F O R T Y F I V E🔫
Blace tidak bisa berpikir!
Dia tidak pernah membayangkan dirinya ada di dekat orang berbahaya, yang menjadi musuh Havrelt, sekaligus seseorang yang mereka cari untuk pembalasan dendam Havrelt. Tidak ada seorang pun yang mengajari atau sekadar menyarankannya bagaimana caranya melarikan diri dari seseorang yang berbahaya dan penuh daya tarik seperti Nate. Tidak ada.
Nate tampak begitu tenang dan sekilas tidak terancam. Namun, Blace tidak bisa menyakinkan dirinya ia sudah aman sekarang. Nate adalah musuh Havrelt, seseorang yang mencuri barang dan mengkhianati sahabatnya sendiri. Bahkan sampai sekarang dia tidak tahu apa-apa tentang mengapa Nate melakukan semua rencana itu. Dan mengapa dia selalu bisa bersembunyi dengan baik.
Terakhir kali ia melihat wajah Nate—yang ternyata menyamar sebagai Karl—di pesta, dia terlihat berbeda sekarang. Rambut pirang itu tersisir rapi terganti dengan rambut yang dibiarkan berantakan, acak-acakan tapi terlihat seksi. Baju formal hitam terganti dengan baju santai yang terbungkus oleh mantel hangat. Senyum ramahnya terganti dengan seringai nakal menggoda. Oh, Blace tidak tahu mengapa ia berpikir Nate terlihat sangat seksi. Cepat-cepat ia menghapus pemikiran dari batinnya.
Blace mencoba menarik tangannya dari genggaman Nate. Ia merasa tangannya menjadi dingin layaknya menyentuh salju. Pucat, menggigil dan butuh kehangatan. Inilah yang tidak Blace sukai dari musim dingin, dia hanya akan selalu direpotkan untuk menjadi kehangatan agar suhu tubuhnya tetap normal. Sepintas ia berpikir, mungkin Nate akan menyentuh tangannya lagi, seketika itu ia memasukkan tangan dalam saku mantel.
Jantung Blace berdegup kencang lagi. Rasanya perutnya kram saat ia semakin merasa bahaya sedang mencekiknya. Kepulan uap muncul saat bernapas pelan tapi cepat. Lalu ia melihat Nate tersenyum, senyum manis yang mengingatnya pada Karl. Pria ini memang punya senyum yang mempesona.
"Aku masih tidak percaya melihatmu ada di sini, tadinya kupikir, aku mengira melihat orang lain." Nate ikut memasukkan kedua tangan ke saku mantel. Kepulan uap juga muncul saat ia berbicara. Menandakan betapa dinginnya sore itu. Salju memang belum turun banyak, tapi udaranya bisa membekukan siapa saja jika ada orang bodoh yang berkeliaran tanpa baju hangat.
Blace bergerak gelisah. Ia juga tidak tahu harus berbicara dan menjawab apa, terlebih ia tahu siapa sebenarnya Nate Vlidimir.
"Wajahmu pucat sekali," Nate terkekeh. "Sepertinya kau sudah tahu siapa aku, kan? Aku mengenalkan namaku dengan baik. Mungkin kau sekarang berpikir, musuh seorang Dimitry yang mencuri barang berharga dan seorang pengkhianat? Seseorang yang berbahaya yang jauh lebih pantas dibasmi? Apakah kau berpikir begitu? Apakah menurutmu aku seburuk itu? Apa secara tidak sadar di antara kita berdua ... bahwa kita juga bermusuhan?"
Blace memalingkan wajah, ia tidak bisa menatap Nate karena jika ia melakukannya, Nate akan tahu, Blace sangat ketakutan. Ia hanya berharap suaranya tenang dan menyakinkan. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Aku tahu siapa dirimu, itu benar. Aku tidak berpikir kau pantas dibasmi, karena yang pantas dibasmi adalah serangga, sedangkan kau adalah manusia. Kurasa bukan hal yang bagus. Apa kita bermusuhan juga? Kurasa begitu. Akan lebih baik kau tidak berusaha untuk mengajakku berteman, karena dengan jelas aku ingin berkata, aku berada di pihak Havrelt," Blace mengangkat wajah, mencoba menatap Nate. Tadi nada suaranya cukup bagus, ia tampak tenang. Walau sebenarnya Blace berusaha untuk tidak menjerit ketakutan.
"Benarkah?" Nate terkekeh lagi. Ia menyadarkan tubuhnya menutupi pintu kemudi, seolah mencegah Blace melarikan diri. "Aku lebih suka jika kau memilih berpikir bahwa kita bukan musuh. Aku suka lebih dari itu, mungkin ... menjadi kekasihku?"
Kernyitan muncul di kening Blace. Ia tidak bingung, hanya saja ... apa Nate baru saja menembaknya? Lalu Blace tidak bisa menghentikan pikirannya berkelana ke arah negatif, bagaimana jika sekarang Nate malah menembaknya dengan senjata api? Baiklah, itu mengerikan. Blace merasa pertahanan yang baru saja ia bangun agar ia tetap tenang, runtuh seketika. Tiba-tiba ia menggigil hebat. Bukan karena udara dingin, tapi rasa takut mulai mendatanginya.
Nate menarik lengan Blace tiba-tiba, hingga Blace merasa pipinya sudah menempel mantel hangat Nate. Dan jarak mereka sangat dekat.
"Kau mengingatku pada seseorang," Nate menyentuh rambut, membiarkan jemarinya merasakan helaian panjang itu. "Mungkin sekarang dia juga seumuran denganmu,"
Secepat yang ia bisa, Blace menjauh dari Nate. Pria itu juga melepaskannya hingga mereka berada di jarak yang aman. Blace mengetahui jika dirinya semakin tegang dan tidak nyaman berada di sekitar Nate.
Lalu saat itu terdengar sebuah tawa yang mengingatkan Blace pada Karl. "Oh, wajahmu tambah pucat," Nate mengulurkan tangan, mencubit pipi Blace yang tidak sempat menghindar, pria itu bergumam dan Blace mendengarnya. "Lucu,"
Samar-samar Blace merasakan pipinya kembali berwarna, Blace berusaha menepis tangan Nate yang bergerak kurang ajar di pipinya. Baru saja ia akan mengeluarkan kemarahannya, Nate menyingkirkan dari pintu kemudi, membuka pintu itu dengan lebar.
Blace tidak bisa menahan kebingungannya. Dan karena itu Nate kembali bicara.
"Kau boleh pergi, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan padamu jika kau bersamaku lebih lama lagi," seringai di bibir Nate muncul, "aku juga tidak berniat membawamu bersamaku, mengingat kita berada di pihak yang berbeda."
Melihat jalan untuk kabur terbuka sangat lebar. Akhirnya Blace memilih masuk ke mobil, baru saja ia ingin menutup pintu. Nate menunduk ke arahnya, membuat Blace memalingkan wajahnya ke arah yang berseberangan.
"Aku yakin kita akan bertemu lagi, dan aku sangat menanti hari itu."
Tidak ada suara yang keluar dari mulut Blace, ia menunggu sampai Nate menjauh darinya, menutup pintu dan melambai saat ia melajukan mobil pergi dari tempat itu.
Nate menatap kepergian Blace dengan tatapan misterius, ia menguar rambutnya ke belakang dengan gerakan puas. Ia tidak pernah kesenangan saat bertemu seseorang yang tidak ia kenal dengan baik. Tapi melihat Blace Flannery muncul di sekitarnya, tanpa Havrelt, membuat Nate ingin menyapa perempuan itu.
"Nate? Aku melihatmu bicara dengan seseorang tadi,"
Nate membalikkan badannya, menemukan Cathernie yang menggenggam beberapa paperbag kecil dengan logo toko perhiasan. Nate membuka pintu penumpang mobilnya, yang kebetulan terparkir di samping mobil Blace sebelum mobil itu pergi.
Cathernie merenggut kesal dan tidak puas karena Nate menutup mulutnya. Perempuan itu menghampiri Nate. "Tapi sepertinya aku sedikit mengenalinya,"
"Di mana?"
"Di dalam toko, dia membeli rantai kalung sederhana." Cathernie masuk ke mobil dan duduk di kursi penumpang. "Aku sedikit kaget melihatnya, dia cantik dan terlihat seperti boneka hidup yang bisa bicara,"
Nate terkekeh, ia menutup pintu Cathernie dan masuk ke mobil, duduk dibalik kursi kemudi.
"Kau kenal dia?" Cath kembali bertanya. "Apa dia pacar barumu?"
"Aku tidak kenal, kami hanya mengobrol sebentar." Nate menyungging sebuah senyuman nakal. "Dan bagaimana bisa aku punya pacar baru jika ada wanita cantik di sampingku,"
"Hentikan rayuanmu!" cibir Cath menaikkan suaranya. "Cepat, jalankan mobilnya. Aku ingin segera pulang,"
"Sabar, cantik." Nate mengedipkan sebelah matanya pada Cath. Lalu melajukan mobil mewahnya pergi dari sana. "Kita akan segera pulang,"
***
Sebenarnya Blace ingin langsung bertemu dengan Havrelt, yah, setidaknya ada seseorang yang ia kenal di negara ini. Blace sudah pergi ke hotel tempat mereka menginap, ternyata Havrelt memang tidak punya hati dan meninggalkannya sendirian di Tokyo. Mereka sudah check out dari hotel.
Sekarang karena Blace tidak punya tujuan, ia duduk sendirian di sebuah restoran yang cukup mewah. Tubuhnya bersandar nyaman di sofa besar, di sampingnya terdapat jendela restoran yang menghadap ke trotoar pejalan kaki yang berlalu lalang tanpa henti. Blace tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana, memesan kopi hangat untuk mencegah rasa ngantuk hingga beberapa gelas. Mungkin Blace sudah duduk selama dua-tiga jam, yang jelas sore itu sudah berubah menjadi malam.
Mengenai pertemuan yang tak terduga antara dirinya dan Nate, masih saja tergores dalam benaknya. Blace memang ketakutan, apalagi jika pikiran liarnya menduga-duga, bagaimana kalau sebenarnya Nate mengejarnya? Tapi itu tidak terjadi, dan hal itu masih menjadi imajinasi liar milik Blace yang belum terwujud.
Seorang pelayan menghampiri Blace untuk keempat kalinya.
"Sumimasen, apa anda yakin tidak ingin memesan makanan? Kami menyediakan beberapa masakan Jepang yang sangat enak untuk dinikmati." Pelayan lelaki itu tersenyum padanya, dia punya wajahnya yang lumayan enak dilihat dan manis, khas orang jepang.
Blace tidak langsung menjawab, ia membuat mantelnya—sedari tadi lupa ia buka dan menaruhnya dengan rapi di samping tempat duduk. Perut Blace tiba-tiba melilit dan berbunyi pelan. Ia mengamati ekpsresi pelayan itu yang masih tersenyum padanya, seolah tidak mendengar suara perut yang baru saja meminta makanan.
Blace mengulurkan tangannya meraih menu, sepertinya ia memang harus makan. Lalu tak membuang waktu lebih banyak lagi, Blace menyebutkan beberapa makanan. Salad buah manis, satu porsi Soba, satu porsi sup miso, satu porsi nasi kari penuh sayuran, satu red velvet cake besar dan beberapa minuman hangat untuk menghangatkan suhu tubuhnya dari musim dingin.
Saat pelayan itu pergi, kepala Blace berdenyut keras seolah ada yang menghujamkan beberapa jarum tajam di sana. Sambil menghela napas, ia memijit keningnya. Satu tangannya lagi menyentuh cincin yang telah menjadi liontin kalung, yang sekarang melingkar di lehernya.
Blace memejamkan matanya, lalu menyadarkan tubuhnya kembali pada sandaran sofa. Entah kenapa rasanya ini adalah hari kesialan untuk Blace. Apa ada hal yang lebih buruk dari hari ini? Havrelt meninggalkannya sendirian di Tokyo, ia terjebak di firasat buruknya dan bertemu dengan Nate. Lalu sekarang, ia sedang menunggu makanan datang.
Setelah menunggu beberapa menit, seseorang tiba di samping meja. Blace tetap menutup matanya, pura-pura tertidur agar pelayan itu menaruh semua makanan di meja. Tapi rasanya ini baru tiga menit sesudah ia memesan. Apakah pelayanan di sini memang sangat cekatan?
Pelayan itu duduk di samping Blace, bahu keras itu menyentuh bahunya. Karena tidak terlalu peduli, Blace membiarkannya saja. Samar-samar firasat Blace berdering aneh, ia bisa mencium aroma parfum memabukkan yang mengingatnya pada seseorang, dari pelayan yang duduk di sampingnya. Tiba-tiba saat itu, tanpa bisa menghindari, Blace merasakan sebuah tangan kokoh menyentuh rahangnya, ibu jari itu bergerak-gerak di pinggir rahang, pipi dan dagunya. Awalnya Blace ingin menepis dan memarahi pelayan karena tindakan kurang aja itu, tapi Blace merasa masih mengambang dan kepalanya berdenyut lagi. Ia mulai menikmati rasa nyaman yang tidak terasa asing itu dari sang pelayan.
"Witch,"
Sontak Blace membuka matanya, bersamaan dengan suara terkesiap dan hantaman keras nan menyakitkan di kepalanya. Blace menemukan Havrelt berada di dekatnya, terlalu dekat dan sangat mengintimidasinya. Netra abu-abu menghujamkan tatapan tajam mematikan padanya. Saat itu juga, Blace tahu pria itu sangat marah padanya. Tunggu! Jadi Havrelt masih punya hati dan tidak meninggalkannya di Tokyo?
"Betapa aku sangat senang bisa menemukanmu sedang bersantai di sini," ada nada sindiran dalam suaranya. "Apa kau menikmati waktu liburanmu tanpa kami? Apa kau menikmati bahwa sebenarnya kami mencarimu ke mana-mana dan harus menunggu agar kau kembali. Apakah kau menikmati semua itu?"
Blace berusaha menjauh dari Havrelt, karena kedekatan mereka malah memicu rasa panik dalam diri Blace, memicu detak jantung yang kembali menggila dengan irama aneh. Saat itu rasanya seolah Havrelt sedang memeluknya, seolah mereka akan berada di situasi yang membawa mereka ke hal yang intim. Tidak! Mereka tidak bisa bicara seperti ini. Tangan Havrelt yang berada di rahangnya tiba-tiba mengencang. Blace bergerak panik, apakah Havrelt berniat sungguhan mencekiknya?
"Tidak, oh astaga, kau salah paham." Blace mencoba berbicara tenang, tapi suaranya terdengar melengking dan ketakutan. Ia menyentuh tangan Havrelt di rahangnya, mencoba memindahkan tangan itu dari sana. Cara Havrelt mengintimidasinya sangat mengerikan! Lebih mengerikan dari ia bertemu dengan Nate.
"Maaf, permisi," seorang pelayan muncul. Orang itu adalah orang yang sama saat Blace memesan tadi, sekarang dia datang menghampiri mereka dan membawa troli berisikan makanan. "Selamat menikmati makanannya," ia menyajikan semua makanan itu dengan rapi di meja.
"Tunggu," suara Havrelt terdengar begitu dingin saat ia mencegah sang pelayan pergi. "Hitung tagihannya, aku akan membayarnya sekarang."
"Tidak, jangan. Biarkan aku makan terlebih dahulu," Blace mencoba menghentikan tindakan Havrelt, sudah pasti, Blace sudah menebaknya. Havrelt akan memaksanya untuk mengikuti pria itu dan meninggalkan makanan yang begitu lezat tanpa menyentuhnya.
Si pelayan terlihat bingung, sebelum akhirnya mengangguk dan menuruti apa yang Havrelt katakan. Setelah menyelesaikan pembayaran, Havrelt kembali berpaling pada Blace. Sekarang tangannya sudah tidak berada di rahangnya lagi, berarti Blace bisa sedikit lega karena Havrelt tidak berniat mencekiknya.
"Kita perlu bicara,"
Lambat-lambat, Blace mengangguk.
"Kita akan bicara, tapi tidak di sini."
Havrelt menarik tangan Blace, pria yang selalu tidak sabar itu tidak mau mendengar suara Blace, walau itu hanya sekadar mengatakan 'iya'. Sebelum mereka benar-benar pergi, tangan Blace yang satu lagi sempat menyambar mantelnya.
Matanya terpaku pada genggaman tangan Havrelt yang kokoh, jemari milik Blace begitu mungil dan butuh kehangatan. Dan Blace tidak berusaha melepaskan genggaman tangan mereka.
Sebelum benar-benar meninggalkan restoran, sekilas Blace menoleh pada makanan yang terhidang cantik di meja, masih tidak tersentuh dan sangat mengiurkan.
Oh tidak, makananku!
***
.
.
.
.
.
Secuil jejak anda (vote+komen) sangat berarti :)
Follow Instagram @risennea
(2051 kata)
(Sabtu, 23 Maret 2019)
Risennea
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top