N I N E T E E N 🔫
Blace belum sadarkan diri.
Dokter pribadi keluarga Dimitry -Dr. Thomas Dalmazio baru saja selesai memeriksa keadaan wanita yang berbaring di atas ranjang berwarna putih. Dokter itu selalu siap siaga kapan pun keluarga Dimitry memanggilnya dan membutuhkannya. Seperti sekarang, di tengah malam seperti ini ia masih memeriksa keadaan pasien.
Ia berada di kamar tamu, wanita yang terbaring itu tampak pucat, dengan pakaian bersih yang sudah melekat di tubuhnya. Dr. Thomas berpaling, menatap James yang berdiri di dekat ranjang.
"Apa Anda melupakan yang sudah Saya katakan, Tuan Alexis?"
James mengusap wajahnya dengan gelisah. Lalu mengangguk pelan. "Saya melupakannya," James menghembuskan napasnya. "Tapi sekarang Saya sudah mengingatnya," James melanjutkan ucapannya.
Dr. Thomas menatap Blace dengan tatapan sendunya. "Saya sudah mengatakan, Anda harus melindunginya dari ketakutannya. Wanita ini bisa gila jika ketakutan itu terus menghantuinya," tangannya menyentuh kepala Blace dan mengusapnya pelan. "Wanita secantik dia, harus dijaga perasaannya."
James hanya terdiam, menanti kelanjutan Dr. Thomas.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi pada wanita ini. Tapi gejala tubuh yang ia tunjukkan mengatakan jika dia memiliki trauma pada darah. Ingat? Apa yang Anda katakan pada saya, saat dia melihat tangan Anda terluka ketika Miss Dimitry ingin melukainya dan Anda menolongnya, katanya dia juga menjerit, sampai akhirnya pingsan. Dan kejadian tadi juga sama persis, dia menjerit melihat mayat dengan darah yang masih mengalir dari tubuhnya. Itu kan yang Anda katakan?"
"Mengapa Anda begitu yakin jika wanita ini memiliki trauma?"
"Anda benar-benar lupa apa yang pernah Saya katakan." Dr. Thomas menatap James lekat, "Anda harus mengingatnya, Tuan Alexis. Saya tidak tahu, mengapa rasanya dia diperlakukan sedikit spesial di keluarga Dimitry. Saya juga tidak tahu, seberapa berharganya wanita itu bagi kalian. Tapi, apa pun itu, Saya menyarankan jika Anda menjaganya dari trauma itu, benar-benar harus menjaganya persis seperti orang yang berarti dalam hidup Anda. Dia ... agar Anda tulus menjaganya, anggap saja dia seperti adik Anda sendiri."
Jam di dinding menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit. Archer tadi sempat mengabarkan jika Havrelt dan Freya sudah kembali ke mansion. Havrelt juga tahu jika Blace sudah berada di mansionnya, tetapi pria itu belum mengunjunginya. Sedangkan Archer sendiri masih mengurus para pemberontak untuk membuka suara. Namun, sampai sekarang tidak ada seorang pun yang mengakui siapa yang menyuruh mereka, mereka masih mencari tahu siapa yang sudah menjadi dalang yang sebenarnya.
"Kalau begitu, jaga wanita ini, Tuan Alexis." Melihat keterdiaman James, Dr. Thomas menepuk dua kali bahu pria itu. "Dia berharga."
Setelah itu James mengatakan rasa terima kasihnya atas kedatangan Dr. Thomas di tengah malam ini. Dan mengantar Dr. Thomas keluar dari ruangan.
Saat ia kembali ke kamar Blace. James terdiam untuk beberapa alasan. Ia menarik kursi di meja rias, menghadapnya agar ia bisa menatap Blace yang masih menutup mata. Wajah wanita itu masih saja pucat pasi, apalagi tadi ia sempat menyuruh Dr. Thomas menyuntik obat tidur untuk wanita itu. Setidaknya dalam tidurnya, Blace tidak akan mimpi buruk. James juga tadi sudah menyuruh Brenda membersihkan Blace, agar menganti pakaiannya karena wanita itu tampak sangat kacau.
Lalu saat itu, tanpa bisa James cegah, pikirannya kembali melayang pada masa di mana ia mengetahui sisi lain dari Blace.
*****
"Bisa kita bicara sebentar Tuan Alexis, sambil mengantar saya keluar?"
Begitu keluar dari kamar itu, Dr. Thomas langsung membuka suaranya, mengatakan apa yang menganjal setelah memeriksa Blace.
"Begini, mungkin saya terlalu cepat menarik kesimpulan, tetapi saya sangat yakin dengan apa yang saya ingin bicarakan dengan Anda." James mendengarkan, dan Dr. Thomas melanjutkan ucapannya. "Anda mengatakan ia pingsan setelah melihat darah di tangan anda, kemungkinan dia memiliki masa lalu yang menyakitkan sehingga ia bisa bertindak seperti itu. Saya melihat gejala jiwa psikologisnya terganggu. Jika benar wanita itu memilih masa lalu yang menyakitkan, berarti ia pasti memiliki trauma atas kejadian itu. Biasanya orang yang mengalami trauma, mereka cenderung bersikap baik-baik saja, dan mereka sangat menghindari untuk menunjukan betapa lemahnya mereka menahan diri. Keterkaitan dengan Miss Flannery, karena saya yakin, Miss Flannery terlalu lama menahan diri atas ketakutannya dan memilih bersikap tenang seolah ia sudah melupakan kenangan yang pernah ia rasakan dulu. Tebakan paling kuat adalah Miss Flannery memiliki trauma dari masa lalunya, dan darah adalah ketakutannya."
James mendengar semua yang dikatakan oleh Dr. Thomas, mencoba mengingat kejadian yang bisa memperkuat argumen tentang trauma yang dimiliki oleh Blace.
"Apa wajar jika penderita trauma mengalami ketakutan berlebihan?" James sangat mengingat ekspresi ketakutan milik Blace setelah Freya menghantam kepalanya ke dinding, dengan darah yang mengalir di pelipisnya.
"Justru itu, ketika penderita trauma mengalami ketakutan berlebihan, mereka bisa berkehendak di luar pemikiran mereka sendiri. Apalagi bisa saja muncul gejala lain. Kadang mereka kesulitan tidur karena mengalami mimpi buruk, terlebih jika mereka mencoba menarik diri dari lingkungan. Ketika hal itu terjadi, biasanya rasa bersalah atau bisa disebut kecemasan mereka, menguasai akal sehat mereka dan membuat mereka menjadi pribadi yang berbeda dari dirinya sendiri. Seharusnya ... kita memang mengecek kejiwaan Miss Flannery, karena lebih baik dari menebak-nebak seperti sekarang."
Langkah kaki mereka akhirnya berhenti, saat tiba di pintu utama mansion.
"Akan lebih baik jika wanita itu melakukan terapi. Tetapi saya tahu, jika wanita itu bukanlah tanggung jawab sepenuhnya anda dan Tuan Havrelt." Dr. Thomas berjalan mendekati ke arah mobilnya yang sudah terparkir di depan undakan.
Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh pada James yang sibuk dengan pikirannya. Ia berkata. "Mungkin ini sedikit membantu. Anda hanya perlu memastikan jika ia tidak melihat penyebab mengapa ia mengalami trauma. Misalnya anda harus memastikan jika wanita itu tidak melihat darah selama hidupnya. Hal itu rasanya bisa membantu. Seperti Anda melindunginya."
James mengangguk. "Terima kasih atas penjelasannya."
"Tentu saja, sekali lagi Anda harus memastikan jika dia tidak akan pernah melihat penyebab traumanya."
James mengangguk sekali lagi. Matanya menyaksikan punggung Dr. Thomas masuk ke mobil. Pria mapan itu membuka jendela, tersenyum ramah pada James sebelum akhirnya pergi dari sana.
James menghembus napasnya, sepertinya tugasnya kali ini bertambah dua kali lipat dari hanya sekedar bertanggung jawab atas keselamatan sang peramal.
*****
James mengerjabkan matanya, tersadar ia terlalu larut pada kejadian Dr. Thomas mengatakan apa yang ia pikirankan tentang Blace.
Ia bangkit dari duduknya, melangkah ke arah wanita yang terbaring di atas ranjang. Dari awal ketika ia melihat wajah Blace dan sedikit mengenal sifat wanita itu, James akan selalu berakhir mengingat seseorang yang sudah lama ia lupakan dalam hidupnya. Seseorang yang jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Seseorang itu adalah adik lelakinya, yang meninggal tujuh tahun yang lalu. Sifatnya nyaris sama dengan Blace, selalu bisa terlihat tenang, padahal sebenarnya di dalamnya tidak. Ia butuh seseorang melindunginya. Karena sebenarnya dia rapuh dan lemah. Entah datang dari mana keinginan ini, James ingin melindungi Blace apa pun yang wanita itu hadapi. James tidak ingin gagal seperti masa lalunya.
James menghembus napas, menarik selimut milik Blace---yang hanya tertutup sampai pinggang---ke dagu. Mengingat udara yang berubah menjadi dingin. Sepertinya musim dingin akan tiba.
Tangannya menyapu keringat dingin di kening Blace, lalu setelah itu mengelus lembut rambut hitam panjang wanita itu. Havrelt pernah menyuruhnya bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Blace, yeah seperti menjaga peramal itu dari bahaya. Tapi sekarang, dengan atau tanpa perintah Havrelt, James siap melakukan segala hal untuk melindungi Blace.
Tanpa James tahu, di waktu yang sama. Di depan pintu kamar itu, Havrelt menghentikan langkahnya ketika ia tahu, ia melihat James sedang mengelus kepala si penyihir.
Havrelt mengernyit, ia tidak pernah tahu jika James ternyata bisa bersikap perhatian seperti sekarang pada wanita. Apa James sedang menyukai si penyihir itu?
Well, Havrelt memang berniat melihat keadaan si penyihir, katanya wanita itu memiliki trauma, jadi Havrelt memutuskan untuk melihat keadaannya. Wanita itu adalah peramal sewaannya, dan sebagai majikan ia ingin memastikan jika wanita itu baik-baik saja. Wanita itu tidak boleh kenapa-kenapa atau mati dengan cepat, karena sebelum barangnya ditemukan Havrelt tidak akan membiarkan Blace mati begitu saja.
Melihat James yang masih setia mengelus rambut Blace, Havrelt mundur. Mungkin besok saja ia datang lagi. Karena mungkin saja James sedang jatuh cinta pada peramalnya. Lalu Havrelt meninggalkan tempat itu.
Sementara James, matanya terpaku pada Blace. Ia menghentikan elusannya. James sudah memutuskan dan ia menyakinkan hatinya sekali lagi. Blace Flannery adalah adiknya, mulai sekarang.
*****
Gadis itu berada dalam ruangan gelap yang tak bercahaya. Entah mengapa saat itu, dia tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri, seolah perasaan yang ia rasakan bukan lah miliknya, tetapi dia tahu, dia pernah berada dalam perasaan menyiksa seperti ini.
Dadanya penuh rasa sesak, dengan keadaan yang menjadi lebih mengerikan. Rasa panik muncul tanpa dia harap, dia merasakan tubuhnya mengigil hebat. Saat itu, tubuhnya luruh ke lantai dingin itu, kakinya tidak sanggup menopang berat badannya. Tubuhnya terasa lemah, dia kehilangan energinya seolah semua yang dia miliki baru saja dicuri oleh orang lain.
Matanya berkaca-kaca. Dia mengerjab-gerjabkan mata untuk tidak menangis, pikirannya mencoba menghindari perasaan di mana semuanya bermula. Awal dari rasa kesakitannya. Dan rasa lemahnya.
Ruangan itu tiba-tiba bercahaya, bukan cahaya putih yang membuat ruangan itu menjadi terang dan silau. Tetapi ruangan itu berubah menjadi warna merah, warna yang mengingatkannya pada warna darah.
Jantungnya berdetak kencang, tangan gadis itu bergerak menutup telinganya. Dia tahu perasaan ini. Dia pernah berada di situasi yang sama seperti sekarang. Dan dia tahu apa yang akan terjadi. Tepat saat itu, dia mendengar suara teriakan keras yang penuh siksaan.
Tidak berhenti dari sana, dia mendapati dirinya sudah diikat dengan rantai yang melingkar di lehernya. Hal itu membuat gadis itu panik. Dia ingin menarik rantai di lehernya, tepat ketika itu ia melihat seseorang yang baru saja melukai anak perempuan, berpaling ke arahnya. Menunjukkan kilatan besi tajam yang ia ngenggam.
"Sayang, kau harus melihat ini."
Perlahan pisau di tangan orang itu menelusuri tubuh anak perempuan yang terlentang di lantai, mengores ujung itu pada kulit yang lembam-lembam di beberapa bagian. Tanpa ragu, seseorang itu menusuk-nusuk dengan kejam, dan gerakan yang awalnya pelan terus bertambah semakin cepat, seiring teriakan dari anak perempuan yang disiksa.
Gadis itu menyaksikan semua yang terjadi di depannya dengan mata kepalanya sendiri.
"Hentikan." Gadis itu memejamkan matanya dengan kuat.
Dia mendengarkan teriakan anak perempuan yang lama-kelamaan mulai menghilang, gadis itu tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dan ia masih mendengar sangat jelas, suara tusukkan itu terus melukai setiap anggota tubuh. Bahkan setiap usus yang ada di perut dan jantung di keluarkan dengan tangan tanpa rasa menjijikkan.
Setiap darah menetes menimbulkan suara yang menyiksa dan menyakitkan. Dia mendengar dan melihat segalanya.
"HENTIKAN." Air mata itu menetes. "HENTIKAN!"
*****
Mata itu terbuka, terbelalak lebar. Tubuhnya tersentak bangun tadi tidurnya, tanpa ia cegah air matanya merembes dari sudut mata. Mengabaikan rasa pusing yang menyerangnya, ia menutup wajahnya dan menangis.
Blace sudah berjanji pada dirinya, ia tidak ingin membuka luka lamanya, dengan terus mengingat kejadian yang bisa dikatakan mimpi paling buruk dalam hidupnya. Ia berusaha melupakan kejadian itu, kejadian yang sudah berlalu dua belas tahun lalu. Tetapi kadang ia tidak bisa melupakan, kenangan seolah menjadi bayangnya, mengikutinya, menghantui tanpa bisa ia kendalikan. Blace ingin melupakannya, ia ingin sembuh. Ia ingin tidak tersiksa setiap kali ia memejamkan mata.
Dadanya terasa sesak setiap kali ia menarik napas untuk ia hirup dengan susah payah. Ia menekan dadanya, tempat ia merasakan jantungnya berdetak cepat dan menyakitkan. Blace terisak, tenggorokan tercekat saat ia menahan suara tangisannya agar tidak keluar.
Di sana lah, tubuh Blace bergetar hebat dengan tangis tanpa suara yang menyesakkan dadanya. Sekilas bayangan itu kembali muncul diingatan. Blace menggigit bibirnya, untuk menahan diri agar tidak berteriak. Ia tidak ingin kembali pada masa itu.
"Sayang, kau harus melihat ini. Sayang, kau harus melihat ini. Sayang, kau harus melihat ini."
Ucapan itu kembali menghantuinya, terus saja terulang dan Blace tidak bisa menghentikannya.
"Hentikan." Blace mulai meracau. Ia menarik rambutnya. Rasanya kepalanya ingin pecah saat itu juga.
"Sayang kau harus melihat ini."
Blace terisak kali ini mengeluarkan suaranya. Ia menangis keras. "BERHENTI BICARA DENGANKU!"
Sebuah tangan meraih tangan Blace yang mencengkram rambutnya, tangan itu melepaskan cengkraman Blace. Ada beberapa helai rambut yang rontok, yang digenggam oleh tangan Blace.
Blace terkejut, seketika itu tangisan berhenti. Matanya berpaling pada mata abu-abu yang memiliki tatapan tajam.
Havrelt berada di sana. Entah sejak kapan, pria itu duduk di atas ranjang Blace di sampingnya. Begitu dekat. Dengan tangan yang sudah berhasil meraih tangan Blace dan melepaskan cengkraman dari rambutnya. Seketika itu, Blace merasa malu. Ia tidak pernah menunjukkan sikap se-frustrasi ini pada orang lain.
"Penyihirku terlihat kacau," Havrelt menyentuh rambut halus panjang milik Blace, menyampirnya ke sebelah bahunya. Ia meraih tangan Blace yang mulai berkeringat dingin dan bergetar.
Blace menundukkan kepalanya. Bibir Blace bergetar, matanya berkaca-kaca, wanita itu menahan diri untuk tidak menenggelamkan dirinya ke lautan. Ia malu mengetahui Havrelt melihat dirinya dalam keadaan kacau. Ia malu mengetahui Havrelt memandangnya sedikit berbeda dari biasanya. Ia malu...,
Tubuh Blace ditarik oleh Havrelt, mendekati pria itu. Kali ini Blace sangat terkejut karena pria itu menariknya dalam pelukan. Blace tidak mengerti mengapa Havrelt memeluknya. Apa untuk menenangkannya? Tapi kenapa?
Blace menarik napas, dan menghembusnya dengan pelan. Apa pun alasannya, Blace tidak ingin menangis lagi. Dan ia tidak ingin merasa takut lagi. Blace merasakan tangan Havrelt menekan tubuhnya mendekati Havrelt, dan sekilas merasa jika Havrelt mengelus pelan rambutnya. Tindakannya seolah ia benar-benar bersikap menenangkan Blace. Dan tentu saja, sikap Havrelt membuat Blace terbuai. Wanita itu lega karena ternyata Havrelt tidak seburuk yang pernah ia pikirkan.
Perlahan tangan Blace bergerak, melingkari pinggang Havrelt, wanita itu membalas pelukan Havrelt. Dan bersandar di dada atletis pria itu. Tidak ada jarak lagi di antara mereka. Blace bisa merasakan jika pelukan Havrelt kokoh dan memabukkan. Blace masih ingat, saat Havrelt memberinya selimut, ia berharap saat itu Havrelt lah memeluknya. Tetapi sekarang ternyata harapannya itu terwujud menjadi kenyataan.
Bibir tertarik membentuk senyuman tipis.
'Dia baik.'
Ketenangan dan kenyamanan membuat Blace mengantuk. Ia menguap. Namun, Blace masih tidak ingin tertidur. Ia ingin menikmati keberuntungannya hari ini. Blace mengendus bau Havrelt, ia masih ingat. Perpaduan maskulin dan manis langsung masuk ke penciumannya.
Sayup-sayup mata Blace menutup, rasa ngantuk menguasainya, membuat kepalanya berat tidak ingin menopang tubuhnya lagi.
"Thank you."
*****
Havrelt termangu. Antara rasa kaget dan bingung. Ia merasa Blace sudah tertidur dalam pelukannya. Tak peduli dengan tindakannya yang cukup kasar, Havrelt mendorong tubuh Blace hingga wanita itu terjatuh, dengan posisi berbaring di ranjang.
Havrelt bangkit dari sana. Niatnya memeluk Blace memang untuk menenangkan si penyihir itu, Havrelt sering melakukan hal yang sama saat Freya mimpi buruk. Dan ternyata hal itu juga berhasil ia lakukan pada si penyihir.
Tetapi bukan itu masalahnya.
Tindakan dan ucapan wanita itu semakin membuatnya tidak waras. Dia sangat-sangat jelas mendengar ucapan wanita itu.
"Dia baik." Wanita itu memang baru saja memujinya.
Havrelt menatap Blace sekali lagi.
"Terima kasih."
Havrelt masih mengingatnya. Ia menyentuh lehernya basah. Wajah Havrelt merah padam, ia bukannya malu, tapi ia marah pada kejadian tadi. Iya, wanita itu bukan hanya memujinya dan berterima kasih, tapi juga mengecup lehernya.
'SIALAN!' umpat Havrelt dalam hati.
Dan pria itu langsung bergegas keluar dari kamar itu, ia butuh pelampiasan. Sepertinya bertarung akan menjadi pilihannya.
****
(Selasa, 23 Oktober 2018)
[Follow ig :risennea]
Kenalan dulu sama dokter kita..
Dan tokoh2 kesayangan kita.
Blace Flannery
Havrelt Ryder Dimitry
James Alexis
Freya Slenna Dimitry
Archer Reese Vinleonard
Nate Vlidimir
Salam hangat
P A H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top