranya seperti menahan tangis. Apa penyihir itu menangis?
"Hei, tenanglah." Havrelt mencoba menyentuh bahu wanita itu, mengelusnya pelan. Havrelt bisa mendengar suara lemah keluar dari mulutnya.
"Kepanikkan tidak akan menyelesaikan masalah. Ketakutan juga begitu. Kau harus tenang. Dan kita hanya perlu menunggu mereka datang," lanjutnya.
Sembari menenangkan Blace, Havrelt juga berusaha menenangkan dirinya. Ia tidak tahu kenapa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya dan kesadarannya semakin menghilang.
Havrelt menarik tangan penyihir itu sekali hentakan. Entah karena tarikannya terlalu kuat, atau penyihir itu terlalu lemah. Havrelt membawa penyihir itu mendekatinya, lebih tepatnya ia menarik wanita itu ke pangkuannya.
Tubuh Blace menegang mengetahui apa yang Havrelt lakukan. Ia nyaris tidak bisa bernapas dengan tubuh yang semakin gemetar.
Napas Havrelt terengah-engah seolah ia baru habis berlari maraton. Pria itu melingkarkan lengan kekarnya ke sekeliling pinggang si penyihir. Ia menaruh dagunya ke pundak Blace lalu memeluk wanita itu dengan erat.
Havrelt sadar apa yang ia lakukan. Ia hanya butuh sedikit kehangatan dari si penyihir.
"Tenanglah, tenanglah," bisik Havrelt pelan, ia bisa merasakan tubuh wanita itu semakin bergetar hebat dalam pelukannya.
Tangan Havrelt terangkat mengelus rambut hitam Blace yang lembut, persis ketika ia menenangkan Freya. Seketika itu, Havrelt mendengar isakan pelan keluar dari mulut wanita itu. Lalu bersamaan ia merasakan wanita itu merangkul lehernya dan membalas pelukannya, sama eratnya seperti pelukan Havrelt. Mata Havrelt memejam.
Di sana, di jantungnya, Havrelt merasakan ada dua detak jantung berbeda yang berdekatan tengah berdegup kencang. Havrelt tidak tahu apa artinya. Yang ia tahu kedua detak jantung itu adalah milik Blace dan miliknya. Havrelt mencoba menghirup aroma Blace yang mampu menenangkannya. Aroma lavender yang berbau kayu manis. Saat itu matanya semakin berat.
"Tenanglah. Tenang—" suara Havrelt menghilang. Kepalanya membuatnya tidak bisa berpikir, apalagi mendengar isakan Blace kian menghilang di pendengarannya. Ketika itu kegelapan mulai mengambil kesadarannya.
Di sisi lain, Blace tidak bisa menghentikan tangisannya. Ia mengingatnya lagi kejadian masa lalu itu. Hatinya kembali merasa terluka dan sakit. Ia merasakan sesak menghimpit dadanya dengan keji. Blace tidak sanggup harus hidup dalam bayang-bayang masalalu lebih lama lagi. Blace ingin sembuh. Blace ingin bahagia.
Tangannya memeluk leher Havrelt semakin erat.
Wajar. Wajar. Wajar!
Blace terisak dan wajahnya kian memanas, merasakan jika air mata mengabur penglihatannya. Ia menguburkan wajahnya ke sisi leher Havrelt. Wajar jika Blace mencari ketenangan dari pelukan Havrelt. Hanya Havrelt yang berada di sini. Dan tidak ada seorang pun selain pria itu. Blace berharap semoga ia tidak terlalu banyak melanggar batas antara pelanggan dan peramal.
Blace berharap, semua kewajaran ini adalah sikap dari dua orang yang sedang menenangkan diri. Dan memeluk adalah hal terwajar yang dilakukan. Untuk sekarang.
Blace menyakinkan dirinya. Ini wajar.
Lengan Blace semakin memeluk Havrelt dengan erat seakan tidak akan melepaskannya. Setelah ini, mereka akan menunggu bantuan tiba.
*****
Blace duduk di sofa yang berjarak satu meter dari ranjang Havrelt, yang ia lakukan adalah menatap Havrelt yang tertidur lebih dari satu jam di kamar suite hotel, tempat mereka menginap.
Satu jam yang lalu, saat Archer berserta anak buah lainnya datang menjemput mereka. Saat itu, Blace baru menyadari jika Havrelt sudah pingsan, tak sadarkan diri selama Blace peluk. Ia merasa malu, saat Archer mendapatinya masih memeluk Havrelt di pangkuan pria itu. Tetapi berkat pelukan Havrelt, Blace jauh merasa tenang sekarang.
Ketika itu rasa takut kembali datang saat ia menatap Havrelt yang pucat pasi, langsung dilarikan dalam mobil Archer. Blace juga ikut. Sedangkan mobil Lamborghini Aventador itu diurus oleh anak buah lainnya.
Ketika mereka tiba di hotel, sudah ada dokter yang menunggunya. Juga Blace melihat ada pria asing lainnya yang memiliki mata biru yang mempesona. Blace tidak mengenal pria itu. Kalimat awal yang terlintas di kepalanya adalah 'Apa itu Niel?'
Blace menunggu dengan cemas, sampai dokter berhasil memeriksa Havrelt. Blace menghafal apa yang dikatakan dokter itu saat itu.
"Dia terkena peluru obat bius, sejenis zat yang mengandung racun perusak saraf. Tetapi obat bius itu tidak terlalu berbahaya jika ditangani dengan cepat. Beruntung, karena ini belum lebih dari satu jam. Saya bisa mengurusnya, dan saya tahu penawar racun ini. Mungkin setelah ini, Tuan Dimitry harus menjalani beberapa pengobatan agar racun yang masuk ke dalam tubuhnya menghilang sepenuhnya. Untuk sementara, saat Tuan Dimitry bangun, beliau tidak merasakan sakit. Karena saya sudah mengeluarkan racun dari tubuhnya. Prediksi saya, beliau akan sadarkan besok atau lusa."
Menghembuskan napas dengan pelan. Kembali pada kenyataan, Blace beranjak dari sofa, mendekat ke arah Havrelt. Ia berdiri di samping ranjang pria itu. Matanya meredup, menatap wajah Havrelt yang jauh lebih lembut saat tertidur. Blace tidak melihat wajah keras dan tatapan tajamnya saat pria itu menutup mata.
Ekspresi Blace terlihat sedih, ia tidak mengerti, dan ia kesulitan memahami pria itu. Havrelt tidak terlihat jahat sepenuhnya.
Perlahan tangan Blace menyentuh tangan Havrelt. Hanya mengenggam sebentar karena ia ingin merasakan energi pria itu. Energi yang ia tahu adalah energi negatif yang memikat.
Kau terlalu gelap, Havrelt. Hingga jika aku terus berada di sampingmu, kau juga akan menarikku dalam kegelapan.
Di sisi lain, ada Archer yang melihat apa yang sang peramal lakukan. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa, Archer tidak ingin terlihat ikut campur. Ia hanya memerhatikan semuanya, hingga tak lama wanita itu melepaskan tangannya. Dan langsung berlari ke arah kamar mandi. Ekspresi wajah Archer menjadi kaku. Ia tahu apa yang terjadi di dalam sana, Blace muntah.
*****
London, Inggris
10.54 p.m
James keluar dari Starbucks Coffee yang terletak di pinggir trotoar. Malam hari, kota London tampak ramai dan turun salju. Mulutnya menyeruput milkshake strawberry di tangannya. Minuman itu mengingatkannya pada Blace, saat wanita itu menghabiskan milkshake sampai bunyi menjengkelkan itu terdengar.
Bibir James tertarik membentuk simpul senyum kecil. Andai saja, ia punya waktu lebih banyak dari sehari, mungkin saat itu ia sudah mengajak Blace ke berbagai tempat lainnya, yang jauh lebih menarik dan unik. Jika hal itu terjadi, mereka akan menghabiskan waktu berdua dan mengobrol tentang apa saja hingga Blace bisa menerima James. James terkekeh pelan, membayangkan saja rasanya menyenangkan. Ia tidak sabar jika hal itu benar-benar terjadi.
Matanya melirik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Lalu berkata dalam hati, Apa aku pulang terlalu larut?
Jujur, seharian ini James sibuk dengan banyak dokumen perusahaan milik Havrelt yang ia urus. Sebagai pimpinan perusahaan, James dituntut untuk selalu serba bisa dan cekatan. Itu sebabnya, liburan adalah hal terlangka dalam hidupnya.
James memijit panggal hidung dengan pelan. Sepertinya malam ini ia harus segera beristirahat. James menyeruput milkshake itu lagi.
Saat ia ingin berjalan ke arah mobil, seorang wanita berjalan begitu cepat di depannya, melintasinya seolah tidak melihat ada orang lain yang akan ia tabrak. Beruntung, James punya refleks yang bagus untuk menghindar, ia mundur, menyimpan seribu kekesalan dalam kepalanya.
Wanita kurang ajar, dia bahkan tidak meminta maaf!
Dengan mulut yang masih menyeruput milkshake, James menoleh menatap punggung wanita itu. Wanita itu mengenakan mantel, dengan tudung penutup kepala. Namun, dari belakang James masih bisa melihat dan beberapa ujung rambut berwarna pirang yang melambai-lambai. Dan saat itu, James merasa familiar dengan bentuk tubuh wanita itu. Sepertinya ia pernah melihat wanita itu.
"Entahlah," James bergumam sendiri, lalu ia mengangkat bahunya. Mungkin ia pernah melihatnya di suatu tempat. Tetapi James tidak ingat.
Tangan James bersiap membuka pintu mobilnya, saat itu entah apa yang merasukinya. James berpikir gila. Wanita yang baru lewat itu ... seperti ... teman Blace.
Pikiran gila itu terlintas di pikirannya. Ini konyol!
James menoleh ke sisi jalan, ke arah wanita yang baru saja melintasinya. Detik itu James tidak melihat wanita itu berada di sana, seolah dia memang tidak pernah ada. Dalam pikirannya muncul sebuah pertanyaan.
Apa Theresa ada di London?
*****
.
.
.
(Sabtu, 14 Desember 2018)
Gimana? Puas bacanya?
Well.. Aku puas nulisnyaaa😆😆.
Wkwkwkwk
4700+kata, rekor terbaru pas nulis😂
Kalau ada typo, sorry yes🤣.
Nnti aku periksa lagi.
.
.
.
[Bonus pict untuk James di chptr ini]
Follow ig : risennea
Salam hangat
P A H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top