F O R T Y S E V E N🔫

Sudah setengah jam berlalu, sejak Havrelt meninggalkan Blace dalam kamar hotel. Mata Blace masih tidak mau berkedip di depan makanan yang tersaji begitu menggiurkan untuk dimakan. Dirinya masih tidak mempercayai apa yang terjadi di antara mereka. Havrelt mencium Blace dan Blace membalas ciuman Havrelt.

Tolong lenyapkan Blace sekarang juga!

Tunggu, tidak. Blace masih ingin hidup. Tolong sembunyikan Havrelt darinya!

Rasa malu memeluk Blace begitu kuat, ia merasakan wajahnya memanas untuk ke sekian kalinya. Perutnya mengelitik bersamaan dengan rasa mulas, kepalanya sakit karena jepitan rambut yang mengencang. Pemanasan dalam ruangan membuat keringat membanjiri tubuhnya, padahal ia tahu di luar suasana sangat dingin. Detak jantungnya terus memukul seperti lonceng hingga rasanya sakit dan membuat Blace ingin menjerit.

Dan pada detik ini, Blace belum bisa merasa tenang, ia mengingat segalanya dengan jelas, terlebih pada saat sebuah momen merusak segalanya. Saat itu yang Blace ingat adalah ia begitu menginginkan semua yang Havrelt berikan untuknya, ia membiarkan lelaki itu menyentuhnya, dan hal itu bersamaan dengan suara perutnya berbunyi keras lalu menghentikan segalanya.

"Kau lapar?" saat itu Havrelt mengelus punggungnya seolah Blace adalah kucing. Juga Blace menyadari jika tidak ada lagi mantel yang ia kenakan, baju yang ia pakai juga tampak berantakan. Blace mengingat cara Havrelt menatapnya, tidak ada kemarahan, hanya ada tatapan lain yang mematikan, jenis tatapan lembut yang membuat siapa pun luluh.

Saat itu, Blace terlalu malu untuk mengakui kebenarannya, ia malah bersikap seperti kucing sungguhan. Blace bersandar pada Havrelt, sepenuhnya menenggelamkan wajah di bahu pria itu. Wajahnya memerah dan jantungnya berdetak tidak rasional. Tak lama, suara Havrelt terdengar lagi.

"Ayo turun, aku akan memesan makanan sehat untukmu." Havrelt membenarkan pakaiannya, melayangkan sebuah kecupan di pipi Blace.

Blace berteriak kesal, kali ini dirinya sudah sadar dari bayangan yang ia pikirkan. Tangan Blace memukul udara dengan kesal. Tiba-tiba kepala Blace berdenyut lagi dan perutnya juga ikut berbunyi.

"Oh Tuhan ... astaga ... sebenarnya tadi itu kenapa aku membiarkannya?! Kenapa!?" Blace mengerang kesal, lalu ia bangkit dari duduknya. Pergi ke kamar mandi, mengabaikan dirinya terhuyung-huyung karena rasa pusing yang hebat, juga mengabaikan makanan lezat yang belum ia sentuh, jelas, makanan itu juga sudah mendingin.

Blace mengunci pintu kamar mandi, menyalakan air di wastafel, menampung air di tangan lalu membasahi wajah hingga beberapa kali. Sebenarnya jika dipikir-pikir ... tadi itu bukanlah ciuman pertamanya. Blace baru ingat jika ia sudah kehilangan ciuman pertamanya sejak ia bayi, dan pencuri itu adalah kakaknya sendiri. Baiklah, itu tidak jadi masalah karena Blace tidak pernah bisa mengingat kejadian itu. Tapi kejadian tadi ... Blace berteriak lagi. Ini bukan dirinya. Blace tidak pernah kehilangan ketenangan, ia jarang panik, jarang stres karena itu tidak baik untuk kesehatannya.

Blace menarik napas pelan. Sekarang, yang harus Blace lakukan adalah menenangkan dirinya sendiri. Mata hitam Blace terpaku pada cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Kekacauan terlihat jelas di matanya, kelelahan juga begitu. Blace menarik napas lagi lalu menghembusnya dengan helaan perlahan. Apa pun yang baru saja terjadi, dia harus menanggapinya seperti yang Havrelt lakukan, pria itu terlihat seperti ... yeah, itu adalah hal yang paling biasa yang pernah terjadi dalam hidupnya.

Persis seperti yang Blace yakini, jika Havrelt tidak berbuat macam-macam padanya, kecuali yang terjadi dalam mobil tempat parkir. Kamar yang dipesan oleh Havrelt memiliki dua ranjang besar yang terpisah cukup jauh dari salah satunya. Jelas menghindari mereka tidur bersama, dan menghindari kontak fisik lebih banyak. Mungkin Havrelt ingin memastikan dirinya tidak melarikan diri atau melakukan hal yang bodoh. Ruangan itu luas, dilengkapi dengan TV, sofa serta meja, juga lemari dan beberapa perabotan. Warnanya dominan coklat susu. Havrelt mengatakan padanya saat ia meninggalkan Blace sendirian, pria itu akan membeli pakaian untuknya dan menyuruh Blace untuk menunggu makanan tiba. Jelas sekali saat itu Havrelt juga memerlukan ketenangan diri.

"Baiklah," Blace berbicara pada dirinya. Ia meraih jubah mandi di gantungan pakaian. "Aku harus ganti baju," ia melirik rambutnya, "melepaskan jepit rambut cantik yang membuat kepalaku sakit. Dan ...  menenangkan diri."

***

Ketika Havrelt kembali ke kamar, ia tidak menemukan Blace di sana. Sebelah tangannya yang mengenggam beberapa paperbag berisi baju, dia jatuhkan di sana lalu dia menutup pintu di belakangnya. Havrelt melihat ada banyak makanan yang belum disentuh, seolah dibiarkan begitu saja. Jendela tinggi dalam kamar terbuka memperlihatkan pemandangan kota Tokyo berkelap-kelip seperti bintang. Tapi Havrelt tidak melihat semua itu, pemandangan hanyalah pemandangan, dan pikirannya hanya terfokus pada Blace.

Mendadak, Havrelt marah pada dirinya yang pergi terlalu lama, dia memang sengaja menghabiskan waktu agar tidak bertemu dengan Blace secepat mungkin. Apa pun yang terjadi di antara mereka, ketertarikan dirinya yang begitu kuat dirasakan pada wanita itu, tidak boleh lebih dari itu. Havrelt tidak siap memulai hubungan dengan seorang wanita mana pun, jelas, Freya akan menentang hal itu. Hubungan itu bisa memicu kegilaan Freya, Havrelt tidak bisa membayangkan ia kehilangan Freya karena keegoisannya. Freya berarti segalanya untuknya.

Tetapi sekarang ... ke mana perginya wanita itu?

"Witch!"

Bagaimana jika wanita itu melarikan diri? Bagaimana jika ada seseorang yang ingin menculiknya lagi? Bagaimana jika—

Terdengar suara air dalam kamar mandi. Geez, apa yang baru Havrelt pikirkan? Ia terlalu khawatir tentang wanita itu. Havrelt mengusap rambutnya dengan kesal, membuka mantelnya yang bersalju, menyisakan baju wol cokelat berlengan panjang dan memilih duduk di sofa, di depannya ada makanan tersaji di atas meja, yang menghadap ke arah TV. Bibirnya menipis menahan kemarahan karena ia tahu, dirinya tidak pernah mengkhawatirkan seseorang yang tidak berhubungan darah dengannya. Ketertarikan yang ia rasakan untuk Blace, seharusnya tidak muncul. Hal itu hanya menambah sikap tidak rasional pada hal-hal yang seharusnya tidak Havrelt lakukan.

"Kau memanggilku?"

Havrelt menoleh, menemukan berdiri Blace di bingkai pintu. Jubah mandi membungkus tubuhnya, membuat Havrelt menyadari jika wanita itu tidak begitu mungil. Ia punya tungkai yang indah, jelas sekali wanita itu baru saja mandi. Namun, wajahnya menunjukkan ketenangan serta kelelahan. Aksesori mutiara tidak ada di kepalanya, hanya tertinggal jepit rambut yang membuat rambut hitam panjang itu berantakan.

Havrelt mengabaikan pertanyaan Blace, lalu bertanya dengan nada tenang. "Bukankah kau lapar? Kenapa masih belum memakannya?"

Blace menghela napas. Air menetes dari rambutnya ke lantai. "Aku sangat-sangat lapar. Sebenarnya ... aku berusaha membersihkan diri dulu dan mengurus rambutku, tapi ... sepertinya jepitan itu dijepit terlalu kuat. Dan hal membuatku sakit kepala. Aku berusaha melepaskannya tapi gagal," Blace berjalan ke arahnya, tangannya mengenggam handuk kecil. Wanita itu duduk di dekat kaki Havrelt, ia memilih duduk di bawah lantai hingga wajahnya bisa menyantap makanan yang tersaji di meja rendah.

Blace meraih remot di sampingnya lalu menyalakan TV, mengambil saluran kartun yang berbicara bahasa jepang dan membesarkan volumenya.

"Kau sudah makan?" Blace tidak menoleh pada Havrelt saat bertanya, wanita itu meraih sumpit, mulai memakan nasi yang digulung dengan telur dan berisi sayuran.

"Sudah," Havrelt sudah makan selama ia meninggalkan Blace di kamar, "lanjutkan makan malammu, jangan pedulikan aku."

Keheningan mereka diisi oleh suara kartun yang berbicara dalam bahasa yang Havrelt tidak mengerti, walaupun begitu ia pura-pura fokus, ia tidak akan melirik wanita yang sedang makan di dekat kakinya. Sesekali ia mendengar Blace mengeluarkan tawa kecil, matanya terfokus pada layar TV dan mulutnya mengunyah. Seolah-olah dia mengerti apa yang tengah dibicarakan kartun yang bergerak itu.

Havrelt melirik Blace, wanita itu hampir menyelesaikan makan malamnya. Tangannya meraih gelas dan meminumnya hingga tandas. Wanita itu memang pencinta sayuran, Havrelt melirik makanan itu, semua yang dia pesan untuk Blace tidak ada daging, tidak ada kandungan lemak berat, hanya ada makanan sehat. Matanya menatap rambut Blace, rambut itu ... jepit rambut itu seharusnya dilepaskan. Tetapi siapa yang akan membantu Blace, Havrelt tidak ingin mengulurkan tangannya untuk membantu.

"Setelah kau selesai makan, kita akan bicara," suara khas Havrelt memecahkan keheningan.

Blace berpaling padanya. Senyum ramah itu hadir di bibirnya. "Aku hampir selesai,"

Havrelt memalingkan wajahnya, menolak menatap wajah Blace. Sial—Blace terlihat sangat tenang, seperti Havrelt. Seolah yang terjadi di antara mereka sebelumnya bukan hal berarti. Dan ... Havrelt memikirkan tentang membantu Blace. Sepertinya tidak ada orang yang akan membantunya selain Havrelt. Jadi, tidak masalah bukan jika Havrelt memberikan kebaikannya untuk hal kecil itu? "Selesaikan dengan cepat, aku tidak suka menunggu."

"Tentu," Blace kembali fokus pada makanannya.

"Apa kau membutuhkan bantuanku?" Havrelt bertanya dengan nada datar. Semua yang ada pada Blace, mengusik Havrelt. Dan itu menganggunya.

"Apa?" Blace berpaling padanya lagi, matanya terbelalak kaget. Sumpit ditangannya tidak jadi menjepit makanan. "Maksudku ... bantuan seperti apa yang aku butuhkan darimu?"

"Jepit rambutnya,"

Blace terdiam sebentar, matanya tampak berpikir. Dia meletakkan sumpit, meraih gelas lain yang berisi air dan meminum air putih itu. Awalnya Havrelt mengira jika wanita itu akan menolak karena sikapnya seakan mengabaikan Havrelt. Lalu wanita itu mendekat ke arahnya, hingga tubuh mungil itu berada di antara kakinya, membelakangi Havrelt.

"Oh Tuhan, kupikir ... mungkin aku akan sakit kepala semalaman karena jepit rambut ini. Sungguh, kupikir kau akan keberatan jika aku meminta tolong. Tapi ... yeah ... aku butuh bantuanmu untuk melepaskannya."

Alis Havrelt mengerut, ia tidak tahu jika seperti ini respon dari Blace. Bibirnya mengulum senyuman geli sambil mendekati wanita itu hingga ia bisa menghirup aroma Blace. Perpaduan segar dan ketenangan. Havrelt mengulurkan tangannya, menyentuh rambut yang setengah basah itu. Dan tepat saat itu, ia melihat Blace menegang dan telinganya memerah.

"Apa kau ingin tambah makanan lagi?" Havrelt mencoba berbicara agar suasana tidak terlalu canggung. Tangannya berusaha melepaskan jepit rambut, yang ternyata memang membuat rambut Blace kusut dan mengumpal.

"Err ... aku sudah kenyang. Terima kasih sudah memesan makanannya,"

"Sepertinya kita bisa bicara sekarang,"

"Bicarakan kenapa aku bisa ada di restoran itu ... setelah menghilang?" mata Blace meliriknya dengan malu.

"Tepat," Havrelt menarik bahu Blace untuk sedikit mundur, mendekat ke arahnya. "Ceritakan dengan jujur, dengan sangat jujur, aku tidak ingin ada kebohongan. Bagaimana caramu menyelamatkan dirimu dari bahaya? Kau tentu tahu, seseorang sudah menculikmu dan salah satu anak buahku tewas, yang lainnya terluka saat peristiwa hilangnya dirimu,"

Blace terkesiap, ia tampak terkejut. Tangannya terangkat menutup mulutnya. "Apakah ... apakah yang tewas itu ... Jeslyn?"

"Bukan," sedikit lagi Havrelt hampir berhasil melepaskan jepit rambut itu. Matanya kembali fokus pada apa yang ia kerjakan. Ia berbicara tanpa nada. "Itu rekannya. Nah, sekarang ceritakan semuanya padaku,"

Blace terdiam, wanita itu terlihat ragu. Menghembuskan napas, ia melirik Havrelt sebentar. "Mereka salah mengira jika aku adalah dia, mereka salah menculik orang. Mereka pikir aku putrinya yang hilang, tapi aku adalah Blace Flannery."

"Putri siapa?"

"Aku tidak bertanya,"

Havrelt tidak melihat kebohongan dalam suara Blace, rasanya wanita itu bicara yang sebenarnya. Tapi Havrelt masih ... tidak mempercayainya. Dia mendengar wanita itu kembali bicara.

"Aku tidak tahu dari mana ia melihatku dan merasa melihat putrinya, maksudku, aku baru tiba di Tokyo dan tidak ke mana-mana. Mungkin mereka mengawasiku saat aku keluar bersama Jeslyn untuk mencari angin di hotel ini. Yang menculikku itu ... hanya seorang ayah yang merindukan putrinya yang hilang." Blace terdiam, saat itu Havrelt merasakan kesedihan dalam suaranya. "Aku tidak tahu mengapa dia baru mencari anaknya sekarang, putrinya sudah tidak ada di rumah sejak dua belas tahun yang lalu. Yang menyedihkan, kenapa ayahnya menginginkan anak itu kembali jika ternyata dia yang menjadi penyebab hilangnya putrinya sendiri."

Blace menjeda, dirinya tampak berpikir. Dia menunduk sedih.

"Selesai," Havrelt akhirnya berhasil melepaskan jepit rambut itu.

Saat Blace mengangkat wajahnya untuk melihat Havrelt, dia mulai tersenyum dan berkata. "Terima kasih,"

Jelas, Havrelt merasa senyum itu hanya senyum pura-pura tegar. Hal yang membingungkan adalah kenapa penyihir itu merasa sedih?

Havrelt tidak menjawab, ia meraih handuk di pangkuan Blace, menaruhnya di atas kepalanya. Mata mereka saling memandang, lalu hanya sedetik selanjutnya Blace berpaling. Pipinya memerah.

"Aku bisa mengeringkan rambutku sendiri," katanya.

Havrelt tidak mengubrisnya, ia tetap menyapu handuk itu ke kepala Blace, menggosok-gosoknya dengan lembut. "Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"

Terpaksa Blace kembali bicara. "Karena tahu aku bukan putrinya, dia minta maaf. Dia memintaku menginap semalam, well aku juga bersama orang lain juga, tidak hanya berdua dengan ayah putri itu. Aku menginap karena berpikir ... yeah ... itu tidak jadi masalah. Maaf, kalau aku melupakan jika aku berada di sini karenamu."

"Jadi semuanya hanya salah paham?"

Blace mengangguk. "Bahkan aku ... berpikir kau sudah meninggalkanku sendirian di Negara ini. Dia memberiku mobil dan uang."

Tangan Havrelt membeku. Ia menghentikan kegiatannya. Sebelum di detik selanjutnya, kembali mengeringkan rambut Blace. Sial, jika rambut ini tidak kering, sesuatu dalam diri Havrelt menginginkan sentuhan Blace untuknya, menginginkan tubuh Blace menempel padanya, menginginkan bibir wanita itu. Rasanya Havrelt kembali mengingat bagaimana dirinya begitu terbakar saat mencium Blace.

Suara Blace menyadarkan Havrelt. "Apa kau percaya apa yang kukatakan?"

Akhirnya setelah merasa rambut Blace mulai kering, Havrelt menghentikan gerakannya. Dia mulai mempercayai apa yang dikatakan oleh bibir yang pernah ia cicipi itu. Havrelt menunduk, menyelipkan helaian rambut ke belakang telinganya. Ia tahu tubuh Blace mulai menegang, tapi Havrelt tidak bisa menghentikan dirinya. Dia mengakui, dirinya sangat tertarik pada wanita ini. Penyihir ini ... ia menginginkan wanita ini, untuknya.

Mata Havrelt meredup, dia memegang pipi Blace untuk berpaling hingga berhadapan dengannya, ia memberi ciuman di dagu, pipi dan telinga Blace. Sebelum akhirnya berbisik panas di telinga wanita itu. "Ada beberapa baju untukmu, kupikir ... aku lebih suka melihatmu memakai baju hangat yang panjang."

Blace terbelalak padanya, sontak wanita itu mendorongnya menjauh dan berdiri, mengucapkan terima kasih telah membantunya, mengambil paperbag di dekat pintu. Sampai melarikan diri ke kamar mandi dengan semua paperbag itu, mengabaikan pintu yang terbanting cukup keras. Blace terlihat terkejut.

Senyum itu hadir di bibir Havrelt, ia mengusap rambutnya ke belakang. Sepertinya keinginan Havrelt terhadap wanita itu semakin menjadi-jadi, ia menginginkan keegoisannya terwujud. Dan begitu keegoisannya terwujud, dia akan kehilangan Freya. Bibirnya bergumam. Blace Flannery. Wanita itu menghancurkan rasionalnya.

***

Ery?

Blace tersentak, seseorang memanggil nama lamanya. Ia mengetahui dirinya berdiri dalam kegelapan, di suatu tempat entah di mana. Blace mencoba melihat, ia menoleh ke kanan dan kiri, penasaran dari mana asal suara tersebut. Tetapi Blace tidak tahu ... ia masih melihat kegelapan, benar-benar gelap. Blace bahkan tidak bisa melihat tangannya sendiri, tidak bisa melihat sedang berada di mana dirinya.

Ery, tolong kami!

Kegelapan mulai terganti saat cahaya merah darah muncul, menerangkan sebuah ruangan. Ruangan itu adalah kamar Merlin, hanya ada kamar kosong, tanpa perabotan apa pun. Ia berada di tengah ruangan, terkurung dalam keempat sisi dinding. Terdengar jeritan menyayat hati dalam ruangan putih, suara bising yang kesakitan dan meminta pertolongan. Cairan logam berkarat itu muncul dari pintu putih, mengalir dengan cepat ke tempat Blace berdiri.

Anehnya, Blace tidak bisa menggerakkan kakinya untuk lari dari aliran darah itu. Saat kakinya tenggelam dalam darah, tangannya ikut berlumuran darah. Aroma itu begitu tercium sangat kuat, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Tapi yang menarik perhatiannya adalah kedua tangannya begitu mungil. Dirinya sangat mungil, memakai gaun putih dengan rambut yang dikepang rapi.

Blace panik, saat itu ia menyadari dirinya bukanlah Blace. Ia Ery! Gadis kecil yang sudah menyaksikan pembunuhan setiap malam.

Ery! Tolong kami!

Kali ini kata-kata itu menggema dalam kepalanya. Penuh teriakan, jeritan, kesakitan, putus asa dan ingin hidup. Pintu putih terhempas terbuka, Ery melihat korban-korban yang dibunuh oleh Merlin hidup lagi. Mereka mengerikan, salah satunya tidak punya tangan, kaki dan mata. Darah-darah melumuri badan mereka. Salah satunya lagi, memegang kepala mereka di tangan. Bagian tubuh mereka terjahit dan terpotong mengerikan. Mendadak Ery merasa mual, ia ingin menjerit dan menjauh dari mereka.

Kakinya bisa digerakkan lagi, saat mereka semua mengulurkan tangan ke arahnya. Seolah ingin mengapainya, ingin meraihnya dan seolah mengajaknya untuk ikut mereka.

Ulurkan tanganmu Ery, sentuh kami.

Boneka Ally dan Leah ada di sana. Owen, Janesha, Naomi, Agatha, Kimmy dan semua korban yang dibunuh Merlin ada di sana. Semuanya terbelalak mengerikan padanya, mengulurkan tangan mereka yang tidak sempurna dan berdarah pada Ery. Ery ingin menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar.

Sentuh kami, Ery! Suara itu diucapkan beramai-ramai. Dan terdengar suara tawa yang gila. Lalu kau akan mati seperti kami!

Ery mencoba menjerit kuat, suaranya masih tidak bisa keluar. Ia terus mundur hingga dirinya terpojok di dinding. Semua tangan itu tidak pernah menyerah, semuanya terulur, mengapainya hingga akhirnya sebuah tangan menyentuhnya.

Blace menjerit, tersentak dari tidurnya. Ada tangan yang menyentuh pundaknya, Blace memejamkan mata kuat, rasa takut menjalari setiap desir darahnya. Tangannya berusaha melepaskan cengkraman tangan itu.

"Hei, tenanglah." Sebuah suara serak berbicara, begitu dekat dengannya. Hembusan napas itu menerpa pipinya. Tangan yang menyentuh pundaknya, kini menghalangi tangan Blace yang memukul dengan panik.

Blace tetap menjerit, ia merasa bahaya melingkupi tubuhnya. Ketakutan masa lalu terbuka, penuh teror dan penuh mimpi-mimpi buruk mengerikan.

Terdengar decakan tidak sabar. "Ini aku, Havrelt."

Suara jeritan itu berhenti, Blace mengernyit dan membuka mata. Dari lampu nakas yang menyala, ia melihat Havrelt di sana, berada di atasnya. Bertubuh besar, berotot, tangguh dan berbahaya. Kepala Blace terjatuh di bantalnya, terengah dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ia menelan salivanya saat ia merasa mual.

"Apa kau mimpi buruk, Witch?" tangan Havrelt menyekat keringatnya dengan ujung lengan baju hangatnya.

Witch? Benar, dia adalah Blace Flannery. Witch adalah panggilan untuk Blace Flannery dari Havrelt. Tadi itu hanya mimpi. Mimpi yang benar-benar mengerikan. Tubuh Blace bergetar, merasa jantungnya masih memukul rongganya. Menyesakkan dan menyebar ketakutan dan penuh teror. Sesaat dia merasa, Blace adalah Ery. Blace kembali pada saat ia menjadi Ery. Tapi itu hanya mimpi, Blace akan baik-baik saja sebentar lagi.

Mata Blace menyengat. Biasanya jika setelah mimpi buruk, Blace akan menangis terisak-isak. Dan dua jam kemudian dia akan kembali tenang. Tapi ... sekarang dia tidak sendirian. Havrelt berada dalam ruangan yang sama dengannya, ia tidak mungkin membuka lukanya di depan orang ini. Mungkin ia harus menenangkan diri secepat mungkin.

Blace meraih tangan Havrelt yang masih menyekat keringat, napas Blace kembali teratur. Blace menyulurkan tangannya, menautkan jemarinya dengan Havrelt. Perasaan nyaman membanjiri dirinya dan Blace merasa aman.

Jam menunjukkan pukul 02:30. Blace berbicara dengan nada lemah. "Apa aku membangunkanmu?"

"Iya," mata Havrelt menunduk memandangi tautan tangan mereka. "Kau menjerit saat tidur,"

"Maaf," Blace berbisik. "Kadang mimpi buruk itu muncul saat aku tidak terbiasa tidur di tempat asing. Kadang ... aku tidak bisa membedakan antara kenyataan dan mimpi,"

"Apa yang kau memimpikan?" Havrelt tidak menarik tangannya dari genggaman Blace. Ia tahu, mimpi buruk berakibat sangat fatal pada mental seseorang. Blace adalah buktinya. Wajah wanita itu masih menyisakan ketakutan dan penuh teror.

Blace membasahi bibirnya yang kering. Ia berdeham kecil, "mimpi yang sangat buruk." tiba-tiba air mata itu mengalir ke pipinya, ia mencoba tetap menatap Havrelt. "Mereka menginginkan aku menolongnya. Mereka ingin aku seperti mereka, mereka ... menginginkan aku mati. Aku sudah pernah nyaris mati—"

"Kau tidak perlu menceritakannya, jika tidak sanggup," Havrelt merasa Blace mencengkram tangannya dengan kuat dan tegang. "Tidak akan ada yang mati. Kurasa ... akan lebih baik jika kau kembali tidur."

Blace terdiam. Ia berusaha menarik bibirnya agar tersenyum, tapi gagal. "Jangan pedulikan aku, aku akan baik-baik saja sebentar lagi."

Mata Havrelt mencoba melihat seberapa kuat wanita itu, tetapi ketakutan itu masih ada. Havrelt bangkit dari duduknya di samping ranjang Blace. Ketika ia melihat Blace seperti tadi, ia menyadari ada banyak hal yang terjadi dalam hidupnya yang tidak Havrelt ketahui. Baginya Blace Flannery adalah sosok yang misterius penuh ketenangan. Apakah sekarang yang ia lihat adalah wajah aslinya?

Havrelt melepaskan genggaman tangan Blace yang mengencang, ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh wanita itu. Dia bilang dia akan baik-baik saja sebentar lagi, tapi sepertinya itu hanya membuat kondisinya tambah parah. Havrelt menahan diri tidak mengeluarkan protes, saat tangannya ingin melepaskan tautan jemari mereka, Blace malah mengenggamnya semakin erat.

Menyerah, Havrelt membiarkan jemarinya kembali bertautan dengan Blace. "Katamu kau akan baik-baik? Tapi kenapa tidak ingin melepaskan tanganku?"

Blace bangkit dari tidurnya, duduk dengan rasa canggung. Matanya hanya terpaku tautan tangan mereka.

"Sebenarnya apa yang kau ingin katakan?" Havrelt merasa tidak sabar, jika mereka terus membuang setiap detik dan menit. Havrelt yakin jika mereka akan kekurangan tidur. Mengingat jika mereka punya jadwal penerbangan esok hari. Jelas, yeah, mereka harus tidur.

Blace menghela napas, tapi wanita itu tidak bicara. Dan Havrelt bukan orang yang sabar untuk menunggu.

"Baiklah, kemari." Havrelt menarik Blace bangkit dari tidurnya, memegangi perempuan itu saat terhuyung ke arahnya. Tautan tangan mereka terlepas. Sambil merangkul bahu Blace, mereka berjalan ke sisi yang berseberangan. Ke sisi lain, ke arah ranjang Havrelt.

"Apa?" Blace mendapatkan kembali suaranya. Kini Havrelt dan dirinya duduk di ranjang pria itu.

Havrelt menumpuk bantal di belakang kepalanya, lalu ia berbaring. Tangannya terulur menarik Blace untuk ikut berbaring bersamanya.

Blace menegang saat dirinya malah berbaring dalam pelukan pria itu. Pipinya berada di bahu Havrelt.

"Kau akan aman di sini," di pelukanku. Havrelt mengusap punggung dengan gerakan pelan yang menenangkan. Wanita itu memakai baju hangat yang Havrelt belikan. Kaki Havrelt membelit kaki Blace saat wanita itu merasa tidak nyaman. Satu tangan meraih selimut dan menyelimuti tubuh mereka agar tidak kedinginan. Karena di luar turun salju dan membawa hawa beku.

Beberapa detik kemudian, Blace mulai nyaman dengan usapan Havrelt yang menenangkan. Ia pasrah dalam pelukan pria itu. Blace merasa Havrelt kembali menautkan jemari mereka, dan satu tangannya lagi yang membelai punggungnya kini memeluknya.

"Havrelt?"

"Iya?" suara itu terdengar serak.

Tiba-tiba Blace memeluk Havrelt erat-erat. Tangannya merangkul leher pria itu. Ia berbisik dengan malu. "Terima kasih."

"Yeah, kau tidak akan mimpi buruk lagi. Dan kita butuh tidur." Havrelt memejamkan matanya. Dia bisa merasakan Blace mulai terlelap dalam pelukannya. Entah kenapa setelah ia melihat ketakutan penuh teror di wajah Blace, Havrelt berkeinginan untuk melindungi wanita itu.

Havrelt ingin melindungi Blace, dari bahaya yang menghampiri wanita itu.

Dan keinginan ini, murni datangnya dari hatinya.

*Bersambung*
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Happy viewer MWG 12k with vote 1,4k🎉🎉🎉

Saya tidak pernah sebahagia ini 😍😍
Dulu Destiny of the Flora (work pertama)  cuman sampe 4k saat tamat 👀
Saya gak nyangka ternyata MWG lumayan yg baca :)

Terima kasih sudah membaca cerita ini sampai sejauh ini. Yang Vote terima kasih💞 :)
yang komen terima kasih banyak💞💜 :)
yang masukin MWG ke reading list, kalian luar biasa. Karena secara tidak sadar sudah membantu promosi untuk cerita ini 😍😍💞

Kisah Blace dan Havrelt masih berlanjut, Jangan lewatkan kisah mereka sampai selesai ya😂 😳

Follow Instagram @risennea

(3596 kata)

(Minggu, 31 Maret 2019)
Risennea

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top