F I F T Y T H R E E 🔫

Mata Blace terbuka pelan. Dia mengetahui jika pria tidak dikenal bernama Gaven itu merangkulnya dalam perjalanan yang menuju entah ke mana. Kilasan gedung-gedung kota berjalan memudar, butiran salju-salju turun, beberapa di antaranya menabrakkan diri ke jendela kaca mobil lalu mencair dan menghilang. Mata Blace terasa berat, dan dia menyerah pada rasa sakit di lengannya. Dan Blace akhirnya tidak sadarkan lagi. Terakhir yang bisa ia ingat, Blace tidak punya seorang kenalan seperti Gaven.

Ketika Blace membuka matanya kembali. Malam telah tergantikan oleh pagi. Sinar matahari mengintip di celah gorden, sejurus kilatan cahaya membuat Blace mengernyit. Ruangan itu cukup gelap, terasa asing. Penerang ruangannya hanya berasal dari sinar luar yang menerobos masuk. Kepala Blace berdenyut sakit saat ia bangkit dari tidurnya, seingatnya ia hanya pingsan sejenak. Sepertinya ulah Gavenlah yang membuat Blace kembali tidak sadarkan diri dengan membiusnya.

Blace memijit kepalanya singkat dan menyalakan lampu nakas di samping ranjang yang ditidurinya. Sinar cahaya dari lampu menampilkan sosok lain, ternyata Blace tidak sendirian di ruangan ini. Suara terkesiap Blace, membuat pria bertopeng itu menoleh padanya. Pria itu duduk di sofa tak jauh dari tempat tidur, tatapannya terpaku pada Blace.

Blace tidak bisa membohongi dirinya jika ia merasa ketakutan. Jantungnya berdetak kencang melebihi kecepatan detik jam. Secara keseluruhan atas apa yang terjadi, mungkin Blace berhak bertanya siapa pria itu. Bukan untuk sekadar mengetahui namanya. Tapi ia harus tahu apa pekerjaan orang itu, apa kebiasaannya, dan apakah dia penjahat. Blace tidak mungkin membiarkan dirinya bertemu dengan orang berbahaya lainnya. Walaupun orang itu sudah menjadi penyelamatnya.

Tangan gemetar milik Blace tertangkap tatapan Gaven. Sulit untuk menyembunyikan keadaan Blace saat ini, ia terlalu mudah dibaca melalui ekspresinya. Dan ketakutan adalah ekpsresi paling sulit untuk disembunyikan. Apa sebaiknya Blace melarikan diri saja?

Tiba-tiba pria itu berdiri, tangannya membuka gorden dengan sempurna. Sinar matahari masuk dan menyilaukan wajah Blace. Tangan gemetar Blace terangkat, berusaha menutupi sinar matahari yang menyerang matanya. Bersamaan itu, dia berusaha menetralkan ekpsresi ketakutan terhadap pria asing itu.

"Kompres wajahmu lagi dengan es batu." Tatapannya mengarah pada samping Blace. Suaranya terdengar cukup ramah. Blace menoleh sekilas, menemukan es batu terbalut handuk di dalam baskom.

"Ganti bajumu, lalu keluarlah untuk makan."

Setelah berkata demikian, Gaven langsung keluar dari kamar itu. Blace sama sekali tidak bisa melihat ekspresi wajahnya yang tertutupi topeng. Mengapa pria itu peduli padanya? Mengapa firasat Blace mengatakan jika Gaven mengenalinya?

Gaven mungkin menghormati privasi Blace dengan keluar dari kamar ini. Namun rasa penasaran Blace ingin tahu, siapa penolongnya. Lawan atau kawan? Bahkan sudah seharusnya Blace bisa mengajukan pertanyaan berupa 'Siapakah kau?', 'Di mana aku?'. Sayang sekali karena sepertinya Gaven tidak bersedia menjawab.

Mengenyahkan pikirannya, Blace tidak ingin membuang waktu lagi. Tangannya meraih handuk berisi es batu itu, lalu mengompresnya ke pipi dan kepala. Memang benar jika Blace merasakan ikatan terlindungi dari pria itu. Tetapi rasanya mustahil. Mereka baru saja bertemu, untuk kedua orang asing yang belum mengenal. Ikatan terlindungi terasa di luar akal sehat.

Ketenangan mulai merangkul Blace lagi. Ia tersenyum, rasa aman dan nyaman ini seperti berada di rumah. Blace tidak perlu mencemaskan jika akan ada bahaya yang mengintainya, tidak perlu takut jika setiap waktu nyawanya tidak akan bertahan hingga besok. Begini rasanya saat ia menjauh dari Havrelt. Ia tidak perlu tenggelam dalam ketakutan. Ia juga tidak perlu peduli pada pencuri kalung seperti Havrelt. Bayangan Havrelt menyerahkan kalung miliknya kembali menyakiti perasaannya. Ia menyentuh dadanya yang terasa sakit, mungkin sudah saatnya untuk membuang Havrelt dari pikirannya. Ketertarikan di antara mereka hanyalah racun dua arah.

Blace mengerjap, matanya terasa menyengat. Sepertinya Gaven orang baik. Pakaiannya masih utuh seperti sebelumnya, rambut palsu itu juga masih di tempatnya, kecuali lensa matanya yang sekarang berada di samping baskom. Pakaian bersih yang harus ia kenakan terletak di ujung ranjang, terlipat rapi dan bersih.

Blace bangkit, berjalan mengelilingi kamar itu. Ia penasaran apakah ada kamera tersembunyi, tapi ia tidak menemukannya. Blace mengintip ke jendela, pemandangan salju turun tak henti-henti menutupi tumbuhan yang berada di taman. Sepertinya tidak akan lama lagi perayaan natal akan segera tiba. Dan Blace sangat yakin jika tempat yang disinggahinya masih berada di London.

Langkah Blace mengarah ke pintu di sudut ruangan, tentunya bukan pintu masuk. Ternyata pintu itu adalah sebuah kamar mandi. Blace masuk dengan sikap waspada. Ia mulai mencari kamera tersembunyi lagi, tetapi membuahkan hasil yang sama seperti sebelumnya. Ketika Blace berhenti mencari, ia terpaku menatap bayangan di cermin. Di sana Blace terlihat mengerikan, dia persis seperti seorang pelacur.

Di depannya tersedia pembersih make up dan kapas, dan Blace bergegas membersihkan sisa make up yang mengerikan itu, lalu membuang kapas kotor itu ke keranjang sampah di bawah wastafel. Setelah selesai, Blace melepaskan rambut palsu lalu membuangnya juga. Ia menatap wajahnya lagi. Rambutnya terurai kasut dengan wajah pucat tanpa warna. Blace menoleh ke sampingnya. Sebuah bathtub sudah terisi air. Uap hangat menari-nari di atasnya. Mungkin memang sengaja disiapkan untuknya dan tidak salah jika Blace membersihkan semua dosa jahat itu dari tubuhnya. Blace membuka bajunya dan menenggelamkan tubuh mungilnya ke dalam bathtub.

30 menit setelahnya. Blace sudah siap keluar dari kamar, seorang pelayan pria—yang sepertinya sudah lama menunggu di luar kamar—menyuruhnya untuk mengikutinya. Sebenarnya Blace sudah berdebat dengan dirinya sendiri kurang lebih 10 menit, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar. Ia masih merasakan takut, tetapi perutnya mulai mengeluh lapar.

Pelayan itu berbadan kecil, ekpsresi ramah menyambutnya saat memanggil Nona muda. Apa berarti Blace berada di tempat yang aman? Dan sebaiknya dia tidak perlu takut lagi sekarang.

Langkah kaki pelayan itu menelusuri tangga menuju lantai dua. Terus berjalan hingga beberapa belokan, dan terakhir mengarah ke arah pintu ganda. Begitu pintu ganda terbuka, sebuah balkon yang sangat luas ada di sana. Luasnya berbentuk setengah lingkaran dan pagar tinggi mengelilingi tempat itu. Atapnya berdiri kokoh menghalangi salju turun. Tetapi hawa dingin tetap masuk ke tempat itu. Balkon ini seperti separuh sangkar burung. Berwarna emas dengan ranting tanpa daun merambat, melilit setiap inchi pagar. Tempat itu menakjubkan.

Awalnya Blace sempat bingung dengan pakaian yang disiapkan untuknya. Baju terusan putih berbahan wol terlihat paling sopan, panjangnya hingga betis. Lengan panjang menutupi tangan Blace. Celana hangat dengan kaki berbalut boots kulit. Dan penampilannya dibalut dengan mantel panjang.

Tiba-tiba pintu ganda itu tertutup, menyadarkan Blace jika ada pria bertopeng berpakaian hangat menantinya. Blace menelan salivanya, ia berada berdua lagi dengan pria itu, rasanya agak menakutkan. Dengan ragu setelah mendapatkan anggukan dari Gaven, Blace duduk berhadapan dengan penyelamatnya.

"Penampilanmu sekarang sangat berbeda dengan semalam." Pria itu memperhatikannya. Dan terus memperhatikan sampai Blace merasa pipinya memerah.

Alat-alat kosmetik paling bagus tersedia dalam kamar mandi. Dan Blace menggunakannya sedikit, hanya untuk menyamarkan rona pucat wajahnya dengan memoles lip gloss berwarna rose. Blace menarik napas pelan, lalu berkata. "Terima kasih sudah menolongku sebelumnya."

Pria itu menatapnya lagi tanpa berbicara. Firasat Blace mengatakan jika Gaven bukanlah pria berbahaya. Makanan sudah tersaji di meja, bau harum ini mengacaukan sebagian intuisinya. Jantung Blace tidak mau berhenti berdetak normal, kepalanya terasa pening. Dan ia tidak tahu, apa hal itu disebabkan oleh rasa lapar atau firasatnya. Blace belum tenang jika ia tidak mendapatkan jawaban pasti.

"Apa kau mengenalku?" suara Blace bergetar. Blace yakin sekali jika pria itu mengenalnya.

Pria itu menuangkan wine ke gelas Blace. Blace langsung meraih, dan menyesap wine itu sedikit, untuk menghilangkan rasa gugupnya. Blace tidak bisa membuat dirinya kehilangan kendali akan ketenangannya. Tapi sia-sia saja, rasanya wine itu tidak berguna.

Secara mengejutkan, Gaven membuka topengnya. Ketika melihat wajahnya, gelas di tangan Blace terlepas, hancur berkeping-keping. Rasa takut itu menghilang tak tersisa. Blace hanya menemukan kedamaian dalam potongan terpecah belah yang mulai utuh. Mata Blace berkaca-kaca, ia bisa merasakan wajahnya panas dan memerah. Tangannya menutup mulutnya dengan terkejut.

"Apa kau mengenalku?" pertanyaan itu diajukan sebaliknya pada Blace.

Blace menyerah pada ikatan terlindungi yang sempat terasa pada Gaven. Ia bangkit dari duduknya, menghambur pada pelukan pria itu. Rasa lega mengisi kembali rasionalnya. Blace mengenalinya sekarang. Walaupun mereka sudah tidak bertemu selama 10 tahun, Blace tidak akan melupakan siapa dan apa arti orang itu baginya.

"Zenan," mata Blace menyengat perih. Kebahagiaan dan rasa aman itu menjadi penopang. Blace tidak perlu lagi meraba ketakutan. Air mata mengalir di kedua pipinya, begini rasanya saat Blace kembali disambut ke rumahnya. Rasa aman itu melindunginya.

Zenan membalas pelukannya dengan hangat, ia tersenyum. "Senang jika kau masih mengenaliku, Ery. Milikku. Adikku tersayang."

***

Tetap saja Havrelt sama sekali tidak bisa menenangkan pikirannya. Pencariannya berakhir sia-sia. Tidak ada yang tahu di mana keberadaan penyihir itu. Semua cctv tidak bisa memberinya jawaban. Beberapa scene menghilang, seolah dihapus secara sengaja. Tidak ada sama sekali petunjuk tentang Blace. 

Havrelt masih belum menyerah pada pencariannya. Bayangan hitam di bawah matanya terlihat mengerikan. Havrelt memang tidak bisa tidur semalam. Matanya tidak mau menutup, pikirannya hanya terpaku pada wanita itu. Semua tentang Blace tidak mau keluar dari kepalanya, segalanya tentang wanita itu membuatnya menggila. Bahkan Havrelt melupakan luka-luka di wajahnya yang belum diobati, ia melupakan keadaan kacau dirinya setelah bertarung dengan Nate. Ia sudah tidak memikirkan dirinya lagi, sekarang yang ia inginkan, Blace ada bersamanya.

Alasan kenapa Havrelt tidak berhenti mencari, karena semua belum berakhir dan dia tidak bisa menghentikannya begitu saja. Semalam, kegilaan itu menghancurkan rasionalnya, dia juga menyuruh James, Archer, Niel dan anak buah lainnya untuk terus mencari Blace tanpa henti. Di saat semua pencarian itu hanya sia-sia, Havrelt masih tidak bisa menyerah mencari. Dia mungkin beberapa kali kehilangan Blace. Tetapi kali ini Havrelt tidak akan membiarkan tangannya melepaskan Blace. Wanita itu .... 

"Kau menyukainya?"

Tangan Havrelt tergepal, ia meluap amarahnya pada setir mobil di depannya. Menghantam buku jemarinya berkali-kali, hingga rasa sakit itu mulai dirasanya. Dari semalam Havrelt belum ke rumah. Puluhan panggilan di ponsel dari Freya tidak dijawabnya.

"Kau menyukainya?"

Ucapan Nate tergiang lagi di kepalanya. Ini sudah beberapa kali terjadi dari semalam. Dan Havrelt merasa ini sangat salah. Havrelt tidak mungkin menyukai seseorang, ia hanya ingin melindungi penyihir itu seperti ia melindungi Freya. Atau mungkin itu hanya ketertarikan saja, tidak mungkin melebihi hal itu. Keinginannya hanya menginginkan Blace tetap di sisinya. Dan Havrelt benci mengakuinya.

Ketika Havrelt memasuki lantai bawah rumahnya, Freya berada di sana, menunggunya dengan raut cemas ditemani James. Havrelt berjalan, melewati Freya dan James dengan tidak peduli menuju tangga lantai dua.

"Kenapa tidak mengangkat panggilanku? Aku meneleponmu puluhan kali, Kak. Dari mana saja kau? Aku menunggumu dari semalam dan kau tidak pulang,"

Havrelt mengabaikannya. Freya mengikutinya dari belakang. Tiba-tiba tangan Freya meraih lengannya, dan membuat Havrelt menghentikan langkahnya.

"Kau baik-baik saja? Kau terlihat sangat kacau,"

Tangan Freya ingin menyentuh pipinya, tapi Havrelt menepisnya. Suaranya terdengar sangat dingin. "Jangan mengangguku, Frey."

"Aku akan mengobati lukamu. Sini, biarku lihat seberapa parah lukanya." 

Freya memaksa tetap memeriksa luka Havrelt. Untuk sekarang, Havrelt tidak ingin ada seseorang pun yang menyentuhnya. Sebelumnya Freya bertindak lebih merepotkan, Havrelt harus menghentikan kebiasaan buruk itu.

"Kubilang, jangan mengangguku!" Amarah itu terkobar dengan meledak-ledak. Havrelt masih tidak bisa menenangkan dirinya, kendalinya sepenuhnya tidak terjangkau. Dia butuh Blace ada bersamanya, bukan terus-terus menghilang dan Havrelt harus mencari-cari dengan hasil sia-sia yang sama.

Freya mundur dua langkah. Wajahnya terkejut ketika Havrelt membentaknya. Kilauan di lehernya menarik perhatian Havrelt. Dan ucapan Nate melintasi ingatannya lagi.

"Ambisimu akan menghancurkanmu. Ambisimu melindungi adikmu tanpa sadar sudah menyakiti banyak orang. Termasuk ketika kau mencuri benda berharga milik Blace dan memberikan pada adikmu sebagai oleh-oleh."

Havrelt mendekat ke arah Freya. Tangannya meraih kalung berliontin cincin itu di leher Freya, menariknya dengan tatapan dingin. Suara ringis kesakitan Freya tidak menghentikan tindakannya. Netra abu-abu itu menatap cincin itu yang sudah berada dalam genggamannya dengan lama.

"Itu milikku! Kembalikan padaku!" emosi Freya mulai meledak.

"Aku ambil kembali."

"Kau sudah memberikannya padaku!"

"INI MILIKKU!" tapi emosi Havrelt sangat ganas hingga menghentikan suara protes Freya.

Freya melotot ke arahnya dan keluar dari rumahnya, James yang menyaksikan pertengkaran mereka, memutuskan untuk mengejar Freya.

Havrelt melanjutkan langkah kakinya hingga ia tiba di kamarnya. Tanpa ragu ia mengunci pintu. Tangannya membanting, memecahkan barang kaca di atas meja hiasan. Hiasan kaca itu hancur berkeping-keping. Pecahan itu mengoreskan luka lain di tangan Havrelt yang masih mengenggam erat liontin cincin itu. Darahnya melumuri cincin itu, hingga tidak terlihat.

Nate tahu terlalu banyak tentang mereka. Sepertinya Nate menaruh mata-mata di dekatnya. Seharusnya Nate tidak tahu masalah Havrelt mengambil kalung ini dari Blace, seharusnya tidak ada yang tahu. Bahkan James tidak tahu masalah ini. Dan Havrelt akan segera menyingkirkan mata-mata yang dikirim itu.

Sekarang yang Havrelt lakukan adalah menenangkan pikirannya. Havrelt tidak ingin tahu. Blace harus kembali ke sisinya. Apa pun caranya. 

.
.
.
.
.
.
.
.

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sory jika ada typo.

Jumat, 7 Agustus 2020
(2080 kata)

Salam hangat
P A H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top