T H I R T Y F O U R 🔫
"Aku merindukanmu, My Ery."
Blace terkesiap. Seketika itu ia mundur, mencoba menjauh dari Jian. Ia benar-benar ketakutan. Saat itu ia tidak bisa mengontrol kendali atas dirinya, ia merasa kesedihan merasukinya dengan kontrol emosi yang dahsyat. Blace bisa merasakan banyak emosi, ia ketakutan, ia sedih, sekaligus marah.
Mata yang menatap Jian mulai memanas, dan mengabur. Matanya berkaca-kaca. Blace sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Jian, hari di mana seharusnya mereka tidak bertemu. Pertemuan ini adalah pertemuan yang sangat mengejutkan dalam hidup Blace.
"Ery, please. Caramu menjauhiku, itu menyakitiku," ucapan yang diucapkan Jian dengan nada pelan dan penuh penyiksaan, semakin membuat Blace merasa ... entahlah. Blace sendiri kebingungan dengan perasaan yang ia rasakan terhadap Jian.
Blace semakin mundur dan menjauh.
"Ayo, sayang. Aku kemari ingin membawamu pulang."
Blace menggelengkan kuat, ia terus mundur saat Jian memutuskan untuk melangkah mendekat ke arahnya. Pesta masih sama, semua orang sibuk dengan diri mereka sendiri. Seolah yang berada di sekitarnya, adalah hal yang tidak penting. Padahal saat itu sebenarnya Blace ingin menjerit, meminta tolong, atau apa pun akan ia lakukan agar ia menjauh dari Jian. Tetapi melihat orang-orang dari kalangan atas itu tampak tidak peduli, Blace tidak mungkin menjerit seperti orang sakit jiwa. Itu hanya sikap bodoh yang akan mempermalukan dirinya.
"Tolong, jangan menghindariku. Mari kita bicara baik-baik, oke?" Jian mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Blace. Ketika Jian berhasil mengenggam tangannya, sekuat tenaga Blace menepis tangan itu.
Air mata itu mengalir di kedua pipi Blace. Bahunya terguncang. Wajahnya terlihat sangat sedih, bersamaan Blace mulai terisak tanpa suara. Sebenarnya Blace tidak ingin menangis, karena itu bukan dirinya sama sekali. Hanya saja, ketika melihat Jian. Ia tidak ingin berbohong ia juga ... sangat merindukan pria itu.
Blace menghembus napas keras, ia berhenti melangkah mundur. Matanya yang penuh air mata berusaha mencari keberadaan Havrelt dan Archer. Tapi ia tidak menemukannya. Para tamu semakin memenuhi tempat pesta, hingga mata Blace kesulitan mencari.
"Ery, sayangku." Jian masih berusaha keras mendekati Blace, menyentuh tangannya lalu menariknya hingga Blace berada dalam pelukannya.
Tangan itu melingkar di sekeliling pinggang Blace, membuat Blace semakin lemah. Kedua lengan besar itu memeluknya dengan erat. Rasanya jantung Blace ingin meloncat ke luar. Blace tahu satu hal yang paling benar membiarkan Jian memeluknya, ia tidak keberatan. Ia tidak bisa menyangkal jika pelukan Jian masih sama hangatnya seperti dulu. Tangan Blace bergerak melingkar ke pinggang Jian, mencoba membalas pelukan pria itu. Ia luluh dalam sebuah pelukan.
Ketika itu Blace mencoba untuk tidak menangis lagi. Orang yang berada dalam pelukannya ... adalah orang yang sangat ia rindukan. Blace juga mengakui jika sebenarnya ia ketakutan di saat yang bersamaan, takut jika sebenarnya pertemuan mereka hanya membawa pertengkaran.
"Sssttt ... kita sudah bertemu sekarang. Jangan menangis lagi," kata Jian di atas ubun-ubunnya.
Tangan Jian bergerak mendorong bahu Blace, hingga ia bisa melihat wajah wanita itu. Lalu dengan lembut, Jian menyeka air mata di pipi Blace. Matanya melembut menatap penuh sayang.
"Kita bicara ya?" suaranya juga mengalun sangat lembut.
Tanpa berpikir dua kali, Blace menganggukkan kepalanya. Jian tersenyum lembut lalu merangkul bahu Blace dan mengajak wanita itu pergi dari tempat pesta. Diikuti dengan Xiaohui yang melihat semua yang apa terjadi.
***
Mereka terdiam dalam sebuah kamar, kamar yang katanya sengaja dipesan oleh Xiaohui secara mendadak. Mereka butuh privasi, jadi dalam kamar itu hanya ada Blace dan Jian di sana. Sedangkan Xiaohui menunggu mereka di luar.
"Aku sangat merindukanmu, Ery." Kata Jian lagi, seolah semua yang ia katakan bisa mewakili perasaannya.
Tangan Jian bergerak mengusap rambut hitam Blace dengan lembut. Mereka duduk berdampingan di sofa, dekat dan terlihat akrab.
Blace terdiam, ia tidak ingin membuka suaranya. Tubuhnya mendekati Jian, dan bersandar di bahu pria itu. Dan dengan bebas Jian merangkul bahu Blace untuk mendekatinya. Ini pertama kalinya mereka kembali bertemu setelah dua belas tahun yang lalu. Ini pertama kalinya, Blace bisa berada di dekat Jian seakrab sekarang. Walaupun mereka tidak pernah bertemu, percayalah Blace masih bisa mengingat wajah Jian. Wajahnya masih sama. Hanya saja Jian tampak semakin dewasa dan tampan.
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" kata Jian menghapus apa yang sedang Blace pikirkan.
Blace masih terdiam.
"Ayo, katakan sesuatu, Ery."
Nama itu...
Blace masih memilih terdiam.
"Ery, katakan sesuatu padaku, pada kakakmu." Suara Jian berubah sedikit menuntut.
Nama itu ... sudah lama Blace tidak mendengarnya. Ery. Nama lamanya yang menyimpan begitu banyak rasa sakit dan juga terlalu banyak kenangan. Dua belas tahun yang lalu, dulu ia sangat menyukai nama pemberian ayahnya, tapi sekarang hatinya kosong. Ia tidak menyukainya, apalagi mengingat orang itu adalah yang mengasingkannya juga menyingkirkan semua kasih sayang padanya. Ayahnya yang begitu membencinya.
Sisa air mata milik Blace mengering di kedua pipinya. Ia mengernyit, benar kan, apa yang ia rasakan. Setiap ia mengingat kejadian itu, hatinya terluka dan Blace hanya membutuhkan ketenangan. Dan sepertinya ... ia juga harus menjauh Jian. Yang tak lain adalah kakak lelaki pertamanya.
"Ery?" tangan Jian yang mengusap rambutnya bergerak menarik wajah Blace berpaling padanya. Suaranya pelan dan lembut. "Kenapa kau diam saja?"
Blace memandang Jian dengan tatapan sedih. Seharusnya Blace sadar diri, dirinya tidak akan bisa lagi merasakan kasih sayang seperti orang yang paling bahagia di dunia ini. Semua terlambat. Dan seharusnya Blace tidak boleh mencoba mengakrabkan diri pada Jian. Karena mereka sudah lama tidak bertemu, juga tidak mengobrol seperti saudara yang lain. Apalagi untuk sekadar menanyakan kabar.
Persaudaraan mereka memiliki ikatan yang lemah. Tidak mungkin bisa mengakrabkan diri secepat ini. Itu hanya membuat Blace menjadi menyedihkan. Menginginkan sesuatu yang sudah terkubur lama. Kembali seperti semula.
Apa yang harus Blace harapkan untuk hidupnya. Kasih sayang? Cinta? Kebahagiaan? Rasanya hanyalah omong kosong.
Saat itu Blace menjauh, dan mencoba tidak menyadarkan kepalanya pada Jian lagi. Dengan hati-hati melepaskan tangan Jian dari wajahnya. Lalu Blace duduk sedikit menjauh dari Jian, mencoba menjaga jarak.
Blace menghela napas, ia harus meluruskan sesuatu di sini. Agar Blace tidak memupuk sebuah harapan semu. Seolah semua yang ia inginkan hanyalah delusi.
"Jian," suara Blace bergetar menyebut nama itu. Sudah lama sekali. Rasanya tampak asing di lidahnya. "Sepertinya ... kita harus berbicara dalam jarak yang seperti ini. Kita sudah lama tidak bertemu, aku tahu jika kau tidak pernah merasa canggung tapi...,"
Blace tercekat. "Kurasa ini akan membuatku merasa nyaman. Jangan terlalu banyak menyentuhku, dan jangan memanggilku dengan sebutan Ery lagi," lanjut Blace mencoba menekan rasa takutnya.
Mata sipit milik Jian menyipit, menatapnya lekat. "Kau adalah Ery. Adik tersayangku. Kalau kau lupa ... aku akan memberitahu dan mengingatkanmu nama aslimu."
Blace menegang. Ia merasa, suasana terasa lebih panas dari sebelumnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dan siap untuk meledak. Blace bisa merasakan tenggorokannya mengering ketika ia menelan salivanya.
"Ery Meilin Venedict," ucapan Jian seperti nuklir di telinga Blace. "Itu namamu. Jangan pernah lupa."
Blace memaksa agar matanya menghindari Jian. Ini tidak baik. Ucapan Jian yang terus terang, semakin menyakiti hati Blace dari dalam. Blace menengadah, mencoba menahan air mata yang akan turun. Ia tidak ingin menangis lagi.
"Kau cantik malam ini," tangan Jian kembali bergerak mengusap kepala Blace dengan lembut. "Kau sudah tumbuh besar dan cantik."
Blace mengabaikan ucapan Jian, ia penasaran satu hal.
"A-apa...," suara Blace bergetar dan pelan. "A-apa dia tahu kau datang ke sini? Apa dia tahu aku berada di Tokyo?"
Jian menggeser duduknya mendekati Blace, dan kembali merangkul bahu Blace lalu menepuk-nepuknya pelan. "Dad yang menyuruhku kemari untuk menjemputmu,"
Blace terkejut, ia merasa tubuhnya melemah tanpa tenaga. Air mata Blace terjatuh di pipinya, dadanya terasa sesak dan menyakitkan. Ini hal yang sangat ia takutkan. Saat ini yang Blace lakukan adalah pura-pura kalau dia baik-baik saja. Ia tidak ingin Jian menganggapnya lemah. Wajah Blace kehilangan warna, pucat seperti ingin muntah.
"Kenapa dia mencariku?" suara Blace penuh kesedihan dan pelan. Ia menundukkan kepalanya, agar Jian tidak melihat ia sedang menahan diri untuk tidak menangis. "Kenapa dia ingin bertemu denganku setelah apa yang ia lakukan padaku?"
Blace menutup wajahnya dengan tangan. Ada beberapa pembahasan yang sangat sensitif yang selalu dihindari oleh orang lain. Untuk Blace, pembicaraan mereka sangat sensitif untuk ketenangannya. Ia tidak bisa tenang. Blace merasa siap meledak jika ia menangis. Dan iya, Blace mulai menangis. Ia tidak sekuat dulu, yang selalu berhasil menahan tangisannya. Walaupun hal itu harus hancur saat Blace menangis ketika malam itu ... saat Havrelt seolah berniat membunuhnya.
"Kau mungkin tidak ingat," Blace tercekat, ia kembali mengangkat wajahnya agar bisa menatap Jian. Suaranya mulai naik satu oktaf. "Dia ... dia membuangku dan mengasingkanku ke Skotlandia!"
"Dia membuangku! Dia tidak pernah mengakuiku dalam daftar keluarga! Aku menginginkan semua yang anak kecil dapatkan saat mereka kecil. Aku menginginkan pelukan dan ciuman saat aku menangis. Aku menginginkan dia melihatku, menatapku dengan kasih sayang. Tapi tidak, dia membenciku. Aku tidak pernah bersyukur bisa bernapas dan hidup seperti sekarang. Aku tidak pernah bersyukur kenapa aku harus terlahir di keluarga seperti itu. Keluarga yang penuh kebohongan. Keluarga mafia yang menutupi dirinya dengan mengatasnamakan politik! Keluarga hina—"
"ERY!" tiba-tiba Jian membentak Blace. Suaranya menggelengar dalam ruangan itu, mengejutkan Blace yang nyaris tersedak salivanya.
Hancur sudah. Blace lepas kendali menjaga kontrol dirinya agar ia selalu tenang. Ini adalah puncak saat Blace bisa melepaskan apa yang membebankan pikirannya selama bertahun-tahun. Di antara air matanya yang menetes, Blace bisa melihat Jian tampak marah. Dadanya naik turun penuh emosi. Blace menyadari satu hal lalu ia terisak. Tentu saja, siapa pun pasti akan marah jika ada orang yang mencela keluarganya.
"Jangan pernah menghina keluargamu sendiri, saat kau terlahir dari sana. Ucapanmu seolah kau baru menghinaku. Dan juga kau menghina dirimu sendiri!" bentak Jian keras. Ya Tuhan, seharusnya Blace mengingat jika Jian adalah orang yang pemarah dan lembut di saat bersamaan. Blace menunduk dan menangis.
"Kau bilang, kau tidak pernah bersyukur hidup seperti sekarang. Bernapas seperti sekarang. Tapi aku sangat bersyukur kau jauh dari lingkungan berbahaya. Kau hidup dengan baik! Dan selamat dari bahaya. Itu saja sudah cukup bagiku!"
Blace menangis keras, ia menutup wajahnya. Ia malu menatap Jian. Ia lepas kendali. Blace tidak pernah bersikap se-memalukan ini. Dulu ia tidak pernah mengeluh. Dulu Blace selalu bersyukur. Ketika Jian membentaknya, Blace sadar pada akhirnya mereka akan bertengkar.
Jian terdiam. Menarik napasnya berusaha agar ia juga bisa menenangkan dirinya dan berbicara selayaknya orang dewasa. Mereka tidak bicara dalam ruangan itu beberapa saat, Jian mencoba meredakan emosinya. Sedangkan Blace terlarut dalam kesedihannya.
"Dad tidak pernah membuangmu, Ery." Akhirnya Jian kembali bersuara dengan pelan dan lembut. Ia tidak menatap Blace saat bicara. "Dad hanya mengasingkanmu agar kau selalu selamat. Dia hanya sangat menyayangimu dan mencintaimu, hingga dia bertindak bodoh. Dia juga punya alasan mengapa dia tidak pernah mengakuimu di daftar keluarga. Dad punya alasannya. Kau hanya perlu tahu dia sangat mencintaimu melebihi yang lain, melebihi nyawanya sendiri."
Menghela napas, Blace mencoba untuk tidak menangis. Semakin ia larut dalam kesedihan. Dadanya sesak dan ia tidak bisa bernapas. Apalagi mendengar ucapan Jian, rasanya semuanya mustahil.
"Lalu kenapa dalam keluarga, aku selalu dibedakan? Aku tahu dia tidak pernah menginginkan anak perempuan. Aku tahu aku berbeda karena kemampuan kutukan sialan yang diturunkan dari ibu. Aku tahu jika aku sampai sekarang masih menginginkan hal yang mustahil." Blace menyeka air matanya. Ia memberanikan dirinya untuk menatap Jian. "Apa aku akan menjadi hina jika aku menginginkan apa yang orang lain dapatkan. Aku hanya ingin ... ingin punya keluarga seperti orang lain. Mereka yang sederhana. Mereka yang penuh kasih sayang. Mengapa hidupku tidak begitu?"
Suara Blace semakin bergetar. Dan wajahnya semakin pucat. "Aku hanya menginginkan semua itu. Apa itu sangat mustahil terjadi dalam hidupku?"
Jian terdiam. Seakan-akan ia tidak tahu jawabannya. Jian menghembus napasnya, ia menarik bahu Blace dan memeluknya dengan erat.
"Ery, sayangku." Suaranya melembut. "Aku tidak tahu kau begitu sedih dan menginginkan yang terbalik dari Dad pikirkan."
Tangan Jian menepuk pelan punggung Blace, seakan menenangkannya. Ia semakin memeluk Blace. Lalu ia berbicara dengan suara lembut. "Tapi kau harus tahu, Daddy tidak pernah membencimu. Ia mempertaruhkan segalanya untukmu. Untuk hidupmu yang tenang. Sekarang, Dad ingin memperbaiki semuanya dari awal. Ayo pulang, Daddy sangat merindukanmu."
Dalam pelukan Jian, Blace menggeleng kuat. Tapi ia tidak melepaskan pelukan Jian. "Aku tidak ingin pulang. Aku tidak ingin pulang. Dia ... dia pasti masih membenciku. Dia benci padaku karena aku anak perempuan."
Jian mulai berdecih kesal. Jian tidak terlalu suka bertele-tele. Apalagi melihat Ery yang sedih seperti sekarang. Itu membuatnya kesal dan tidak bisa bersikap lembut lagi. Ia menyentuh rambut Blace hingga sebagian rambut menumpuk di sisi pundak yang lain. Setelah itu ia menggigit kuat leher Ery dengan gemas.
"Jian!" Blace menjerit kesakitan. Tangannya mendorong Jian hingga mereka terlepas dari pelukannya. Bibir Blace berdesis kesakitan, nada suaranya bergetar. Ia menjerit. "A-apa yang kau la-lakukan?!"
Jian memiringkan sebelah kepalanya. Ekpsresinya masih terlihat lembut. "Kau membuatku kesal," terangnya.
"Ish. Kau!" Blace meringis, tangannya menyentuh lehernya. "Kau melukaiku!"
Jian menghela napas. Ia mencoba mengabaikan pernyataan Blace dan kembali berbicara.
"Kau melanggar aturan yang sudah kau janjikan, Ery."
Ekspresi wajah Blace kesakitan. Ia tidak menjawab.
"Kau pergi dari Skotlandia. Dan Dad yang pertama kali tahu kau melarikan dari negara itu. Kau—"
"Aku tidak melarikan diri!" sela Blace cepat.
"Secara tidak langsung, mungkin iya. Kau ... mungkin awalnya memang diculik oleh si brengsek Dimi-dimi itu. Tetapi lama-kelamaan kau sepertinya tidak keberatan," cibir Jian.
"Aku tidak begitu!"
"Kau tahu kenapa Dad mengetahui kau pergi dari Skotlandia? Semua karena orang yang berada di dekatmu adalah mata-matanya."
"Aku tahu. Karena semua tetanggaku adalah mata-matanya. Mereka mengawasiku secara terang-terangan. Bagaimana bisa aku tidak tahu hal itu," gerutu Blace.
Jian melanjutkan perkataan. "Saat kau berhasil pergi dari negara itu. Daddy langsung memburumu, dan menyuruh anak buahnya untuk membawamu pulang. Tetapi yang terjadi malah, anak buahnya mati malam itu. Dan saat tahu siapa yang melakukan semua itu adalah keluarga Dimitry dari London. Dad semakin berambisi merebutmu dari si brengsek Dimi-dimi. Tetapi Daddy tahu, ia tidak mungkin langsung menjemputmu karena akan menimbulkan banyak pertanyaan, tentang siapa dirimu. Jadi, Dad menunggu."
Blace terpaku. Ia tampak terkejut. Bukan karena perkataan Jian yang panjang lebar. Tapi karena ucapan Jian yang baru ia sadari. "What? Si brengsek Dimi-dimi?"
Seketika itu Blace tergelak. Percayalah, tidak ada lagi kesedihan dan kepedihan saat Blace menarik bibirnya tersenyum hingga tertawa. Blace tertawa cukup lama. Ia hanya sedikit kesulitan menghentikan tawanya karena ucapan Jian terdengar sangat menggelikan. Ayolah, saat Jian mengucapkan Dimi-dimi, Blace malah menangkap sebagai cumi-cumi.
"Berhenti tertawa." Jian tampak tidak senang. Karena ceritanya masih belum selesai. "Aku tahu kau cantik," tambahnya.
Blush...
Seketika itu Blace menghentikan tawanya, bibirnya berkedut, ia mengelum senyumnya. Pipinya menghangat. Sudah terlalu lama tidak ada orang yang pernah memujinya.
Tangan Jian menarik sebelah pipi Blace dengan gemas. "Jangan berekspresi seperti itu. Aku bisa membawamu pulang sekarang juga, dan tidak akan membiarkan orang lain melihat adikku tersayang ini,"
Blace terdiam, tapi tangannya berusaha melepaskan tangan Jian dari pipinya. Dan saat itu Jian kembali bercerita.
"Karena itu ... saat tahu anak buahnya semua meninggal. Dad takut jika si brengsek Havrelt akan melukaimu juga, Dad tahu jika reputasi Havrelt sangat buruk di dunia Gangster. Seolah membunuh manusia semudah ia mencabut rumput. Dia benar-benar kejam dalam membunuh. Jadi, Dad takut jika itu terjadi padamu. Tapi Dad masih sabar menunggu waktu yang tepat."
Blace mengernyit. Sekarang ekpsresi terlihat serius. Sebenarnya jika diperhatikan, Blace tampak begitu kacau dengan lelehan kering dari air mata di kedua pipinya.
Sepintas bayangan itu muncul ke permukaan, dan Blace mencoba menghubungkan apa yang terjadi. Lalu tak lama ia menemukan jawabannya. Blace kembali teringat pada kejadian di mana dia terbangun di antara kecepatan malam ketika James mengebut saat mereka tiba di London. Juga pada kejadian beberapa mobil yang mengejar dan akhirnya menghadang mereka. Juga, pada dua orang yang mencoba membuka pintu mobil malam itu. Dan lainnya, semua yang terjadi malam itu.
Blace tercengang. Ia terkejut. Jadi ... sebenarnya kejadian itu ... target sebenarnya bukanlah Havrelt. Melainkan dirinya, Blace Flannery. Karena semua yang menghadang mereka malam itu adalah anak buah ayahnya yang akhirnya mati dengan mengenaskan.
"Melihat ekspresimu sekarang. Sepertinya kau mengingatnya," Jian berucap pelan. "Saat itu, aku masih tidak tahu kau berada di London. Dad merahasiakannya dariku. Lalu saat itu Xiaohui melihatmu di London, di pesta keluarga Ericsson. Saat itu Xiaohui dalam misi mata-mata tentang pelelangan berlian Isis Cloepatra. Tetapi ia mengacaukan misinya ketika melihatmu nyaris berciuman dengan seseorang. Dan tidak berpikir dua kali ia langsung menembak, tetapi ... saat itu Xiaohui tidak dalam posisi menguntungkan, ia melihat James juga menembak dan ... kau pasti kelanjutannya. Pesta kacau. Dan Xiaohui melarikan diri."
Untuk kedua kalinya Blace terkejut. Ini benar-benar diluar pemikiran. Blace tidak bisa berkata-kata. Jadi, jika bisa dibilang kesimpulannya adalah ... saat itu Xiaohui ingin menembak Karl atau Nate, dan di saat yang bersamaan James—yang ia duga ingin tidak menembaknya—malah menembak Xiaohui yang dikira mengancam nyawa Blace. Astaga. Semuanya semakin rumit.
"Kau tahu? Aku mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal untuk orang lain." Jian kembali bersuara. Blace mencoba menatap Jian dan kembali mendengarkan semua ceritanya. "Tetapi Xiaohui selalu menuruti apa yang aku katakan. Kau tahu itu apa? Aku bilang padanya jika Xiaohui melihat ada seorang laki-laki yang mencium adikku, tidak perlu ragu untuk membunuhnya. Karena yang menodai itu hanya pantas mati."
Lagi-lagi Blace terkejut. Tunggu ... jadi alasan Xiaohui mengacaukan pesta. Hanya tidak ingin bibirnya ternodai oleh pria. Ya Tuhan. Ini sangat-sangat ... membuat Blace tidak bisa berkata-kata.
"Bahkan saat kau baru lahir. Aku mencuri ciuman pertamamu di depan Mom dan Dad."
Sekarang Blace memandang ngeri pada Jian. Ia meringsut menjauh, tampak takut. Seketika Blace lupa caranya bernapas. "Kau gila," bisiknya.
"Yes, I am. Mau bagaimana lagi ya, aku sangat menyayangimu soalnya. Aku sangat senang punya adik perempuan, karena anggota keluarga lainnya semuanya laki-laki."
Blace menggelengkan kepalanya kuat. Ia bangkit dari duduknya. Ia mulai tidak nyaman berbicara dengan Jian. Apalagi ia mulai ketakutan. Jika ia berlama-lama, bagaimana jika nanti Jian menciumnya. Mencium adiknya sendiri?! Hell, lebih baik Blace segera pergi saja.
"Aku akan kembali ke pesta," Blace berhasil berkata dengan nada tenang. "Kurasa kita sudah terlalu banyak berbicara."
"Oh, Ery-ku. Kau terdengar seperti ingin melarikan diri dariku," Jian terkekeh.
Tepat sasaran!
Ucapan Jian hampir mengoyahkan Blace. Ia sudah merencanakan apa akan ia lakukan jika Jian tidak membiarkannya pergi. Memukul, menggigit, berlari atau lainnya. Yang jelas malam ini ia harus bebas.
"Aku harus kembali ke pesta. Havrelt akan mencariku," suara Blace semakin tenang, walau jantungnya berdetak sangat kencang.
Jian mengernyit. Bukan tidak mengerti perkataan Blace, hanya saja cara adiknya memanggil si brengsek Dimi-dimi, terasa menyebalkan.
"Kau memanggil nama depannya?" Jian berucap seketus mungkin. Ekpsresinya tampak menggelap.
"Aku selalu memanggil semua pelangganku dengan nama depan. Dan tidak ada yang keberatan." Blace menjawab santai. "Baiklah kalau begitu, aku pergi."
Blace mulai melangkah ke arah pintu.
"Tunggu! Kau tidak bisa pergi jika belum memelukku. Aku akan ... akan menyuruh Xiaohui untuk mengunci pintunya!"
"Apa?" seketika itu Blace memutar badannya menghadap Jian. "Ucapanmu terdengar aneh, aku tidak ingin melakukannya." Blace menolak mentah-mentah.
Jian memasang tampang marah. Matanya menyipit nyaris menghilang menjadi segaris. Karena matanya memang sudah sipit. Lalu tidak terduga, ia tiba-tiba berteriak. "Xiaohui! Kunci pintunya! Jangan biarkan Ery keluar!"
Sontak Blace benar-benar tidak bisa berkata. Sikap Jian sungguh kekanakkan. Tapi tak lama, Blace tampak panik. Bagaimana jika nanti ia sungguhan tidak bisa keluar dari ruangan ini dan harus terjebak bersama Jian.
"Xiaohui!" Jian kembali berteriak. "Xiaohui. Cepat kunci pintu—"
"Baiklah-baiklah!" Blace menyela ucapan Jian dengan kesal. Ia menghentakkan kakinya, lalu melangkah ke arah Jian yang sekarang berdiri dengan angkuh dan memasang wajah kemenangan.
Jian memang gila. Blace menyadari jika Jian memang tidak berubah. Mungkin di sisi yang ini, yang selalu mengancam jika ia tidak mendapatkan yang ia mau. Benar-benar kakak yang jahat.
Dengan enggan Blace memeluk Jian, yang langsung dibalas oleh Jian. Jian mengecup keningnya dengan tulus. Lalu berkata.
"Kau boleh pergi malam ini, Ery. Tapi nanti saat aku menyuruh orang menjemputmu. Kau tidak bisa melarikan diri. Aku janji kau akan kembali pulang ke rumah, Ery. Dan Daddy akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahannya."
***
Blace memutuskan untuk pergi ke parkiran, di mana tempat mobil Havrelt berada. Ia ingat jalan ke sana. Setelah melihat tampilannya yang kacau, Blace memilih untuk menunggu Havrelt saja, karena penampilan sangat kacau.
"Bodoh, bodoh! Jangan menangis!" Blace memarahi dirinya. Setelah ia bertemu dengan Jian, Blace jadi mengingat kakaknya yang lain.
Dulu saat namanya sebagai Ery, Blace punya lima kakak laki-laki termasuk dengan Jian. Dan sekarang ia sedang merindukan kakak-kakaknya itu. Apa mereka juga merindukannya?
Karena tidak terlalu fokus, Blace bersandung kakinya sendiri saat ia berlari turun tangga. Blace terhuyung dan terjatuh melompati tiga anak tangga sekaligus. Secara bersamaan terdengar bunyi robekan kain yang sangat keras.
Blace meringis, ia mencoba bangkit.
"Sialan. Ya Tuhan!" seharusnya Blace harus lebih berhati-hati. Ia bisa melihat robekan di depan gaun itu nyaris memperlihatkan paha atasnya.
"Aduh, sakit!" ringis Blace saat merasakan ada denyut di pergelangan kakinya.
Segera mungkin ia melepaskan hak tinggi itu. Dan Blace bisa melihat pergelangan kakinya mulai membengkak dan membiru. Dengan susah payah, Blace mencoba berjalan walaupun sulit. Cara jalannya menjadi pincang, tetapi Blace tidak menyerah. Tujuannya adalah tempat parkir.
Tangannya mencengkram sepasang sepatu hak tinggi, ia menghela napas. Semua gara-gara ia menangis dan lengah memerhatikan sekitar. Sekarang, Blace akan berjalan ke tempat parkir. Setelah itu, ia hanya perlu menunggu Havrelt mendatanginya.
***
Ada yang kaget?
Btw, ini flashback ya..
Lanjutan dari bab T W E N T Y E I G T H 🔫, yg paling akhir ya..
(Jumat, 18 Januari 2019)
Risennea
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top