F I V E T E E N🔫
Malam itu, seorang pria berpakaian gelap turun dari mobil Aston Mastin di depan Hotel mewah bintang lima, yang terletak sempurna di tepi sungai Thames, yang hanya beberapa langkah dari Covent Garden yang semarak. Tulisan 'S A V O Y' terpapang di depan gedung. Hotel The Savoy sudah dikenal dengan layanan terbaik, dan dipuji para bintang dan jet-set global, itulah alasan pria itu berada di sana untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah lelah dengan pelariannya, sekaligus dia dibayar gratis di hotel ini selama tiga hari. Well, sebenarnya ia juga sudah menyewa apartemen mewah saat tiba di London lima hari yang lalu. Angin malam yang akan memasuki musim dingin berhembus cukup kencang, membuat mantel yang dikenakan pria itu berkibar.
Mata hijau itu tampak misterius, surai halus rambut pirangnya juga berkibar mengikuti mantelnya yang terus melambai. Tak membuang waktu lebih banyak, Nate melangkah kakinya memasuki gedung, seraya menarik koper yang sudah diturunkan oleh supir, bersamaan dengan mobil yang ditumpanginnya, yang dikendarai oleh supir, pergi dari sana.
Ada beberapa alasan kenapa ia berada di London dan apa yang ia lakukan pada negara yang seharusnya ia hindari. Nate punya tujuan yang sangat penting di negara itu, ia datang kemari ditugaskan memata-matai orang yang menjadi targetnya, juga menjalankan rencana balas dendam pada orang yang sama. Biar Nate penjelas, targetnya adalah Havrelt Ryder Dimitry. Ia bukan ditugaskan untuk membunuh pria itu, tetapi mematai pergerakannya jika ia melakukan sesuatu yang mencurigakan. Karena ketika pria itu mencarinya, Nate akan lebih mudah melarikan diri, membuat dirinya seperti bayangan pria itu.
Enam bulan yang lalu, pria itu bahkan tidak menemukannya. Nate memang sering disebut ular, karena ia bisa lebih licik dari ular yang menangkap mangsa saat ia membuat rencana melarikan diri. Dua bulan awal saat ia melarikan, ia berada di Cook Islands yang berlokasi di Samudera Pasifik, tepatnya sebelah timurlaut Selandia Baru. Sengaja memilih negara yang tidak terkenal karena Nate pikir keberadaan akan lebih sulit diakses. Dan benar saja, selama di sana tidak ada tanda-tanda Havrelt yang mencarinya. Lalu karena bosan dengan Cook Islands, Nate pindah lagi Korea Utara, Thailand, Malaysia, Spanyol, secara berskala. Terakhir ia memilih Dubai menjadi pemberhentiannya. Lima hari yang lalu ia tiba London karena suatu alasan. Tidak ada yang dirugikan, karena selama pelariannya ia juga bisa berkeliling dunia.
Nate tidak perlu berlama-lama saat di meja resepsionis, deposit hotel sudah dibayar oleh orang yang membuatnya berada di London. Setelah mengetahui di mana kamarnya berada, ia menyuruh pengawai hotel membawa kopernya ke kamar yang ditempatinya. Sebelum pengawai hotel itu pergi, ia mengingatkan agar berhati-hati dengan kopernya dan melarang membuka koper, setelah itu ia memberi uang tip dan pergi dari sana.
The American Bar adalah bar koktail bertahan lama terpanjang di London dan salah satu yang paling terkenal di dunia. Dan The American Bar lah yang menjadi tujuannya sebelum ia kembali ke kamar. Arloji di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 11.02 malam, Nate langsung mengerutu mengetahui hal itu, seharusnya ia sudah berada di kamarnya sekarang.
Saat memasuki bar, suara piano yang dimainkan oleh sang pianis, yang menyajikan musik live, juga dengan suara bising dari orang-orang yang cukup ramai, menyambutnya saat itu. Nate tidak peduli dengan keramaian itu, langkah kakinya terus fokus pada tujuan. Seseorang sudah menunggunya dengan dua bodyguard yang berdiri di belakangnya.
"Nate Vlidimir. Selamat datang di London." Seorang pria berambut hitam menyambut kedatangannya dengan riang. Pria itu berdiri, mengulurkan tangannya, dan Nate menyambut uluran tangan itu, dan bersalaman dengan hangat.
"Eugene ReyAgler. Senang akhirnya kita bisa bertemu lagi," bibir Nate menyeringai. "Sebenarnya aku sudah tiba di sini lima hari yang lalu, jadi tidak perlu menyambutku secara berlebihan."
Eugene terkekeh, tapi tidak mengatakan apa-apa. Akhirnya mereka duduk berhadapan, dan mulai membicarakan tujuan mereka.
Eugene ReyAgler adalah seorang mafia dari Rusia. Dia tidak seramah tampangnya, mempunyai wajah ramah yang selalu menipu, untuk ia manfaatkan saat melakukan manipulasi target yang ingin ia hancurkan. Ambisinya cukup membuat semua targetnya hancur dan memperoleh kerugian yang besar. Eugene dan Nate punya target yang sama, yaitu Havrelt Ryder Dimitry. Karena kesamaan target untuk menyengsarakan Havrelt, mereka melakukan kerja sama. Sebenarnya mereka sudah saling lama mengenal, tapi baru berbisnis selama empat bulan yang lalu. Akan Nate jelaskan hubungannya dengan Havrelt, pria itu adalah mantan sahabatnya saat ia remaja menjadi musuhnya karena kelakuannya yang tak bisa ia maafkan. Mulai saat itu, ia mulai memiliki dendam, dan membuang jauh-jauh arti persahabatan mereka yang tak berguna lagi.
Eugene menyesap koktail yang disajikan dalam gelas khusus, lalu berkata. "Aku tidak pernah meremehkan kemampuanmu dalam melarikan diri, Nate. Ketika pesta yang terjadi tiga hari yang lalu kacau balau, kau masih bisa melarikan diri dan dia bahkan tidak tahu kau berada di sini. Kau hebat, Nate."
Nate mengetahui siapa yang dimaksud dengan dia dalam ucapan Eugene, selamanya ia akan selalu membenci pria yang bernama Havrelt Ryder Dimitry. Dan mengenai pesta tiga hari yang lalu, ia memang baru saja memulai aksi mata-matanya malam itu, dan saat itu ada sedikit kendala. Kendala yang cukup manis.
Mata hijau Nate tampak berkilat, "Kau selalu tahu kemampuanku, Eugene. Jadi kau tidak perlu memujiku terlalu sering."
Eugene kembali terkekeh, ia meraih gelas yang kembali terisi koktail, menyesapnya hingga tandas. "Kenapa kau selalu tidak suka dipuji?"
Kali ini Nate meraih segelas martini dan menyesapnya dengan pelan. "Karena pujian selalu terdengar memuakkan."
"Kau selalu mengatakan hal yang sama, sampai aku bisa menghafalnya."
Tiba-tiba saat itu, seorang bodyguard membisikkan sesuatu sambil menyerahkan ponsel kepada Eugene. Setelah mendengar bisikan bodyguardnya, Eugene berpaling ke arah Nate seraya melirik arloji di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul 11.45 malam.
"Sayang sekali, Nate. Sepertinya kita harus melanjutkan pembicaraan kita besok. Aku lupa kalau masih punya bisnis lain di tengah malam nanti. Tepatnya 15 menit lagi."
Nate berdecak kesal. "Sialan kau Eugene. Kita bahkan belum membicarakan apa pun. Kau yang mengajakku bertemu, dan kau juga yang meninggalkanku tanpa menyelesaikan bisnis utamanya. Kita belum selesai. Ceritakan apa yang kau inginkan?"
Eugene tidak mendengar ucapan Nate, ia bangkit dari duduknya. Menepuk bahu Nate dua kali. "Kita akan lanjutkan nanti."
Pria itu pergi dari sana, tanpa mendengarkan jawaban Nate, dengan ponsel yang berada di telinganya, Eugene semakin jauh dari sana bersama bodyguardnya.
Nate menyesap martini di gelas yang lain. Dan mengumpat dalam hati.
'Sialan kau Eugene! Kebiasaanmu tidak pernah berubah, membuatku selalu membuang waktu.'
Tidak heran jika sikap Nate tadi tidak segan-segan mengumpati Eugene yang menurutnya keterlaluan. Karena mereka sudah cukup mengenal, seperti mereka tidak perlu menghormati satu sama lain dengan pembicaraan yang formal.
*****
Nate tiba di kamarnya, langsung masuk dan mengunci pintunya. Ia melihat kopernya berada di dekat ranjang yang berada di tengah ruangan. Mata hijau itu mengamati sekitar, dan ia membatin dalam hati setidaknya Eugene masih berbaik hati memesan suite terbaik di hotel ini.
Nate membuka mantel, melipatnya dan menaruhnya dengan rapi di atas sofa. Ia membuka koper di atas lantai, membuka zippernya dan meraih sesuatu di dalam sana.
Beberapa foto dengan wajah yang sama, yang selalu menganggunya beberapa hari yang lalu. Nate berjalan ke sofa dan duduk di sana. Tangannya melihat foto wanita yang ia ajak bicara di pesta keluarga Ericsson. Wanita yang membuat rencana mematai-matainya gagal dan teralihkan pada wanita yang menarik itu.
Ia melihat potret pertama wanita itu bersama dengan orang yang ia kenal, James Alexis, yang mengandengnya masuk ke dalam pesta, juga wanita itu terlihat menemani James berbicara dengan tamu yang lain di potret yang lain.
"Blace Flannery," bisiknya, entah mengapa nama itu sedikit tidak nyaman diucapkan.
Saat ia menjadi Karl di pesta, wanita itu tidak bohong tentang namanya pada Nate. Nate sudah membaca identitas diri Blace, saat menyewa detektif untuk menyelidiki siapa Blace sebenarnya. Awalnya ia pikir ia akan menemukan fakta bahwa James adalah kekasihnya. Tapi bukan, Blace Flannery adalah peramal mahal di Skotlandia.
Nate bertanya-tanya apa yang wanita itu lakukan di London. Mengingat kejadian malam itu, Nate tidak bisa menjelaskan jika dirinya entah mengapa berkeinginan memiliki wanita itu, dan ia sedikit tertarik dengan Blace. Nate tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan. Ia ingat saat di pesta itu, pikirannya terpusat pada Blace, bahkan ia tidak begitu peduli dengan tembakan yang sempat melukainya, walaupun sekarang ia sudah mengobatinya.
Apalagi ia sempat menangkap basah, saat ia ingin menjemput Blace, ia melihat Havrelt menarik Blace dan membawanya pergi dari pesta, di tempat parkir.
Nate memandang potret Blace di tangannya, rencana licik berkeliaran di pikirannya. Ia punya sesuatu yang bisa ia rebut dari Havrelt, untuk kesekian kalinya, setelah ia mencuri senjata-senjata dan satu set perhiasan milik Havrelt. Walaupun ia tidak yakin apa hubungannya mereka berdua. Seperti dugaannya wanita itu berarti besar dan berharga untuk seorang Havrelt. Sebagai orang yang pernah menjadi teman seorang Havrelt, ia sangat mengenal lelaki itu. Pria itu tidak suka merepotkan diri sendiri, baginya wanita adalah yang paling merepotkan. Bahkan tak segan ia membunuh wanita yang merepotkannya.
Mengingat Havrelt pernah membunuh wanita, amarah Nate muncul dan ia tidak terima dengan perlakuan itu.
"Blace Flannery." Nate kembali berbisik. Ia sudah bertekad, saat pertama kali melihat wanita itu, ia yakin dengan instingnya, jika wanita itu pantas berada di sampingnya. Bagaimana caranya ia harus merebut Blace dari Havrelt. Apa pun caranya.
******
Blace tidak menemui Havrelt.
Hari yang dijanjikan oleh Havrelt rasanya tiba begitu cepat. Bukannya ingin mengeluh, tapi rasanya sangat menyebalkan mengingat ada orang yang memerintah Blace seenaknya saja. Hari itu adalah hari ini.
Apalagi tadi pagi James sudah mengingatkannya dan mengatakan jika ia harus menemui Havrelt di jam 10 malam, dan Blace rasa ia sudah melewati jam itu saat ia mencoba bersembunyi.
Blace mengeratkan sweater yang cukup hangat untuk musim gugur yang akan berganti. Ia tidak tahu berapa jam Blace bersembunyi, yang jelas ia sudah berada lama di gazebo itu, gazebo tempat Blace bertemu dengan Freya, yang berakhir dengan masalah untuk dirinya.
Ia merinding tiap kali merasakan angin membelai pipinya dengan udara yang dingin itu. Blace duduk memeluk lutut, ia tidak tahu harus berapa lama lagi ia berada di sini. Apa sudah terlalu larut untuk kembali ke kamarnya?
Sebenarnya hidup Blace lumayan menyenangkan di mansion Havrelt, pria itu menyediakan setiap kebutuhannya seperti pakaian dan makanan, juga kamar yang bagus. Blace seharusnya tidak mengeluh dengan kebaikan Havrelt padanya, tetapi mau bagaimana lagi, ia ketakutan setengah mati saat tiap kali mengingat bayangan Havrelt mencekiknya dan mengancamnya. Ia sungguh ketakutan. Bahkan tak jarang ia mimpi buruk ketika tiap kali ia tidur.
"Sampai kapan kau akan terus bersembunyi?"
Suara bariton itu membuat Blace merasakan rasa ketakutan semakin mencekik pernapasannya, ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Mata hitam bening milik Blace mendapati Havrelt berdiri begitu angkuh, berjarak satu meter di depannya. Refleks Blace terkejut dan menjerit, ia tidak menyangka akan berhalusinasi pria itu di hadapannya, yang menatapnya tajam seperti biasaanya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Blace merasa sedikit gila karena ia berbicara dengan halusinasinya sendiri.
Havrelt tidak menjawab pertanyaannya, pria itu memilih duduk di sampingnya lalu menatapnya tajam dan menusuk.
"Aku menunggumu. Tapi kau malah bersembunyi. Kau harus tahu satu hal, setiap sudut mana pun, mansion ini selalu dipasang kamera pengintai, jadi kau tidak perlu bersembunyi atau melarikan diriku. Karena selalu aku bisa menemukanmu."
Blace duduk tidak nyaman di tempatnya, ia menurunkan lututnya ke lantai. Keraguan mulai bersarang di hatinya. Apa bisa orang yang menjadi halusinasinya berbicara banyak dan sombong? Blace benar-benar kehilangan kewarasannya.
Atau mungkin ini adalah Havrelt yang nyata. Tanpa bisa menahan tangannya, ia harus memastikan sebelum Blace berubah menjadi gila, jemarinya menyentuh bahu Havrelt dengan gerakan cepat. Ia bisa merasakan otot bahu yang keras milik Havrelt di bawah tangannya. Dan ketika ia menarik tangannya, wajah Blace langsung memanas. Apa yang ia pikirankan? Tentu saja Havrelt yang berada di sampingnya adalah nyata. Bukan halusinasinya.
"Aku tidak bersembunyi," bisik Blace menjawab dengan malu, melupakan jika seharusnya ia bersikap formal pada pelanggannya.
"Lalu apa?" Havrelt sedikit mengerutkan keningnya, mengingat beberapa detik lalu si penyihir menyentuh bahunya.
Blace terdiam, ia tidak menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Havrelt. Pada akhirnya, Blace lebih memilih membungkam mulutnya.
Havrelt menatap Blace dengan tajam, "Aku sekarang jadi meragukanmu, bisakah kau menemukan barangku dengan cepat?"
Mata Blace juga menatap Havrelt, pria itu selalu tampil tampan di setiap pakaian yang ia kenakan. Lihat, Havrelt hanya memakai kaus polos dengan sweater yang juga membalut tubuh berototnya. Blace berkedip dua kali, apa ia baru saja memuji seseorang?
"Tergantung, tapi malam ini aku sedang tidak ingin meramalmu." Blace mengatakan apa yang ingin ia utarakan, seraya mengetuk jemarinya dengan gugup. Sesekali melirik Havrelt yang masih menatapnya dengan tatapan tajam.
"Aku tidak menerima pendapatmu, Witch. Jangan membuang waktuku lebih lama, selesaikan saja tugasmu."
Blace menghela napas. Apa yang bisa ia lakukan untuk menolak permintaan orang yang berkuasa ini? Blace melirik tangan Havrelt yang tergepal, di atas pegangan kursi. Entah mengapa, ia membayangkan jemari itu mengenggamnya, dan menghangatkan tangannya yang kedinginan karena udara malam. Maka saat itu, ia memutuskan untuk melakukannya. Dengan mengatas-namakan meramal. "Baiklah, kemarikan tanganmu."
"Kenapa dengan tanganku?" walaupun Havrelt bertanya, pria itu tetap mengulurkan tangannya ke Blace.
Blace meraih tangan itu, "Karena aku harus memastikan nasibmu tidak seburuk waktu pertama kali aku meramalmu dengan garis tangan. Kau tahu, ramalan bisa berubah-ubah dan tidak selalu benar. Dan akan selalu berubah jika seorang manusia melakukan pilihan yang berbeda dari takdirnya."
Blace membawa tangan itu mendekatinya, meletakkan di atas lututnya yang tertutup kain lembut. Saat itu jemarinya menyentuh tangan Havrelt, melepaskan kepalan lemah yang ada di sana, sampai ia bisa melihat setiap permukaan garis tangan Havrelt. Blace menyembunyikan sedikit senyuman di sudut bibirnya.
Sebenarnya Blace tidak begitu niat untuk meramal Havrelt, Blace malu mengakuinya jika ia hanya ingin menyentuh tangan Havrelt. Ia menyentuh garis tangan Havrelt dengan pelan dan mulai meraba ramalan seperti apa yang diperoleh Havrelt. Lalu Blace mulai memejamkan matanya.
"Masih sama," Blace berbisik, "kau masih diliputi kerugian yang besar, Tuan Havrelt. Banyak orang yang ingin mencelakaimu, juga keluargamu. Kau harus berhati-hati untuk memulai hubungan dengan siapa pun, karena yang dekat bisa menjadi musuhmu."
Blace tersenyum, ia tidak berbohong tentang apa yang ia katakan. Ia mengatakan kejujuran apa yang ia dapati di dalam kemampuan istimewanya. Entah sejak kapan, ia merasakan kehangatan melingkupi sekitarnya, menghangatkan jemarinya dan menenangkan diri Blace. Ia membuka matanya, menoleh pada Havrelt dan mendapati pria itu tampak menegang. Apa mungkin pria itu khawatir terhadap apa yang ia katakan?
Senyum itu menghilang dari bibir Blace, matanya memancarkan keseriusan. "Tidak perlu khawatir, aku akan meramal benda itu dan akan segera menemukannya."
Blace mengernyit, ia sedikit heran melihat ekspresi Havrelt yang masih menegang, tapi terpaku pada tangannya yang disentuh Blace. Saat itu Blace mencoba mencari tahu apa masalahnya. Seketika mata Blace terbelalak, melihat tangannya sendiri sudah mengenggam erat tangan Havrelt. Jemarinya bertautan dengan Havrelt begitu sempurna dan pas. Dan kehangatan itu melingkupi dirinya, sedikit menghilangkan hawa dingin.
Seketika wajahnya memerah, jantung Blace berdetak lebih kencang dari biasanya. Apalagi rasa panik, menyerang dirinya. Betapa tidak tahu malunya Blace, ia baru saja mengenggam tangan pelanggannya, biasanya ia hanya perlu menyentuh sedikit saja untuk meramal, dan Blace telah melewati batasnya sebagai peramal. Dengan panik Blace menarik tangannya dari Havrelt, tetapi saat itu gagal karena ia merasakan tangan Havrelt juga bertautan dan balas mengenggamnya.
Saat itu mereka bertatapan, terpaku pada tatapan yang menyihir mereka, mengabaikan dengan sekitar mereka. Udara semakin berhembus membawa hawa dingin begitu keji malam itu, tapi yang mereka rasakan adalah sebaliknya. Tidak ada kedinginan, hanya ada kehangatan.
Mulut Havrelt terbuka, dan berkata dengan pelan. "Kenapa kau mengenggam tanganku seperti ini?" Havrelt mengeratkan tautan tangan mereka.
Blace membisu, ia merasakan jika wajahnya semakin memanas hingga ke leher dan seluruh tubuhnya. Ditambah dengan detak jantungnya yang menggila di setiap tarikkan napasnya. Tubuhnya bergetar, getaran yang mendebarkan yang menghasutnya untuk lebih menyentuh Havrelt. Tapi tidak Blace lakukan, karena hal itu terlarang. Blace sudah menetapkan prinsip yang tidak bisa diubah, setiap pelanggan adalah larangan baginya. Larangan untuk menyentuh lebih, seperti mengenggam tangan, pelukan, dan ciuman. Juga larangan untuk jatuh cinta pada pelanggannya.
Blace merasa tidak nyaman, saat Havrelt memaksa tangannya, menariknya mendekati Havrelt. Blace nyaris membuka suaranya saat ia merasakan elusan halus di kulitnya, sentuhan yang semakin mengetarkan tubuhnya, dan mengirim geleyar aneh seperti banyak kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya.
"Kenapa kau mengenggamku?" tatapan tajam itu sedikit menghilang dari wajahnya Havrelt, tergantikan dengan ekspresi yang tidak bisa Blace tebak.
Blace tidak bergerak, saat melihat tangannya dibawa di depan bibir Havrelt. Pria itu meninggalkan beberapa kecupan di sana. Mata hitam Blace tampak berkilat, ia sama sekali tidak menolak, tidak berusaha menarik tangannya dan menampar Havrelt yang kurang ajar. Blace masih tidak bergerak, perasaan aneh menyelusup ke dalam dirinya, ia mendambakan sentuhan lebih dari Havrelt.
Saat merasakan tangannya sudah basah, lalu merasakan gigitan tertancap keras di kulit tangannya. Blace menjerit pelan dan menarik tangannya. Ia merasa denyut di kulitnya dan mengirim rasa sakit. Rasa sakit lah yang sudah menyadarkannya dari ikatan magis di antara mereka.
Blace bangkit dari duduknya, mengenggam erat kain yang berada di lututnya. Jantungnya terus berdetak kencang, nyaris membuat Blace sesak napas.
"Sudah terlalu larut, aku akan kembali ke kamarku." Blace bergetar mengucapkan sederet kalimat itu, ia menolak menatap Havrelt.
Tanpa mendengar jawaban Havrelt, ia memaksa kakinya untuk tidak berlari, ia mengelap tangannya yang basah dengan kain yang masih ia pegang. Havrelt baru saja menggigit dan mencium tangannya. Blace terlalu jauh menerima sentuhan dari pelanggannya.
Sementara itu, setelah Blace pergi. Havrelt duduk termenung di sana. Ia sendiri tidak menyangka ia akan bersikap tertarik pada seseorang, tangan dan bibirnya tidak pernah bersikap luar kendali darinya. Ia mengacak rambut hitamnya dengan kesal. Kenapa tidak bisa mengotrol dirinya sendiri ketika bersama si penyihir?
Waktu itu juga begitu, sebenarnya Havrelt tidak memiliki niat untuk menyakiti si penyihir, ia hanya mengancam. Tapi yang ia lakukan, ia benar-benar mencekik si penyihir saat itu. Dan malam ini kembali terjadi, dalam situasi yang berbeda.
Seharusnya Havrelt bisa mengontrol dirinya. Seharusnya Havrelt tidak perlu mengenggam tangan penyihir itu dan meminta jawaban. Seharusnya ia tidak mengodanya dengan mencium dan mengigit tangan penyihir itu. Seharusnya...
Havrelt semakin mengacak rambutnya dan mengumpat. Seharusnya Havrelt menjaga jarak, jika ia tidak ingin hal tadi terulang kembali. Wanita itu menghancurkan rasionalnya.
-------To be Continue-------
*****
(Minggu, 7 Oktober 2018)
[Follow ig : risennea]
Mari kita buka pelan-pelan hubungan Havrelt dan Blace 😂
Sebelumnya, aku pengen tahu pendapat kamu yang baca cerita ini, sejauh ini.
Tolong ceritakan apa yang kamu rasakan buat cerita ini. 🙂
Salam hangat
P A H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top