T H I R T E E N🔫
Jemari telunjuk itu tidak berhenti mengetuk. Terus bergerak hingga Havrelt yang melihat dibuat jengah. Havrelt bisa mengerti jika saat ini si penyihir itu merasa gelisah. Selama mereka berada dalam mobil yang sama, keheningan membalut mereka lebih kental dari darah. Tak ada satu pun di antara mereka yang mencoba mengajak berbicara.
Blace terlalu sibuk dengan anggota tubuhnya yang terus bergerak tanpa henti, seperti di menit yang lalu. Wanita itu mengoyangkan kakinya dengan cepat hingga terganti dengan kepalanya yang sengaja ia mengangguk-angguk, seolah ia baru saja mendengarkan musik dan sangat menikmati. Terakhir, berhenti pada gerakan telunjuk yang terus mengetuk pahanya yang juga terbalut selimut.
"Bisakah kau berhenti melakukannya?" akhirnya dengan perasaan sangat kesal, Havrelt membuka suaranya.
Blace menoleh pada Havrelt, tangannya masih tidak berhenti bergerak. "Melakukan apa?"
Havrelt melirik Blace sekilas, sebelum kembali fokus pada mobil yang dikendarainya. "Berhenti menggerakkan jarimu,"
"Jari apa?" Blace memastikan jika ia memang tidak salah dengar. Memang kenapa Havrelt peduli jika jarinya terus bergerak atau tidak. Kenapa juga Blace harus berhenti menggerakkan jarinya, di saat ia sebenarnya punya maksud lain melakukan hal itu, yaitu untuk menenangkan dirinya dari rasa canggung di antara mereka.
"Kau tidak mendengar apa yang kukatakan sebelumnya?" suara Havrelt menajam seperti belati. Ia membuang wajahnya dari Blace, menolak melirik ke arah Blace. "Terserah."
Blace terdiam, dan berpikir. Apa ia baru saja melakukan kesalahan besar? Padahal ia hanya menggerakkan jari. Well, sepertinya hal itu sudah mengganggu Havrelt.
Blace mencengkram kedua tangannya, supaya jarinya tidak bergerak lagi, membawanya masuk dalam selimut yang masih melekat pada tubuhnya. Siapa tahu jika Blace mengerakkan tangannya lagi, Havrelt tidak akan menyadari jika tangannya bergerak dalam selimut itu.
Keheningan kembali membalut mereka, Blace tampak jenuh dengan perjalanan mereka menuju mansion Havrelt ternyata memakan waktu jauh lebih lambat daripada ia pergi bersama James. Karena sebenarnya, Havrelt hanya mengendarai mobilnya dengan pelan.
Blace memperbaiki posisi duduknya, menyadarkan punggungnya dengan santai di sandaran belakangnya. Ia melepaskan high heels saat merasa denyut nyeri di kakinya, lalu memijat pelan pergelangan kakinya. Sedikit melirik ke arah Havrelt yang tidak mengubrisnya, setelah itu Blace baru berani duduk dengan memeluk lututnya sendiri, menengelamkan lututnya ke dalam selimut.
Menghela napas dengan bosan, Blace menoleh ke arah luar. Rintik-rintik hujan ada di luar sana, menghantam kaca mobil dengan sekali tetesan yang banyak.
'Pantas saja jika malam ini suasana menjadi lebih dingin.' Batinnya.
Tanpa sengaja mata Blace melirik spion di luar kaca mobil, ia mengerutkan keningnya saat melihat ada mobil yang berkendara dalam jarak yang cukup jauh, tapi terlihat jelas jika mobil itu mengikuti mobil yang Havrelt kendarai. Seolah sedang mengintai mereka.
"Apa kita diikuti?" Blace menyuarakan apa yang ia pikirankan kepada Havrelt.
Havrelt melirik sekilas pada Blace. "Kau menyadarinya, Witch?" ada nada mengejek di sana membuat Blace sedikit mengerutkan kening.
Blace berpaling pada Havrelt, duduk dengan posisi yang benar, tanpa memeluk lututnya. Blace mendengus, "Anda sudah tahu? Pantas saja Anda mengendarai mobil seperti semut," ucapan formal yang keluar dari mulutnya adalah bentuk kekesalan Blace dengan ucapan 'Witch' yang ditujukan padanya.
Havrelt tidak menjawab.
"Sejak kapan kita diikuti?"
"Persis ketika meninggalkan gedung pesta." Havrelt menoleh ke arah Blace, menatap wanita itu dengan lekat. "Kalau kau berpikir jika mereka akan melukai kita, aku sudah mengirim pesan pada anak buahku untuk membereskan serangga kecil seperti itu."
Menghela napas panjang, Blace balas menatap Havrelt. "Sebenarnya berapa banyak musuh yang Anda punya, Tuan Havrelt?"
Havrelt terkekeh pelan, tapi terdengar sangat mengerikan. "Aku tidak menghitungnya,"
"Saya tidak mengerti bagaimana Anda hidup dengan penuh musuh yang siap melukai Anda kapan saja. Bagaimana bisa Anda masih bertahan sampai sekarang ini," Blace berpaling dari Havrelt, menoleh ke arah spion dan bergumam dengan kalimat yang tak formal lagi. Matanya tampak menerawang. "Seandainya aku tidak bertemu denganmu, dan tidak diculik olehmu. Aku tidak akan terlibat sejauh ini, ini sudah terlalu jauh, Havrelt. Kau menempatkanku dalam bahaya. Dan kau membuatku harus menghadapi daftar mimpi buruk yang tak pernah aku inginkan."
Havrelt mendengarkan semuanya, apa yang telah si penyihir itu katakan. Tatapannya menajam, tangannya mengepal di atas roda kemudi. Pria itu tidak menoleh pada Blace, saat telinganya mendengar tuduhan yang Blace ucapkan padanya. Seolah-olah hal itu adalah keegoisannya, kesalahannya karena melibatkan wanita itu dalam bahaya.
Saat itu tanpa bisa dicegah, ia merasa sangat tersinggung.
Bibirnya menipis, Havrelt merasa marah. Tanpa bicara saat itu, ia menginjak pedal dengan kuat-kuat. Kali ini mengendarai mobil dengan cepat, menyelip setiap mobil yang menghalanginya di jalanan kota London. Ia tidak peduli jika penyihir itu ketakutan atau tidak. Ia hanya peduli pada ambisi untuk menemukan barang miliknya. Persetan dengan ucapan penyihir itu.
*****
Freya membanting pintu kamarnya dengan marah, melempar high heels yang dipakainya dengan sembarangan. Luapan kemarahan menguasai Freya ketika ia kembali merasa diabaikan dan tidak diperhatikan, merasakan jika ia kembali pada masa lalu yang tidak ia inginkan.
Matanya menajam, rahangnya mengeras saat ia tahu penyebabnya merasakan sendirian adalah kesalahan wanita itu. Wanita itu merebut perhatian kakaknya, membuat Havrelt hanya terfokus pada satu titik. Ke arah wanita itu, bukan kepadanya.
Freya membanting gelas di atas nakas, dan berteriak. Pikirannya kembali membawa pada kejadian beberapa waktu lalu, ketika Havrelt menolak pulang bersama dengan alasan yang sangat ia benci, karena Havrelt ingin mencari wanita sialan itu—Blace Flannery yang menghilang dari pesta. Havrelt menyuruh Freya pulang bersama James dan meninggalkannya begitu saja saat Freya melancarkan protesnya.
Freya tidak bisa menahan diri terlalu lama untuk tidak melakukan sesuatu yang ia inginkan. Blace Flannery—wanita itu harus ia singkirkan secepatnya.
Untuk meredakan kemarahannya Freya membuka laci, meraih obat penenang dan menelannya tanpa air, mengabaikan rasa pahit di tenggorokan. Setelah itu, Freya memutuskan untuk berendam dengan aroma terapi yang menenangkannya. Karena ia sudah menetapkan ambisinya, ambisi untuk menyingkirkan wanita itu. Jadi sebelum hal itu terjadi, ia harus bersikap tenang dan normal. Setelah itu ia akan membunuhnya dengan perlahan.
Dua puluh menit kemudian, ketika Freya selesai berpakaian dan bersiap untuk tidur. Ia mendengarkan suara ketukan pintunya, Freya melesat cepat, membukakan pintu. Di sana ia menemukan Brenda yang bersiap mengatakan sesuatu. Tapi Freya menahan Brenda berbicara. Tak perlu membuang waktu lagi, Freya sudah tahu maksud ketukan Brenda, sebab ia sendiri yang menyuruh Brenda mengetuk pintunya saat Havrelt dan wanita sialan itu pulang.
Freya berlari di tangga spiral yang langsung menghadap pintu utama mansion. Kemarahan menguasai tubuhnya ketika ia menemukan Havrelt masuk dengan wanita itu, yang menyelimuti dirinya dengan selimut yang sangat ia kenal. Selimut milik Havrelt. Biar Freya tegaskan sekali lagi, selimut milik Havrelt yang tak boleh disentuh oleh orang lain. Bahkan Freya sendiri tidak pernah memakai selimut itu. Havrelt selalu memarahinya tiap kali ia menyentuh secuil apa pun permukaan selimut itu.
Sekarang lihat wanita sialan itu, memakai selimut itu dengan tidak tahu malu. Hell! Kenapa Havrelt tidak melarang wanita itu menyentuh selimutnya, apalagi melarangnya memakainya. Apa sudah terjadi sesuatu di antara mereka? Kemarahan semakin menguasai Freya saat mendapati ada rona merah di pipi wanita itu.
'Kurang ajar! Apa yang membuat wanita sialan itu tersipu?!' maki Freya dalam hati.
Mereka memang terlihat tidak berbicara, tapi mereka terlihat dekat di mata Freya. Freya tidak suka melihat bagaimana Havrelt tidak mendorong Blace menjauh dari sisinya. Freya tidak suka melihat Blace tersipu di depannya, Freya tidak suka apa pun yang berhubungan dengan wanita itu. Ia membencinya. Sangat-sangat membencinya.
"Havrelt!" suara itu mengelegar begitu keras, membuat dua manusia yang sibuk dengan pikiran masing-masing menoleh pada suara itu.
"Mengapa kau pulang begitu larut?!" Freya berkata dengan marah, saat tiba di hadapan Havrelt. Matanya menajam ke arah Blace. "Dan kenapa kau meninggalkan aku sendirian di pesta demi wanita itu?!"
Havrelt menatap datar ke arah Freya, ia menghembus napasnya mencoba mengangkat rasa lelahnya. Sebelum menjawab, tangan Havrelt melonggarkan dasi yang mencekik lehernya. "Kurasa aku tidak perlu menjelaskan apa-apa padamu." Havrelt berujar dengan datar. Havrelt melanjutkan, "dan kau tidak sendirian di pesta. Aku meninggalkanmu bersama James."
"Aku keberatan dengan perlakuanmu padaku, Havrelt! Seharusnya kau menjelaskan padaku mengapa kau meninggalkan aku gara-gara wanita sialan itu!" Freya berkata penuh penekanan seraya menunjukkan Blace dengan marah. Kemarahannya sudah membakar seluruh tubuhnya.
Sementara Blace, wanita itu memilih menutup mulutnya. Memang ia bisa mengatakan apa jika sudah melihat satu orang sedang mementaskan drama yang membosankan. Drama tentang kecemburaan sang adik yang berlebihan terhadap sang kakaknya. Blace tidak menduga jika sambutan Freya sangat mengerikan, jelas wanita itu sangat tidak menyukai Blace.
"Masuk ke kamarmu, Witch." Havrelt menatap Blace tajam seolah menyuruh agar si penyihir menurutinya dan tidak mencampuri urusannya dengan Freya.
Blace balas menatap Havrelt dengan lekat. Saat memutuskan untuk menuruti perkataan Havrelt, memilih untuk tidak berdebat. Blace melangkahkan kakinya dan hendak pergi dari sana.
Tak lama ia kembali mendengar suara Freya.
"Berhenti di sana, Bitch. Urusan kita belum selesai!"
Blace berhenti di depan tangga, tubuhnya membelakangi dua orang kakak beradik yang tidak menyebutnya dengan baik. Apa mereka tidak tahu namanya? Blace tidak suka dengan panggilan kakak beradik itu. Blace menahan dirinya untuk tidak marah, apalagi tersinggung. Mungkin jika ia mendengarkan kata 'Witch' ditujukan padanya ia tidak terlalu mempermasalahkannya jika hanya mendengar satu dua kali diucapkan oleh seseorang. Tapi jika ia mendengar kata 'Bitch' ditujukan padanya. Blace merasa ingin marah dan murka. Tidak pernah ada orang yang bersikap lancang padanya. Saat itu Blace kembali menoleh ke belakang, menatap ke dua orang yang terlibat dalam drama yang berubah menjadi dramatis.
'Apa-apaan dengan kedua saudara ini! Masuk saja mereka ke dalam neraka!'
Ya Tuhan, Blace sudah terlanjur mengumpat. Ia bersumpah, tidak akan menarik ucapannya kembali.
"Kau seharusnya sadar posisimu, kau tidak pantas untuk kakakku! Kau harus melampauiku dulu jika ingin bersanding dengannya!" suara Freya semakin meledak-ledak.
"Freya! Hentikan omong kosongmu!" Havrelt yang tidak tahan melihat kelakuan adiknya, membentak Freya dengan suara tak kalah meledak-ledak dari adiknya.
"Kau." Mata Havrelt tertuju pada Blace, menghunus tatapan tajam mematikan. "Kembali ke kamarmu sebelum aku mengulang yang ketiga kalinya."
Freya bermaksud mencegah Blace lagi, tetapi mengurungkan niatnya karena Havrelt sudah menariknya, menyeretnya dan membawanya ke ruang baca, meninggalkan wanita sialan itu yang masih berdiri di depan tangga.
"Berhenti bersikap tidak sopan padanya, Freya." Havrelt berkata dengan tajam saat mereka sudah tiba di ruang baca.
"Memangnya dia itu siapa!? AKU TIDAK MENYUKAINYA! Aku juga tidak suka melihatmu dekat dengannya!" Freya mengungkapkan isi hatinya dengan intonasi yang tinggi.
Havrelt menghela napas, mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menurunkan emosinya yang sempat naik karena terpancing oleh kelakuan Freya yang sangat kekanak-kanakan. Ternyata asumsinya terhadap wanita tidak akan berubah. Semua wanita sama saja, selalu membuatnya repot. Bahkan Freya jauh merepotkan dari yang ia bayangkan. Untuk malam ini. Ada dua wanita yang sudah merepotkannya. Pertama, Blace Flannery, yang hilang di pesta yang kacau. Kedua, adiknya sendiri, Freya, yang memancing kemarahannya.
"Berhenti bersikap sebagai istriku Freya! Seharusnya aku mencarikanmu tunangan agar kau tidak mengangguku lagi." Havrelt berhenti membentak Freya, kali ini berkata dengan sangat tajam.
Freya bersedekap. Ia marah. "Jadi selama ini aku menganggumu. Baiklah. Kau tidak akan melihatku besok!"
Mendengar ancaman dilontarkan padanya membuat Havrelt mengerang nyaris frustrasi. Mengapa ia sangat sulit memahami apa yang wanita inginkan. Ia tahu, jika ancaman Freya bukan jenis kabur dari London atau kembali ke LA. Tapi jauh lebih berbahaya daripada itu. Karena Freya pernah melakukan hal yang nyaris menghilangkan nyawanya saat Havrelt mengatakan hal yang sama, 'menganggunya'. Ia tidak akan membiarkan Freya melakukan hal itu lagi. Jika seperti ini terus, berarti Havrelt harus bersikap keras pada Freya. Ia tidak suka ada orang yang membantahnya, meskipun itu adiknya sendiri.
"Jangan mengancamku Freya!" Havrelt mencengkram lengan Freya dengan kuat. Sebisa mungkin Havrelt menahan diri untuk tidak melukai adiknya. "Aku akan mencarikan tunangan untukmu."
"BERHENTI MENCOBA MENJODOHKANKU!"
"Kau juga harus berhenti bersikap kekanak-kanakkan. Aku tidak main-main dengan ucapanku. Dan aku tidak akan berubah pikiran."
Havrelt memilih meninggalkan Freya, daripada kemarahan harus membakar tubuhnya semakin lama lagi.
Malam yang dingin itu, amarah Freya masih ada, semakin berarak seperti awan, berkumpul menjadi lebih besar. Kebencian semakin meracuni hati dan pikirannya.
Semua salah wanita itu! Freya akan melenyapkannya. Segera.
~~~To be Continue...
*****
(Selasa, 25 September 2018)
[follow ig : risennea]
See you next chptr😎
Salam hangat
P A H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top