T H I R T Y S E V E N🔫
"Jelaskan semuanya padaku, Theresa."
Malam itu turun hujan salju, tidak deras tapi cukup membuat jendela kamar membeku. Suhu udara yang dingin sekitar 2-3 derajat celsius seolah sedang membekukan dua orang yang saling menatap itu.
Untuk beberapa saat, mereka sama-sama terdiam. Sampai akhirnya Theresa—atau yang Jian kenal sebagai Emie—memilih mendekat dan duduk di ranjang, dekat Blace.
"Aku akan menjelaskannya. Ceritanya panjang dan aku harap kau mau mendengarnya sampai selesai," bisik Theresa penuh rasa bersalah. Ia menunduk sebentar, lalu kembali menatap Blace.
"Aku...,"
Blace merasa waspada saat tangan Theresa bergerak ingin mengenggam jemarinya, tetapi Blace lebih cepat bertindak. Tentunya, untuk sekarang dia tidak ingin disentuh oleh Theresa. Blace hanya terluka dengan semua rahasia Theresa. Ia hanya ... merasa jika Theresa berteman dengannya bukan didasari dari hati yang tulus. Tapi hanyalah sebuah tugas. Keberadaan Theresa di sampingnya bertahun-tahun, berlakon seperti temannya seharusnya ... jangan terjadi saja.
Mata Blace tersengat, hatinya mengerut dan mulai menyesakkan dada. Rasanya menyakitkan.
Theresa menarik napasnya dan menghembusnya pelan. "Namaku Emily Sashenka. Umurku 31 tahun. Dan aku ... lahir di Rusia," ia melanjutkan. "Maaf, aku berbohong tentang umurku padamu. Aku mengatakan jika umurku 26 tahun, hanya ingin kita bisa akrab tanpa rasa canggung, Dan untuk membuatmu tidak peduli dengan umurku. Kupikir umurmu yang 22 tahun pasti akan merasa tidak nyaman jika berbicara denganku yang berumur 31 tahun. Jadi aku berbohong, Ery."
Blace tercekat mendengar nama Ery keluar dari mulut Theresa. Apa There—oh Blace lupa, namanya bukan Theresa, tetapi Emily. Apa Emily tahu siapa dirinya?
"Mungkin sekarang kau bisa memanggilku Emie seperti Jian, atau aku tidak keberatan jika kau masih memanggilku Theresa." Emily tersenyum kaku, "dan aku tahu semua rahasiamu, juga kenal semua keluargamu."
Jemari Blace bergetar. Ia meraup kain selimut yang menyelimuti kakinya, mencengkramnya erat di atas paha, berusaha untuk bertahan jika ia masih ingin mendengar semua cerita Emily. Emily Sashenka. Blace menyembunyikan senyuman getirnya, nama Emily terucap sangat asing, ia lebih suka mengucapkan nama Theresa.
"Saat aku berumur 15 tahun, aku bukan seperti sekarang. Dari kecil aku yatim piatu dan tinggal di sebuah panti asuhan. Dan ... aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku saat itu. Karena mereka bilang, aku adalah anak haram. Aku yakin, karena itu tidak ada orang tua yang menginginkan aku untuk diadopsi, dan membawaku keluar dari panti asuhan. Mengenai orang tuaku sekarang, mereka sudah meninggal. Aku sempat mencari tahu. Dan iya, aku menerimanya karena jauh lebih baik seperti itu. Well, saat umurku hampir 16 tahun, suatu hari keajaiban itu datang begitu tiba-tiba."
Theresa menjeda sejenak, menarik napasnya, lalu melanjutkan. "Kau melihatku di pinggir jalan dan memberiku makan saat aku kelaparan. Umurmu saat itu masih belum genap 7 tahun. Kejadiannya terjadi saat kau dan keluargamu berlibur di Rusia. Dan saat kau bertemu denganku, kau hanya bersama Tuan Jian. Mungkin kau tidak mengingatnya lagi, tapi aku selalu mengingat perbuatanmu sampai sekarang. Selalu berharap jika nanti aku diizinkan bertemu denganmu lagi, aku ingin meminta tolong agar kau menyelamatkanku. Kata Tuan Jian, kau bilang padanya saat itu, kau butuh seorang teman perempuan seperti aku. Karena kau suka pada orang bermata hijau, persis seperti kau memuja mata ayahmu."
Walaupun Blace masih bertahan tidak menatap Emily—sekarang Blace akan memanggil Theresa dengan sebutan Emily. Blace tidak menyangka jika pertahanannya tidak sekuat biasanya. Pipinya basah. Cerita Emily membuatnya sedih. Dan cerita itu benar-benar terdengar menyedihkan. Dengan cepat, Blace menghapus air mata yang mengalir.
Emily masih setia melanjutkan. "Karena kau menginginkan teman, Tuan Jian datang ke panti asuhan dan mencariku. Ia menyuruh Tuan Czavin untuk mengadopsiku. Tapi kau tahu apa jawabannya? Tuan Czavin menolak. Karena ia hanya ingin punya satu anak perempuan saja, tanpa bertambah lagi dan tanpa tergantikan."
Tunggu, maksudnya apa? Czavin menginginkanku tidak tergantikan oleh anak perempuan lain?
"Tapi Ery, kau tahu? Tuan Czavin tetap mengadopsiku karena ia ingin agar kau tidak sendirian. Beliau meminta adik ipar lelakinya untuk mengadopsiku dan merawatku. Kau kenal paman Sebastian? Dia sekarang orang tua angkatku."
Blace menegang, ia terkejut mendengar cerita Emily. Paman Sebastian? Mana mungkin Blace lupa. Paman itu dulu sering bermain dengannya waktu kecil.
"Ery?" Emily bisa melihat wajah terkejut milik Blace. "Kau harus tahu satu hal, Tuan Czavin tidak pernah membencimu. Dia sangat menyayangimu. Hanya saja ia tidak menunjukkan kasih sayang secara terang-terangan padamu." Emily mengulurkan tangannya mencoba mengenggam jemari Blace. "Kau sangat beruntung punya ayah sepertinya, Ery. Kau harus bersyukur. Karena aku tidak sepertimu."
"Lalu setelah aku diadopsi ... aku tidak bisa langsung menjadi temanmu." Emily memperlihatkan senyumannya. Ia berhasil mengenggam tangan Blace. "Aku diuji, dilatih dan dibentuk untuk bisa melindungi saat kau terluka, saat kau dijahili orang lain, saat kau dalam bahaya. Kupikir aku ingin menyerah saat Tuan Czavin memberiku syarat yang sulit. Tapi ketika aku melihatmu lagi ... aku hanya melihat keajaiban, sebuah jalan untuk bebas. Dan kemudian aku berusaha untuk memenuhi semua syarat itu. Karena aku ... sangat ingin menjadi temanmu."
"Tuan Czavin memberiku waktu lima tahun agar aku bisa menjadi seseorang yang sempurna dalam melindungimu. Seorang teman yang melindungi temannya. Dan saat aku berumur 16 tahun lebih, aku mulai berlatih dan melakukan olahraga bela diri. Setiap hari, setiap malam. Sepanjang waktu tanpa menyerah. Percayalah, saat itu aku hanya remaja biasanya yang putus sekolah karena tidak punya biaya, yang buta akan pertahanan bela diri. Bisa bayangkan betapa saat itu aku sungguh-sungguh berusaha, untuk menjadi seperti sekarang. "
Emily menatap tangan mereka yang bertautan. Blace membiarkan tangan Emily mengenggamnya.
"Lalu tiba-tiba..." Emily melanjutkan. "Saat kau berumur 10 tahun, kau mengalami kejadian itu. Kejadian di mana kau mengalami traumamu pada darah, hingga kau sampai sekarang sangat benci bertemu dengan ibumu sendiri."
Blace memejamkan matanya, dadanya mulai merasa sesak. Ucapan Emily sekilas membuatnya ingat pada kejadian yang selalu menjadi mimpi buruknya. Tetapi ... Blace masih ingin mendengarkan kelanjutannya.
"Lalu saat Tuan Czavin kembali menemukanmu, dia langsung mengasingkanmu. Dan saat itulah ia membutuhkanku. Lebih cepat dua tahun untuk menjadi temanmu. Saat itu aku masih setengah sempurna untuk melindungimu. Tapi Tuan Czavin menginginkan aku siap, lalu ... karena aku sangat ingin menjadi temanmu. Aku menanggupinya."
"Tapi untuk mendekatimu. Tuan Czavin menginginkan aku menjadi mata-matanya, beliau memintaku melapor sekali sebulan tentang perkembangan psikismu. Dan beliau juga mengirimkan guru untuk melatih bela diri yang belum sempurna. Tapi lagi-lagi Tuan Czavin memberiku syarat. Agar kau tidak tahu aku adalah mata-matanya. Beliau menganti namaku, memintaku merubah sikapku dan berbohong tentang umurku. Dan kau tahu? Cita-citaku hanya ingin menjadi temanmu lalu merasakan hidup bebas. Aku ... aku sangat memujamu hingga aku mulai gila dan menganggapmu sebagai adik kandungku sendiri."
Lagi-lagi ucapan Emily, membuat Blace tercengang. Ia terkesiap. Ia tidak bisa berkata-kata. Blace hanya tidak pernah menyangka, ada orang seperti Emily yang memujanya? Apa kebaikannya saat itu membawa obsesi pada Emily?
"Aku ... aku sudah terlalu banyak berbohong ya?" suara Emily mulai bergetar. "Mana mungkin kau mau memaafkanku jika dosaku sudah sebesar itu,"
Blace merasa matanya kembali menyengat, rasanya panas dan ia siap menangis. Entah karena apa, tetapi cerita Emily membuatnya merasa ... sedih. Ia menggigit pipi dalamnya dengan gelisah. Bibirnya bergetar. Pipinya kembali basah. Blace tidak menyangka jika ia menarik kesimpulan, Emily mendekatinya dengan penuh lumuran kebohongan, hanya ingin tulus menjadi temannya. Dia menganggap Blace adalah sebuah keajaiban. Bagaimana bisa Blace tidak memaafkan Emily jika sudah setulus itu. Blace terisak, mungkin jika ia tidak memaafkan Emily, ia benar-benar menjadi manusia yang tak punya hati.
"Oh, Blace!" Emily langsung memeluk Blace saat menyadari jika wanita itu sudah menangis. Entah kenapa, tangisan Blace ikut menular padanya. Ia juga terisak. "Maaf jika aku berbohong. Aku ... aku tidak berniat melakukannya dan menyakiti hatimu. Kau terlalu mudah dicintai hingga aku ingin menganggapmu sungguhan menjadi adikku."
Theresa sangat ... Blace kehilangan kata-kata, ia tidak tahu ingin berkata apa lagi tentang Theresa atau Emily. Blace memaafkannya. Theresa memang satu-satunya teman saat dia berada di Skotlandia, mereka sudah menghabiskan waktu bersama-sama selama bertahun-tahun. Mereka sudah mengenal satu sama lain.
Blace membalas pelukan Emily dengan erat. Saat itu, ia mencoba membuat candaan, walaupun ia masih menangis. "Kenapa kau... kau ikutan menangis, Theresa. Tidak lucu," Blace mencoba tertawa, tapi malah terdengar sumbang. "Kita sudah dewasa. Jadi kita harus ... berhenti menangis."
Blace menghapus tiap air mata yang mengalir deras di kedua pipinya
"Maafkan aku, maafkan aku, Witch."
Blace terisak. "Aku sudah memaafkanmu, Bitch. Berhentilah menangis,"
Tiba-tiba Emily melepaskan pelukannya. Ia menatap Blace dengan serius, masih membiarkan wajahnya dibasahi air mata.
"Aku jadi ingat sesuatu,"
"Apa?" Blace menghapus air matanya.
"Kau ingat kalimat ini? Remember, I not bicth..." Emily berkata bergantung.
"...But i am witch." Lalu Blace menyelesaikan kalimat itu, saat ia juga mengingat apa yang Emily pikirkan.
Mereka berpandangan, sedetik kemudian mereka mulai tertawa. Menertawakan jika mereka masih satu pikiran yang tak bisa dipisahkan, juga menertawakan jika mereka baru saja menangis seperti anak kecil.
Namun, tawa itu tidak bertahan lama. Ada seseorang yang menginterupsi mereka, masuk ke kamar Blace tanpa suara.
"Emie, kau juga di sini?"
Mereka menoleh mendapati seorang pria berkaca mata menghampiri mereka dengan kaget. Itu adalah Avel Nikolai Venedict. Kakak ketiga Blace. Blace terkejut, tetapi ketika ia melihat Emily, wanita itu terlihat lebih terkejut darinya.
Blace melihat Emily mengusap pipinya dengan cepat, lalu terlihat ia merapikan penampilannya. Blace mengernyit, ada apa? Tetapi ... Blace juga melakukan apa yang Emily lakukan, ia juga mengusap air matanya. Berdoa jika matanya tidak membengkak, dan Avel tidak akan menyadari hal itu.
"Apa kalian baru saja menangis?" Avel tiba di samping ranjang Blace, Emily yang melihat itu langsung berdiri, menjauh dari sisi Blace.
Lalu Blace dan Emily bertatapan, seolah mengisyaratkan jika mereka akan sama-sama sepakat untuk berbohong. Lalu persis seperti teman biasanya, mereka tertawa. Terdengar dibuat-buat.
"Haha, mana mungkin kami menangis," ucap mereka bersamaan dengan ucapan yang sama pula.
"Kalian terlihat berbohong, tapi itu tidak masalah. Sepertinya kalian juga sudah berbaikkan," Avel berpaling menatap Blace. Ia tersenyum lembut. "Hai Ery, bayi kecilku yang sudah besar."
Baru saja Blace ingin balas menyapa, Avel sudah menubruknya lalu memeluknya erat. Dan tak malu sesekali mencium keningnya. Blace tersenyum membalas pelukan Avel, ia tidak menyangka kakaknya yang ketiga ini masih menyayanginya. Sekali pun mereka baru bertemu hari ini. Berarti ... kakaknya yang lain ... pasti menyayanginya juga, bukan?
"Dan Emie," Avel melepaskan pelukannya. Berpaling menatap Emily yang tadinya hanya menonton mereka. Avel tampak marah, sedangkan Emily terlihat gugup. "Kenapa kau tidak mengatakan padaku jika kau berada di Tokyo, Sayang." Avel menekankan kata terakhir.
Sayang? Blace terbelalak. Ia kembali terkejut. What the hell! Apa maksudnya?
Seolah belum cukup terkejut, Blace nyaris merasa detak jantungnya menghilang saat Avel tiba-tiba menyerang Emily, menarik wanita itu mendekat, memiringkan kepalanya dan membungkam bibir Emily, seolah ia baru saja melepaskan rindunya.
Sontak Blace menunduk, pipinya memanas melihat adegan langsung di film tersaji di depannya. Ia memegang kepalanya yang berdeyut. Dan ketika ia mengangkat wajahnya, mereka masih saja berciuman. Blace menunduk lagi, ia malu. Sekarang
... apa lagi yang Emily sembunyikan?
"Avel!" Emily berhasil terlepas dari bungkaman Avel, setelah ia melakukan cara ekstrem untuk terlepas. "Astaga, pria ini! Ery ada di sini!" Emily terlihat emosi. Sebisa mungkin ia menjauh dari Avel.
"Tidak apa-apa, Sayang. Aku akan mengatakannya pada Ery. Dia pasti akan mengerti,"
Blace terus menunduk, ia tidak mau mengangkat wajahnya. Rambut panjangnya mulai menutupi wajahnya, jika Blace melakukan hal ini. Ia benar-benar malu, dan sudah sangat tidak bisa berkata-kata lagi.
"Ery?" Emily bersuara. "Begini ... sebenarnya aku berpikir menceritakannya besok. Jangan marah, sebenarnya ... aku dan Avel sudah bertunangan, sudah lama."
Blace terdiam, ia menunduk dan tidak bergerak.
"Kau masih ingat? Saat aku pulang ke Skotlandia dan memberi kalung langka. Sebenarnya ... aku tidak mengali dan mencuri dari kuburan seorang Lady dari Italia. Maaf, sebenarnya waktu itu aku tidak ke Italia. Aku bersama Avel untuk mengambil kalung itu. Itu hanya replika, karena kalung asli yang sebenarnya tidak pernah ada di dunia dan sudah menghilang ribuan tahun lalu. Karena kau sangat menginginkan kalung itu, aku meminta Avel membuatnya khusus untukmu. Please, jangan marah,"
Ya Tuhan! Sepertinya sebentar lagi kepala Blace akan pecah. Ia benar-benar tidak menduganya!
"Bisakah kalian keluar? Mungkin kita bicara lagi besok," Blace bersuara pelan, tapi masih didengar baik oleh Emily dan Avel.
"Tapi aku belum mengobrol dengan Ery." Avel menjawab.
Emily langsung menyela. "Kembali besok saja Avel, kalau begitu kami pergi. Kau juga butuh istirahat, Ery."
Butuh waktu beberapa menit, ketika Blace tahu jika Emily dan Avel telah keluar. Saat itu, Blace mengangkat wajahnya, merasakan jika lehernya mulai sakit. Terlihat sangat jelas jika pipinya, seluruh wajahnya, dan lehernya benar-benar memerah seperti buah apel.
Blace menepuk-nepuk kedua pipinya. Mencoba menyadarkan diri.
Apakah orang yang berciuman itu tidak punya rasa malu? Hingga tidak mengingat tempat?
"Ya Tuhan!" Blace berteriak kesal. "Berhenti bersikap memalukan, Blace!" ia memarahi dirinya sendiri. "Kau bukan seorang remaja lagi!"
"Aku butuh tidur! Aku butuh tidur!"
Setelah berteriak seperti itu, ia membaringkan tubuhnya dan memejamkan mata. Padahal Blace tahu, mungkin malam ini, ia akan kesulitan untuk tidur.
***
Kota Glasgow, Skotlandia
12 tahun lebih yang lalu.
Ery baru saja tiba di rumah seorang peramal di Skotlandia. Kali ini ia akan memulai kehidupan barunya sebagai Blace Flannery.
Mungkin ia diasingkan dari keluarganya karena ayahnya muak menatap wajahnya. Percuma jika ia punya lima kakak yang menyayanginya, toh mulai hari ini. Ia tidak akan bertemu lagi dengan mereka. Mungkin selamanya. Benarkah?
Apa Ery sedih?
Tentu saja, anak kecil—yang akan memasuki usia 11 tahun—mana yang tidak sedih ditinggalkan. Tetapi Ery sudah terbiasa. Ia sudah memakluminya.
"Nah, Blace. Kenalkan, ini teman barumu." Miss Desina—seorang peramal yang akan menjadi guru Ery —datang bersama seorang anak yang lebih tua dari Ery. Mereka berdua mengenakan pakaian ala gipsi yang berenda dengan rok yang mengembang.
Miss Desina membawa anak perempuan bermata hijau itu pada Blace yang duduk di sofa.
"Ayo, berkenalan." Senyum Miss Desina melebar dan terlihat lembut. "Kalian akan menjadi teman, satu sama lain."
Mereka berdua terdiam. Ery terdiam karena ia tahu, mulai hari ini namanya bukan lagi Ery Meilin Venedict. Dan tentunya itu membuatnya sedih. Ia suka nama Ery. Karena itu adalah nama pemberian ayahnya.
Anak perempuan itu, mengulurkan tangannya. Ia tersenyum senang. Matanya tampak berbinar. "Namaku Theresa Esmeralda."
"Aku ... Blace Flannery." Ery menyambut tangan yang terulur itu. Ia menampilkan senyum sopan. "Semoga kita bisa berteman,"
Dan itulah perkenalan pertama mereka yang dilumuri kebohongan.
*Bersambung*
Bab ini khusus mengungkapkan siapa sebenarnya Theresa.
Mulai bab ini nama Theresa berubah jadi Emily. Jadi, nnti jgn bingung :)
Btw, nanti kita bakal ketemu dengan semua kakak Blace, jadi sabar ya. Dan untuk sementara, Blace dan Havrelt tidak dipertemukan dulu ya. Ahahahaha 😂
Bonus pict
Blace/ Ery
Theresa/Emily
(Jumat, 25 Januari 2019)
Risennea
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top