Pukulan itu terus dilayangkan Havrelt pada samsak di depannya. Saat samsak itu kembali padanya, ia sudah menyiapkan posisi dan tenaga untuk kembali melakukan pukulan. Bunyi pukulan terdengar keras dalam ruang latihan, tempat ia biasanya berlatih untuk kekuatan fisiknya. Tentu saja, tempat itu jauh dari mansionnya. Pukulan kombo yang Havrelt lakukan tanpa henti cukup menghabiskan staminanya untuk meninju samsak.
Deru napas Havrelt memacu cepat, bersamaan dengan desir darah yang mempercepat detak jantungnya. Empat kali samsak itu diganti karena Havrelt memutuskan rantai yang mengikat dengan pukulan dan tendangan yang sangat keras. Dan sekarang ia berhenti sejenak meninju samsak yang kelima. Matanya menajam pada samsak yang menjadi pelampiasan emosinya.
Dan sudah lebih dari enam jam, ia masih tidak bisa mengalihkan pikirannya dari si penyihir itu. Ia merasa tidak waras hanya karena kecupan curian sialan dari si penyihir. Havrelt merasa marah karena berani-beraninya wanita itu menyentuhnya. Biar Havrelt penjelas, Havrelt sangat membenci jika ada wanita yang kurang ajar yang mencium atau mengecupnya pertama kali dalam bentuk apa pun, sengaja atau tidak. Bisa dikatakan Havrelt lebih suka memulai melakukannya terlebih dahulu daripada seorang wanita yang memulainya padanya.
Bos mafia seperti Havrelt Ryder Dimitry tidak mungkin tidak tertarik pada wanita. Ia tertarik, tapi rasanya hal tidak semenyenangkan saat dirinya dihadapkan dengan target membunuh. Karena menguliti dan mencincang manusia jauh menyenangkan dibandingkan bermain dengan wanita. Apalagi Havrelt tidak pernah melakukan hal yang lebih dari mencium, ia tidak bercinta dengan seorang pun, tanpa peduli jika ia sering diejek karena dia masih perjaka. Tetapi, siapa yang peduli tentang itu, Havrelt saja tidak pernah memusingkan tentang hal itu. Apalagi mengingat terlalu banyak wanita murahan yang mengantri untuknya, yang membuat Havrelt muak untuk sekedar menoleh.
Havrelt terlalu merasa kotor jika ada wanita yang menyentuhnya. Mereka bahkan tidak ragu untuk telanjang di depannya jika ia sedikit melirik untuk melihat wajah mereka. Yang jelas Havrelt bukan jenis pria yang suka menanam benih di mana-mana. Apalagi Havrelt tidak ingin berurusan dengan namanya wanita, karena semuanya pembawa sial dan merepotkan. Perkecualian untuk adiknya--Freya dan ibunya. Karena dua orang itu terlarang untuk ia anggap merepotkan.
Ketika pikirannya mengingat kembali bayangan si penyihir menyentuhnya terlebih dahulu, Havrelt berubah menjadi lebih kacau dari sebelumnya, ia merasa harus dia yang melakukannya pertama kali. Bukan wanita itu! Ingat, Havrelt hanya seseorang yang tidak ingin disentuh wanita terlebih dahulu.
Keringat itu membanjiri tubuh Havrelt yang tidak memakai baju, memperlihatkan ototnya yang jauh lebih terbentuk dari sebelumnya. Ia mengenakan celana pendek dengan sepatu sport mahalnya. Otot lengan dan perutnya mengencang tiap kali Havrelt kembali melayangkan pukulan jab, jenis pukulan lurus ke depan. Paru-parunya memompa jantung semakin cepat.
'Dia baik.'
Havrelt meninju samsak itu dengan penuh emosi. Ia mengingatnya lagi.
'Terima kasih.'
Napas itu menderu keras, otot tangannya mulai kram karena terlalu lama memukul samsak. Havrelt hanya berhenti beberapa kali untuk menarik napasnya. Havrelt menggerak kakinya, mengelilingi samsak yang baru saja berhenti di tempatnya. Saat itu Havrelt melayangkan tendangan beberapa kali disertai dengan pukulan tangannya, ia melakukan beberapa pukulan yang ia kuasai dengan baik, seperti pukulan snap, pukulan jab, pukulan cross, pukulan hook dan pukulan lainnya. Rantai yang mengikat samsak mulai bergoyang dan longgar. Namun, Havrelt tidak memperdulikan hal itu. Ia terus saja menendang dan meninju.
'Terima kasih.'
Emosi menguasainya, ia mengingatkan si penyihir lagi. Havrelt sangat tidak menyukainya. Tinju yang ia layangkan lebih kuat dari sebelumnya. Rantai yang awalnya sudah longgar kini terlepas, dan samsak yang mengantung itu terjatuh di lantai seperti batu yang dilemparkan. Keringat membasahi tubuh Havrelt. Napasnya terengah-engah. Matanya menajam, mengetahui jika dirinya kesulitan mengontrol dirinya saat bersama si penyihir itu. Ada tidaknya wanita itu di sampingnya. Ia sudah sekacau ini.
Havrelt melepaskan pengikat velcro dengan mulutnya, menggigit hingga tangannya yang lain melepaskan sarung tinju yang ia kenakan. Ketika kedua sarung tinju itu terlepas, Havrelt melemparkannya dan berteriak. Tidak peduli jika ada orang lain di ruangannya.
Ia mengumpat dengan bahasa paling kasar yang ia gunakan dalam bahasa Rusia, bahasa tanah airnya. Ia membiarkan dirinya duduk di lantai, dengan keringat yang masih terasa lengket di badan. Tatoo di bahu dan tangannya juga basah karena keringat.
Mulutnya berhenti mengumpat, Havrelt meraih botol dingin yang berada tepat di sampingnya. Meminumnya setengah dan setengahnya lagi, menyiram ke wajah dan tubuhnya hingga ia semakin basah. Sekarang yang Havrelt lakukan adalah dia harus bisa menenangkan dirinya sendiri.
*****
Tak jauh dari tempat Havrelt, James dan Archer berada di sana. Jika biasanya mereka selalu tampil dengan pakaian formal, kini kedua pria itu hanya memakai kaos tanpa lengan dan celana olahraga pendek. Keduanya baru saja menghabiskan waktunya menemani Havrelt bertarung dengan samsak, sembari menemani, mereka juga olahraga di tempat itu. Karena untuk hari ini, pekerjaan sudah diambil alih oleh asisten mereka.
"Apa menurutmu dia akan terus menyiksa dirinya sendiri?" James bertanya, dan meraih botol di depannya dan meminumnya hingga tandas.
"Mungkin iya, mungkin tidak." Archer menjawab ragu, pria berambut merah itu memerhatikan Havrelt yang berteriak pada anak buah agar kembali memasang samsak lagi.
"Dia gila." James bangkit dari duduknya.
Lebih dari enam jam yang lalu, mereka berdua hanya menemani pria emosional tanpa alasan. Dan marah pada sesuatu hal kecil, jika ada yang menganggunya. Mereka tidak tahu apa-apa yang sudah terjadi pada Havrelt, yang membuat Havrelt marah pada semua orang. Mereka hanya penonton dan bawahan yang tak berhak bertanya.
James mendengus, "Aku muak jadi bawahannya."
Archer mengernyit tidak mengerti perkataan James. Namun, matanya masih terpaku pada bosnya yang sudah menenangkan dirinya, membuat deru napasnya memelan dan teratur.
James membalut kedua tangannya dengan cepat. Dua menit kemudian, dia selesai. Kain itu melilit kedua pergelangan tangannya dan juga jemarinya dengan sempurna. Tanpa membuang waktunya, James menghampiri Havrelt.
Archer yang awal tidak mengerti dengan James yang menghampiri Havrelt, langsung bangkit dari duduknya. Mulutnya ingin bertanya, tapi hanya bisa terbuka tanpa suara ketika James meraih bahu Havrelt, membalikkan badan bosnya dan meninju keras wajah Havrelt.
Havrelt terhuyung ke belakang, matanya menajam karena tidak terima yang baru saja dilakukan James padanya. "Ada apa denganmu?"
James tidak berhenti di sana. Ia mendekati Havrelt lagi. Wajahnya lebih emosi dari Havrelt, aura benar-benar ingin menghabisi pria itu. Tidak peduli jika bosnya akan marah, ia muak hanya menonton Havrelt marah pada benda mati, jadi James siap jika tubuhnya menjadi pelampiasan Havrelt sebagai benda hidup yang bisa bernapas. Karena ia akan melawan Havrelt sebisanya.
"HARUSNYA AKU YANG BERTANYA BEGITU?!" James kembali melayangkan pukulan di wajah Havrelt. Tepat di hidungnya.
Havrelt yang masih bingung dengan kelakuan James, terhuyung dan tidak siap menerima pukulan James. Havrelt merasa kepala pening, ia menyekat darah yang keluar dari hidungnya.
"Jangan membuatku marah James, kau bawahanku!" Havrelt membentak dengan suara lantang, beberapa bodyguard yang berjaga ingin menghentikan James. Tapi Havrelt mengangkat tangannya, seakan melarang siapa pun mendekat.
"Persetan dengan kata 'bawahan' Havrelt! Aku sahabatmu dan sahabat ini sedang menyadarkanmu dari kegilaan yang kau buat!"
Lalu saat itu perkelahian tidak terelakan lagi. Mereka saling memukul satu sama lain. Beberapa pukulan Havrelt mengenai wajah, perut James, begitu juga sebaliknya.
Havrelt melayangkan pukulan pada rahang James, hingga pria itu terhuyung ke belakang. Tak berhenti di sana, seolah kehilangan kewarasannya, Havrelt menendang perut James yang sekarang jatuh ke lantai. James terbatuk-batuk. Wajahnya babak belur karena pukulan Havrelt. Tetapi ia tidak menyerah, ia bangkit lagi dan meninju Havrelt, yang langsung mengelak. Tangan James bergerak cepat, memukul punggung Havrelt dengan sikutnya, hingga Havrelt nyaris terjatuh ke lantai.
Ada beberapa lembam di wajah Havrelt yang mulai membiru karena pukulan James. Amarah saat itu menguasainya, ia berpaling pada James. Kakinya bersiap untuk menendang perut James. Namun, ia berhenti dalam posisi menendang itu.
"Kenapa?" padahal James sudah menanti tendangan Havrelt mengenainya. James memerhatikan Havrelt yang mengernyit dalam.
"Kakiku kram," Havrelt bahkan kesulitan menurunkan kakinya sendiri. Havrelt mengeram.
Archer yang tadinya hanya penonton atas perkelahian mereka, ingin bergerak membantu bosnya. Namun kalah cepat dengan James yang berdiri di dekat Havrelt. James langsung menghampiri Havrelt, tidak peduli jika mereka baru saja berkelahi hanya gara-gara hal yang tidak jelas. Pria itu langsung merangkul dan memapah Havrelt, membawanya ke bangku panjang yang tak jauh dari sana. Apalagi Havrelt tidak menolak bantuan James.
Dengan wajah mereka yang berakhir babak belur, berdarah dan lembam-lemban di tubuh. Archer tidak mengerti dengan kedua orang yang kini telah duduk di bangku panjang itu, Archer tidak berani menghampiri mereka. Ia sedikit terpana dengan James yang langsung menolong Havrelt padahal mereka jelas-jelas sedang berkelahi. Archer memang tahu mereka berteman. Tapi tidak menyangka ternyata pertemanan segila ini.
Sementara itu, James tampak senang dan tidak bisa menyembunyikan seringai di bibirnya. Tangannya bergerak mengacak rambut Havrelt dengan bersahabat. Ia tidak peduli setelah melakukan hal itu ia malah menerima sikutan dari Havrelt.
"Apa kau tidak ingin bercerita apa yang membuatmu seperti sekarang padaku?" nada suara James disertai dengan ringisan, karena sudut bibirnya robek karena pukulan Havrelt.
"Brengsek kau James!" Havrelt melotot saat mendapati kaki James sengaja menendang kaki Havrelt yang kram.
"Jadi?" James terkekeh, ia merasa tidak sabar menunggu Havrelt menjawab pertanyaannya, apalagi karena James sama sekali tidak suka menunggu. Mungkin James yang sekarang sedikit berbeda dari biasanya. Tapi begini lah dia yang sebenarnya. Tidak banyak bicara saat bekerja, tapi nyatanya sangat penuntut dan pemaksa dalam pertemanan.
Dan benar, pertemanan mereka lebih dari segalanya. Mereka berdua sudah berjanji tidak akan ada rahasia baik dalam perasaan atau dalam bentuk apa pun.
Havrelt melengos, matanya menampilkan amarah tak tertahankan. "Penyihir itu menciumku."
James terkejut. Matanya menatap Havrelt, ia berkata. "Di mana?"
"Di leher,"
Seketika James terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya memutuskan untuk tertawa karena ia punya bahan untuk meledek Havrelt. Pria itu merangkul Havrelt yang sedang minum, membuat gerakan tiba-tiba itu menumpahkan air di tangan Havrelt. "Apa kau merasakan harga dirimu menurun karena dicium pertama oleh wanita, Havrelt?"
"Sialan James! Kau menumpahkan airnya! Dan jangan menggodaku jika hanya membuatku emosi."
James memberinya senyum mengejek. Sama sekali tidak melepaskan rangkulannya walaupun Havrelt tidak berhenti menyikutnya. Ia teringat pada saat ia memutuskan Blace Flannery akan menjadi adiknya, sepertinya ia belum menceritakannya pada Havrelt.
"Well, kau tidak perlu bersikap segila tadi, sialan. Kau menyiksa dirimu sendiri. Dan aku ingin bilang padamu, mulai detik ini, hari ini dan selamanya. Peramal sewaanmu akan menjadi adikku, jadi aku memintamu untuk tidak melecehkannya kalau kau pernah berpikir begitu."
"Adik?" Havrelt terkejut, ia bahkan tidak terlalu mendengar ucapan James yang mengatainya 'sialan'. Ia hanya terlalu terkejut, saat James mengklaim penyihirnya tanpa persetujuannya.
"Tidak bisa!" Havrelt mendapati mulutnya membentak James. "Kau tidak akan punya adik, James! Tidak, jika adik yang kau inginkan adalah peramalku."
"Peramalmu?" ulang James memasang tampang menyebalkan. Ia melepaskan rangkulannya, berdiri lalu berhadapan dengan Havrelt yang duduk. "Aku yang sekarang berbicara denganmu adalah sebagai sahabatmu, Havrelt. Kau tidak bisa melarangku pada siapa aku memilih orang untuk jadi adikku. Kau tahu sendiri, aku sudah lama tidak punya adik. Apalagi sekarang aku ingin punya adik besar yang perempuan."
Havrelt masih tidak terima. Ia tidak mengerti dengan pemikiran James. "Kau bisa menganggap Freya adikmu juga, dia juga perempuan."
"Tidak. Aku tidak ingin adikmu yang menyebalkan itu." James mencibir dan menolak mentah-mentah.
Havrelt langsung marah, tangannya menjulur menarik baju James. "Jangan mengatai adikku, sialan!"
"Terserah." James melepaskan tangan Havrelt. "Aku tidak ingin mendengar pendapatmu, sialan. Besok aku libur, dan aku akan mengajak adik baruku jalan-jalan."
Havrelt mendengus. "Kau gila. Memangnya dia tahu kau sudah mengakuinya adik barumu?"
Seringai itu muncul di bibir James. "Aku tidak ingin memberitahunya." James menatap Havrelt, sepertinya selagi Havrelt tidak bisa mengejar dan membalasnya. James punya satu cara untuk semakin menyengsarakan Havrelt.
Tangan James bergerak menjitak kepala Havrelt, yang sudah lama ingin ia lakukan. Setelah melakukannya James langsung melarikan diri dari sana.
"SIALAN KAU, JAMES!" saat itu suara Havrelt mengelegar di ruangan itu. Havrelt mengusap kepalanya. Ia akan membalas James. James dalam mode on sebagai sahabatnya memang sangat menyebalkan dan tukang paksa.
Havrelt melempar botol air yang masih setengah penuh ke arah James yang sedikit lagi mencapai pintu keluar. Botol itu langsung mengenai kepala James tepat sasaran, dan Havrelt tidak dapat menyembunyikan seringainya. Ia berhasil membalas James.
"SIALAN KAU, HAVRELT!" suara itu jauh lebih keras dari suara mengelegar milik Havrelt.
****
(Sabtu, 27 Oktober 2018)
THANKS for Reading 🎉🎉🎉🎉🎉🎉
Pss.. Hari ini ketemu sama tiga orang ini aja ya
Go follow :
@risennea
@risennea.story
Salam hangat
P A H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top