F O R T Y O N E🔫 (Flashback part 2)

"Apa Ery suka bermain dengan Bibi?"

Tiga bulan setelah kejadian malam itu, Ery kedatangan tamu yang selalu mengajaknya bermain, tentunya dia senang punya teman baru. Ery sudah pernah bilang tentang Mayleen mempunyai seorang kembaran. Dan maksud Ery dengan 'tamu' adalah Merlin—kembaran ibunya, beberapa minggu ini selalu meluangkan waktu untuk bermain bersamanya. Merlin berbeda dengan Mayleen. Caranya mengajak Ery bermain tampak sangat cerdas bahkan bisa dibilang genius. Merlin tidak pernah menceritakan dongeng-dongeng palsu pada Ery.

Mereka menghabiskan waktu membahas tentang sejarah dunia. Tentang apa yang dilakukan anak perempuan dan ibunya. Tentang pengaturan waktu yang berbeda di setiap negara. Tentang beberapa hal yang tak Ery dapatkan dari Mayleen. Bahkan jika dibandingkan dengan ibunya, Merlin selalu bisa membuat mereka menjadi dekat, tanpa rasa canggung.

Awalnya memang, Ery tidak nyaman mengobrol dengan Merlin. Orang seperti Merlin, kembaran ibunya, yang memiliki wajah yang sama dengan Mayleen, dia terlihat lebih bebas secara apa adanya. Rambutnya tidak sehitam rambut Mayleen, warnanya coklat sempurna. Katanya, ia tidak pernah mengecat rambutnya. Matanya selalu ditutupi lensa kontak, yang selalu membuat Ery bertanya-tanya, seperti apa warna mata Merlin yang asli. Juga cara dia berpakaian nyaris tidak mirip dengan ibunya, setiap yang dipakai selalu terbuka dan mewah. Tato di lengannya yang memiliki pola sayap elang, selalu terlihat lebih jelas dari yang lainnya.

Berada di dekat Merlin kadang membuat Ery merasakan sesuatu aneh, seolah memang ada hal yang sengaja disembunyikannya. Memang setiap kali mereka bertemu, semua keanehan itu lenyap tiap kali Merlin memberinya sebuah senyuman yang sangat mirip dengan senyuman keibuan milik Mayleen.

"Ery?"

Panggilan itu sejenak merobek lamunan Ery. Ia mendongak ke arah Merlin, dan menemukan senyuman keibuan di wajah itu. Tapi Ery tahu, di depannya bukanlah ibunya.

"Apa Ery suka bermain dengan Bibi?" seolah sangat ingin tahu jawabannya, Merlin mengulang pertanyaannya.

Ery menunduk sejenak, menatap red velvet cake lezat, yang dipotong menjadi segitiga besar. Merlin-lah yang membawa cake kesukaan Ery, biasanya dia akan mendapati dirinya dimarahi karena terlalu banyak makan cake, yang kadang bisa membuatnya gemuk. Kata Leon, tidak akan ada yang mau berteman dengan Ery jika ia bertubuh gemuk seperti Conoty, dan ngomong-ngomong Conoty adalah kucing overdosis yang dalam tahap akan mati sebentar lagi. Baiklah, itu terdengar agak jahat. Tapi yang dikatakan Leon benar, Ery tidak ingin seperti Conoty. Itu buruk. Hanya hitung beberapa hari lagi Conoty pasti akan mati. Dan Ery tidak ingin hidupnya berakhir seperti itu.

"Suka," kata Ery dengan manis. "Ery suka bermain dengan Bibi."

Sore itu angin musim gugur berhembus menyejukkan. Mereka berada di belakang Mansion utama, tempat di mana ada taman indah penuh bunga. Gazebo yang dikelilingi kolam air mancur terluas dan besar. Juga jalan setapak yang akan menuntun mereka untuk berjalan mengelilingi seluruh mansion. Suasana memang tampak asri, ralat, hanya di saat musim semi dan panas. Saat akhir musim gugur, semua daun tampak mengering dan gugur. Suasana taman seolah terlihat berwarna tanah liat.

Dan di tengah gazebo itu, Merlin dan Ery duduk di sana, mencoba menikmati waktu mereka berdua. Mereka duduk berhadapan, berpakaian resmi baju tradisional Jepang dengan warna yang sama. Sekilas, mereka mirip ibu dan anak yang menghabiskan waktu liburan bersama. Padahal sebenarnya hari itu bukan hari pekan. Tetap saja terlihat mereka seolah berlibur.

Ery menyendok cake itu dengan potongan besar. Ragu-ragu ia menatap Merlin. "Tapi Ery ingin bilang sesuatu pada Bibi,"

"Bilang apa?"

Ery menunduk, tidak langsung menjawab pertanyaan Merlin. Ia menunduk dan melahap cake dengan riang.

"Ery sedikit takut pada Bibi," katanya setelah berhasil menelan cake yang ia kunyah.

"Kenapa takut?" Merlin menghapus sisa cream di sudut bibir Ery dengan tisu.

"Karena..." Ery berhenti sejenak, menatap Merlin yang kini meraih cangkir teh dan meminumnya dengan sikap santai. "Tapi Bibi janji tidak boleh marah,"

"Janji," Merlin tersenyum, ia menaruh cangkir itu kembali ke meja.

"Benda kecil di sudut bibir itu ... terlihat menakutkan di mata Ery. Dan Bibi juga berbeda dari Mom."

Merlin tertawa, tawa yang terdengar menyenangkan. "Jadi, apa Ery ingin ... Bibi melepaskannya?"

Ery mengernyit, sebenarnya ia tidak meminta itu. Benda kecil itu menganggunya, apalagi saat Merlin mulai mencium pipinya saat ia pergi. Keras, dingin dan mengerikan. Benda itu membuat Merlin tampak seperti penjahat. Karena sangat ingin melihat benda itu menghilang dari bibir Merlin, jadi, Ery mengangguk. Tangan mungil itu kembali menyendok cake, menyuapkannya dan mengunyah dengan mulut penuh.

"Boleh. Sebenarnya Bibi suka benda kecil itu. Tapi jika Bibi menghilangkannya untuk Ery, sepertinya tidak masalah. Tapi lagi ... Bibi punya syaratnya."

Ery menghapus cream yang mengotori hampir seluruh mulutnya dengan tisu. Ia tidak bicara, menunggu Merlin melanjutkan kalimatnya.

"Nanti Ery juga harus memanggil Bibi dengan sebutan Ibu, bagaimana? Setuju?"

Ery menjengit, tampak tidak suka dengan syarat itu. "Ery sudah punya Mom dan Bibi Lyn. Ery tidak butuh ibu selain mereka."

"Kalau begitu Ery akan terus melihat Bibi dengan tindik ini." Merlin memalingkan wajahnya dari Ery. Tangannya terlipat di depan dada. Sikapnya tampak merajuk seperti tiap kali Ery marah.

"Namanya tindik?" Ery malah tertarik dengan nama benda kecil itu.

Merlin mengangguk, ia masih tidak menatap Ery dan masih bertahan dengan sikapnya. "Jadi, bagaimana? Ery mau?"

Setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya dengan bertambahnya seorang ibu. Walaupun tampaknya peran ayah untuk hidup Ery sangat kosong, setidaknya kekosongan itu bisa diisi dengan hal yang lain. Ery tersenyum manis pada Merlin.

"Oke, setuju."

***

Tiga hari kemudian.

Pada saat Ery sedang belajar bersama Zenan, Ery bertanya-tanya apa yang membuat Zenan selalu terlihat pintar dan selalu menjadi juara paling tinggi di setiap semester di sekolahnya. Zenan bahkan bisa berbicara 6 bahasa dengan begitu lancar. Dan meniru setiap logat dari bahasa negara itu. Zenan melewatkan dua tahun sekolah lebih awal dari siswa yang lain, menempatkan posisi paling tertinggi di antara yang lain. Umurnya yang sekarang, 17 tahun lebih dua bulan, dia sudah berada di bangku universitas semester dua seperti orang dewasa lain.

Ada yang menganggap jika Zenan anak pertama dari keluarga mereka. Banyak orang yang tertukar dengan posisi Jian dan Zenan. Secara fisik mereka sangat berbeda, apalagi secara kemampuan mereka menjalani hidup masing-masing. Di antara kelebihan itu, Zenan tetaplah manusia. Ada beberapa hal yang ia tidak sukai, termasuk menghabiskan waktu untuk bertarung dan menjadi pahlawan seperti Jian.

Dia memiliki rambut hitam pekat yang mirip dengan Ery versi rambut pendek cowok. Mata hijaunya diselimuti bulu mata panjang seperti Czavin. Zenan adalah perpaduan sempurna yang wajahnya tidak mirip dengan Czavin, Mayleen atau bahkan saudaranya yang lain. Perpaduan Barat dan timur membuatnya tampak berbeda. Diantara kesempurnaan itu, Zenan memiliki kekurangan secara fisik. Dia kidal, tubuhnya sedikit gempal karena ia jarang olahraga. Tapi karena wajah Zenan tampan, Ery tidak pernah bisa berpaling, tanpa terpaku dengan bodoh.

Sebuah tangan tiba-tiba menutup mata Ery. Ia langsung melihat kegelapan di dalam ruangan baca itu, seolah baru saja ada seseorang yang mengubah siang menjadi malam. Saat ingin bertanya, ia mendengar suara Zenan.

"Ery, kau sudah menatapku sepuluh menit tanpa berkedip," entah kenapa Ery membayangkan wajah Zenan memerah, ia tahu jika Zenan memang memiliki kulit sensitif seperti dirinya. "Apa kau suka melihat apa yang di hadapanmu ini?"

Tanpa bisa dicegah, pipinya memanas. Itu terdengar agak memalukan. Ery hanya harus berhenti bersikap memalukan di depan kakaknya. Bisa-bisa Zenan tidak mau mengajari banyak hal lagi.

"Bukan seperti itu," tangan Ery menurunkan tangan Zenan dari matanya. Sebenarnya dia tidak ingin melihat Zenan sekarang, tapi dia juga tidak sukanya harus melihat kegelapan lebih lama lagi.

"Baiklah," kata Zenan.

Dengan penglihatannya memburam, yang tertutup beberapa detik, membuat Ery tidak jelas melihat Zenan. Bahkan sebenarnya tanpa menatapnya pun, Ery tahu jika Zenan mulai tersenyum dan pipinya berpendar merah. Mereka punya satu kesamaan, kulit mereka sangat sensitif terhadap apa pun. Dan kadang selalu memerah di waktu yang salah.

"Dan apa kau mengerti apa yang aku jelaskan." Zenan mencoba kembali pada topik pembicaraan mereka sebelumnya. Mereka duduk berdekatan, di atas permadani lembut berwarna merah dan bercotak emas. Satu meja rendah ada di hadapan mereka, ada beberapa buku yang berada di atasnya.

Bahu mereka nyaris bersentuhan saat Zenan membawa buku di pangkuan mendekat ke arah Ery. "Pada pembentukan lautan dan daratan, ada beberapa hal yang diciptakan dari hal yang tak terlihat. Ini bukan hal yang biasa, tapi luar biasa dan selalu—"

"Zenan?" Ery memanggilnya. Sebenarnya ia juga sudah tidak bisa memahami, apa yang Zenan katakan sebelumnya. Pikiran sudah ke mana-mana karena wajah Zenan dan beberapa pertanyaan yang mendongkol menyebalkan. "Apakah menurutmu ... mungkin kau ingin mengatakan sesuatu, mengapa kau selalu ingin membuatku belajar semua pembentukan dari semacamnya? Apa untungnya dari semua itu?"

Zenan terkekeh, tangannya mengacak rambut hitam Ery dengan gerakan refleks. "Memang apa yang bisa aku bahas denganmu selain pelajaran?"

"Sesuatu yang bisa kau ceritakan tentang dirimu?" mata Ery berputar cepat. Cerdas dan lincah. "Misalnya mengapa kau tidak suka olahraga seperti Jian?"

Zenan meraih kepala Ery dan tiba-tiba menenggalamkan dalam bahunya. Ery tercengang dengan sikap Zenan, terlebih ia mendengar tawa lelaki itu. Ery sama sekali tidak menduganya. Maksudnya Zenan juga termasuk orang yang tidak mudah tertawa.

"Apa kau mulai membanding-bandingkanku dengan Jian? Aku tidak rela, oke? Kau harus melihat aku adalah aku. Jian adalah Jian."

"Tidak," kilah Ery cepat. Terlalu cepat. Mungkin saja, Zenan mudah tersinggung seperti Avel. Dia mendongak menatap Zenan, mengeluarkan tatapan memohon andalannya. "Maaf, Ery tidak bermaksud begitu."

"Tapi kau sempat berpikir begitu kan?" desak Zenan, seolah ingin Ery mengakui semua yang diduganya adalah kebenaran. 

"Hanya satu detik," Ery mengakuinya dengan ragu. Berharap Zenan tidak marah. Satu hal yang Ery takutkan, ia sudah pernah melihat keempat kakaknya yang lain marah, tapi Zenan ... nyaris tidak pernah marah. Dan bagaimana jika sekarang dia malah membuat Zenan marah?

"Oh Astaga. Bibi tidak pernah melihat kalau kalian ternyata seakrab sekarang," suara yang berasal dari belakang punggung mereka, terdengar familiar. Suara itu juga yang memutuskan lamunan Ery.

Saat berbalik mereka menemukan Merlin. Zenan melepaskan rangkulan pada Ery, lalu menatap Merlin dengan tatapan yang berbeda. Seperti biasa, Merlin memakai baju yang memperlihatkan perut langsingnya dengan rok ketat yang panjangnya hanya setengah paha. Rambut coklatnya dibuat bergelombang dengan penuh. Kacamata bertengger indah di atas kepala. Tangannya memegang sebuah tas bermerek mahal. Kadang Ery harus bertanya pada dirinya, kenapa ibunya membenci berpakaian seperti Merlin?

Dan Ery menyadari ada satu hal yang berbeda. Ery tidak melihat benda— yang bernama tindik—di mana mana. Semuanya telah lenyap, dan membuat Merlin terlihat seperti ibunya. Kecuali, penampilannya yang terbuka.

"Aku agak kaget Bibi muncul di sini dan menganggu waktuku bersama Ery," Zenan berdiri berhadapan dengan Merlin, yang entah kapan sudah tiba di hadapan mereka. Ery ikut berdiri dari duduknya. Ada aura ketidaksukaan milik Zenan yang cukup menganggu Ery. Terlihat sekali Zenan ... membenci Merlin. Bahkan Ery baru menyadari, Zenan langsung merangkul bahunya dengan sikap melindungi Ery, begitu Ery bangun tadi.

Ery mengerjap dua kali. Apa ada yang salah dengan Merlin? Mengapa Zenan terlihat tidak suka pada kembaran ibunya?

"Zenan sayang, aku kemari tidak ingin menganggu. Aku kemari untuk Ery," mata Merlin menatap Ery lembut. "Dan Bibi datang untuk menagih janji."

Ery terdiam dan menegang. Ia tahu apa yang dimaksud oleh Merlin.

"Janji untuk memanggilku sebagai ibu Ery," jelasnya, yang sontak membuat Zenan terkejut dan berpaling pada Ery dengan tajam.

Ery tahu mungkin Zenan akan mengajaknya berdebat dan mengatakan kemungkinan besar akan membuat Ery hanya menunduk dan merasa bersalah. Sebelum itu terjadi, Ery berjinjit, mencium pipi Zenan sekilas. Dan berkata. "Hari ini Ery akan bermain dengan Ibu Merlin, Zenan."

"Tidak," tampaknya Zenan tidak terpengaruh dengan kecupan Ery. Jika Zenan adalah Leon, pasti akan luluh dengan cepat. Tapi ini ... adalah Zenan, seseorang yang pintar yang sulit dibujuk. Zenan mencengkram tangan Ery seolah tidak ingin melepaskannya. "Bibi sudah dengar kan? Ery sudah memanggil Bibi dengan sebutan Ibu. Jadi Bibi bisa pergi,"

"Zenan, itu terdengar kasar dan tidak sopan," bisik Ery.

"Baiklah," Merlin tersenyum lembut. Tatapannya tertuju pada Ery. "Lusa Bibi akan datang lagi untuk bermain dengan Ery? Bukankah lusa Ery akan sendirian karena saudara Ery yang lain akan liburan keluarga."

Seketika itu Ery merasa dihantam oleh sesuatu tak kasat mata. Ia juga tidak bisa menahan dirinya memasang tatapan sedih. Ery memang tidak diajak oleh Czavin untuk liburan tahun ini, mereka berencana ke Rusia. Mungkin akan berlibur sekaligus bertemu dengan nenek, kakeknya yang masih hidup. Dan Ery ragu, ia punya nenek dan kakek.

"Tidak perlu, Ery akan ikut," kata Zenan begitu yakin.

"Baiklah," Merlin mendekat ingin memberi Ery sebuah pelukan. Tapi Zenan malah menepati Ery di belakang tubuhnya dengan sikap melindungi. Seolah tidak akan pernah membiarkan Merlin menyentuh Ery, barang sedikit saja.

"Sepertinya lebih baik Bibi pergi sekarang. Ini benar-benar sudah membuang waktu kami," kata Zenan dengan nada tidak suka.

"Astaga, kau mirip sekali dengan ibumu. Selalu berkata waktu begitu berharga. Tapi pada akhirnya dia menyia-nyiakannya, tanpa meluangkan waktu untuk Ery. Aku seharusnya dapat penghargaan karena berbaik hati untuk menawarkan diri menjadi teman Ery. Bukankah Ery senang bermain dengan Bibi?"

Mata Merlin tampak menghujamkannya dan menunggu jawaban Ery. Tapi Ery tidak mengangguk, dia tahu jika dia melakukannya kemungkinan yang paling buruk, Zenan tidak akan mau bermain dengannya lagi.

"Baiklah, sepertinya Bibi datang diwaktu yang salah. Sampai jumpa."

Merlin mengumbar senyum lembut dan pergi dari ruang baca itu. Zenan langsung berpaling pada Ery, ia terlihat ingin marah tapi ia hanya berkata. "Jangan terlalu dekat dengan Merlin. Dia tidak seperti yang terlihat."

Ery mengangguk. Dan sepenuhnya mengabaikan apa yang Zenan katakan. Toh, Bibi Merlin selalu baik padanya.

***

Beberapa tahun kemudian.

Ery dan kelima saudaranya punya rahasia. Rahasia yang tidak diketahui oleh orang tua mereka. Setiap minggu, dari umur tujuh tahun sampai umur Ery sekarang—sepuluh tahun. Mereka—para saudaranya—mengajarkan Ery beberapa hal dasar seperti mereka dilatih oleh orang-orang profesional suruhan Czavin.

Sekali setiap minggu, dengan pengantian orang yang berbeda. Mereka mengajarkan Ery banyak hal. Misalnya Jian akan mengajarinya mengemudi. Teknik strategis dan analisis diajarkan oleh Zenan. Avel akan mengajarinya bela diri paling dasar yang mudah dipelajari. Pembelajaran pisau diajarkan oleh Lucas. Sedangkan Leon akan mengajarinya teknik menembak, dan cara memegang senjata.

Awalnya memang terdengar agak gila. Ery baru saja berumur 7 tahun saat mereka mengusulkan ide yang katanya cemerlang itu. Mereka mengatakan padanya, apa yang mereka ajarkan semata-mata untuk keselamatan Ery sendiri. Dia tahu dirinya terlalu kecil untuk fokus pada hal seperti itu, tapi kadang ia ingin dirinya bisa sekeren Jian. Saat umur tujuh tahun itu dia masih tidak tahu apa pekerjaan ayahnya, selain yang ia tahu ayahnya bekerja untuk pemerintahan. Ery tidak tahu jabatan, posisinya apa. Hanya itu yang ia tahu. Tapi waktu itu ia sudah tahu apa pekerjaan ibunya, perancang perhiasan terkenal. Tidak heran jika mereka menetapkan penjaga di setiap sudut rumah. Tentunya penjaga yang lulus tes kesetiaan. Pastinya ibunya lumayan terkenal untuk terhindar dari paparazi.

Pada saat Ery mulai terbiasa dengan semua latihan yang diberikan kakaknya, saat umur Ery beranjak delapan tahun. Ery mengetahui satu hal. Czavin tidak hanya bekerja untuk pemerintahan, tapi juga sisi dunia gelap yang berdarah. Pada saat itu Ery takut pada Czavin, apalagi sempat berpikir untuk berhenti berlatih dan menjaga dirinya, tapi darah Czavin dan Mayleen yang mengalir seperti air ditubuhnya, tidak bisa menapik jika Ery bisa melakukan semua yang ia latihan sebaik yang dilakukan kakak-kakaknya. Dia cerdas dan melakukan semua yang dicontohkan dengan baik. Saat itu ia mulai menikmati sampai sekarang, sampai ia berumur sepuluh tahun.

Dan untuk melakukan semua latihan itu, tentunya mereka tidak memberitahukannya pada Czavin. Ery hanya memperhitungkan semua keberuntungannya agar Czavin tidak tahu. Mungkin saja Czavin tahu, tapi membiarkan Ery melakukannya. Baiklah, itu terdengar buruk.

"Apakah kita pulang ... terlalu larut, Jian?" Ery menoleh pada Jian, mengemudikan mobil saat mereka hampir tiba di pekarangan Mansion.

"Jangan khawatir, Ery-ku. Aku bisa membuat alasan untuk ini pada Dad," tangan Jian mengusap rambut Ery. "Kau tadi sangat bersemangat dan aku tidak mungkin menghentikanmu. Apalagi kalau kita pulang dengan perut kosong. Dan aku harus membelikanmu makanan dulu,"

Ery bergerak gelisah. Minggu ini memang jadwal Ery belajar mengemudi, karena terlalu semangat, Ery melupakan kekhawatiran yang sempat menyelinap saat belajar tadi. "Tapi kurasa ... aku punya firasat buruk. Bisakah kita ... tidak pulang saja malam ini?"

Mobil yang dikendarai Jian berhenti. Jian menoleh padanya. "Tapi kita baru saja sampai,"

Jian akhirnya turun dan berputar ke pintu sebelah lalu membuka pintu itu. Jian membungkuk hormat ala kerajaan pada Ery. Cengiran di bibirnya terlihat sangat nakal. "Ayo, Princess. Saatnya turun,"

"Jian, tapi aku takut masuk ke rumah sekarang. Aku tidak ingin keluar dari mobil. Aku ingin pergi dari sini." Ery berusaha bertahan duduk di mobil. Ia melirik pintu utama di atas undakan, rasanya seperti melihat rumah hantu. Jantungnya mulai berdetak kencang.

"Ada masalah apa?" Jian menarik tangan Ery, terlalu kuat. Dan Ery tidak bisa melawan saat Jian sedikit menyeretnya menaiki tangga setelah membanting pintu penumpang. "Ayolah Ery, nanti kalau Dad memarahi kita, aku akan membuat alasannya."

Mereka akhirnya berjalan melewati pintu utama, memasuki rumah. Dan ketika itu hawanya seperti memasuki ruang pendingin besar. Tak jauh dari mereka berdiri, Czavin dan Mayleen duduk di sofa. Tidak ada orang selain mereka. Tidak ada pengawal. Tidak ada saudara Ery yang lain.

Jian berusaha tidak mengucapkan satu kata pun, dan menarik tangan Ery untuk naik ke tangga spiral menuju kamar di lantai atas. Tapi saat itu, Czavin seolah tidak melepaskan mereka. Seluruh tatapan Czavin hanya menatap Ery, tidak berpaling untuk menoleh pada Jian. Sedangkan Mayleen hanya menunduk dan menatap tangan di pangkuannya.

Ery sudah memperingati Jian tentang firasat buruknya, dan sepertinya jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan. Apalagi ... Jian tidak mempercayainya.

"Tinggalkan Ery di sini," ucapan penuh wibawa itu merobek keheningan yang entah kapan tercipta begitu saja. "Kau, Jian, masuk ke kamarmu."

"Dad, ini salahku." Jian berbicara. "Biar Ery saja yang masuk ke kamar."

"Masuk ke kamarmu, Jian." Suara itu mulai lantang. Ery bisa melihat kemarahan Czavin yang awalnya terkendali, pertahanannya mulai hancur. "Aku tidak mengulang perkataanku untuk ketiga kalinya,"

"Tidak apa-apa, Jian." Ery melepaskan genggaman tangan Jian. "Aku hanya perlu bicara dengan, Dad. Masuk saja dalam kamarmu."

"Ery—"

"Please, percaya padaku."

"Oke,"

Jian berpaling pada Czavin. Ia menunjukkan sikap melindungi adiknya. "Jika terjadi terjadi sesuatu pada Ery, Dad. Aku tidak akan pernah menurut apa yang kau katakan lagi."

Setelah berkata seperti itu, Jian mencium kening Ery dengan sayang, dan berkata jika terjadi sesuatu untuk mengadu saja padanya, meninggalkan ruangan tamu itu tanpa berpamitan pada yang lain. Untuk beberapa menit yang penuh keheningan dan menyiksa, sepertinya ... Ery tahu apa yang salah dengan Czavin. Mungkin kesalahan ini bermula karena dirinya.

Czavin meraih sebuah remot kontrol, dan entah sejak kapan, Ery baru menyadari jika ada layar besar seperti TV di hadapan orang tuanya. Perlahan Ery mendekat, untuk melihat apa yang ditayangkan di sana. Begitu melihat, mata Ery langsung terbelalak. Jantungnya berpancu dengan degup ketakutan. Seumur hidup, inilah pertama kalinya Ery merasa seolah tertangkap basah.

Di sana, cuplikan cepat yang menayangkan siaran dirinya yang berlatih dengan saudara-saudaranya, dengan tiap latihan berbeda orang. Cuplikan cepat itu juga memperlihatkan foto-fotonya dari umur tujuh tahun hingga sepuluh tahun dalam berbagai latihan itu. Anak perempuan menabrak sebuah tembok dengan mobil. Anak itu membawa mobil mewah dengan cepat di jalan mengemudi khusus. Anak itu memegang senjata dan menembak. Anak itu membaca buku dan seolah sedang menganalisis sesuatu. Anak itu belajar bela diri dengan Avel. Dan anak itu ... adalah Ery.

Jadi, selama ini Czavin tahu dan baru sekarang mengungkapkan semuanya padanya. Ya Tuhan, Ery tahu, selanjutnya Czavin pasti akan memarahi dan melarangnya untuk berlatih dan membentuk diri menjadi laki-laki seperti saudaranya yang lain.

"Sudah lihat semua itu. Aku benar-benar tidak percaya pertama kali melihatnya. Selama beberapa tahun, aku membiarkan kau melakukan sesuka hatimu dengan memanfaatkan kemampuan para saudara laki-lakimu."

Kalimat itu ... menyakitinya. Tapi Ery harus mengakui satu hal, ia sering menangis setiap malam. Hanya gara-gara Czavin. Bahkan ia kadang kehabisan akal untuk menarik perhatian Czavin. Ayahnya tidak pernah peduli padanya. Rasanya satu-satunya menarik perhatian adalah berbuat nakal. Namun, Ery tidak ingin menjadi anak nakal. Dan dia tidak mengambil pilihan itu.

"Aku sangat kecewa pada apa yang kau lakukan. Aku tidak tahu siapa yang mengusulkan ide ini, tapi jelas kau kesenangan dengan itu. Atau aku harus mengatakan memang kau mengusulkan ide itu dan mengatakan pada saudaramu ... 'Ery ingin seperti saudara yang lain' Begitukah?  Karena kasih sayang putra-putraku padamu, mereka tidak akan senang melihat kau sedih dan mulai menuruti apa yang kau katakan."

Tidak ada kebenaran atas apa yang Czavin ucapkan. Ery menunduk, terdiam dan tentunya ia tidak menangis. Detak jantungnya berdegup menyakitkan. Tapi hatinya sudah beku. Pikirannya juga mulai menyusun penyangkalan paling hebat untuk membalas Czavin. Sementara itu, Ery bisa melihat, ibunya masih tidak berdaya. Sekali pun dua orang dewasa itu menikah karena saling mencintai, tetap saja Czavin itu keras pada peraturan-peraturan yang membuatnya menjadi otoriter.

"Apa aku pernah bilang, perempuan tidak perlu melakukan hal yang menyusahkan untuk bertahan diri. Aku menyediakan fasilitas pengawalan untukmu ke mana pun kau pergi. Aku tidak menyuruhmu untuk menghabiskan tenaga dan menciptakanmu menjadi pemberontak nakal dalam keluarga ini. Aku hanya membuatmu menjadi tahanan di rumah ini."

Ery menghela napas paling pelan. Ia tidak pernah selelah ini dalam hidupnya. Dia baru sepuluh tahun, tidak bisa menjalani hidup normal seperti yang lain. Tidak punya teman. Tidak dekat dengan ibunya, juga dengan ayahnya. Dia hanya punya kasih sayang dari para saudaranya. Dan sekarang ayah yang begitu ia puja, yang selalu mengabaikannya, ingin mengambil kebahagiaan kecil yang ia punya. Ketika ia kehilangan satu-satunya kebahagiaan itu ... Ery tidak pantas untuk hidup dan bertahan lagi di rumah ini.

Lalu perkataan Czavin menyusup lagi di pendengarannya.

"Kau tahu, Jian tidak pernah melakukan kesalahan selama aku menyuruhnya melakukan apa yang aku inginkan untuk masa depannya. Dan seharusnya kau membiarkan dia menjadi panutan hebat untuk putraku yang lain."

Benar, dalam keluarga ini. Di lingkaran kehidupan Czavin. Tidak pernah ada aku.

"Dan kehadiranmu dalam hidup Jian persis seperti benalu! Kau menghancurkan apa yang aku rencanakan untuknya. Jian dan putraku yang lain mulai melawanku dan meminta agar aku memperlakukanmu dengan baik. Kadang-kadang membantah untuk mengerjakan tugas penting hanya untuk menghabiskan waktu bersamamu."

Dan aku ... hanyalah pembawa bencana untuk hidup saudaraku.

"Kau pasti tahu kedudukan keluarga ini, publik menginginkan gosip, kadang juga menginginkan keluarga ini hancur. Untuk itu aku pernah mengatakan kau tahanan di rumah ini, dalam jangka panjang. Karena publik hanya tahu aku memiliki putra. Dan tidak pernah punya anak perempuan dalam keluarga ini. Kau harus ingat, Ery. Sedikit kesalahan bisa membuat lubang kehancuran. Aku tidak ingin itu terjadi!"

Untuk keadaan yang sama sekali tidak membantu, Ery malah terus menyalahkan dirinya sendiri. Dia tidak berarti apa-apa bagi Czavin. Atau mungkin ... bagi keluarga ini. Seperti yang Ery bilang, tidak ada air mata yang mengalir. Hanya ada rasa sesak yang menyakitkan. Keheningan, kesepian, beban dan bencana.

Mayleen juga masih tidak bicara, tapi air matanya terus menurun dari pipinya. Ia berusaha sekuat tenaga menahan isakan. Karena ia tidak pernah bisa setenang dan setegar putrinya.

"Untuk anak perempuan yang menjadi tahanan. Apakah aku pernah mengatakan jika tidak ada kesempatan bagimu untuk bersenang-senang di luar sana. Tidak ada kesempatan bagimu untuk memperoleh teman, dikenal orang. Seharusnya kau tahu, kau hanya seorang tahanan di rumah megah ini. Dan seharusnya kau bersyukur dengan hal itu."

Seketika itu jantung Ery berdetak kencang, lebih menyakitkan. Sesak. Ia nyaris kesulitan menarik napas. Ia tidak tahu mengapa sangat sulit mengatakan kebenarannya. Tahanan. Kata itu entah berapa kali diucapkan oleh Czavin dan sepertinya sangat cocok untuk menggambarkan sosoknya dalam rumah ini. Saat itu, Ery nyaris luruh ke lantai. Tidak! Ia akan berdiri di sana, mendengar pendapat Czavin tentangnya. Lalu membalasnya dengan kata-kata yang tidak akan pernah Czavin lupakan.

"Czavin," Mayleen berdiri, menghampiri Czavin dengan cepat. Ia merangkul lengan suaminya dan berbicara lagi. "Sayang, kau terlalu banyak bicara. Kita sudah pernah membahas ini. Jangan pernah menyakiti Ery."

Ibunya berusaha membelanya. Tunggu sebentar lagi, Ery akan menyelamatkan dirinya sendiri.

"Tidak, Leen. Duduk di sana dan lihat seperti apa ekpsresinya. Di sini. Tidak ada seorang pun yang boleh bicara kecuali aku." Suara itu berubah menjadi lantang, keras dan penuh perintah. Lalu kejap selanjutnya Mayleen mundur dan kembali duduk di tempat duduk tadi. Dan lagi, air matanya mulai mengalir. Inilah beberapa dari sekian banyak aturan di rumah itu yang harus ditaati dan tidak bisa Ery bantah.

Mata Czavin tertuju pada Ery. Punggung Ery basah oleh keringat dingin. Rambutnya menusuk-nusuk dilekuk lehernya. Dan saat itu, Ery mengangkat pandangan melihat pandangan, bukan, hujatan tajamnya untuk Ery. Sebentar lagi ... sebentar lagi ... Ery akan menyelamatkan dirinya.

"Aku berusaha membuatmu berguna!"

Kata-kata yang selalu menyebarkan racun melalui pembuluh darah yang mengalir dalam tubuhnya. Jantung Ery berdegup kencang lagi. Menyakitkan. Dan ketika itu, Ery mulai merasakan wajahnya memanas. Matanya menyengat. Bibirnya bergetar mengucapkan doa minta maaf, karena sebentar lagi Ery tidak yakin bisa menahan dirinya untuk berhenti berbicara.

"Ada beberapa hal yang membuat aku tidak terlalu tegas padamu. Tentunya aku tidak ingin dianggap peduli padamu. Kenyataannya, memang aku tidak pernah peduli."

Bohong. Atas segala yang Czavin katakan padanya, itu semua adalah bohong. Itu artinya Czavin harus melukai dirinya sendiri untuk menyakiti hati Ery. Awalnya Ery tidak pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kadang tiap malam ia bermimpi Czavin selalu mendatangi kamarnya tapi tidak pernah membiarkan dirinya masuk, dia hanya menatap Ery selama tiga puluh menit tanpa berpaling lalu kembali lagi ke kamarnya seolah tak terjadi apa-apa.

Juga beberapa fakta baru yang diketahui, tentang pekerjaan Czavin di dunia gelap. Sesekali penglihatannya  membuat Ery melihat Czavin membunuh orang dengan kejam. Sesekali Czavin berubah menjadi sangat sayang pada putranya dan kebencian pada Ery. Maksudnya selalu menunjukkan sikap penuh kebencian pada Ery di depan semua orang. Padahal di belakangnya ia sepenuhnya menyayangi Ery.

Czavin mulai membuka mulut, dan pastinya akan berbicara kata-kata yang akan menyakiti Ery lagi. Sebelum itu terjadi, Ery memaksa seulas senyum yang paling tulus, sebisa mungkin untuk situasi sekarang.

"Dad?" panggilnya, Czavin dan Mayleen langsung menoleh padanya. "Bisakah sejenak saja ... membiarkan tahanan ini berbicara? Ery tidak pernah bicara dengan pemilik tempat mewah ini,"

Beberapa menit dalam keheningan, tidak ada suara Czavin dan Mayleen yang menyela. Dan Ery menganggap inilah saatnya ia akan menyerang Czavin dengan kata-kata yang sudah ia persiapkan.

Ery tersenyum lagi. "Aku mengaku ini adalah salahku. Kau tidak perlu menyalahkan Jian, memarahi saudaraku hanya gara-gara aku. Aku tidak seberharga itu untuk dibela. Mereka tidak seharusnya mengajakku bermain jauh dari rumah tahanan ini. Dan seharusnya aku tidak memintanya pada mereka. Mereka terlalu baik, Czavin. Anak-anak baik seperti mereka memang sangat disayangkan, terlalu menyayangiku begitu dalam." Ery menghela napas.

"Benar, seperti yang kau katakan. Aku adalah benalu. Tidak perlu menjelaskan bagaimana signifikasi kata 'benalu' itu. Aku bergantung pada mereka. Sayangnya mereka memberikan apa yang kuinginkan secara berlebihan. Aku tidak pernah menginginkan hal yang buruk. Aku hanya ingin mereka di sampingku dan menyayangiku. Dan secara sangat cerdas, Czavin. Kau menganggap itu istilah parasit untukku."

Tidak ada rasa hormat di setiap perkataan Ery. Bahkan untuk beberapa detik, Czavin tersentak mendengar bagaimana Ery memanggilnya dengan nama. Sungguh, Ery ingin bertanya, bagaimana perasaanmu tentang putrimu yang tidak mau lagi manggilmu ayah? Tapi Ery tidak melakukannya.

Seharusnya Ery tidak bicara seperti ini. Ery hanya terlalu marah, kecewa dan terluka untuk berhenti berkata. Demi Tuhan, ia masih sepuluh tahun dan sedang membantah orangtuanya. Apa pun yang dikatakan hari ini, beginilah Ery menyelamatkan dirinya. Beginilah dia saat membalas perbuatan orang itu. Dia harus menjelma menjadi orang dewasa bertubuh anak perempuan sepuluh tahun. Kali ini ia tidak akan berhenti bicara. Luka dibalas luka. Lisan dibalas lisan. Dan kebohongan dibalas kebenaran. Terima kasih untuk Zenan yang sudah pernah mengajarinya agar ia pintar bicara.

Ery berdiri kaku di sana, senyum kecil penuh paksaan itu masih terlihat di wajahnya. "Ada beberapa hal yang kau simpan terbalut dengan sempurna, Czavin. Tapi kau tidak bisa menyembunyikannya dariku. Aku tahu, kau berbohong. Fakta itu sangat rahasia ya, sampai kau ingin aku terus membencimu padahal yang sebenarnya ... keinginanmu adalah sebaliknya."

"Jaga bicaramu Ery!" dan kali itu lah, Czavin mengucapkan kata-kata itu dengan keras dan lantang. Tapi maaf, Ery berjanji tidak akan berhenti berbicara.

"Aku tahu, beberapa hal yang dirahasiakan itu." Ery melanjutkan.

"Please Ery, masuk ke kamarmu." Mayleen mulai berdiri lagi, dan menghampiri Ery.

"Aku tahu hal-hal kecil yang tidak kudengar dari orang lain. Itu terdengar agak menyedihkan. Saat umurku 6 atau 7 tahun, aku tidak terlalu ingat, kau berniat mengeluarkanku dari keluarga tapi tidak mengusirku dari sini. Itu mengharukan. Kau mencoba terlihat jahat di mata orang lain terhadapku, tapi masih saja kadang-kadang menjenguk Ery kecil tiap malam, saat dini hari."

"Sudah kukatakan, berhenti bicara!" bentak Czavin. Ery menelan salivanya. Seharusnya mereka tidak perlu bertengkar malam ini. Ia melembutkan tatapan, mencoba untuk bicara sopan. Lalu melanjutkan.

"Pernah tidak teringat, ini kali pertama aku berbicara padamu, Dad. Seharusnya kau tidak perlu bersikap kasar seperti itu padaku. Aku mengerti, kau hanya ingin aku membencimu. Aku mengerti, saat aku tidak sekolah seperti saudara yang lain, itu tandanya kau sedang berusaha menjauhkan bahaya dari hidupku. Saat kau bilang, kau ingin aku keluar dari keluarga ini dan aku tidak boleh berada dalam lingkaran bahaya, aku mengerti. Semuanya demi aku. Jika ingin menyangkal, kau bisa mengusirku dan membuangku keluar dari keluarga ini. Aku bukan lagi seorang tahanan dan rumah ini akan damai tanpa aku. Dan aku akan mencoba menikmati hidup, tanpa kebahagiaan yang berarti."

"Please, masuk ke kamar, sayang." Mayleen berusaha membujuk Ery. Sayangnya Ery masih bersikap keras kepala.

"Aku melihatmu, Dad. Kau menangis karena aku. Kau berbohong karena aku. Setiap hadiah ulang tahunku, yang tidak pernah memberinya padaku. Kau menyimpannya sampai sekarang, utuh, di bungker. Aku tahu rahasiamu, Dad. Aku melihatmu membunuh orang penuh lumuran dosa. Aku tidak pernah membencimu karena itu. Aku sangat menyayangimu lebih dari yang kau tahu. Dan apa yang salah dengan itu?"

Kali ini Czavin membeku, persis seperti Mayleen. Mereka seolah tidak bisa bicara. Dan saat itu lah pertahanan Ery hancur. Dia kembali menjadi dirinya. Anak perempuan berumur sepuluh tahun. Ery tidak bisa tersenyum lagi. Mata mulai buram tertutup air mata. Seperti pertanyaannya, apa yang salah dengan rasa sayangnya untuk Czavin?

Ery mendekati Czavin, dia tidak tahu mengapa ia tidak bisa menghentikan langkahnya. Mengapa rasanya ... sekali saja ia menginginkan pelukan Czavin. Dan ingin sekali saja, Czavin tidak mendorongnya menjauh. Tenggorokannya tercekat, saat ia berhasil memeluk Czavin. Seketika, Czavin membeku dan tidak bisa berkata.

"Apa lagi yang kau sembunyi, Dad. Kalau kau berpikir untuk melindungiku dari bahaya tidak ada salahnya untuk sedikit jujur." Ery tetap berbicara, ia ingin Czavin tahu apa yang ada dibenaknya sekarang. Tidak peduli jika air matanya mulai mengalir terus.

"Kau marah karena kau menyayangiku. Dan tidak ingin aku terluka. Hanya perlu sedikit jujur, kau tidak akan pernah kehilangan aku, selamanya. Aku mencintaimu, Dad. Kau juga mencintaiku. Apa lagi yang salah dengannya itu? Jalani saja seperti yang seharusnya. Tidak masalah jika kau tidak mengakuiku di depan publik. Tidak masalah selamanya aku tidak punya teman. Aku hanya butuh keluarga lengkap, Ayah, Ibu dan kakak-kakakku. Itu saja. Aku tidak meminta lebih."

Tanpa terduga, Czavin menyentuh bahu Ery mendorongnya menjauh, hingga terlepas dari pelukan sepihak itu. Czavin tidak bicara. Dia menjauh. Di saat itu semua harapan Ery hancur lebur, retak dan tak terbentuk lagi. Ery merasa denyut jantungnya mulai mencekik pernapasannya. Di sudut matanya, ia melihat Mayleen tampak tercengang.

"Tidak!" kata Czavin dengan luapan emosi.

Dan saat itu, Ery benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan ayahnya.

"Kau yang berbohong, Ery. Aku hanya membencimu!" Czavin menarik napas panjang dan menghembuskan dengan pelan. "Kau salah tentang semuanya," ia menyangkal. "Kau ... kuampuni karena hari ini berbicara tidak sopan pada pemilik rumah tahanan ini."

Untuk beberapa saat, Ery tahu itu hanyalah kebohongan. Tapi ia terlalu terluka untuk tidak membenarkan kebohongan itu. Ery menarik napas. "Baiklah. Saat kematian Ery terlalu dekat. Ery akan tahu seberapa besar Dad bisa membenci Ery, dalam penyesalan."

Lalu seolah terjadi begitu cepat, Ery berjalan tanpa berpamitan pada siapa pun. Ia keluar dari pintu utama. Mayleen berusaha mengejar dan memanggilnya. Tapi Ery masih keras kepala. Ia mengenggam erat tangannya, tiket untuk pergi dari rumah ini ada di tangannya. Sebuah kunci mobil milik Czavin. Terima kasih untuk Jian yang pernah mengajarinya cara mencuri kunci, tanpa disadari pemiliknya.

"Czavin, kau lihat ini kacau. Kumohon, hentikan Ery pergi. Kau bisa melakukannya, Sayang." Mayleen berjalan ke arah Czavin. "Dia putriku satu-satunya. Aku mohon padamu. Kembalikan dia untukku."

Czavin masih membeku setelah apa yang terjadi. Ia baru menyadari kunci mobilnya hilang setelah Ery memeluknya. Lalu tiba-tiba terdengar bunyi ponsel, Czavin tersadar dan langsung mengangkat sambungan itu. Dari anak buahnya.

"Nona Ery memaksa keluar dari gerbang. Ia akan menembak siapa pun jika tidak menurutinya. Dan dia membawa mobil anda, Tuan."

"Sayang, hentikan dia pergi." Mayleen memohon pada Czavin lagi, ia merangkul leher Czavin dan mendaratkan ciuman beberapa kali pada Czavin. Berharap Czavin akan mengabulkan permintaan. "Dia masih anak-anak. Dia tidak bisa mengemudi."

"Biarkan dia pergi." Czavin berkata dengan dingin dan kejam. Lalu menambahkan. "Pastikan dia tidak pernah kembali,"

Seketika itu tangisan Mayleen terdengar, ia menenggelamkan wajahnya ke pelukan suaminya. Bibirnya berkata. "Kau ayah yang sangat buruk, Czavin. Aku sudah kehilangan putriku satu-satunya."

***

Satu jam telah berlalu. Ery tidak benar-benar pergi tanpa kawalan Czavin. Mobilnya terdapat alat pelacak dan sekarang di layar laptop, mobil itu berhenti di satu titik. Dan sekarang, Czavin menunggu konfirmasi dari anak buahnya.

Ia melihat Mayleen menangis tanpa henti, sekarang jatuh tertidur di sampingnya. Putra-putra menggila dan berusaha mencari Ery. Tentunya dengan penuh otoriter, dia melarang semua orang mencari Ery.

Lalu tiba-tiba, ia mendapat kabar. Ia mengangkat ponselnya. Saat itu, ia mendengar suara panik anak buahnya.

"Tuan, ini berita buruk. Mobil yang dikendarai Nona Ery kecelakaan. Dan Nona Ery menghilang."

Czavin menjatuhkan ponselnya, jatuh ke ranjang. Yang ia ingat hanyalah ucapan terakhir Ery.

Saat kematian Ery terlalu dekat. Ery akan tahu seberapa besar Dad bisa membenci Ery, dalam penyesalan.

***

(5531 kata)

(Sabtu, 9 Maret 2019)
Risennea

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top