T W E N T Y F I V E 🔫

"FREYA!"

Freya membalikkan badannya. Ia menegang mendapati Havrelt yang melangkah masuk kamarnya.

"Kakak?" bisiknya pelan, wanita itu nyaris menjatuhkan ponselnya saat melihat dengan jelas jika Havrelt marah. Apa Havrelt mendengar apa yang ia bicarakan di ponsel? Kemarahan dan kekesalan Freya pada Jacques--orang yang ia suruh untuk mencari cara agar membunuh Blace--lenyap begitu saja. Sekarang, kekhawatiran mulai menguasai dirinya.

Saat Havrelt tiba di hadapannya. Pria itu langsung mencengkal tangan Freya dengan kasar.

"Siapa yang mengajarimu untuk bersikap keterlaluan?!" suara Havrelt meninggi, ia tidak bisa mengontrol kemarahan.

"Apa maksudmu, Kak?" Ini lah yang akan Freya lakukan untuk menghindari, pura-pura tidak tahu. Ia berdoa jika wajahnya terlihat polos dan tidak panik.

"Jangan berpura-pura! Aku tidak pernah mendidikmu untuk menghabisi orang dengan cara licik yang kau lakukan itu!" Havrelt semakin marah.

Freya menegang. Havrelt pasti mendengar dia bicara di telepon. Menyelinap diam-diam, tangan Freya mematikan sambungan telepon yang masih berjalan. Ia menahan dirinya agar tidak marah pada Havrelt. Entah mengapa ada rasa sakit di dadanya melihat kakaknya membela wanita sialan itu, membuat Freya ingin meluapkan kemarahan. Tapi, tidak pada Havrelt. Ia tidak bisa melampiaskan kemarahannya pada Havrelt.

"Aku tidak sama sekali tidak menduga jika ternyata kau yang melakukannya." Havrelt menurun suaranya, ia terkekeh miris. "Apa aku pernah bilang sesuatu padamu tentang penyihir itu?"

Melihat Freya yang terdiam dan yang terus mencoba menghindar tatapannya. Havrelt memang tidak pernah salah, Freya memang pelakunya. Pria itu melanjutkan ucapannya. Kali ini ia tidak bisa berpura-pura baik pada Freya. Ia sangat marah pada sikap Freya sangat keterlaluan.

"Kau harus tahu hal ini. Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh wanita itu lagi! Pertama kali aku mendengarnya dari James, kau sengaja menyeret ke perpustakaan dan ingin menusukknya. Aku membiarkan karena aku tidak ada di sana. Tapi sekarang, sikapmu sudah melampaui batas. Kau harus ingat Freya, jika kau melukainya lagi kau berhadapan denganku. Dia berharga!"

Freya terkejut ia tidak pernah mendengar kalimat terang-terangan dari Havrelt saat ingin mengungkapkan sesuatu. Biasanya pria itu lebih suka memendam daripada meluapkan emosi padanya. Tetapi jika keadaannya sudah seperti ini, jelas semuanya berbeda.

'Dia berharga!'

Dada Freya dipenuhi rasa sesak. Dia tidak pernah mendengar Havrelt membela wanita lain selain dirinya. Havrelt tidak pernah mau repot-repot hanya untuk membela wanita yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Lalu apa yang kakaknya lakukan?

'Dia berharga!'

Matanya berkaca-kaca, kemarahan Freya lenyap begitu saja. Dada semakin dipenuhi rasa sesak, tenggorokan nyaris tidak bisa membiarkannya menghirup napas. Havrelt melupakannya. Havrelt sudah tidak menganggapnya lagi. Ia kehilangan satu-satunya orang yang ia sayangi. Ia sudah kehilangan Havrelt.

Semua ini gara-gara wanita itu.

Sementara itu, Havrelt yang tidak melihat respon dari Freya. Mulai menguasai dirinya kembali dari kemarahannya. Ia melonggarkan cengkramannya di tangan Freya, menatap adiknya yang hanya diam karena ucapannya. Apa Havrelt terlalu berlebihan?

"Kau berubah, Kak." Freya tidak berhak marah lagi pada Havrelt. Ia sadar diri. Posisinya mulai terganti dan Freya merasa terasingkan. "Kau membentakku," suara Freya semakin lirih, bibirnya bergetar saat mengucapkan kata itu.

Havrelt terdiam dengan kemarahan yang semakin mereda.

"Aku pasti tidak berharga lagi bagimu. Dan untuk apa lagi aku hidup? Untuk seseorang yang tidak pernah menginginkan aku lagi." Air mata itu mengalir dari pipinya. Freya mungkin bisa menjadi wanita temperamen jika ia mau dalam situasi ini. Tapi ia tidak melakukannya. Kali ini ia tidak bersandiwara. Ia menunjukkan sisi lemahnya yang sebenarnya.

"Freya?" suara Havrelt berubah lembut, tidak ada kemarahan seperti menit yang lalu saat mereka bertengkar. "Jangan bicara seperti itu," hanya suara penuh perhatian dari seorang kakak.

Mendengarkan suara Havrelt yang tiba-tiba melembut, Freya semakin terluka. Kakaknya pasti hanya bersimpatik padanya. Pada kerapuhannya menjaga sikap. Pada keangkuhannya yang menghilang karena kesadaran. Pada dirinya yang sudah tidak berarti apa-apa.

Havrelt seolah tahu apa yang dipikirkan Freya, melihat Freya mulai menyakiti dirinya. Mencakar lengannya yang sekarang sudah berdarah. Havrelt menariknya dalam pelukannya, memeluk adiknya dengan erat.

"Maafkan aku. Maafkan aku." Havrelt berbisik dengan rasa bersalah. Seumur hidupnya ia tidak akan bisa melukai Freya. Tidak pernah bisa marah pada Freya. Karena Freya berarti segalanya baginya.

Namun, Havrelt tidak bermain-main dengan ucapannya tentang penyihir itu. Penyihir itu berharga untuk menemukan barangnya. Setelah semuanya ditemukan, ia tidak akan membutuhkan wanita itu lagi.

Havrelt merasakan Freya membalas pelukannya, lalu wanita itu menangis sesenggukan. Tak peduli jika Freya sudah dewasa, Havrelt akan selalu menganggapnya sebagai adik kecilnya.

"Aku sangat membutuhkanmu Freya. Sangat. Jangan membuatku marah lagi." Havrelt kembali berbisik. Lalu ia kembali meminta maaf pada Freya.

Tanpa mereka sadari, seorang wanita menyadarkan tubuh di kusen pintu yang sepenuhnya terbuka, ia menatap dua orang yang saling berpelukan itu. Tatapannya tidak bisa ditebak.

Blace tersenyum tipis, ia memutuskan untuk pergi dari sana. Mereka pasti tidak menyadari keberadaannya. Tadi sebelum ia tiba dan melihat apa yang terjadi, Blace mendengar suara bentakan Havrelt ketika ia ingin ke kamarnya. Dan memutuskan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada kakak beradik itu.

'Semoga mereka baik-baik saja.' Blace tiba di lorong kamarnya, ia terkekeh kecil. 'Walau pun tadi itu terlihat dramatis.'

*****

Blace berada dalam kamarnya.

Ia duduk atas ranjangnya dalam kamar, menatap foto senjata George Washington's saddle pistols di tangan. Wanita itu terdiam lama dengan pikirannya yang mulai berkeliaran.

Saat kemarin malam ia meramal Havrelt, pria itu mengatakan padanya jika mereka akan berangkat hari ini untuk kembali mencuri barang itu dari para penculik. Blace sempat menolak untuk pergi tapi mendengar jika Havrelt pergi tanpa Blace berarti sia-sia saja. Blace menerimanya dengan pasrah.

Menghela napas, Blace tidak pernah meragukan kemampuannya yang mengetahui segalanya tentang keberadaan benda itu. Harus Blace akui ia punya rahasia tentang mengapa ia tahu segalanya. Blace adalah seorang indigo yang memiliki kemampuan klervoyans, yang mencoba menutup bakatnya dengan dirinya menjadi Peramal. Ia benci mengetahui ia memiliki bakat langka itu, karena kenyataan yang sebenarnya ia pernah nyaris kehilangan nyawanya sendiri gara-gara kemampuan itu.

Klervoyans adalah suatu kemampuan di mana Blace bisa melihat semua kejadian saat ia menutup mata, ia melihat semua kejadian persis seperti seseorang yang menonton siaran langsung. Tapi kadang kemampuan itu terbatas dilakukan, misalnya Blace harus tahu seperti apa benda yang ingin ia cari. Jika misalnya Blace menghilangkan sebuah bola yang pernah disentuhnya, ia akan tahu di mana letaknya sekali ia menutup mata. Dan mengenai barang yang ingin ia cari, adalah barang yang tak pernah ia sentuh. Maka dari itu ia butuh energi dan deskripsi bagaimana senjata itu saat ia sentuh. Oleh karena itu, malam kemarin ia membutuhkan bantuan Havrelt saat meramal barang itu.

Blace menutup mata, membayangkan jika suara Havrelt kembali memandunya untuk kembali pada sisi dunia yang lain. Pada tempat persembunyian George Washington's saddle pistols.

Ia melihat senjata itu masih di tempat yang sama. Terletak di tempat yang terlihat agung dan sempurna.

Bayangan itu menghilang saat Blace membuka matanya, ia tidak bisa melakukan hal itu dengan lama tanpa panduan yang nyata. Mata Blace menatap koper yang berada di kaki ranjang, tadi beberapa pelayan yang tidak ia ketahui namanya, membantu menyiapkan baju karena mereka akan pergi ke negara lain.

Blace merebahkan tubuhnya ke ranjang, sekarang ia jadi penasaran apa yang sedang dilakukan Havrelt dan Freya. Masihkah mereka berpelukaan seperti tokoh kartun yang ia tonton di tv? Blace terkekeh dan bergumam pada dirinya sendiri.

"Mengapa aku tiba-tiba memikirkan mereka sih. Sepertinya aku terlalu perduli."

Blace menutup matanya lagi, lagi-lagi muncul bayangan lain dengan suara yang seakan meledak di pikiran Blace.

"Kau harus tahu hal ini. Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh wanita itu lagi! Pertama kali aku mendengarnya dari James, kau sengaja menyeret ke perpustakaan dan ingin menusukknya. Aku membiarkan karena aku tidak ada di sana. Tapi sekarang, sikapmu sudah melampaui batas. Kau harus ingat Freya, jika kau melukainya lagi kau berhadapan denganku. Dia berharga!"

Blace terkekeh dengan miris. Ia bahkan bisa menghafal apa yang Havrelt katakan pada Freya. Dia berharga? Semuanya omong kosong. Havrelt pasti hanya memanfaatkan kemampuan istimewanya. Havrelt hanya tidak ingin ia mati, sebelumnya ia menemukan barang.

Tiba-tiba rasa sesak memasuki dada Blace, wajahnya memerah menahan air mata yang akan keluar dari sana. Pada akhirnya ia kembali dimanfaatkan orang lain, karena kemampuan sialannya itu. Itu sebabnya ia menamai kemampuan sebagai 'Kutukan'.

Ia benci mengakui, ia yang sekarang jauh lebih buruk dari masa lalunya.

*****

Blace menunggu dalam mobil, ia menunggu Havrelt yang masih berpelukan dengan Freya di depan pintu utama.

Ia mengetuk jarinya di atas pahanya, sembari menghembuskan napas dengan resah. Ia menatap Archer yang duduk di balik kemudi, yang membisu seolah mereka memang tidak berada di tempat yang sama dalam mobil itu. Entah mengapa saat itu ia jadi teringat James, seharian ini ia tidak melihat pria itu di mana-mana. Entahlah, Blace tidak ingin memikirkan hal tidak penting lagi.

Ia menoleh pada Havrelt yang masih memeluk Freya. Lalu saat itu tanpa dicegah tatapannya berubah. Tatapan yang sama saat ia menatap Havrelt dan Freya ketika ia melihat mereka bertengkar. Tatapan yang tak bisa ditebak oleh siapa pun, termasuk Archer yang diam-diam memerhatikan Blace dari kaca spion dalam mobil.

Di sisi lain, Havrelt masih belum bisa merelakan Freya jika ia pergi nanti adiknya akan sendirian.

"Apa kau yakin tidak mau aku ikut, Kak?" Freya bertanya nada imut, ia juga masih memeluk Havrelt.

"Tidak, aku sudah cerita semuanya kan? Aku bukan ingin mengunjungi ibu di sana. Juga bukan ingin liburan dengan penyihir itu." Havrelt melepaskan pelukannya. Ia mendorong bahu Freya agar ia melihat wajah adiknya yang ia duga sedang cemberut, dan benar Freya memang sedang cemberut.

"Kau egois sekali tidak membiarkan aku ikut. Padahal aku sudah janji tidak akan membuat masalah lagi dengan penyihir itu. Well, jika dia benar-benar tidak merebutmu dariku." Freya tidak bisa menghilangkan nada sinis dalam suaranya.

Havrelt mengacak-gacak rambut Freya yang berwarna cokelat, beberapa jam sebelum ini Havrelt sudah menceritakan semua pada Freya, mencoba menenangkan Freya yang mungkin bisa saja kembali menyakiti dirinya sendiri jika ia tidak akan tahu kebenarannya. Ia tersenyum lembut pada adiknya.

"Aku pergi dulu," Havrelt meninggalkan kecupan sekilas di pipi Freya. Melambai sekilas dan masuk ke mobil tanpa menoleh lagi.

Ia melihat Freya tersenyum padanya, dan melambai padanya. Terlebih saat mobil itu mulai melaju meninggalkan mansion. Saat itu tanpa dicegah, tatapan Freya berubah. Mungkin sekarang ia bisa mengendalikan dirinya dari kegialan yang pernah merasukinya. Tapi, jika penyihir itu sekali benar-benar merebut kakaknya.

Freya tidak akan pernah membiarkan dirinya kehilangan Havrelt. Ia yang akan menyadarkan wanita sialan itu jika ia hanya jadi barang untuk Havrelt manfaatkan.

*****

Havrelt sama sekali tidak berniat berbicara dengan wanita di sampingnya semenjak mereka berangkat dari mansionnya. Apalagi saat sebentar lagi, mereka akan lepas landas.

Sekilas, Havrelt melirik wanita yang sibuk dengan pikirannya. Wajahnya memasang tatapan asing yang tak pernah Havrelt lihat. 

Havrelt baru menoleh kepalanya saat awak kapal mengatakan jika mereka sudah tiba di bandara. Havrelt beranjak dari duduknya, mulutnya akan terbuka ingin menyuruh penyihir itu juga turun. Tapi ia melihat penyihir itu sudah beranjak dari duduknya. Ia tidak bicara lagi.


Havrelt mengangkat bahunya,ia tidak peduli. Saat ia turun dari tangga pesawat pribadi sebuah mobil sudah menunggunya. Ia langsung masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan. Meninggalkan Blace yang masih terdiam di belakangnya di anak tangga pesawat.

"Rusia," Blace menghela napas, mencoba menguatkan dirinya sendiri. Iya, barang yang mereka cari ada di negara ini. Lebih tempat di kota Moskow.

Blace berjalan ke arah Havrelt yang menatapnya dengan tajam. Ia masuk ke dalam mobil. Sebelum mobil itu pergi, ia bergumam dalam hatinya.

'Selamat datang Blace Flannery, kau kembali lagi di negara ini.'



*****

Cerita ini bakal aku pending dulu ya. Mungkin sekitar 3-4 minggu. Setelah itu aku akan coba update lagi.

Sambil menunggu cerita ini update, bisa mampir ke lapak sebelah aku.

Cerita ini update tiap hari kok.

Karena cerita MWG belum banyak yg baca. Jadi aku gak terlalu banyak mengecewakan orang lain ya kan? :)

.
.
.
.

Follow ig : risennea

Salam hangat
P A H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top