S E V E N🔫


Ada beberapa hal yang tak pernah Havrelt lakukan dalam hidupnya. Pertama, ia tidak peduli dengan kehidupan seseorang yang tak berhubungan darah dengannya. Seperti Havrelt yang tidak suka menyia-nyiakan waktunya untuk menikmati surga dunia atas nama wanita. Kedua, ia tidak pernah memikirkan seseorang lebih dari 10 menit. Havrelt sadar jika ia telah melakukan hal yang kedua.

Malam itu, Havrelt baru saja keluar dari kamar mandinya, sudah memakai jubah tidurnya. Pria itu menghempaskan tubuhnya ke King size dalam kamarnya. Pikirannya kembali berkelana pada kejadian beberapa menit yang lalu. Bayangan penyihir itu muntah dipakaiannya, sangat mengganggu Havrelt, ia seperti merasa ingin menghancurkan semua yang ada di dunia ini hingga hancur berkeping-keping. Ia ingat nama penyihir itu adalah Blace Flannery. Tapi rasanya lidahnya sudah terbiasa dengan panggilan 'penyihir' untuk wanita itu. Ia masih ingat bagaimana cairan hangat dan bau ini melumuri jubah tidurnya hingga terasa di tubuhnya. Ia ingat, bagaimana dengan cengkraman lemah penyihir itu saat bertumpu padanya dan semakin memuntahkan isi perutnya kepada Havrelt. Ia juga ingat, bagaimana penyihir itu sangat kacau malam ini.

Menghembuskan napas dengan kesal, ia bisa merasakan darah dalam dirinya berdesir, mengalir dengan deras. Kemarahan mulai menguasai pikirannya. Tangan Havrelt meraih gelas bening di atas nakas, menengguknya hingga tandas. Havrelt menghusap wajahnya. Setelah tangannya menaruh gelas kembali ke tempat semula. Ia mematikan lampu di atas nakas.

Mungkin akan lebih baik jika Havrelt tidak perlu memikirkan semua yang berkaitan dengan penyihir itu. Di dalam kamar yang gelap itu, deru napasnya menjadi nyanyian pengisi keheningan malam. Dan saat pikiran beralih pada barangnya yang hilang. Ia harus segera menemukan miliknya. Segera.

Havrelt menutup matanya berusaha untuk tidak berpikir lagi. Malam ini cukup melelahkan baginya. Bukan hanya fisiknya tapi juga batinnya. Dan sekarang Havrelt hanya butuh tidur.

*****


Blace kembali pada saat itu, saat semua kejadian bermula. Blace tidak berani untuk mengingat kejadian yang mengerikan itu, namun kenyataannya ia telah mengingatnya. Mungkin sebentar lagi ia bisa gila dengan semua kejadian ini. Blace ingat, bagaimana suara senjata mampu menganggu rasionalnya, memicu satu sisi buruk dalam diri Blace. Perasaan tertekan yang menyengsarakan setiap ia menghirup napasnya. Seharusnya ia tahu kejadian kemarin sangat berdampak fatal untuk kesehatannya. Blace mungkin bisa bersikap tenang setiap waktu, tapi tidak dalam saat ini. Ia hanya seorang manusia biasa yang sama dengan manusia yang lain.

Blace bangun di tempat yang asing, saat matahari sudah sangat terik. Berdiri begitu angkuh di atas langit. Parahnya, tidak ada seorang pun yang bertindak untuk membangunkannya. Blace mengingat sangat jelas kejadian semalam. Dan ia sama sekali tidak bisa melupakannya.

Rasa melilit di perutnya membuat Blace ingin bunuh diri. Sungguh menyiksanya. Rasa itu naik ke paru-parunya, membuat sensasi tidak bisa bernapas. Sebelum akhirnya naik ke tenggorokannya. Blace tidak membuang waktu lagi untuk berlari ke arah ruang yang ia yakini sebagai kamar mandi.

Blace membuka pintu itu sedikit mendobrak. Mengabaikan rasa pusing hebat yang menghantam kepalanya. Wanita itu bahkan tidak menutup pintu saat cairan dalam mulutnya sudah keluarkan ke arah wastafel. Beberapa kali Blace merasakan rasa mual hebat seperti yang terjadi kemarin. Tapi kali ini lebih hebat, rasa pahit setelah muntah membuatnya beberapa kali harus menelan salivanya. Tangan serta tubuhnya bergetar hebat saat Blace berusaha menenangkan dirinya sendiri. Tapi tidak semudah yang ia lakukan seperti biasanya. Ia belum bisa tenang dan rasa mual kembali menghantamnya. Ia muntah, lagi dan lagi. Kejadian semalam membayangi dirinya, mencekik, mengikatnya. Hal itu memperparah kondisinya. Blace muntah lagi. Sungguh Blace merasa seperti ibu hamil, yang tak jauh kondisinya sama seperti dirinya.

Bunyi air terus menyala, dan Blace membiarkan air itu menemaninya bersama keheningan. Tangan Blace menampung air dan membasuh ke wajahnya dengan pelan. Saat matanya menatap cermin di hadapannya, ia sadar jika wajahnya pucat pasi. Ditambah dengan kulit Blace yang sudah putih susu, menambah kesan seperti seseorang yang membeku dalam lemari es selama berhari-hari. Tidak ada kontak lensa yang ia pakai, tidak ada make up yang menutupi wajahnya. Tidak ada rambut merah yang awalnya menutupi rambut aslinya.

Blace memejamkan mata sesaat, mencengkram sisi pinggir wastafel dengan kuat, mencoba menopang dirinya agar tubuhnya tidak bergetar lagi. Saat matanya kembali menatap cermin, Blace bisa melihat rambut hitamnya ada di sana dengan poni yang berantakan. Dan juga baju yang ia pakai adalah piyama yang tentu bukan miliknya.

Blace mengernyit, dan rasional mulai berjalan pada satu titik. Tentang kenapa bisa Blace berada di dalam kamar yang tak ia kenali.

"Aku ada di mana?" Blace mengucapkan pertanyaan itu pada dirinya, dan saat sadar ia tidak tahu jawabannya. Ia teringat sesuatu. Satu nama yang membawanya kemari.

James Alexis.

Tidak hanya wajah, tubuh Blace berubah menjadi menegang saat pikiran itu menyelinap dalam pikirannya. Lalu kejadian terulang di bawah matanya.

Darah. Blace masih ingat bagaimana aroma besi berkarat di sekeliling tempat yang tiba-tiba berubah dijadikan tempat pertempuran. Tidak, mungkin lebih cocok dikatakan sebagai tempat perbantaian. Ia ingat bagaimana suara tembakan yang terdengar terasa begitu dekat dengan telinganya. Berdeging dengan keras, hingga rasanya mampu merusak pendengarannya saat itu juga. Blace tidak bisa membayangkan bagaimana darah juga keluar dari ke telinganya, jika hal itu terjadi padanya. Padahal ia tahu jika hal itu tidak akan terjadi padanya. Namun Blace tidak bisa menghentikan pikiran gila yang terus saja berkelana.

Ia ingat bagaimana Havrelt dan James membunuh semua bandit itu. Pukulan demi pukulan, tembakan demi tembakan, darah demi darah. Semuanya hanya tersisa kematian.

Blace ingat bagaimana perasaan terjebak menguasainya, saat dua orang penjahat berusaha membuka pintu mobil. Ia juga ingat, saat Blace melarikan diri dari sana seperti tikus yang ketakutan. Iya, saat itu ia sangat ketakutan, memutuskan memberanikan dirinya untuk pergi dari sana. Setelah ia lelah berkendara dan tidak tahu harus menumpuk tujuannya ke mana. Blace berhenti berkendara, dan saat itu. Perutnya langsung berulah, sebenarnya ia sudah menahan rasa muntahnya saat darah menguasai pikirannya. Saat itu Blace muntah dengan hebat. Berkali-kali. Dan itu sangat menyiksa raganya. Sungguh Blace ingin menangis. Rasa sesak dalam dadanya tidak diragukan lagi jika ia sangat tersiksa. Napasnya yang putus-putus juga membuktikan semuanya. Namun karena ia memakai kontak lens di matanya, itulah alasan mengapa ia tidak akan menangis.

Saat itu yang Blace lakukan adalah membuang rambut palsunya, membuka kontak lens di matanya dan mencopot bulu mata lalu menghapus lipstisk di bibirnya. Ia terlihat menyedihkan ketika Blace memandang dirinya ke arah kaca mobil. Ia benar-benar kacau.

Saat masuk ke dalam mobil, Blace menemukan sebotol mineral dan langsung meneguknya hingga habis.

Jalanan saat itu memang sangat sepi dan Blace memutuskan untuk duduk dalam mobil selama mungkin. Jika bisa ia akan menunggu pagi datang.

Blace tahu ada beberapa mobil yang berhenti, di dekat mobil yang ia bawa lari. Ia melihat beberapa orang dengan pakaian yang sama menodongkan pistol padanya. Saat itu Blace pasrah. Ia siap mati karena ia yakin tidak akan ada orang yang mau menolong.

Mereka menyeretnya, memasukkan ke dalam mobil van. Tapi anehnya, mereka tidak membiusnya, tidak mengikatnya. Blace tahu peluangnya begitu besar jika ia ingin melarikan diri. Tapi Blace tidak melakukannya. Ia siap mati. Mungkin beberapa jam lagi tubuhnya akan menjadi mayat.

Mobil van itu berhenti, mereka menyeretnya keluar dari mobil dan Blace tercengang ia dibawa ke sebuah mansion mewah. Dan di depan pintu utama ia terpaku pada wajah yang ia kenal. James Alexis, ada di sana. Perasaan lega membanjiri dirinya, ia bahkan tidak menahan dirinya untuk memeluk James, setidaknya untuk menenangkan dirinya sendiri. Hanya James yang ia kenal di negara ini, setelah Havrelt. Dalam arti 'kenal' yang sangat minim. Mereka tidak saling bicara dan mengenal dalam waktu yang lama. Tapi cukup membuat Blace merasa sangat lega jika ternyata kematiannya masih jauh dan tidak terjadi.

James tampak dingin seperti Havrelt. Pria itu tidak membalas pelukannya. Masih baik juga karena tidak mendorong tubuh Blace menjauh darinya. James menampilkan wajah seperti menuntut agar Blace mengatakan alasan mengapa ia lari seperti pengecut. Tentu saja, Blace menceritakan semuanya yang terjadi padanya. Ia takut akan perkelahian, ia shock dengan atas apa yang terjadi semalam. Setelah itu, James tidak mengatakan apa-apa. Blace mendapati pria itu mengendongnya dan membawa Blace masuk. Blace tidak membantah karena sedari tadi ia sudah menahan kaki lemasnya agar tidak terjatuh.

Kembali ke realita. Blace mengerjab-gerjabkan matanya. Ia menghentikan apa yang ia pikirkan. Tanpa bisa ia kendalikan, sekilas bayangannya yang muntah ke arah Havrelt dan setelahnya pingsan, membuat pipi Blace memerah. Bahkan ia tidak sempat meminta maaf atas kelakuannya yang memalukan.

Perutnya berbunyi. Ia keluar dari kamar mandi. Kembali pada kamar yang ia tiduri. Seketika Blace menyadari kamar ini terlalu mewah untuk kamar tamu. Apa dia sedang berada di kamar utama?

Entahlah, Blace tidak tahu. Ia menatap perabotan yang serba krem. Mulai dari ranjang, kursi, meja, gorden dan lampu krital yang bergantung indah di langit-langit. Semua itu terlihat mewah.


Blace melihat ke arah ranjang, di sana ada gaun hitam lengkap dengan sepatu. Blace berjalan mendekat. Menyentuh permukaan kain yang lembut di tangannya. Dan ia menatap ke sekeliling, menemukan beberapa produk kecantikan di meja rias.

Siapa pun yang menyiapkan segalanya akan pelayanan tak terduga itu, semua pasti disiapkan untuk Blace. Dan sepertinya tidak ada masalah jika Blace memutuskan untuk mandi, setidaknya ia bisa kembali berpikir jernih.

Tiga puluh menit kemudian, Blace mengikuti seorang pelayan wanita yang sudah menunggunya di depan kamarnya. Brenda-pelayan yang mengantarnya mengatakan jika mereka akan berjalan ke ruang makan. Katanya mereka sudah menyiapkan makan siang yang lezat. Tentu saja Blace tidak menolak. Ia sangat lapar. Dan pakaian yang sudah disiapkan untuknya tadi, benar-benar pas dan cocok untuknya. Ia terlihat elegan dan segar. Apalagi warna hitam memang warna favoritnya.

Namun, saat Brenda menarik gagang pintu ruang makan. Sebuah suara menghentikan langkah mereka.

"Siapa kau?"

Refleks, Blace memutar tubuhnya dengan cepat. Matanya membesar. Ia melihat seorang wanita cantik di sana, menatap mata Blace dengan tajam. Astaga, Blace dalam masalah sekarang.

*****

(Senin, 10 September 2018)

[Follow IG : risennea]

Salam hangat

P A H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top