F O U R 🔫

"Damn it!" kemarahan itu kembali datang saat Havrelt berada dalam pesawat pribadinya, yang mengudara di hari yang menjelang sore.

Salah satu orang kepercayaannya mengabarkan kabar buruk yang tak pernah ia pikirankan akan terjadi dalam hidupnya. Mansion miliknya yang berada di Venesia, Italia diserang habis-habisan. Mereka membobol sistem keamanan dan menembak beberapa penjaga saat menerobos masuk. Juga sempat membunuh anjing-anjing penjaga yang galak. Setelah berhasil menerobos masuk, orang-orang itu memasang peledak, yang terakhir mereka meninggalkan mansionnya setelah meledakkannya. Mansion mewah milik Havrelt harus menjadi target pemusnah yang tak diketahui motif apa yang membuat mereka melakukan hal itu. Kejadian itu tentu membawa kerugian yang amat besar bagi Havrelt. Beberapa anak buahnya yang selamat menderita luka bakar yang cukup parah. Mereka langsung ditangani oleh tim medis yang mengambil langkah pertama dalam pengobatan.

Semua yang dilakukan oleh penjahat yang tak dikenal itu, membuat amarah dalam diri Havrelt muncul ke permukaan dan ia ingin sekali melampiaskan kemarahannya. Ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya para penjahat itu inginkan darinya.

Havrelt merendahkan suaranya, merasa akan meledak jika ia tidak bisa menahan dirinya. "Urus semua kekacauan itu, pastikan keadaannya aman saat aku berada di sana untuk melihat berapa kekacauan do sana."

Havrelt mengenggam erat ponselnya, lalu menghempaskan ke lantai pesawat, hingga layar ponsel itu menjadi retak. Wajahnya merah padam menahan emosi, semakin menambah kesan bahaya pada dirinya. Pramugari yang berada dalam ruang yang sama itu, yang awalnya sempat mengagumi wajah sempurna Havrelt, kini harus menelan saliva mereka, dan membisukan diri mereka. Walaupun kadang terbesit di pikiran siapa pun yang melihat wajah Havrelt, semua wanita rela menyerahkan dirinya dalam bahaya hanya untuk bersama dengan pria itu. Sayangnya Havrelt tidak tertarik untuk melibatkan seorang wanita pun dalam hidupnya. Hidupnya sudah sempurna tanpa wanita. Wanita hanya bisa menyusahkannya saja.

Tangan Havrelt mengusap rambut ke belakang, bersamaan napasnya menghembuskan keluar dengan pelan. Mata abu-abunya menoleh pada wanita di kursi sampingnya. Wanita yang merepotkan, wanita yang tak akan mengubah pandangan tentang semua orang yang bernama 'wanita'. Sang peramal itu masih tertidur semenjak ia membiusnya. Padahal Havrelt sudah memastikan jika ia tidak memakai dosis yang tinggi untuk wanita itu, tetapi kenapa wanita itu belum terjaga?

Wanita itu pasti tahu apa yang terjadi dalam hidupnya yang kacau. Untuk kesekian kalinya, Havrelt meragukan sesuatu. Ia tidak yakin jika Blace bisa membantunya, untuk menemukan si pengkhianat Nate. Selimut yang membungkus tubuh Blace jatuh ke lantai, dan Havrelt tidak berniat bersikap lembut untuk menyelimuti wanita itu lagi. Dengan sengaja kakinya menendang kaki mungil Blace beberapa kali, mencoba membangunkan Blace. Namun, tidak ada respon sama sekali. Ini sudah dua jam wanita itu tidak sadarkan diri.

Rasa kesal bercampur dengan amarah dalam diri Havrelt yang belum menghilang. Pria itu mulai mengumpat. "Tidak berguna. Kau tidak berguna. Lihat saja, jika kau bangun dan tidak bisa membantuku. Maka aku tidak ragu-ragu untuk menyiksakanmu."

Setelah berkata seperti itu, Havrelt menggeram. Sejak kapan ia jadi gila, dan harus berbicara pada orang tak sadarkan diri seperti sekarang. Namun, mata Havrelt tidak bisa mengindahkan Blace begitu saja. Rambut berwarna merah itu menyembunyikan wajah wanita itu. Seketika rasa penasaran menyusup dalam hatinya, karena ia ingat jika ia menduga sang peramal adalah seorang nenek tua tetapi kenyataannya malah mendapati wanita muda yang mustahil untuk menjadi peramal. Havrelt meraih bolpoin dalam saku jasnya, dan ia mulai mendekati Blace. Dengan bantuan bolpoin, ia bisa melihat wajah Blace. Bolpoin itu bergerak menyentuh rambut Blace, mengangkatnya hingga Havrelt bisa melihat dengan jelas.

Cantik, kata itu menyusup seketika dan gila dalam pikirannya. Wanita itu berwajah Asia, Havrelt bisa melihat bagaimana mata itu setengah menutup, hidung mungil yang mancung, dagu yang lancip, dan bibir merah yang setengah terbuka. Havrelt bahkan sedang berpikir kenapa wanita ini nyaris mirip seseorang.

Havrelt mengalihkan tatapannya, tetapi sesekali masih melirik-lirik Blace yang berada di sampingnya. Mungkin wajah itu mirip boneka, iya boneka. Havrelt menarik bolpoin yang menahan rambut Blace. Namun, sebelum itu terjadi, mata itu terbuka. Sesaat mereka terdiam, terkurung dalam tatapan yang membekukan.

Blace terlebih dahulu sadar jika pria mengerikan itu sedang menatapnya. Tangan mungilnya mendorong bahu Havrelt dengan kuat hingga pria itu tersentak dan punggungnya menabrak sofa. James yang melihat itu segera mendekati Havrelt dan Blace yang sekarang sedang bertatapan marah. Satu sama lain.

"KAU! Beraninya mendekatiku!" Blace bangkit dari duduknya, tak menghiraukan rasa pusing yang menghantamnya saat itu. Matanya menjelajah ke sekitar, ia tahu jika sekarang ia berada dalam pesawat yang sedang mengudara. Kenyataannya itu semakin membuat Blace marah. Ia sangat tidak menyukai pria sok berkuasa yang menatapnya dengan dingin. Ia tidak suka pria itu, yang kenyataan adalah seorang mafia. Pria itu pembawa mimpi buruk dalam hidupnya.

Dan saat Blace menatap rambut pria itu, seketika itu keinginan untuk menjambak rambut datang begitu kuat. Ia mendekati Havrelt dengan langkah memburu. Namun, James yang melihat aksi Blace. Diam-diam menyelinap dari belakang, ia memeluk perut Blace lalu mengunci kedua lengannya hingga Blace memekik kesakitan. Dan menjauhkan wanita itu dari Tuannya.

"Lepaskan aku!" pekik Blace nyaring. "LEPASKAN AKU, JAMES!"

Untuk beberapa detik, James tersentak kaget saat sang peramal menyebut namanya. Ia ingat mereka tidak mengenalkan diri saat bertemu di rumah sang peramal. Dan dari mana wanita itu tahu namanya?

"Dasar Penyihir," umpat Havrelt mengejutkan James dan Blace.

Blace tidak pernah mengalami insiden penculikan selama hidupnya, ia tidak pernah meninggalkan Skotlandia selama ia menginjakkan kaki ke negara itu. Sekarang, saat kenyataan mengatakan pada dirinya ia akan meninggalkan Skotlandia dengan dua orang asing. Atau banyak orang asing yang mencoba menjadikan barang untuk dimanfaatkan. Ia merasa kehilangan. Apa kejadian itu terjadi karena ia tidak terlalu dekat dengan Tuhannnya? Apa sekarang Tuhan sedang menghukumnya? Tetapi apa kesalahan yang Blace lakukan sehingga ia pantas mendapatkan kejadian yang tak ia harapkan dalam hidupnya.

"Lepaskan aku!" kali ini hanya suara lemah yang terdengar putus asa, air mata itu hampir keluar dari matanya. "Kembalikan aku ke rumah, ke negaraku."

Blace jarang sekali menunjukkan jika ia sedang tertekan atau menunjukkan bahwa dirinya sedang berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Dalam keadaan lemah yang membuatnya terkurung dalam perasaan ketidakadilan. Sungguh ia ingin menangis, setidaknya jika bisa ia akan berteriak di ruang pengampunan pada Tuhan agar Tuhan mengampuninya dan tidak menghukumnya lagi. Blace tidak sanggup menghadapi kenyataan ini. Blace bergerak, sedikit memberontak karena cengkaram James sama sekali tidak mengendur. Apa keadaan ini akan menghilangkan nyawanya jika ia tidak mematuhi orang yang menculiknya?

James melonggarkan cengkramannya saat merasa wanita mungil itu lemas ke arahnya. "Anda harus tenang, Madam."

"Tidak!" Mata Blace berkaca-kaca, menatap Havrelt yang menatapnya datar, duduk dengan angkuh di kursi pesawat. Matanya menatap Havrelt penuh permohonan. "Kumohon, bawa aku kembali pulang."

Dan sekarang Blace harus saja melakukan hal yang tak pernah ia lakukan dalam hidupnya. Memohon pada orang asing. Tetapi hal itu tidak akan menjadi masalah jika ia kembali pada kehidupannya dan menjadi Peramal sediakala.

"Aku sudah menyewamu." Tegas Havrelt tak terbantah.

"Aku bukan barang!" teriak Blace frustrasi. "Kau tidak bisa melakukan hal kejam ini padaku." Blace tidak melawan lagi. Ia hanya marah pada dirinya yang lemah dan tidak tahu harus melawan seperti apa. Ia tahu dengan jelas bahwa pria itu berbahaya. Tentu ia tidak akan lepas dengan mudah. Dan seseorang yang mengunci lengannya juga orang berbahaya. Blace tidak sanggup memikirkan jika ia menyerahkan dirinya untuk mengikuti perintah berbahaya itu. Ini benar-benar mimpi buruk paling mengerikan yang tak pernah ia bayangkan.

"Tentu aku bisa. Aku bisa melakukan segalanya yang aku mau. Aku bisa menyewamu, aku bisa merenggut kehidupan seseorang. Apalagi harus merenggut nyawa temanmu dengan sekejap."

Blace menggeleng dengan kuat, air matanya tak tertahankan lagi. "Kau bukan Tuhan. Dan kau juga bukan malaikat pencabut nyawa. Jangan pernah libatkan temanku dalam masalah ini!"

Havrelt hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Ketika Blace ingin berucap lagi, James menyeretnya ke kursi paling pojok. Pria itu menatapnya tajam saat menghempas tubuh Blace yang mungil ke kursi. Tidak bisakah pria itu bersikap sedikit jantan kepada wanita? Blace berusaha menahan dirinya untuk tidak meringis dan mengumpati James dalam hati.

"Kasar sekali. Pantas tidak pernah punya pacar." Ucapan itu keluar dari mulutnya tanpa ditahan. James yang mendengar itu melototkan matanya dengan mengerikan.

Antara rasa marah dan kesal, akhirnya Blace membungkam mulutnya. Ia mengalihkan tatapannya ke arah jendela. Di luar sana sore telah tiba. James pergi dari sana mendekati Havrelt membuat Blace menghembuskan napas lega. Bibirnya meringis kesakitan. Ia mengelus tangannya yang dicengkram olah James, meninggalkan rasa nyeri juga pergelangan tangannya yang sudah memerah. Ia benci dirinya yang tak bisa melawan orang, ia tidak suka dirinya yang terlalu sering pasrah. Menerima semuanya tanpa bisa membantah. Sungguh Blace tidak bohong. Ia sangat ingin mengumpati orang-orang dengan makian yang kasar, namun saat mengingat Tuhan akan selalu mendengar hambanya. Akhirnya Blace memilih diam.

Seorang pramugari membawa troli berisikan makanan, lalu meletakkan beberapa jenis makanan di meja sampingnya seraya mengatakan sederet kata dengan sopan. Matanya menatap makanan yang mengunggah selera. Roti bulat panggang yang mengunggah selera makannya, ada dua selai di sana, strawberry dan coklat. Omelet panas yang menguar wangi yang sedap. Juga segelas susu putih. Blace terdiam sesaat, makanan ini biasanya disajikan di pagi hari. Ada apa dengan orang-orang ini? Apa mereka tidak tahu jika hari sudah hampir sore? Padahal mereka bisa saja menyajikan makan siang yang mengenyangkan. Apa mungkin ini khusus untuknya?

Sekilas Blace melihat ke arah Havrelt yang sedang berbicara serius dengan James. Ia menghembuskan napas sekali lagi. Lebih baik sekarang ia mengisi perutnya yang keroncongan dan menepis pikiran tentang makanan yang seharusnya lebih cocok dijadikan sarapan pagi daripada makanan siang. Sebaiknya Blace harus melupakan tentang itu.

*****

Mereka tiba di Bandar Udara Internasional London Heathrow, saat malam telah sepenuhnya menyapa. Suasana malam semakin dingin mengingat jika musim gugur akan berakhir. Blace hanya bisa mengandalkan selimut yang James berikan padanya untuk melawan hawa dingin yang kejam. Ketika ia dengan ragu menerima selimut itu dari James yang tak mengatakan apa-apa saat menyerahkan selimut padanya di pesawat.

Mereka keluar dari pesawat, menuruni tangga dan berjalan dengan pelan hingga melangkah masuk ke dalam lobi bandara. Keluar dari lobi hingga melihat enam mobil jaguar hitam dan satu mobil Audy mewah yang bisa diduduki empat orang, terlihat semua menunggu kedatangan mereka. Walaupun Blace diliputi rasa kebingungan yang besar, sepertinya ia bisa menyakinkan dirinya jika mereka melakukan dengan pesawat pribadi yang sudah memiliki izin mengudara. Havrelt dan James berjalan ke arah Audy mewah berwarna perak, salah satu supir yang membawa mobil Audy perak itu keluar dari mobil menyerahkan kunci pada James dengan hormat. James menyambut dengan baik dan ia membuka pintu belakang, Havrelt masuk ke dalam dan dengan tatapan James yang tajam Blace akhirnya ikut masuk dan memaksa dirinya duduk berjauhan dari Havrelt. Terakhir James sendiri yang mengemudi dan menyuruh mobil yang lain tetap berjaga mereka dari depan dan belakang.

Keheningan dalam mobil itu mampu mencekik pernapasan Blace, membuat wanita itu tegang dan gelisah tidak menentu. Bukan karena ia takut akan dua aura gelap yang terlihat jelas di matanya. Ia hanya tidak terbiasa dengan keheningan yang tak berada dalam keadaan yang seharusnya. Karena Blace rasa keheningan semacam ini mengingatkan pada saat ia meramal. Keheningan yang mematikan. Ia hanya suka keheningan saat Blace sedang meramal, selain itu tidak. Mengingat tentang ramalan. Blace teringat pada Theresa temannya sudah yang tak terlihat.

Blace berdehem, melirik pria berambut hitam di sampingnya. Sebenarnya ada satu kebingungan lagi yang berputar di pikirannya, kenapa mereka tidak mengikat tangannya? Kenapa mereka tidak menutup mata Blace? Kenapa mereka tidak bersikap kasar pada Blace? Well, sebelum kejadian di pesawat tadi. Lalu kesekian pernyataan yang berawal dari 'kenapa'. Semuanya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Kecuali orang itu dan Tuhan.

Blace membuka suaranya, bertanya dengan ragu. "Apa temanku baik-baik saja?"

Havrelt mengalihkan matanya dari tablet mewah, yang sedari tadi merebut perhatiannya semenjak James menjalankan mobilnya, ke objek yang mengajaknya berbicara. Ia melirik sekilas, setelah itu kembali fokus pada tablet mewah di tangannya.

"Iya, dia baik-baik saja,"

"Apa dia masih di Skotlandia?" Blace bertanya lagi. Ia sangat penasaran dengan keadaan Theresa. Wanita itu yang sudah banyak membantunya menjadi seorang peramal seperti sekarang.

Blace melihat kepala Havrelt mengangguk sekali. Lalu tak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Blace mengeratkan selimut di tubuhnya, dan merapatkan tubuhnya ke jendela lalu bersandar di sana. Sepertinya percuma sana mengajak seorang bos mafia yang angkuh, yang buta akan sekitarnya. Pasti tidak akan dihiraukan.

Beberapa menit kemudian, Havrelt menurunkan tablet ke pangkuannya. Ia melirik Blace yang sudah tertidur. Lalu ia menatap James.

"Berapa menit lagi kita akan tiba?"

James tidak menjawab, ia tersenyum misterius. Dan Havrelt menangkap ekspresi itu lewat kaca tengah dalam mobil.

"Ada apa?" Havrelt tahu jika James sudah tersenyum misterius itu tandanya akan terjadi sesuatu.

"Apa kau tidak sadar, Bos? Kita telah diikuti,"

Havrelt mengernyit, pria itu menoleh dan melihat beberapa mobil hitam mengikuti mereka dalam jarak yang aman. Dan ia semakin bingung saat tidak menemukan mobil pengawalnya yang mengikuti mereka dari bandara.

"Ke mana mobil para pengawalku?" tanya Havrelt.

"Aku menyuruh mereka berpencar. Ahh, bukan. Aku menyuruh mereka pergi. Kau suka dengan ideku?"

"Tidak waras. Jangan katakan kau akan mengebut seperti biasa dan mulai pamer padaku manuver andalanmu itu?"

James terkekeh, terlihat membenarkan ucapan Havrelt. Ini adalah bagian yang tidak terlalu disukai oleh Havrelt. Dan James selaku melakukan hal itu hanya untuk kepuasan dirinya sendiri.
Lalu Havrelt teringat sesuatu. Ia melirik sang peramal yang masih tidur pulas.

"Bagaimana dengan penyihir ini?"

James kembali terkekeh, kali ini memasukkan tuas transmisi, lalu menginjak pedal untuk menambah kecepatan. Membuat mobil Audy perak itu melaju dengan kencang.

"Dia tidak akan bangun," gumam James datar.

Havrelt memutar matanya, melirik Blace sekali lagi. Ia tahu jika James memang sangat suka mengebut dengan mobil mewah, tetapi sepertinya malam ini akan sedikit menyenangkan. Havrelt ingin melihat wajahnya ketakutan sang peramal. Iya, malam ini. Ia ingin melihat itu.

****

(Minggu, 2 September 2018)

Salam hangat
P A H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top