F O R T Y F O U R 🔫

Sedikit demi sedikit, Blace bisa mengingat apa yang terjadi pada hidupnya di masa lampau saat ia menjadi Ery. Perlakuan Czavin, kasih sayang dari saudaranya, pertengkaran dengan Czavin, masa lalu yang keji dan semuanya yang terjadi. Blace memang tidak pernah melupakan kejadian itu, semua itu masih membekas dalam pikirannya dan tidak pernah mau pergi. Ia pernah hampir gila karena dia. Blace juga pernah nyaris membunuh dirinya sendiri karena rasa bersalah. Tapi selama ia pindah, ralat, diasingkan oleh keluarganya sendiri, dilarang bertemu satu sama lain, Blace melakukan banyak terapi dan pengobatan untuk menghilangkan trauma, agar ia bisa sembuh dan kembali hidup normal.

Hanya sedikit yang ia inginkan tidak pernah terwujud, kadang ia berharap dirinya tidak pernah berada di situasi itu, dia tidak akan dihantui mimpi-mimpi mengerikan. Ia juga tidak akan memikirkan ilusi yang berimajinasi liar dalam kepalanya.

"Apa kau ... tidak membenciku setelah apa yang sudah kulakukan padamu?"

Mendengar pertanyaan Czavin tadi, sempat membuat Blace terkejut. Ia tidak pernah menyangka Czavin mengkhawatirkan hal kecil itu.

"Tidak, aku tidak pernah membencimu," jawab Blace pada akhirnya.

Blace menyekat air matanya. Lalu ia memalingkan wajahnya dari Czavin, merasakan ia agak menyesal mengeluarkan apa yang terkubur dalam dadanya.

"Maaf, aku ... entah kenapa jadi agak emosional," Blace melihat Czavin menatapnya lekat sambil menyodorkan sapu tangan padanya. "Tapi sekarang sudah tenang dan baik-baik saja."

Saat Blace mengambil sapu tangan itu, ia melihat Czavin kembali duduk di tempatnya tanpa bicara. Mungkin tadi Blace salah lihat, mana mungkin ia melihat mata-mata Czavin berkaca-kaca, pria paruh baya itu tampak biasa-biasa saja dan datar. Terlebih lagi, Blace belum berani menyebut dirinya Ery. Mungkin akan lebih baik seperti ini saja.
Untuk sekarang ia tidak ingin kembali pada dirinya yang menyandang nama Ery.  Mungkin ... ia akan menjadi Blace Flannery, sebuah nama palsu yang akan disandangnya sampai ia mati. Dirinya belum sembuh sepenuhnya dari luka masa lalu.

Blace berdehem, diam-diam ia berharap tidak terlihat seperti anak kecil, karena menangis tiba-tiba. Mereka tidak bicara selama beberapa menit, Czavin berkata ingin menyuapi Blace lagi, tapi Blace menolak. Mereka akhirnya kembali makan bersama dalam diam.

Setelah mereka selesai makan. Para pelayan datang, mengosongkan meja dari semua hidangan. Czavin berbisik pada seorang pelayan pria, menyuruhnya membawakan sesuatu yang penting. Blace menebak, mungkin sesuatu yang terdengar berharga. Tak lama, pelayan itu mendorong sebuah troli, di atasnya ada dua kotak hitam dan putih. Begitu dua kotak itu diletakkan di meja, Czavin mendorong kotak yang  putih kepadanya lalu membukanya.

Di dalam sana, ada banyak bunga mawar yang memenuhi kotak sedang itu, yang menarik perhatian Blace adalah sebuah cincin bertahta berlian putih mahal, dengan kelopak bunga ada di bawahnya, juga lingkaran cincin yang dikelilingi berlian kecil. Tampak indah dan mahal.


"Ini hadiah. Aku ragu jika ukurannya pas—"

"Aku baru tahu jika Paviliun ini punya pemandangan yang bagus," Blace berusaha mengalihkan perhatian dari cincin cantik di depannya, ia mencoba memerhatikan sekitarnya. Kepulan uap keluar saat ia berbicara. "Kupikir aku ... tidak akan pernah sejenak beristirahat untuk liburan ke sini karena aku tidak pernah berpikir meninggalkan kota Glasgow. Skotlandia selalu menjadi rumahku, mengingat aku tidak punya tujuan lain untuk berkunjung ke negara lain."

Alis Czavin sedikit mengerut, seolah-olah ia kebingungan dengan apa yang Blace ucapkan.

"Aku juga berpikir, kalau Skotlandia sangat menjamin aku terhindar dari bahaya. Well, aku berpikir ... tidak akan kena masalah besar karena pekerjaanku sangat sederhana yaitu sebagai peramal. Dan aku juga bercukupan untuk menghidupi diriku sendiri." Blace menarik bibirnya membentuk senyuman, ketika matanya menatap Czavin dengan lembut. "Aku tidak membutuhkan hadiah, atau apa pun itu. Baju yang aku pakai sekarang,"  Blace melirik hanfu yang dikenakannya. "Sangat indah dan mewah. Saat kecil pun, aku tidak pernah berani untuk memakainya. Dan ternyata ... benar-benar cantik saat dipakai."

"Ery, sebenarnya—"

"Mari kita bicara serius sekarang,"  pandangan mata lembut itu menghilang dari mata Blace. Wanita itu tampak tegas dan menuntut. Blace sudah memantapkan hatinya untuk bertanya dan mengobrol dengan Czavin. "Mari kita bicarakan soal keluarga,"

Czavin menghela napas, ia melirik kotak hitam dan putih di depan mereka, sebelum akhirnya memusatkan perhatian pada Blace yang duduk di depannya. "Apa yang perlu dibicarakan?"

Blace tersenyum. "Aku sudah melihat Jian dan Avel. Bagaimana kabar saudara laki-laki yang lain? Apa mereka baik-baik saja?"

Czavin menghela napas lagi. "Kau mengalihkan pembicaraan kita, Ery. Aku sedang memberimu hadiah, bisakah kita tidak membahas tentang saudara-saudaramu dulu?" Czavin melirik Blace, senyum di bibirnya hilang lagi. Akhirnya Czavin kembali bicara. "Mereka baik-baik saja. Banyak hal yang berubah semenjak kau tidak ada di rumah. Zenan semakin mengasingakan diri dari saudara yang lain. Leon dan Lucas mulai jarang ada di rumah. Mereka melakukan perjalanan yang menyenangkan di luar kota maupun di luar negeri. Mereka semua sehat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Mengapa mereka tidak ada di sini semua?" tanya Blace. Ia terdiam sebentar, "aku melihat Jian dan Avel, mereka memang tampak baik-baik saja dan sehat."

"Ery—"

"Oh, apakah mereka—"

"Jangan menyela pembicaraan lagi. Kita bicara apa yang perlu dibicarakan." Czavin menghujamkan tatapan tajam yang membuat Blace menghela napas dan kepulan uap itu muncul lagi.

Entah kenapa dia memang sedang tidak ingin bicara tentang cincin cantik yang ada di hadapannya. Percayalah, dia pernah melihat desain ini saat ia kecil. Blace memang punya ingatan kuat jika mengingat sesuatu yang menarik. Dan Blace mengakui jika cincin itu memang sangat menarik dan memikat.

Melihat Blace sudah berhenti bicara dan tidak menatapnya, Czavin melanjutkan apa yang ingin ia bicarakan.

"Sebenarnya cincin itu dibuat khusus oleh Mayleen. Kau tahu kan, pekerjaannya sebagai perancang perhiasan. Jadi bisa dibilang ini khusus untuk Ery, hanya ada satu di dunia. Dia berpesan untuk memberinya saat kau ingin menikah, tapi aku tidak tahu kapan kau menikah, jadi aku memberinya sekarang. Untuk ukurannya, Leen mengunakan ukuran tangannya sendiri." Czavin meraih tangan Blace lalu memasang cincin itu di jari manis. Ia tersenyum tanda ia puas. "Dan ternyata ukurannya sangat pas,"

Blace mengunci mulutnya, tidak mengatakan apa-apa. Matanya terpaku pada keindahan berlian yang sudah melingkar di jemarinya. Terbesit dalam pikirannya untuk melepaskan cincin itu kembali, lalu memberikannya pada Czavin lagi. Ia merasa tidak ingin mengenakan barang yang ditujukan pada Ery. Ery sudah lama tidak ada, sekarang hanya ada Blace Flannery.

Czavin mendorong sebuah kotak hitam padanya. Ia tersenyum. "Yang ini hadiah dariku. Kuharap—"

"Sebenarnya apa yang membuatmu membawaku kemari, Dad?" sungguh Blace tidak bisa menahan diri lebih lama lagi, ia ingin kembali menyelesaikan tugasnya dan kembali pada Havrelt, jika pria itu masih punya hati untuk tidak meninggalkannya di Tokyo, dan masih punya hati untuk mencari keberadaannya.

Mata Czavin tampak berkilat hijau saat menatapnya, seolah ingin menerka apa yang sedang Blace pikirkan. "Kau seharusnya tidak meninggalkan Skotlandia dan pergi dengan lelaki yang tidak kau kenal ke London, Moskow dan Tokyo."

Dan saat itulah, Blace menyadari jika Czavin memang tahu segalanya apa yang selama ini terjadi, saat ia meninggalkan Skotlandia. Dan melakukan perjalanan panjang yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi. Dan saat itulah, Blace menyadari jika Czavin tahu siapa pria yang dimaksud. Mungkin bisa saja, Czavin mengenal Havrelt sebagai bos mafia dari London.

"Kau seharusnya tahu jika lelaki itu bukanlah lelaki biasa. Dia ... seorang pria dan seseorang yang berbahaya. Jika kau terlibat dengannya, kau akan mendapat masalah dengan adik perempuannya yang abnormal karena tidak ingin kakaknya dekat dengan perempuan. Sadarlah, jika kau sebenarnya adalah perempuan yang bisa saja kena masalah karena Nona Dimitry yang abnormal itu."

Blace tidak terkejut mendengar Czavin memang tahu segalanya. Apa yang tidak bisa ayahnya ketahui, Czavin punya koneksi besar untuk mencari keberadaannya. Apalagi jika tentang keluarga Dimitry. Dia mungkin juga tahu, seperti apa asal usul keluarga itu.

"Keberadaanmu di London, berada di dekat keluarga Dimitry bisa membuatmu masuk dalam bahaya. Kau bisa saja, tidak bisa kembali lagi di dunia ini."

"Kami membuat perjanjian," Blace tersenyum menatap wajah Czavin yang menampilkan gurat khawatir. "Dia menjamin aku tidak terkena bahaya, sejauh ini aku belum berada dalam bahaya yang dimaksud," walau sebenarnya nyaris. Blace mengingat saat dia dan Havrelt melakukan perjalanan mencari barang di Moskow saat mereka hampir tertangkap basah.

"Dia orang yang menepati janjinya, dan aku yakin dia juga cukup baik untuk tidak membunuhku seperti rumor yang beredar jika dia seseorang yang berbahaya dan kejam," lanjut Blace bermaksud menenangkan Czavin.

"Orang selalu akan menjadi baik jika ia membutuhkan sesuatu." Czavin berkata dengan nada kaku.

Blace menghela napas. Ia mendorong kotak hitam kembali pada Czavin. "Satu hadiah sudah cukup bagiku," matanya menunduk menatap kotak itu. Ia memerhatikan kotak hitam itu punya ukiran bunga terantai yang cantik. "Kurasa di dalamnya lebih mahal dari cincin yang kukenakan sekarang."

Czavin terdiam, ikut menunduk menatap kotak hitam.

"Sebenarnya aku ingin berpamitan hari ini. Tidak sopan jika aku ingin pergi tanpa memberitahu. Apakah kau mengizinkan aku pergi, Dad?" Blace bisa melihat, begitu ia menatap wajah Czavin. Ayahnya tampak ingin membantah tidak setuju. Lalu cepat-cepat Blace menambahkan, "Setelah perjanjian kami selesai ... mungkin aku akan kembali ke sini lagi untuk berkunjung menjenguk saudaraku,"

"Bisakah kau kembali selamanya di sini ... di rumah yang sebenarnya?"

"Jangan meminta lebih, Dad. Bagiku Skotlandia adalah rumahku sekarang. Aku menganggap keberadaanku di mana pun selain di Skotlandia ... hanyalah tempat untuk berlibur."

Czavin menghela napas, lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kunci mobil akhirnya disodorkan pada Blace. "Aku tidak terkejut jika kau ingin berpamitan. Mungkin kau masih butuh waktu atas semua yang baru saja terjadi, dan aku akan menunggu kapan kau siap untuk kembali kemari. Untuk kembali pada seseorang itu, mungkin kau butuh kendaraan untuk mencapai tujuanmu."

Blace tersenyum dan mengambil kunci itu dari tangan Czavin. "Terima kasih."

***

Blace tidak selalu menyukai perpisahan. Semuanya meninggalkan bekas tertentu yang kadang tidak bisa ia lupakan. Blace bahkan tidak berpamitan pada Jian, Avel dan Emily, yang kebetulan tidak ada di Paviliun. Blace juga tidak ingin bertanya lebih banyak tentang keluarganya, Czavin mengatakan hal yang sama, jika mereka semua baik-baik saja. Blace diasingkan dari rumah karena ia trauma tiap kali melihat wajah ibunya sendiri. Ia menjerit tiap ada yang memeluknya. Ia ketakutan tiap ada orang yang mengatakan betapa orang itu mencintainya.

Itu bukan hal yang bagus untuk diingat. Blace tidak ingin mengatakan jika ia belum sembuh sepenuhnya, mengenai darah dan sifat vegetariannya yang berlebihan. Jika mengingat masa lalu, semuanya tampak begitu kelam dan mengerikan. Mungkin sudah cukup ia mengingat sesuatu yang sudah terjadi, semua itu adalah bagian dari hidupnya. Memang hidupnya seolah ditakdirkan terus dalam penuh teror dan bahaya, terbukti jika ia kembali terlibat bahaya. Sebenarnya Havrelt bukan mafia pertama yang meminta pertolongannya secara pribadi. Ada seorang dan Blace tidak pernah melupakan orang itu. Waktu itu Blace disuruh meramal kehidupan bermasalah orang itu dan cara penyelesaiannya.

Saat Blace akan pergi tadi, ia tidak menyangka ternyata kunci mobil yang diberikan padanya adalah mobil SUV Silver. Dan bukan hanya itu, Czavin memberinya ponsel, kartu kredit —yang ditempelkan kertas yang berisi kata sandi—dan sebuah mantel pria. Sepertinya mantel itu milik Czavin, mengingat saat Blace memakainya tubuh mungilnya langsung tenggelam di antara kain hangat itu. Tetapi itu tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah ... cincinnya.

Blace melirik cincin di jemarinya, cincin itu akan menimbulkan seribu pertanyaan yang harus ia jawab jika Havrelt bertanya tentang itu. Ia berharap Havrelt tidak tahu, jika ia tidak salah menebak, pertanyaan yang sangat lazim seperti; apa kau sudah menikah? Apakah kau kabur dari kamar hotel dan melakukan pernikahan secara diam-diam? Mengapa kau melakukan hal itu? Dan lain-lain.

Jika pertanyaan semacam itu—walaupun Blace berharap tidak pernah ditanyakan— diajukan oleh Havrelt, mungkin akan terus membuat pria itu memaksanya menjawab. Dan Blace akan terus mengunci mulutnya, karena memang ia tidak pernah bisa menjawabnya.

Mata Blace kembali mencoba fokus ke jalanan, GPS sedang menuntut jalannya ke Tokyo. Mengenai solusi yang mengundang banyak pertanyaan, Blace berpikir akan membeli rantai kalung dan menjadikan cincin sebagai pengganti liontin. Tampaknya itu ide bagus. Katanya dalam kartu kredit itu Czavin menyimpan uang yang banyak untuk uang jajannya dan sepertinya cukup untuk membeli rantai kalung saja.

Ketika ia sudah mengendarai mobil dengan kecepatan sedang selama tiga setengah jam lebih, ia sedikit terlambat karena harus terjebak beberapa masalah. Saat ia yakin sudah tiba di Tokyo, Blace menghentikan mobilnya di toko perhiasan, tepat di depan trotoar. Hari menjelang sore itu, tampak sama putihnya dengan pemandangan penggunungan, yang berbeda adalah banyak toko yang beredar menjual berbagai macam barang.

Blace memarkirkan mobilnya dengan benar, ia memasukkan kartu kredit—yang sudah ia hafal kata sandi di kertas—dan ponsel ke saku mantel yang sudah ia pakai. Mantel berwarna hitam itu nyaris menutupi semua kain dari hanfu tradisional yang ia pakai. Blace menarik napas, menatap toko perhiasan yang lumayan besar di hadapannya. Ia sudah memilih tempat yang bagus, di dekat Shibuya, dekat juga dengan hotel yang dipilih Havrelt, tempat mereka menginap saat mereka tiba di Tokyo.

Ketika ia keluar dari mobil, Blace memerhatikan sekitar, ada dua penjaga toko, dua pria berbadan besar yang menjaga keamanan. Ada seorang pria yang berdiri bersandar di luar toko, membaca berkas di tangannya, wajahnya tertutup berkas itu. Ada ibu dan anak yang terlibat pembicaraan yang menyenangkan. Juga banyak orang yang sibuk melintasi trotoar berlalu lalang. Dan mereka semua mengenakan mantel yang layak untuk dipakai sesuai jenis kelamin mereka. Tanpa memikirkan banyak hal lagi, akhirnya Blace memasuki toko, ia langsung disambut oleh pelayan yang menyambut dengan senyuman ramah.

"Sumimasen, ada yang bisa saya bantu?"

Blace mengumbar balasan senyuman pada pelayan wanita itu. Lalu mengatakan apa yang ia cari di toko itu. Sambil menunggu sang pelayan toko menawarkan beberapa jenis rantai kalung yang cocok untuknya, saat itu Blace menyadari ada seseorang yang berada di dekatnya memandang dirinya dengan tidak biasa. Wanita itu berambut pirang, pakaian cantiknya dibalut mantel merah muda yang tampak lembut dan pas di tubuhnya. Dilihat dari perawakan wajahnya, mungkin wanita itu turis dari negara barat yang sedang berlibur. Tatapan yang menatap Blace begitu intens dan tidak teralihkan. Begitu tahu Blace menarik bibirnya tersenyum pada wanita itu, dia mengerjab-gerjabkan matanya dengan kelagapan.

Blace kembali menoleh pada pelayan yang memberinya banyak pilihan rantai kalung, tidak ingin membuang waktu Blace memilih secara random yang menurutnya terlihat sederhana sekaligus mewah. Setelah menyelesaikan pilihan dan pembayaran, wanita tadi yang berada di sampingnya ternyata menatapnya lagi. Blace menyembunyikan kernyitannya, lalu mengumbar senyum manis dan keluar dari toko itu.

Detak jantung Blace berdegup tidak semestinya. Ia merasa himpitan sesak dan ancaman saat berada di toko ini. Apa akan terjadi sesuatu? Mengingat ada wanita aneh yang menatapnya dengan beribu ekspresi. Kaget, bingung, curiga dan prasangka.

Sambil menenangkan diri, Blace langsung masuk ke mobil. Ia menaruh paperbag kecil di kursi kemudi. Tiba-tiba detak jantung Blace semakin menggila, ia tidak tahu penyebabnya apa. Blace hanya merasa jika ia akan berada di lingkaran firasat buruk yang baru saja mendatanginya.

Ketika Blace ingin pergi dari sana, dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi supaya ia kembali tenang. Ada seseorang mengawasinya dari jendela depan mobil, di depan trotoar toko. Blace mencondongkan tubuhnya, untuk melihat siapa yang mengawasinya, tapi orang itu memalingkan wajahnya. Dan sepertinya orang yang mengawasinya adalah pria yang ia lihat sambil membaca berkas yang menutupi wajahnya.

Blace keluar dari kemudi untuk memastikan, lalu saat itu seolah ada penghenti waktu. Blace membeku pada seorang pria yang sekarang memperlihatkan seluruh wajahnya padanya. Berkas di tangan itu mengencang, dan detak jantung Blace terdengar lebih keras dari biasanya.

Orang itu berjalan mendekatinya, Blace berusaha menyuruh otaknya untuk memerintah sistem di tubuhnya melakukan apa yang seharusnya dilakukan, bukan hanya berdiri dengan mata terbelalak dan mulut terbuka seperti orang bodoh.

Udara berhembus lebih dingin. Seluruh tulang-tulangnya menggigil dari dalam mantel. Seluruh tubuh Blace bergetar hebat saat orang itu tiba di hadapannya, di sisi pintu kemudi, di dekat trotoar. Mata itu berkilat nakal saat bibirnya menyungging seringai.

"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini, Blace Flannery." Orang itu menyentuh ujung rambut hitam Blace, memilin di jemarinya dengan gerakan menggoda. "Pertemuan awal kita sepertinya tidak bagus ya,"

Blace merasa sesak napas, aura mengerikan menyelubungi mereka berdua.

Orang itu meraih tangan yang mengenakan cincin berlian di jemarinya, lalu mengecup punggung tangan seolah ia memang sedang memberi salam pada seorang Lady. Seringai itu muncul lagi. Mata hijau itu tampak lebih terang dari yang ia ingat. "Kenalkan, namaku Nate Vlidimir, senang bisa berkenalan denganmu lagi, di situasi yang berbeda."

***
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bonus pict :)

(2661 kata)

(Kamis, 21 Maret 2019)
Salam P A H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top