S I X T Y O N E 🔫
Sedetik saja Blace terlambat menghindar, hidupnya mungkin berakhir. Pikirannya mengambang, telinganya berdenging nyaring, irama detak jantungnya memukul keras seperti lonceng, yang bisa meledak di dalam tubuhnya kapan saja. Setiap tarikan napasnya berubah tajam dan cepat. Tindakan nekat yang ia lakukan sekarang adalah hal paling berani yang pernah Blace lakukan. Ia tidak tahu jika ternyata dia bisa melakukan hal segila itu.
Diluar dugaan, penglihatan Blace yang mengingatnya akan bahaya kembali dengan begitu tiba-tiba, merebut semua kabut kegilaan yang tercipta antara dirinya dan Havrelt. Rasanya seperti tidak bisa membedakan kenyataan dan yang di dalam penglihatannya. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Dia pikir, walaupun ia berdekatan dengan Havrelt, berada jauh dari keramaian, akan membuat dirinya aman dari bahaya. Namun ternyata ia salah. Havrelt dan bahaya begitu dekat seperti satu koin dengan kedua sisi yang berbeda.
Blace yakin ia tidak punya waktu untuk membingungkan hal itu, jika tembakan susulan muncul, ia tidak yakin nyawa mereka akan selamat. Mata Blace menutup, mencoba merangkul sedikit saja ketenangan yang masih tersisa, berusaha menghilangkan ketakutan yang merenggut ketenangannya. Deru napasnya memburu, dengan detak jantungnya yang menganggu. Salju-salju mulai masuk melalui jendela yang pecah, suara badai mengaung deras dengan liar, rasa beku dari udara es menyentuh permukaan kulit Blace, membuatnya menggigil, tidak bergerak dan lumpuh. Apa pun yang terjadi padanya, jika Blace bisa fokus, ia akan tahu siapa musuh mereka sekarang.
Ketika titik fokus itu menyapanya, seseorang menarik lengan Blace dengan kuat, memaksa tubuh lumpuh itu bangkit dari posisi tidurnya di atas ranjang itu. Mata Blace terpaksa membuka, membuyarkan konsentrasinya.
"Apa yang kau lakukan!" Kemarahan Havrelt membuat suasana menjadi mengerikan. "Jangan pernah mendorongku lagi di saat berbahaya seperti ini."
Blace mengerjab-gerjabkan matanya seolah hal itu bisa memukul kesadarannya. Di situasi yang membahayakan nyawanya seharusnya Blace tidak perlu mencari tahu siapa musuh mereka, seharusnya yang ia lakukan hanyalah menyelamatkan hidupnya dan tetap hidup. Tangan Havrelt bergerak membungkusnya dengan selimut, pria itu meraih pinggangnya, mengangkat, menggendongnya dengan sebelah tangannya seolah berat badannya seringan bulu. Tangan Havrelt yang lain menggenggam senjata mematikan yang siap membunuh, sebuah pistol dengan peluru yang terisi. Mata Blace beralih menatap pistol itu, pistol itu sudah pasti sanggup membunuh orang begitu cepat. Kenapa Blace tidak menduga jika Havrelt menyimpan senjata?
Havrelt menembak pada penerang ruangan yang berasal dari lampu nakas. Mendadak ruangan itu kehilangan cahaya dan menjadi remang-remang dari perapian yang menyala rendah. Tangan Blace mencengkeram pundak Havrelt menjadi lebih erat. Blace menyadari sesuatu bahwa pistol peredam itu justru terdengar lebih mengerikan. Secepat itu, Havrelt bergerak membawa Blace yang tidak berdaya dalam gendongan pria itu, menjauhi tempat mereka berdiri.
"Kau baik-baik saja?" tatapan tajam itu menatap Blace seperti kilatan besi pedang. Kemarahan di wajah pria itu tidak menghilang begitu saja. Havrelt meletakkan tubuhnya di sudut, di dalam kamar mandi. Tangan pria itu bergerak menghapus keringat dingin yang membasahi pelipis Blace lalu menyentuh samping lekuk lehernya, memaksa Blace menatap pria itu. "Katakan kau tidak terluka."
Tubuh Blace gemetar hebat antara kedinginan dan ketakutan yang dirasakannya. Dia jelas tidak bisa membedakannya, mulut Blace membuka, mendengar suaranya bergetar hebat. "Aku baik-baik saja."
"Sialan," Havrelt tidak tahan untuk tidak memaki. Rahang pria itu mengetat, tatapannya mengamati kulit pucat pasi Blace seolah sebagian darahnya berhenti mengalir. Sebelah tangan Havrelt lain menangkup pipi kanan pucat milik Blace. "Tenanglah. Tidak ada yang akan menyakitimu."
Lengan kuat itu menarik, merangkulnya tiba-tiba. Wajah Blace tenggelam dalam dada Havrelt yang hangat, menyebarkan suhu hangat yang perlahan mengembalikan ketenangan kembali pada Blace dari rasa terkejut suara tembakan. Gemetar di bahunya menjadi pudar, dia bisa merasakan darahnya kembali mengalir, menghangat kembali kedua pipi dengan warna merah terang. Dengan gerakan perlahan penglihatannya muncul seperti kilas balik cepat, kembali mengambil kenyataan yang dirasakannya.
Di luar sana, badai tanpa henti menghantam keras. Suara angin ribut yang membawa ribuan butiran salju bergerak cepat dan memukul apa saja yang menghalanginya. Kilas itu bergerak cepat, menembus salju dan badai, membawa penglihatan Blace pada seseorang yang mengintai mereka.
Sebuah pondok berada di jarak sekitar 100 meter, dengan pohon yang menyembunyikan letak jendela. Moncong senjata dengan ganas mengarah keluar, ke arah seberang pondok, ke ruangan yang dipenuhi kegelapan.
Postur tubuhnya mengatakan bahwa orang itu bukan penembak amatir, jelas dia tampak ahli. Pakaian serba putih yang menyaru dengan pohon salju terlihat hangat dan tebal. Mata pria fokus pada teropong, mengawasi jendela pecah di ruangan gelap. Sebelah tangannya berada di pelatuk siap menembak kapan saja.
Havrelt mendorongnya menjauh, bangun, melepaskan rangkulan itu, memudarkan bayangan orang itu dalam penglihatan Blace. Dada Blace naik turun tanpa bisa ia cegah, seolah ada simpul kuat yang mengenggam pernapasannya. Ketenangan itu menghilang lagi karena Havrelt menarik kesadaran dengan tiba-tiba. Tatapan Blace tenggelam pada lantai kayu yang ia duduki, Blace tahu, kilas balik itu nyata dan hal itu sedang terjadi sekarang. Seseorang mengintai mereka. Tangannya mencengkeram detak yang tersimpul di dadanya. Rasa gemetar di bahunya kembali, dan sulit untuk kembali menenangkan dirinya.
Ia merasakan tatapan Havrelt menatapnya. Rasanya muka Blace terbakar seolah ia bisa merasakan kemarahan Havrelt yang membakar udara es di sekeliling mereka.
"Sialan! Aku akan membunuh bajingan itu!" suara keras Havrelt membuat Blace semakin menunduk. Ia masih belum berani menatap Havrelt.
Blace juga tidak yakin jika ia perlu menceritakan apa yang baru ia lihat, Havrelt mungkin akan menganggapnya gila. Benar, percaya atau tidak keadaan Blace sekarang jika ia membual—mengatakan apa yang ia lihat di penglihatannya—akan membuat seseorang tidak akan mempercayainya. Blace juga ragu karena bisa-bisanya muncul perasaan familiar dari orang yang mengintai mereka saat ia melihat postur tubuh berotot orang itu. Dan bahkan sekarang, tembakan susulan belum terjadi. Apa yang orang itu tunggu? Dan apa yang dia cari? Havrelt atau Blace?
Suara lemari kotak di atas wastafel terbuka, karena Blace hanya menunduk masih berusaha menenangkan dirinya sendiri, ia tahu Havrelt sedang mengambil sesuatu. Lalu ia merasakan Havrelt kembali mendekat padanya. Sebelah tangan Havrelt menarik pipinya hingga mereka saling menatap.
"Tenanglah," suaranya melembut, tidak sekasar ia berbicara sebelumnya. Sebuah mantel membungkus bahu Blace membalutnya dengan kehangatan.
Blace mengangguk.
"Tetaplah di sini. Aku janji akan kembali."
Sebuah pistol diletakkan di tangan Blace, Blace bisa merasakan rasa dingin logam itu saat menyentuhnya. Ia melihat Havrelt sudah kembali berpakaian dengan mantel hangat yang membungkus dirinya, dan ada sebuah pistol peredam di tangan kirinya. Bahkan Blace tidak menyadari kapan Havrelt sudah berpakaian, betapa ia terlalu fokus pada seharusnya tidak menjadi prioritasnya sekarang. Tatapan Havrelt melembut saat menatapnya, dia meninggalkan ciuman dalam yang singkat di bibir pucat Blace.
"Jaga dirimu." Havrelt keluar dengan cepat dan hati-hati. Tangannya yang menodong senjata tampak siap membunuh siapa saja. Havrelt tampak siap menghadapi sang pengintai. Punggung Havrelt menghilang dalam kegelapan, dan disusul dengan pintu terbuka. Mungkin Havrelt akan mencari pengintai itu.
Dalam keheningan malam itu, suara angin beku itu menjadi lebih tajam. Kepulan uap beku muncul saat Blace menghela napas, ada yang terasa tidak benar. Blace menunduk menatap tangannya yang mengenggam pistol berbahaya di cahaya remang-remang. Ada yang salah. Apa tidak terlalu aneh jika keheningan malam itu tidak terpecah oleh suara tembakan susulan? Apa yang ditunggu oleh sang pengintai? Kenapa dia tidak menembak mereka lebih banyak, jika memang ingin mengincar dan membunuh mereka?
Mendadak suara nyaring dari dering ponsel membelah keheningan itu, membuat Blace menoleh pada suara itu. Ponsel itu menyala dalam kegelapan di ruang tidur Havrelt, bergetar di atas nakas. Blace mengenggam erat pistol di tangannya, melepaskan selimut yang membalut tubuhnya, lalu mengenakan mantel hitam yang diberikan Havrelt dengan secepat mungkin. Suara resleting bersatu dengan dering ponsel yang masih berdering. Mantel itu panjang hingga menutupi lututnya, hingga rasa hangat itu cukup membungkusnya yang gemetar.
Blace juga tidak bisa terpaku pada rasa takut saat ini, ada yang lebih penting dari itu. Itu adalah nyawanya. Havrelt sudah tidak ada di dekatnya, jadi dia tidak tahu apa yang terjadi sekarang. Pistol di tangannya jelas satu-satunya senjata yang bisa ia gunakan untuk dirinya bisa bertahan hidup. Blace bangkit dari duduknya. Kepulan uap itu muncul setiap Blace membuang napasnya perlahan.
Dering itu menganggunya, seolah menyuruhnya untuk mengangkat panggilan itu. Tangan Blace mengenggam pistol yang diberikan Havrelt ke depan, menodongkannya pada kegelapan. Kaki telanjangnya menyentuh permukaan kayu yang lebih membeku saat ia berada ruang kamar. Perapian menyala rendah, cahaya itu tidak menerangi sebagian kegelapan. Badai di luar sana mengaung lebih ganas dan liar. Salju-salju tak henti-henti masuk ke dalam ruangan melalui jendela. Salju terlihat sudah menumpuk di dekat jendela yang pecah. Havrelt tidak terlihat di sana, jelas dia masih memeriksa di luar.
"Tembakan itu terasa ganjil." Blace berbisik pada dirinya. "Seharusnya ada tembakan susulan,"
Dering itu berhenti. Sikap Blace menjadi waspada, ia melihat ruang sekelilingnya. Dan apa yang ia tunggu tidak terjadi, mungkin Blace bisa mengunakan penglihatannya lagi. Ketika Blace ingin merangkul kesadaran itu, ponsel itu kembali berdering.
Nomor tidak dikenal tertera di layar ponsel itu. Dengan hati-hati Blace berjalan mundur, dengan tangan yang terus menerus menodongkan senjata pada arah jendela yang telah pecah dan beberapa arah yang mencurigakan. Saat tangan kirinya menjawab ponsel, ia meletakkan di telinganya lalu mendengar suara yang ia kenal di tengah suara angin.
"Apa yang coba kau lakukan dengan brengsek itu?!"
Suara itu penuh rasa kesal dan rasa protektif yang kuat. Blace menjauhkan ponsel itu dari telinganya, melirik layar ponsel itu sekali. Nomor tidak dikenal itu ada sana. Detak jantung Blace berdetak dua kali lipat dari sebelumnya, sepertinya Blace mengenal suara ini.
"Zenan?" suara ragu-ragu Blace berucap dengan hati-hati.
"Katakan padaku! Apa yang coba kau lakukan dengan brengsek itu?!"
"Ini sungguh kau?"
"Damn, apa yang kau pikirkan Ery? Apa kau gila? Apa kau akan membiarkan dia menyentuhmu lebih dari batasan yang kau jaga? Kau sungguh gila. Apa akal sehatmu sudah menghilang? Shit!"
"Kau..." Blace menghela napas tiba-tiba, rasa waspada memudar tidak tersisa. Ini memang benar saudara laki-lakinya. Blace menurunkan senjata yang ia todongkan, ia berjalan ke arah jendela pecah, tidak mendekat lebih dekat karena pecahan kaca terlihat bersinar dalam kegelapan. Tetapi cukup untuk melihat dengan matanya yang menerawang ke seberang.
"Kau mengintaiku." Ucapan itu terasa sama bekunya dengan udara salju yang ganas. Lalu suaranya berubah sedih. "Kupikir kalian mempercayaiku,"
"Kau tidak aman bersamanya. Dia bisa membahayakan nyawamu. Aku tidak tenang membiarkanmu bersamanya. Dan aku tidak bisa membiarkannya menyentuhmu, kau tahu itu. Kau adikku, Ery."
Suara posesif saudaranya memang tampak semakin parah. "Bukan dia. Tapi kau yang bisa saja membuatku terbunuh dengan peluru kau tembakan, Zenan."
"Aku tidak pernah melesat, Ery. Kau mungkin tidak tahu, bahkan saat berangin atau badai pun, tembakanku selalu tetap tidak melesat dan akan tertuju pada targetnya. Targetnya bukan kau, jika aku melukai sedikit saja si brengsek itu. Dia mungkin sedang berbaring kesakitan sekarang. Aku tidak menduganya jika kau menggagalkannya."
"Kau mengunakan penglihatanmu?" pertanyaan Blace lebih terdengar seperti pernyataan.
Zenan tidak menjawab.
Di seberang sana, penglihatan Blace kembali pada seorang pria yang berada di loteng itu dengan pria lainnya, ternyata dia tidak sendiri. Senjata yang ia lihat ditodongkan keluar sudah tidak ada lagi. Jendela itu tertutup, ruangan hanya diterangkan oleh beberapa lilin dan lentera. Beberapa anak buahnya mengawasi seseorang yang berada di luar badai itu, Blace mengenali orang itu adalah Havrelt sedang memeriksa di luar.
Seringai Zenan muncul terlihat lebih ganas dari badai. "Kau melihatku?"
"Jangan mengangguku, Zenan. Aku bukan anak kecil. Aku tahu apa yang kulakukan. Pulanglah."
"Kau melihatku, kan? Kau tahu betapa kau terus membuatku khawatir."
Kepulan uap terhembus kuat saat Blace menghela napas keras, rasa kesal dalam diri Blace muncul ke permukaan. Sikap Zenan yang membawa banyak anak buah, mengawasi mereka bukanlah hal yang aneh, saat dulu Blace keluar dari rumah, Zenan juga mengawasinya. Zenan berbeda dari saudara laki-lakinya yang lain. Zenan itu nyaris mirip blace mengenai penglihatan yang ia gunakan sekarang. Zenan juga bisa melihatnya dalam jarak jauh, mungkin lebih mudah dan lebih kuat dari milik Blace.
"Aku akan baik-baik saja bersamanya," kata Blace pada Zenan.
"Kau tidak baik-baik saja. Kau sangat pucat. Aku akan menjemputmu. Aku tidak bisa membiarkanmu bersamanya."
Dalam penglihatan Blace, Zenan diliputi kemarahan yang bercampur dengan ekspresi khawatir.
Suara derit pintu terdengar di tengah badai dan kekacauan itu. Blace menoleh, Havrelt muncul di sana berteriak padanya.
"Apa yang kau lakukan? Menjauh dari sana!" seru Havrelt sembari menghampirinya.
Blace memutar tubuhnya, mengabaikan ucapan Havrelt. Matanya menajam seolah Zenan memang berada di hadapannya. "Aku tidak akan menyuruhmu pulang jika kau tidak bisa tenang, tapi aku mohon. Aku akan menyelesaikan tugas di sini dan pulang dengan damai. Kalian janji tidak akan memaksaku. Kumohon atau kau mungkin ingin kita berdua perang dingin."
"Shit! Jangan mengancamku, Ery. Sialan! Kau tahu pembicaraan kita belum selesai, aku akan menjemputmu. Aku tidak suka jika kau bersikap seperti ini. Kau membahayakan nyawamu, kau seharusnya—"
Tubuh Blace terlempar ke belakang begitu tiba-tiba. Seseorang meraihnya, memeluknya dengan erat, berguling-guling menjauh dari jendela yang pecah itu. Sedangkan ponsel tangan Blace terlempar jauh dan panggilan itu masih menyala di sana.
Blace yang sempat kebingungan, mengetahui bahwa Havrelt yang berada di bawahnya adalah orang yang memeluknya. Apa Havrelt baru saja menariknya menjauh dari jendela—hingga ia mengira jika dirinya terlempar—karena takut akan ada tembakan susulan lagi? Apa Havrelt mengkhawatirkannya seperti yang Zenan lakukan?
Blace menghela napasnya yang terkejut. Kepulan uap juga muncul pada Havrelt dan Blace, menunjukkan betapa dinginnya cuaca itu. Tangan Blace menumpu di sisi kepala Havrelt, mengangkat wajahnya dari pelukan Havrelt, menyisakan jarak satu jengkal di antara mereka. Blace melihat banyak butiran salju yang menempel pada rambut dan mantel Havrelt, Blace tidak mencegah tangannya bergerak menyentuh rambut hitam Havrelt, menyingkirkan salju itu dengan perlahan.
"Maaf." Blace menetapkan hatinya, akan lebih baik jika Havrelt tahu kenyataannya jika mereka tidak diserang oleh musuh. "Sepertinya ini ulah kakakku."
Ekspresi di wajah Havrelt yang penuh tekad untuk melindunginya berubah menjadi kaku.
"Kau punya kakak?"
***
Maaf jika ada typo
Terima kasih sudah membaca dan menunggu cerita ini❤️❤️
Hope U enjoyed...
Love you all❤️❤️❤️
(Jumat, 1 Oktober 2021)
(2281 kata)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top