F I F T Y N I N E🔫
WARNING! WARNING!!
WARNING BLOOD!
(dibagianakhir)
Please mention typo!
Part ini panjang.
Tolong baca perlahan saja.
Happy Reading.
***
Aroma darah pekat menganggu tidur nyenyak Blace. Tubuhnya bergerak gelisah, kernyitan muncul jelas di wajahnya. Ia mulai tidak nyaman dalam tidurnya.
Kegelapan yang mencekik leher dan perutnya, menariknya untuk tersesat dalam lorong tak berujung. Panggilan-panggilan kematian kembali menghantuinya, menggema dalam lorong, bercampur dengan nyanyian rendah yang memanggil jiwanya untuk terus mengikuti lagu kematian. Blace berdiri sendirian dalam lorong gelap itu, di satu sisi keputusasaan untuk kembali sembuh mengikat janjinya dengan Blace, pada jantungnya. Tidak mau putus. Sedangkan kegelapan dan masa lalunya merantai lehernya, menjebaknya dalam belenggu yang kelam. Lorong itu penuh tekanan, hampir membuatnya tidak bernapas lagi.
Sebuah tangan menyentuh bahunya dan Blace terlonjak bangun. Napasnya tersenggal-senggal, jantungnya yang terasa mati memaju cepat dengan ketakutan. Rasa sesak yang ia rasakan menyesatkan pikirannya. Jemari-jemari Blace bergetar dengan panik meraih mantel merah yang dikenakannya kemarin, persis tergeletak begitu saja di kaki ranjang di bawahnya, tetapi rangkulan lengan yang melingkar di pinggang Blace menghentikan gerakannya.
Kepanikkan mencekik pernapasannya semakin kuat, tangan Blace bergerak mencakar lengan itu untuk melepaskan diri. Ketika lengan itu tersentak, terlepas, Blace jatuh ke lantai kayu dingin yang berwarna hitam itu, terduduk dan meraih kembali mantelnya. Tangan Blace yang bergetar hebat, terulur ke arah saku mantel dan menemukan apa yang ia cari. Botol obat penenang yang diberikan Emily hanya berupa botol putih tanpa label dan sampel. Tangan Blace bergerak cepat membuka tutupnya, memuangkan sekitar tiga butir obat dan langsung menelannya tanpa air.
Efek menenangkan perlahan meredakan kepanikkan Blace. Tangannya bergerak menghapus keringat dingin yang muncul menuruni pelipis dan lehernya.
Lengan itu merangkul leher Blace dengan tiba-tiba. Blace tersentak, tapi mulutnya tidak memekik. Rasa hangat dari lengan itu mengalir di dalam aliran darahnya, lalu kesadaran memenuhi pikirannya. Sekarang Blace ingat dia sedang ada di mana, dan apa yang ia lakukan di dalam kamar Havrelt. Perapian masih hidup, menebarkan suhu hangat, Blace melirik pakaiannya dan bersyukur masih berada di tempatnya. Kamar itu bernuasa serba hitam. Warna cokelat dari kayu tidak terlihat dari rumah kayu milik Havrelt. Suasana rumah nyaris se-berbahaya Havrelt, hitam dan maskulin. Tetapi semua ingatannya menghilang tiba-tiba ketika bau kematian itu tercium lagi. Kental dan pekat. Darah!
"Kau baik-baik saja?"
Tidak. Blace mungkin hanya berhalusinasi saja. Penciumannya hanya bermasalah saja. Blace yang ingin menyembunyikan botol obat dari Havrelt, mengurungkan niatnya. Tangan Blace meraih botol obat itu lagi, kembali menuangkan lima butir di tangannya. Ketika Blace ingin menelannya, rangkulan lengan itu menghilang lalu dengan sangat tiba-tiba Havrelt menariknya berdiri. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Tangan Blace yang licin karena bekas keringatnya, menjatuhkan obat di tangannya dan Havrelt berhasil merebut botol obat itu dan melemparkannya ke dalam api perapian yang masih menyala.
Kekuatan Havrelt yang begitu luar biasa, mendorong Blace terpelanting ke kasur besar hitam. Tatapan Blace hanya terpaku pada butiran obat yang jatuh, dan pada botol obat yang mulai terbakar. Blace melawan Havrelt, memberontak tetapi Havrelt memerangkapnya dalam kurungannya. Tidak! Blace harus menyelamatkan obat itu. Ia akan melupakan ketenangan jika ia mulai tidak bisa membedakan antara yang terjadi sekarang dan masa lalunya.
"Menyingkirkan dariku!"
Keputusasaan menguasai emosinya. Blace harus segera minum obat itu, ia tidak peduli jika obat kecil itu telah jatuh ke lantai. Hanya obat itu penawarnya. Jika ia berhalusinasi, Blace akan menggila dan akan melukai dirinya sendiri lagi. Blace mulai tidak yakin pada dirinya bahwa ia sudah sembuh. Darah dan pisau, kelemahannya, yang memicu semua kesintingan ini. Blace berteriak, "Jangan halangi aku!"
Mata tajam Havrelt mengintainya, terpaku padanya. Berat tubuh Havrelt yang berada di atasnya menahan Blace bergerak, dan entah sejak kapan pria itu sudah menahan tangannya di atas kepala Blace dengan sebelah tangan miliknya. Havrelt kuat sekali, Blace bahkan tidak bisa sedikit pun menggerakkan tubuhnya. Ucapan Havrelt sama tajamnya dengan mata perak itu. "Apa yang kau minum?"
Helaan napas Blace terasa sesak. Rantai-rantai itu mengikat di lehernya, mencekiknya. Matanya kembali menoleh pada letak butiran obat yang berceceran, yang tidak bisa ia lihat. Air mata memburamkan pandangannya. Ia menoleh pada pria itu. "Menyingkir. Aku sangat membutuhkannya, Havrelt. Jangan halangi aku!"
"Katakan padaku, apa yang kau butuhkan?" Havrelt mendekatinya, mengancamnya dengan mata setajam elang.
"Aku butuh penawar itu. Aku membutuhkan obat itu!" suara Blace menjerit penuh luka dan putus asa.
"Apa kau melupakan apa yang terjadi semalam pada kita?"
Blace mengerjab-gerjabkan matanya, menyingkirkan air mata yang menghalangi pandangannya. Ia mulai jengkel, menarik napas pelan, berusaha menjernihkan pikirannya dan mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. "Kita hanya berbagi ciuman saja, tidak lebih dari itu. Sekarang, menyingkir dariku!!"
"Selain itu?"
"Apa? Jangan bertanya hal itu sekarang!" pikiran Blace masih tidak mau bekerja sama dengan akal sehatnya. Matanya terus saja melirik letak butiran-butiran obat itu, kesedihan terlihat di matanya ketika pandangannya mendapatkan botol obat di dalam perapian meleleh dan tidak tersisa. Blace sangat membutuhkannya, yang harus Blace lakukan sekarang adalah memenuhi dahaga itu.
"Aku tidak tahu jika kau pecandu obat. Kemarin kau bilang, kau membutuhkanku." Havrelt mengikis jarak mereka. Mulai melepaskan tangan Blace yang dicengkeram. Peredaran darah Blace yang tertahan akibat cengkeraman Havrelt kembali mengalir, Blace merasakan itu di tengah kekalutannya. Namun tangan Havrelt berpindah, membelai, mencengkram pipinya, memaksa Blace berpaling dari botol obat itu ke arah pria itu. "Kau bilang, kau menginginkanku. Itulah kenapa aku menyerahkan tubuhku padamu, tidak peduli apa yang kau lakukan. Tapi pagi ini kau menginginkan hal yang lain."
Tidak ada semburan panas menyerang kedua pipinya seperti biasanya. Blace berusaha mendorong Havrelt dengan tangannya yang bebas. Alarm darurat dalam dirinya hanya berfungsi pada kebutuhan akan ketenangan, dan kunci dari semua itu yang tersisa adalah butiran obat yang berhamburan itu.
Kesadaran akal sehat dan daya pikirnya memaksa untuk kembali pada tempatnya, melepaskan diri dari kebutuhan itu. Bekas ciumannya pada tubuh kekar Havrelt terlihat sangat jelas karena Havrelt bertelanjang dada. Bekas-bekas itu memenuhi dada, bahu dan perutnya. Otot-otot Havrelt mengeras, pria itu pasti menahan diri untuk tidak mengancam dan mencengkram Blace terlalu kuat. Posisi Blace terjebak antara ranjang yang ditidurinya dengan Havrelt yang berada di atasnya, mulai mengembalikan semburan panas dan membuat pipinya memerah. Kaki Havrelt menahan kakinya bergerak mulai memberinya ruang.
Havrelt meraih tangan Blace, lalu mencium tangannya seperti seorang Lady. "Aku bisa saja menjadi penawarmu. Katakan, jika kau menginginkanku."
Aroma maskulin Havrelt bercampur dengan wangi wine yang semalam mereka minum yang menyebar di udara. Dingin yang merambat dari dinding kayu hanya menciptakan suasana sejuk, sinar pagi itu menyelinap masuk melalui celah tirai jendela. Dan Blace tahu, temperatur suhu di luar sana tidak akan terasa seperti kesejukkan berbalut kehangatan. Bekas wine yang kemarin membasahi sebagian tubuh Havrelt, mengingatkan Blace pada kejadian semalam yang ia habiskan bersama pria itu.
Dalam rumah Havrelt yang hangat, mempunyai dua ruangan berbeda. Satu ruangan tidur yang dilengkapi perapian dan kasur besar yang nyaman. Pada malam itu lantai-lantai kayu yang Blace pijak terasa seperti berdiri di lantai es beku, ia tidak mungkin tidur di lantai pada tengah-tengah musim dingin membeku itu. Dan Havrelt menyarankannya untuk berbagi ranjang bersama, pria itu berjanji tidak akan macam-macam padanya. Sedangkan ruangan yang satu lagi, katanya ruangan favorit Havrelt dan pria itu melarangnya untuk memasuki tempat itu.
Lamunan itu lenyap ketika Blace menyadari bau kematian itu melekat erat pada tubuh Havrelt. Blace terpaku pada lengan Havrelt yang tidak menyentuhnya, ada aliran darah merah kehitaman menurun dari perban Havrelt, mengalir pada garis lengannya. Sangat dekat dengan sisi tubuh Blace. Sontak wajah Blace berubah pucat pasi, mulutnya tidak sanggup memekik, menjadi kaku dan kelu. Dia pun tidak sanggup menunjukkan kelemahan pada Havrelt. Jadi, Blace memaksa matanya menutup kuat-kuat.
Havrelt melihat tatapan ngeri Blace padanya, pada lukanya, pada darahnya. Seolah seseorang baru saja mendorongnya kuat, Havrelt terhuyung ke belakang, menjauh dari Blace yang mulai meringkuk, bersembunyi darinya. Getaran bahu Blace tidak luput dari pandangan Havrelt, wanita itu gemetar ketakutan.
Sebelum beranjak dari sana, Havrelt menghancur leburkan butiran obat yang berhamburan, menginjaknya hingga tak terbentuk. Ia baru saja mengingat jika Blace takut pada darah. Rasa bersalah mengental dalam suaranya. "Aku akan membersihkan luka dulu."
***
Ketika Havrelt selesai dari kamar mandi, yang letaknya memang berada dalam kamarnya. Walaupun rumah kecilnya berada jauh dari tempat tinggalnya. Havrelt tetap meminta arsitektur untuk mengatur semua letak ruang yang berguna, minimalis dan penuh kesempurnaan itu dalam suasana hitam dan maskulin, khas dirinya. Dan meminta jika ia ingin kamar senyaman mungkin saat Havrelt beristirahat pada malam hari.
Mata Havrelt menyadari ada bercak darahnya menyebar luas di seprai dan selimut, persis di samping Blace. Perempuan itu masih meringkuk di sana, tetapi bahu yang gemetar itu berkurang. Sepertinya Blace sudah berhasil menenangkan dirinya sendiri.
Aroma manis strawberry bercampur buah lemon segar menguar dari tubuh Havrelt, ia sudah selesai mandi dan berpakaian hangat serba hitam seperti kamarnya. Entah bagaimana Havrelt berpikir untuk menganti cologne, sampo dan sabun dengan aroma manis yang jarang dipakainya. Agar darah yang tadinya melekat di tubuhnya tersamarkan dan menghilang dari aromanya. Lalu ia mendekat ke arah Blace.
Havrelt tidak pernah mengetahui bagaimana kehidupan Blace sebenarnya, yang entah kenapa jadi menganggu pikirannya. Dia bahkan tidak tahu apa-apa tentang perempuan itu. Dan mengenai ketakutan Blace pada darah, pasti ada satu peristiwa yang membuat wanita itu menjadi trauma. Sial, Havrelt ingin tahu bagaimana wanitanya menjalani hidup sebelum mereka bertemu.
Sejak Havrelt mengakui, membuka perasaannya sendiri pada Blace, wanita itu terlihat tidak menolaknya. Itu kabar bagus untuknya, karena mulai sekarang dia akan memperlakukan Blace dengan cara berbeda. Ketertarikannya pada pesona si penyihir membuat Havrelt menginginkan wanita itu, hanya untuknya saja. Jika wanita itu berusaha menolaknya, Havrelt akan memaksa, membuat agar wanita itu juga akan menginginkan dirinya.
"Kau baik-baik saja?" Havrelt mengusahakan suaranya terdengar lembut. Memang tidak menutup kemungkinan jika ia bisa saja tiba-tiba marah karena terlalu lama diabaikan. Havrelt bukan pria yang biasanya menenangkan wanita dengan lembut seperti yang ia lakukan sekarang. Freya, adiknya, ia didik dengan keras. Keluarganya menuntunnya dididik dengan cara barbar dan kasar. Emosi yang kadang meledak dalam Havrelt sudah melekat padanya semenjak remaja, dan untuk merubah itu rasanya terdengar sulit.
Tangan Havrelt mengelus rambut hitam Blace yang pendek, dan sontak saja Blace menggelengkan kepalanya, menghindari sentuhannya. Kembali, bahunya bergetar hebat lagi. Havrelt meraih selimut baru dari rajutan, menyelimuti Blace lalu memaksa, membawanya dalam pelukannya. Tadi, Havrelt sudah memastikan jika ia mengikat luka perban dengan kuat, tidak peduli betapa kesusahannya saat ia hanya melakukan dengan satu tangan. Karena Havrelt pun tidak mungkin meminta pertolongan Blace yang tenggelam dalam dunianya.
Blace memberontak dalam pelukannya, mulai menjerit pilu dan memukul dadanya. Havrelt mengernyit, perasaan asing yang sontak mencengkram jantungnya membuat Havrelt seolah merasakan apa yang dialami Blace.
"Tenanglah. Tidak apa-apa. Kau bersamaku." Havrelt memeluk Blace semakin erat, dan semakin besar juga Blace berusaha melepaskan diri darinya.
"Pergi. Jangan nganggu hidupku lagi!" jerit Blace, meronta dalam pelukan Havrelt. Wanita itu mulai terisak. Air mata membasahi kedua pipinya yang memerah.
Havrelt mengeratkan pelukannya.
"Aku tidak ingin mati seperti kalian! Jangan aku nganggu lagi. Kumohon ... kumohon."
Havrelt menangkup pipi Blace yang merah dan basah dengan air mata. Kedua ibu jari menghapus air mata yang mengalir itu. Sial. Demi apa pun. Tangisan wanita itu menyakiti perasaannya. Mata tajam Havrelt melembut pada Blace yang tersengut-sengut. "Jangan menangis. Aku akan membunuh mereka untukmu. Kau ada bersamaku, Blace Flannery. Kau aman sekarang."
Mata Blace yang terpejam membuka, dan bahunya yang terguncang mendadak berhenti. Keningnya berkerut bingung. "Blace?"
Havrelt menatapnya heran. Tanpa bisa ia tahan keningnya ikut mengerut seperti wanita itu.
"Aku Blace?" tangannya menunjuk ke arah dirinya. "Bukan Ery?"
Kebingungan dan rasa heran Havrelt tentang Blace meningkat. Havrelt pun sebenarnya tidak yakin jika ia tahu bagaimana dia harus menghibur seorang wanita yang menangis. Para musuh yang menangis dan memohon pengampunannya hanya akan berakhir dengan kematian. Sebuah jalan yang tidak pernah berubah dari peraturan Havrelt. Tapi Blace bukanlah musuh. Wanita itu bukan memohon ampun padanya. Entah bagaimana, Havrelt tahu permohonan itu ditujukan untuk orang lain. Dan sebenarnya apa yang wanita itu tadi bicarakan? Kenapa dia menanyakan siapa dirinya? Atau tiba-tiba menyebutkan nama lain dari bibirnya. Apa yang terjadi pada ketenangan Blace yang menghilang, yang Havrelt tahu selalu melekat pada kepribadiannya?
Sial. Pikiran Havrelt melalaikan reaksi Blace yang menunggu jawabannya. Bahu Blace bergetar lagi, ia mencengkram kedua tangannya begitu erat, nyaris menyakiti telapak tangannya sendiri dengan kuku panjangnya. Tangan Havrelt meraih, menautkan jemarinya pada jemari Blace. Ia berusaha merubah seringainya agar tidak terlihat menyeramkan, Havrelt terlalu sering menyeringai saat ia senang. Ia nyaris melupakan bagaimana harus tersenyum.
"Tentu saja, kau Blace." Jemari Havrelt yang lain mengusap pipi Blace. Havrelt mendekati Blace, mengecup bibir Blace yang mengundang untuk dirayu. Hanya mengecup sekilas dan begitu singkat. Ia berbisik di depan bibir wanita itu. Matanya berubah sayu. "Kau Blace Flannery. Wanitaku. Milikku."
Blace mengerjab. Sebelah tangannya memijit pelipisnya. Lalu ia menyentuh pipinya yang basah, mengusapnya. Kesadaran menguasai cahaya sinar di matanya. Tubuhnya menegang kaku. Mata eboni itu memandang, melirik tautan jemari mereka. Suaranya berbisik. "Apa aku meracau?"
Havrelt mengulum senyum di bibirnya. Ia mengecup pipi Blace yang masih basah. "Tidak juga. Kau terlihat manis,"
Blace menoleh ke seberang ruangan. Pada celah di tirai jendela yang memperlihatkan suasana luar, di sana salju-salju turun deras. Blace bisa merasakan suhu dingin memasuki kamar itu, suhunya melesat ke titik terendah. Lalu ia menatap Havrelt, pria itu tersenyum padanya, berada begitu dekat hingga tiada jarak. Lengan kokohnya memeluk pinggang Blace dengan erat. Blace menarik napas bermaksud menemukan ketenangannya, tetapi yang ia hirup malah aroma Havrelt yang segar terasa menenangkan.
Blace tidak pernah hilang kendalinya di hadapan orang lain. Ternyata dia membuat kesalahan dengan datang ke tempat ini, dan kesalahan terbesar itu adalah Havrelt. Tanpa obat itu Blace sama sekali tidak mempercayai dirinya bisa bertahan tanpa bantuan. Kepanikkan bisa datang lagi kapan saja, mengacaukan ketenangan yang Blace jaga, seperti yang telah terjadi beberapa menit yang lalu. Jika hal itu sampai terjadi lagi. Blace rasa, dia perlu memenjarakan dirinya dalam rumah sakit jiwa lagi dan mulai mengkonsumsi obat penenang dengan berlebihan lagi.
Blace tidak melupakan jika ia membawa obat cadangan dengan efek yang jauh lebih kuat dari obat penenang yang sudah lenyap, yang terbakar api. Di dalam kopernya obat itu berupa suntikan dan botol kecil yang berisi cairan obat, yang hanya akan ia gunakan dalam keadaan darurat. Blace hanya perlu menyuntikkan obat itu pada lengannya. Khasiatnya sama seperti obat penenang dan juga dengan cepat membuatnya mudah tertidur. Jika tidak ingin hal itu terjadi, Blace hanya perlu membuat satu panggilan, dan Jian akan menjemput sekarang juga. Seperti saat Jian mengantarnya menemui Havrelt.
Tangan Havrelt menyentuh, merangkul pinggangnya. Blace menegang, tiba-tiba detak jantungnya menggila karena kaget. Apa terdiamnya Blace membuat Havrelt memandangnya sebagai orang aneh?
"Kau marah aku membuang obatmu?"
Blace mengatup mulutnya, memilih terdiam. Sebenarnya hal itu tidak ada masalah lagi sekarang. Blace hanya perlu menentukan pilihannya saja. Menyuntik obat darurat atau menelepon Jian untuk menjemputnya dan segera meninggalkan Havrelt seperti pengecut. Dan sepertinya pilihan pertama jauh lebih tepat untuk dilakukan.
"Aku bisa menjadi obatmu. Jika kau mengatakan kau membutuhkanku," suaranya setengah merayu. Havrelt mencium lembut telinganya. Ia bernapas pelan di sana membuat Blace berjengit. "Lagi pula obat penenang tidak baik bagi kesehatan jika dikomsusi berlebihan."
Seharusnya Blace tidak terkejut, mengingat reaksi Havrelt melihat Blace mengkonsumsi obat itu terasa berlebihan. Havrelt tahu itu obat apa, padahal sama sekali tidak ada label dan sampel pada botol obat itu. Tetapi Havrelt tahu. Lengan kokoh Havrelt menarik pinggangnya hingga Blace berdiri, walaupun ia agak terhuyung. Havrelt masih memeganginya.
Havrelt memeluknya singkat tapi Blace tahu pelukan itu untuk menguatkannya. Lalu merangkulnya keluar dari kamar itu. Mata Havrelt menatap dengan ekpsresi yang sulit ia tebak. "Sepertinya kita perlu menjernihkan pikiran kusutmu."
Havrelt membawanya keluar dari kamar, Blace memaksa kakinya melangkah, mengikuti Havrelt. Rumah kecil itu terasa hangat tetapi tidak terlalu luas. Meja makan dan dapur tidak punya dinding batasan. Ruangan depan tempat perapian-di mana Havrelt dan Blace pernah duduk di sofa empuk saat mereka berciuman semalam-juga tidak terpisah oleh dinding apa pun. Kursi-kursi dan meja terbuat dari kayu yang terlihat mahal.
Pintu ruangan itu terbuka. Blace yakin, dia ingat jika ruangan ini adalah ruangan favorit Havrelt. Saat Blace berkeliling dalam rumah itu semalam, Havrelt melarangnya masuk ke ruangan itu. Mata Blace dimanjakan dengan suasana berbeda. Tidak ada lagi lantai kayu yang berderit saat ia pijak. Pinjakkan berubah menjadi lantai marmer yang membekukan telapak kakinya.
Blace mengigil, merasakan angin musim dingin itu membelai kulitnya masuk melalui ventilasi yang terbuka. Kolam mandi besar berbentuk lingkaran ada di sana, airnya sudah terisi melalui saluran air yang masih mengalir, di atas kolam itu kepulan uap panas menari-nari, terlihat siap membakar kulitnya. Dindingnya diapit oleh dinding batu yang kokoh, dan atapnya hanya berupa kaca tebal. Blace tahu jika ia berada di dalam kolam mandi itu ia bisa melihat salju-salju turun, menabrakkan diri ke jendela dan juga melihat matahari yang bersembunyi di balik awan.
"Aku akan meninggalkanmu di sini. Nikmati waktumu." Havrelt mengecup pelipis Blace lembut. Ia menunjukkan ke sudut ruangan, ke arah lemari yang ada di sana. "Ada handuk bersih di sana. Kau bisa menggunakannya. Dan kau juga bisa memilih sabun yang ingin kau gunakan. Terletak di bagian paling bawah. Sementara menunggumu selesai, aku akan menyiapkan sarapan untuk kita."
Melihat Blace mengangguk, Havrelt tidak menunggu mendengar tanggapan dari Blace. Pria itu berbalik, tetapi secara otomatis tangan Blace menahan lengan Havrelt. Havrelt membalikkan badannya, menoleh ke arahnya dengan satu alisnya seolah bertanya.
Blace berusaha menampilkan senyuman, tetapi tidak berhasil melakukannya. "Terima kasih."
Langkah Havrelt kembali mendekatinya, walaupun sinar tajam itu masih ada, terlihat mengancam dan memburunya seperti seekor mangsa, Blace tidak merasa takut. Bibir Havrelt mendekati bibirnya, hanya menggesek dan menempelnya sebentar, mencuri ciumannya seperti yang sering Havrelt lakukan padanya. Havrelt berbicara di depan bibir Blace, sinar matanya mencoba menggodanya. "Akan kulakukan apa pun untukmu. Ingat, kau sedang bersamaku. Aku akan melindungimu. Hanya katakan saja, jika kau membutuhkan aku."
Blace memalingkan wajahnya, menolak menatap Havrelt.
"Panggil namaku jika kau butuh sesuatu. Jangan terlalu lama berendam, kau juga perlu makan." Tangan Havrelt bergerak, mengacak-acak rambutnya, menampilkan seringainya lalu keluar ruangan itu. Punggungnya tenggelam di balik pintu kayu itu.
***
Tanpa membuang waktu, begitu Havrelt sudah menghilang. Blace berjalan ke arah pintu dan menguncinya. Lalu Blace mengeluarkan alat suntik dan botol kecil seukuran jari kelingkingnya, berisi cairan obat, tersembunyi dalam genggamannya di balik lengan bajunya yang panjang. Mata hitam itu memandangi benda itu dengan pandangan kosong. Blace tidak bisa berjanji tidak akan menggunakannya, jika terjadi pada dirinya hanya obat itu akan menolongnya. Blace merasa aman jika benda itu ada bersamanya, mengingat jika botol obat penenangnya sudah hancur lebur di dalam api. Blace hanya membutuhkan obat ini sebagai pegangan yang akan ia gunakan saat darurat, berjaga-jaga saat halusinasi itu kembali menghantuinya lagi.
Blace meletakkan suntikan dan obat itu di atas handuk kecil yang sudah tersedia di samping kolam itu. Blace melepaskan pakaiannya, menyisakan pakaian dalam berwarna hitam yang dipakainya. Ketika merasa seseorang memandanginya, Blace menoleh ke arah kanannya, hanya menemukan bayangan tubuhnya pada cermin. Rasa terkejut membanjirinya, tanpa bisa ditahannya sensasi panas dan warna merah merambat ke kedua pipinya, ia menutup wajahnya dengan ekpsresi malu. Ada banyak bekas gigitan dan ciuman Havrelt di sana, terlihat lebih parah dari pria itu.
Udara dari ventilasi membuat Blace mengigil, teralih dari perasaan malu yang baru saja dirasakannya. Blace melirik ke arah kolam mandi yang hangat itu, terlihat sangat menggodanya untuk menghilangkan rasa dingin yang mengigitnya. Awalnya ia mencoba mencelupkan setengah kakinya, dan langsung merasakan kehangatan yang menenangkan. Dan saat itu juga, Blace memutuskan memasuki kolam itu. Dalam kolam itu Blace bisa duduk dengan air hangat yang berada di bawah dagunya.
Rasa ketenangan itu mulai memeluknya. Ia bisa merasakan peredaran darah mengendur dan tidak tegang, membuat tubuhnya menjadi santai. Blace menutup mata, mencoba menikmati kesendirian dalam keheningannya. Blace menarik napasnya dan menghembuskannya dengan pelan, melakukannya hingga berkali-kali, sampai ia merasa ketegangan di pundaknya membebaskan diri.
Blace beredam cukup lama, dan menyadari ia melupakan sesuatu.
"Oh, aku lupa mengambil sabun." Matanya terarah pada lemari di sudut ruangan. Ia menghela napas perlahan, dan mulai terkekeh karena pikirannya merasa lucu. "Sepertinya kamar mandi ini agak terlalu luas bagi rumah yang kecil. Melihat ada banyak perlengkapan mandi di sini, aku bisa saja menghabiskan waktu di sini seharian. Hmm ... aku mulai nyaman berada di sini."
Blace keluar dari kolam. Tetesan-tetesan air ikut jatuh, memercik ke lantai ketika ia berjalan ke arah lemari, membuat jejak kaki dari air pada langkahnya. Ketika Blace membuka pintu lemari, ia langsung melihat ada beberapa handuk bersih. Tangan Blace terulur mengambil handuk yang kecil, lalu menyekat air yang membasahi wajahnya. Ia menaruh handuk itu pada rambutnya dan memilih tidak mengeringkannya. Lalu Blace menjongkok, mengambil benda yang ia cari yang terletak di bagian bawah. Blace mengandalkan tangannya tanpa melihat apa yang ia ambil. Ketika permukaan tangan Blace meraih sesuatu dingin, Blace mengerjab bingung dan mengeluarkan benda itu dari sana.
Tubuh Blace sontak membeku lebih dingin dari lautan es. Ia sama sekali tidak bergerak seolah kehilangan pengetahuannya tentang gerakan. Sebuah belati ada di tangannya!
Tubuh Blace bereaksi, mengigil hebat. Blace yakin jika suhu tubuhnya jauh lebih hangat karena dia baru saja keluar dari kolam itu. Tapi pengaruh hangat itu menghilang seolah tubuhnya mengambang, terjebak dalam lautan es yang membekukan setiap sel-sel tubuhnya. Rasanya seluruh tubuhnya menjadi dingin, menghentikan pernapasannya dan detak jantungnya yang dicengkeram penuh tekanan. Blace memekik, melempar belati di tangannya ke seberang, menjauh darinya. Dia berusaha menjerit sekuat tenaga, tapi tiba-tiba saja suaranya menghilang. Dia lupa jika ia tidak bisa berbicara, jika sebenarnya ia bisu. Ery hanya selalu menjerit ketakutan dalam kepalanya.
Kilatan perak itu membuka lagi masa lalunya. Ketenangan di menit sebelumnya menghilang tidak tersisa.
Ery sangat ingat bagaimana rasanya besi dingin itu menempel di pipinya. Bagaimana rasanya benda itu mampu merobek perutnya. Dan bagaimana benda itu kecil berbahaya itu membunuh anak-anak kecil yang pernah menjadi temannya.
Air mata mengaburkan penglihatannya. Blace terhuyung mundur, menabrak pintu lemari di belakangnya. Ya Tuhan, tidak! Jangan sekarang!
Kami masih menunggu.
Rasa sakit akibat tamparan tak kesat mata membuat pipi Ery membengkak dan lebam. Pipi kecilnya yang malang. Ia mengingat sangat jelas bagaimana lehernya dicekik dengan kuat hingga membuat pernapasannya menghilang. Dan ia ingat bagaimana dirinya ditusuk oleh benda tajam itu, ketika belati itu diputar dalam perutnya, ingin menembus sisi perutnya yang lain. Detak jantung memukul rongga dadanya. Rasanya sakit dan teramat perih. Darah keluar dari luka itu, membasahi tubuh kecilnya dengan bau besi berkarat. Tubuhnya lemas, jatuh ke lantai marmer beku itu.
Blace mulai terisak keras. Tolong, jangan lakukan ini padanya. Kegilaan ini harus ia hentikan. Air mata selapis es di matanya, terasa hangat dan nyata. Dadanya terasa sesak karena tekanan tak kesat mata yang ia alaminya. Suara tamparan pada pipinya berkali-kali dilayangkan pada dirinya, lalu tak lama tangan-tangannya bergerak mencekik lehernya sendiri. Blace takut ia tidak bisa menyelamatkan dirinya, tidak bisa menghentikan dirinya. Alasan ia menyakiti dirinya, Blace harus sadar. Ia akan sadar!
Kami masih menunggumu mati, Ery!
Rasanya sakit sekali. Ery tidak bernapas. Lukanya semakin membesar dan tidak tersembuhkan. Tolong Ery! Lisannya tidak berucap. Wajah Ery dalam pantulan cermin besar itu terlihat sangat pucat. Tubuh kecilnya berada dalam kubangan darah. Ia mengigil hebat, bulu kuduknya merinding. Di sini sangat dingin. Tetapi di sini juga terasa damai. Apa Ery akan mati? Seperti permintaan teman-temannya?
Kau akan mati seperti kami, Ery!
Ery merasakan kematian menarik nyawanya. Bisikan-bisikan dan nyanyian mulai menghantuinya lagi. Tubuh Ery gemetar sangat hebat. Apa neraka terasa membeku? Hingga Ery akan menjadi es dan tidak akan terlepas dari penjara es abadi. Telinga Ery berdeging keras, alarm bahaya menyuruhnya menjauh dari tempat ini. Tapi untuk menggerakkan kakinya saja, ia tidak sanggup. Ia tidak mampu. Kematian berada begitu dekat seperti Ery dan bayangannya sendiri. Di kaca besar itu, Ery melihat mereka lagi. Boneka Ally dan Leah ada di sana. Owen, Janesha, Naomi, Agatha, Kimmy dan semua korban yang pernah menjadi temannya, menatapnya dengan senyuman membujuk.
"Ikutlah dengan kami."
Kesadaran Blace kembali, halunasi itu akan menghilang sebentar, dan waktunya tidak banyak. Segera saat Blace tidak menguasai dirinya, tubuh kecil Ery mengambil alih pikirannya. Blace memaksa tubuhnya yang lemas untuk bangun dari lantai licin itu. Keran air panas terdengar, airnya mengalir ke dalam kolam, suara itu membuat Blace tersadar. Di luar sana, badai salju berubah sangat ganas dan ventilasi yang terbuka itu berderit dengan butiran salju yang mulai memaksa masuk ke ruangan itu, meracuni kehangatan yang masih tersisa di dalam kolam panas.
Blace hanya perlu meraih obat suntikannya, yang berada begitu dekat dengan pisau yang ia lemparkan. Ia akan menenggelamkan jarum suntikkan itu pada tubuhnya, dan membiarkan cairan obat itu menguasai, memerogoki akal sehatnya agar ia tertidur. Ketika Blace tiba di sana, sontak rasa pening menyerang kepalanya. Ya tuhan, jangan! Tanpa bisa ditahan, tangannya bergerak ke arah berlawanan, meraih pisau dan mengenggamnya erat.
"Kau sudah tidak pantas hidup lagi, Ery. Rasa bersalah karena mengabaikan kami telah merantaimu hingga kau mati. Dan itu sangat menyakitkan. Jika kau ikut kami, kau akan bahagia, dan kau tahu apa yang harus kau lakukan agar ikut dengan kami." Leah keluar dari cermin, berubah menjadi nyata, bukan hanya pantulan. Lalu diikut dengan anak-anak yang lain. Mereka berdiri tegak, utuh dan mata lebarnya tidak berkedip, hanya terpaku padanya. Senyum membujuk masih terlihat di sana, tidak berubah.
Sebuah pisau entah dari mana berada di tangan Ery. Lalu ia mengenggam pisau itu seolah tidak akan memisahkan dari genggamannya. Sepertinya yang mereka katakan benar. Ery sudah tidak pantas untuk hidup lagi. Dan ia memang tahu bagaimana caranya agar mengikuti mereka. Ery mengenggam pisau itu mengarah pada jantungnya yang masih berdetak. Entah mengapa saat itu Ery memilih melirik ke arah teman-temannya, yang entah mengapa seringai mereka melebar dan mulai merobek pipi mereka.
Wajah membujuk itu memudar, menunjukkan wujud aslinya. Mata mereka terbelalak mengerikan padanya. Darah hitam keluar dari keluar dari mata, hidung dan mulut mereka. Lalu tak lama tubuh-tubuh mereka mulai tidak sempurna, lubang menganga pada perut mereka lebih besar dari luka Ery, terlihat sudah membusuk dan belatung memenuhi ketidaksempurnaan itu. Mereka bukan teman Ery! Mereka telah mati!
Darah mengalir dari dadanya akibat tusukan tajam pisau itu. Blace terguncang, goresan tajam pisau di tangannya meninggalkan rasa perih yang melukai. Kernyitan muncul jelas di wajahnya, bau darah memenuhi penciumannya. Ery, anak kecil dalam halusinasi, menginginkan kematian. Dan menyusul teman-teman berdarahnya. Mereka tidak akan melepaskan Blace jika ia melarikan diri lagi.
Ketika Blace berada di rumah sakit jiwa. Benda tajam itu tidak akan pernah ia lihat. Keluarga, dokter dan perawat menyembunyikan benda itu darinya dengan baik. Tetapi jiwa kecilnya yang menderita, menginginkan benda tajam itu, mencoba membunuh dirinya, membunuh Blace. Dan ketika Blace berhasil diselamatkan dari halusinasinya berkat obat penenang yang ia konsumsi, hingga ia overdosis. Blace tetap akan kembali pada situasi yang sama. Kesakitan yang sama. Dan daya upaya yang mencoba bunuh diri, melukai tubuhnya berkali-kali. Dan kali ini ... Blace tidak ingin melarikan dirinya, ia ingin menghadapinya.
"Ingat, kau sedang bersamaku. Aku akan melindungimu. Hanya katakan saja, jika kau membutuhkan aku. Panggil namaku jika kau butuh sesuatu."
Perasaan ingin bertahan hidup nyaris putus ketika Ery mengikuti perkataan teman-temannya yang mati. Mereka masih terpaku menatapnya dengan mengerikan. Sebuah tangan meraih bahunya, dan ada tangan yang lain, yang meraih bahu satunya. Ery menoleh, perempuan dewasa berdiri di baliknya. Perempuan itu tersenyum sangat manis padanya, tangan perempuan itu mengenggam tangan seorang pria yang tatapan hanya terpaku wanita itu. Rambut hitam pendek, mata eboni yang jernih dan pipi kemerahan itu agak mirip dengan Ery, tetapi versi dewasa. Versi saat Ery bahagia. Dan orang-orang yang dikenalnya Ery berada di belakang wanita itu, wajah mereka tampak begitu bahagia. Kakak-kakaknya dalam tubuh dewasa seperti perempuan itu.
Ketika tawa wanita itu terdengar riang tanpa beban, suasananya langsung berubah. Kakinya berpijak dalam lautan kehangatan, bayangan rumah terlihat sangat hangat dan damai. Dan Ery berdiri menyaksikan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan. Seorang pria menarik wanita itu ke pangkuannya, memeluknya dan mendaratkan belasan kecupan-kecupan di wajahnya, mata perak itu menatap sang wanita dengan memuja. Tawa wanita semakin terdengar, dan dia membalas ciuman pria itu dengan dalam.
Tak lama suasana pun berubah. Ayahnya memeluk wanita itu dan mengatakan sangat menyayangi dan mencintainya. Suasana itu penuh rasa haru. Lalu tempat Ery berpijak kembali berubah. Kali ini ia melihat kakak-kakaknya dalam versi dewasa. Terlihat berkumpul merayakan natal mereka. Kebahagiaan terpancar dari sinar mata mereka yang menatap wanita berambut pendek yang mirip dirinya. Tawa bahagia terdengar dari wanita itu, wajahnya memerah, ia memekik senang melihat puluhan kado-kado natal menjadi miliknya. Lalu dia memeluk semua kakak Ery.
Suasana berubah lagi, salju turun ketika itu. Ery menyaksikan wanita itu berbicara pada Zenan versi dewasa. Mereka duduk di depan danau yang membeku. Lalu Ery melihat raut penuh rasa syukur di wajahnya wanita itu.
"Terima kasih, kau mewujudkan keinginan konyolku. Walaupun Leon dan Lucas tidak datang, aku masih merasa sangat bahagia. Terima kasih." Suaranya terdengar mirip Ery, tapi jauh lebih jernih, merdu dan sangat dewasa.
"Jangan berterima kasih. Akan kami lakukan apa pun untuk kebahagiaanmu, termasuk menyingkirkan bahaya yang membayangimu. Kami akan melindungimu,"
"Aku menyayangi kalian semua."
"Aku juga. Kami juga menyayangimu. Jadi, kembalilah pada kami."
Rasa sakit menghilang bayangan-bayangan itu. Dia kembali pada tempat membeku, dalam kamar mandi yang luas itu. Tubuh kecilnya sudah berada dalam kolam hangat, tapi tidak menghangatkan hatinya. Mata Ery menatap pada tangannya yang terus menekan pisau ke dadanya, yang ingin menghancurkan jantungnya. Kelebatan hitam muncul di antara teman-teman Ery yang mati. Lalu ratu terornya kembali datang padanya. Merlin muncul di belakang anak-anak, menatapnya dengan seringai mengerikan. Seringai itu juga membelah pipinya, darah keluar dari luka tembak di kepalanya terlihat menganga besar dan mengerikan. Darah memandikan tubuhnya seperti teman-temannya yang mati.
"Aku mencintaimu. Kami menyayangimu. Kembalilah pada kami. MATILAH BERSAMA KAMI!"
Ery melirik pisau yang masih menekan di dadanya. Seolah kehilangan akalnya, ia menarik tangannya dan bermaksud menghujamkan pisau itu begitu dalam di jantungnya. Ia akan mengakhiri nyawanya dan ikut pada kematian seperti teman-temannya yang mati. Namun sebuah rangkulan, menenggelamkannya dalam pelukan hangat, menghentikan keinginannya. Tangannya yang mencengkram pisau mengantung di udara.
"Kau tidak sendirian. Kau berhak hidup." Ery berbalik, melihat siapa yang merangkulnya dari belakang. Ternyata orang itu adalah seorang wanita yang mirip dengannya. Dan Ery sudah melihat kebahagiaan yang membayangi hidup wanita itu. Pria bermata kelabu itu berada di belakangnya, dan semua anggota keluarganya menatapnya dengan lembut. Seolah ia adalah wanita itu.
Wanita berambut pendek hitam, menatapnya. Matanya bersinar kehangatan dibalut belasan kaca pada matanya. Wanita itu melepaskan rangkulan dan dia menangis di depannya, dan itu membuat Ery terenyuh. "Kau Blace Flannery. Kau ... adalah aku. Dan kau pernah merasa bahagia. Kau berhak hidup dan pantas bahagia."
Ketika Blace berhasil meraih dan mengendalikan Ery. Blace meraih dari pisau dari tangan kecil itu. Ia menatapnya penuh kelegaan, dan bayangan Havrelt dan keluarganya yang terus ia ciptakan dalam kepalanya memudar, dan juga pasti menghilang juga dari penglihatan Ery.
"Kau berhak hidup. Masa depan menunggumu untuk dijalani." Blace mengusap air matanya, ia berusaha meyakinkan Ery. Matanya menoleh, memandang Merlin dan anak-anak kecil yang mati dibunuh Merlin. Tatapan mereka tiba-tiba berubah haluan, tidak menatap Ery lagi. Semua mata itu beralih menatapnya, terpaku padanya, terbelalak mengerikan dengan darah yang membasahi tubuh mereka. Blace akan menghadapi mereka, kali ini ia tidak akan melarikan diri. Ketakutan terbesarnya harus lenyap jika dia menginginkan kebahagiaan.
Blace mengenggam erat jemari kecil Ery. Dan mereka melangkah ke arah Merlin yang memimpin pasukan mengerikannya. Tetapi semakin ia mendekat, Ery memudar. Wajah kecil terlihat bersinar berbeda dari sebelumnya, kebahagiaan muncul di raut wajahnya. Ery tersenyum manis padanya, bersamaan dengan tubuhya yang menghilang sepenuhnya, menyisakan tangan Blace yang mengenggam udara.
"Kau tumbuh besar anakku." Merlin melangkah mendekatinya. Mata terbelalak itu berwarna hitam, pupil putih sepenuhnya menghilang tidak tersisa. Darah hitam terus mengalir di kedua pipinya dan lubang di kepalanya.
"Pergi dari hidupku," desisnya. Ia tidak boleh takut, ia akan menyelamatkan hidupnya. Sedetik saja rasa takut itu terasa, maka tangan-tangan itu akan terulur, memaksanya tenggelam dalam masa lalu. Walaupun masa lalu mencekiknya, membutakan masa depannya, Blace akan terlepas dari rantai itu dan memutuskannya dengan tangannya sendiri.
Merlin mengulurkan tangan berdarah padanya. Wajahnya penuh seringai iblis. Kegelapan membalut tubuhnya, bayangan hitam juga membalut tubuh anak-anak yang mati. "Ikutilah bersama kami. MATILAH BERSAMA KAMI!"
Detak jantung berdetak sangat keras, memukul rongga pernapasannya. Rasa sesak yang mengikat lehernya, melepaskan diri. Lalu tubuhya memintanya agar tetap hidup. Blace mengencangkan genggaman pada pisau di jemarinya. Air mata mengabur pandangannya, ia telah sebuah keputusan yang tepat. Ia akan bahagia. Ia akan hidup jauh dari masa lalu yang mengerikan yang pernah Merlin berikan padanya. Blace meraung marah. "Menyingkir dari hidupku!"
"Dulu saat kau kecil, kau bilang kau menyayangiku. Eryku mencintaiku." Lalu Merlin menyandungkan lagu kematian yang biasa ia nyanyikan.
Sebuah tawa keluar dari sudut bibir Blace. Keberanian membungkus jiwanya yang telah terlalu lama ketakutan pada masa lalu. Blace maju ke arah Merlin, hingga ia hanya berjarak satu langkah dari tubuh mengerikan Merlin. Bau kegelapan dan kematian tercium begitu pekat. Blace merasakan bibirnya menyeringai mengerikan menatap Merlin dan anak-anak yang mati.
Aura cahaya pada tubuh Blace yang terpancar berubah membutakan mata. Anak-anak itu mundur, menjauh satu langkah darinya. Tetapi Merlin berdiri tegak, menantangnya.
"Aku menyayangimu, Merlin." Pisau di tangan Blace terhujam di jantung Merlin. Merlin meraung kesakitan. Dua anak yang berdiri di belakang Merlin tersenyum padanya, raut mengerikan pada wajah berubah lalu secara tiba-tiba mereka menghilang. Blace menghujamkan pisau itu lagi di jantung Merlin. Rahang Blace mengetat. "Aku mencintaimu dengan amat tulus. Hingga rasanya kesintingan ini membuatku jadi gila. Jadi, pergi dari hidupku." Blace menarik napasnya, tidak menghentikan pisau yang menghujam. Ia berteriak penuh emosi dengan air mata membasahi pipinya. "DAN BERHENTI MENGANGGU HIDUPKU!"
Darah hitam semakin menembus dari tubuh Merlin. Kesakitan yang bertubi-tubi dirasakan oleh Merlin, semakin menghilangkan anak-anak yang kini menatapnya dengan senyuman di wajahnya. Pisau di tangan Blace beralih menusuk perut Merlin, darah hitam memercik, mengenai tubuh Blace, ia memutar besi itu dalam perut Merlin, dan kembali mengulangnya hingga Blace merasa gila.
Senyum lembut di wajah Merlin menghentikan tindakan Blace. Ia mencabut pisau itu dari sana. Tapi tidak melepaskannya dari genggaman Blace. Wajah Blace berubah sedingin es, sinar matanya berubah menjadi sinar kejam sang pembunuh. Di ruangan kamar mandi itu, ia hanya berdua dengan Merlin. Anak-anak yang mati menghilang, ekpsresi damai mereka memenuhi ingatan Blace. Napas Blace naik turun dengan cepat, membuat kepulan uap dingin di depan wajahnya berupa kabut.
Merlin jatuh ke lantai marmer membeku itu. Darah hitamnya berubah warna menjadi merah. Raut mengerikan itu perlahan menghilang. Raut keibuan terpatri di wajah Merlin, raut yang sama saat Blace masih menjadi Ery, dulu. Kini raut itu bercampur dengan ekspresi kesakitan.
"Aku bunuh diri karena kupikir kau sudah mati, Ery. Tapi kau masih hidup. Tidakkah kau berpikir untuk menyusulku dan menyelamatkanku dari kegilaanku sendiri?" senyum Merlin semakin lembut. "Kau anakku. Ikutlah mati denganku. Kita akan bahagia di akhirat."
Blace berjongkok, menjajarkan tubuhnya dengan Merlin. Seringai gila itu muncul lagi di sudut bibirnya. "Pergilah dengan tenang. Tapi jangan mengajakku."
"Kebahagiaan yang kau rasakan di dunia ini hanya rekayasa. Kau akan lebih bahagia bersamaku, kita akan memulai hidup baru setelah kematian di dunia ini."
"Aku akan lebih bahagia jika aku tidak punya Bibi sepertimu. Pergilah dengan tenang, Merlin." Blace menghujamkan lagi pisau itu ke jantung Merlin yang berdenyut. Darah memucrat mengenai wajahnya. Lalu Blace kembali membunuh jantung Merlin berkali-kali, hingga tubuh Merlin mulai memudar dan menyisakan senyuman keibuan padanya. Tangan Merlin menyentuh rambutnya, mengelusnya rambutnya pendeknya dengan lembut.
"Hiduplah dengan bahagia. Maafkan aku."
Nurani Blace yang tadinya bersembunyi kembali memeluk perasaannya. Tangannya bergetar mengenggam pisau yang terus saja menusuk menghujam jantung Merlin. Ketika Blace mencabut pisau itu dengan perlahan, pikiran waras dan akal sehatnya menyadarkan dirinya jika ia melakukan hal kejam pada Merlin, persis seperti yang Merlin lakukan pada anak-anak yang telah damai di sana. Air matanya mengaburkan pandangan.
"Maafkan aku, maafkan aku." Senyuman lembut itu masih ada di wajah Merlin, seperti milik ibunya.
Bahu Blace terguncang mendengar pengakuan Merlin. Tangannya melepaskan pisau di tangannya. Rasa sakit mencengkram pernapasannya. Sisi gelap Blace telah mengambil sisi terangnya, lagi pula sekarang dia tidak ada bedanya dengan Merlin. Keinginan untuk terus bertahan hidup dan melepaskan diri dari masa lalu akhirnya terwujud. Merlin mulai menghilang di hadapannya. Mulai memudar dari halusinasinya, menyisakan bisikan permintaan maaf jutaan kali.
.
.
.
Blace sendirian dalam kamar mandi milik Havrelt. Tubuhnya berada di pinggir kolam, bahkan dari tadi ia tidak bergerak ke mana-mana. Hanya terpaku di sana, dengan tangan yang mengenggam pisau. Rasa perih di dadanya mulai mengeluarkan darah tanpa henti. Kejadian yang baru saja terjadi, hanya terjadi dalam kepalanya, hanya terjadi dalam halusinasinya.
Badai di luar sana bertambah deras, membuat tubuh Blace mulai menggigil, tangannya melepaskan pisau yang ia genggam begitu erat. Tanpa bisa menahan dirinya, berbagai emosi membuncah dalam dirinya. Ia mencoba memeluk dirinya dengan kedua lengannya sendiri. Suntikan dan obat itu berada di depannya. Jemarinya yang gemetar, meraih suntik itu, melepaskan tutup jarumnya lalu memasukkan jarum itu ke dalam botol obat kecil, untuk menyerap obat ke dalam suntikan.
Blace telah membunuh Merlin dalam halusinasinya. Blace telah menghilang bayangan anak-anak kecil yang mati akibat ulah Merlin dalam ingatannya. Dan menyelamatkan Ery dari perasaan yang terus berusaha membunuh Blace sendiri. Ia telah menyelamatkan dirinya. Blace terisak, bahunya terguncang hebat. Air mata tidak mau berhenti mengalir di pipinya. Ia berhasil menghadapi ketakutan terbesarnya.
Darah Merlin yang terpercik pada tubuhnya, terasa begitu nyata dan menganggunya. Tak membuang waktu, Blace menenggelamkan tubuhnya dalam kolam mandi itu. Lalu di detik kelima ia bangkit dari dalam air itu. Rasa sakit pada lukanya membuat darah melebar dan meracuni air di sekitarnya. Tangan Blace yang mengenggam suntik mengencang, tangan yang satu lagi bergerak menyentuh luka pada dadanya. Darah merah membalut tangannya dengan banyak. Blace memaksa matanya menatap ketakutannya pada darah. Garis dan batasan ketakutan itu tidak meraihnya, malah Blace merasakan kedamaian saat melihat darah. Blace terisak lagi dengan keras, air mata panas membasahi wajahnya.
Blace sembuh. Aku sembuh!
Blace melirik suntikan di tangan kanannya. Tapi sepertinya Blace masih membutuhkan obat penenang untuk menetralkan emosinya. Havrelt tidak boleh melihat Blace dalam kondisi yang rapuh dan lemah ini.
"Panggil namaku jika kau butuh sesuatu," suara Havrelt dalam ingatannya terdengar seperti tawaran menggoda.
Blace melepaskan suntikan di tangannya ke dalam kolam. Benda itu langsung tenggelam di dasar kolam mandi itu. Lalu Blace mengambil napas, menjerit dan memanggil Havrelt keras-keras.
"Havrelt! Havrelt! HAVRELT!!"
***
Havrelt telah telah menyiapkan sarapan sekitar 30 menit yang lalu. Roti panas mengepul mulai mendingin, di dalam roti itu diisi dengan selai strawberry. Dua susu putih untuk mereka dan buah-buahan yang sengaja dipotong kecil oleh Havrelt untuk Blace. Semuanya telah tersaji di atas meja. Dan Havrelt duduk gelisah, menunggu Blace keluar dari kamar mandi.
Beberapa menit yang lalu, ia mendengar suara bentakan Blace yang berbicara sendiri di dalam sana. Havrelt bisa merasakan emosi Blace begitu nyata dan tidak terbantahkan. Tapi dia tidak ingin menganggu privasi Blace, ia ingin si penyihir itu mulai nyaman berada di dekatnya. Havrelt memilih untuk tetap menunggu, lalu tidak lama tidak terdengar apa pun lagi.
Sebenarnya kamar mandi favoritnya sedikit kedap suara. Jika berbicara dengan pelan dari dalam, di luar ruangan itu orang tidak akan mendengarkan apa pun. Tapi jika orang yang berada di dalam menjerit dan berteriak, Havrelt akan mendengarkannya dari luar. Havrelt menunggu lagi. Padahal Havrelt sudah mengingatkan Blace untuk tidak beredam terlalu lama, mereka bahkan belum sarapan. Tetapi sepertinya wanita itu mengabaikan ucapannya.
Tiba-tiba suara Blace menjerit penuh kepanikkan terdengar dari dalam kamar mandi itu, memanggil namanya beberapa kali. Jantung Havrelt terasa mencengkram kuat, ia bangkit dari duduknya dan berlari ke arah pintu. Tangannya meraih gagang dan membukanya. Sial! Tapi ternyata pintu itu terkunci dari dalam.
"Havrelt! Havrelt!" Blace menjerit semakin kencang.
Havrelt ingat kunci itu berada di kamarnya, tapi jika melakukan itu akan menghabiskan setiap menit dan Blace bisa saja sedang terluka di dalam sana. Tidak ada pilihan lain. Havrelt mendobrak pintu itu, menendangnya beberapa kali. Ia tidak mungkin mendobrak dengan bahunya yang terluka. Havrelt memusatkan kekuatannya pada kaki dan menendang pintu lagi, hingga akhirnya pintu itu terbuka.
Blace berada dalam kolam. Tubuhnya sepucat mayat. Havrelt melangkah dengan cepat, melepas sweaternya dan mencebur dirinya dalam kolam. Lengan-lengannya meraih Blace, meraupnya ke gendongannya dan mengeluarkan mereka dari kolam itu.
Ketakutan membanjiri ekspresinya ketika menemukan darah di dada atas Blace melumuri tubuh mereka. Sial. Apa yang sebenarnya terjadi? Havrelt melirik sinar kelipan yang berada tak jauh dari mereka. Kenapa pisau itu ada di sana? Kenapa ada darah di sana?
Havrelt menurunkan Blace di lantai marmer dingin itu. Tubuh wanita itu mengigil, gemetaran hebat. Tubuh Blace yang setengah telanjang hanya memakai pakaian dalamnya, dan pasti wanita itu menginginkan kehangatan. Havrelt ingin bangun, mengambil handuk untuk Blace. Tetapi tangan Blace yang dingin menautkan jemarinya pada jemari Havrelt. Senyuman hadir di tengah matanya menetes air mata.
Bibir itu bergetar, dan berucap berupa bisikan. Wajahnya kehilangan warna, pucat pasi. "Bi-bisakah kau me-memelukku?"
Havrelt melihat sisa ketakutan di mata Blace, pasti ada satu kejadian yang membuat wanita itu tampak begitu rapuh. Bibirnya mengecup tangan Blace yang tertaut dengan jemarinya. Mata Havrelt menajam ke arah darah yang terus mengalir. Apa wanita itu tidak merasa kesakitan?
Tangan Havrelt yang lain meraih sweaternya yang ia buka sebelum dia menceburkan dirinya ke dalam kolam. Sweater itu tepat di sebelahnya. Havrelt melepaskan tautan tangan mereka.
"Pakai ini dulu," Havrelt membantu Blace memakai bajunya. Blace menurut, mengikutinya seolah wanita itu tidak punya kendali pada tubuhnya lagi.
Jejak air mata Blace membuat Havrelt mengutuk dalam hati. Dia tidak bisa menjaga wanita itu, dia tidak bisa melindungi Blace. Setelah selesai memakai sweater untuk Blace, Havrelt tidak menunggu waktu lebih lama lagi. Ia meraup Blace dalam pelukannya, berusaha tidak menyakiti luka berdarah itu. Tangannya menepuk punggung lemah itu yang kembali terguncang dan menangis. Ia membelai punggung itu dengan tepukan menenangkan. Bibir Havrelt berbisik dengan lembut.
"Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja sekarang. Aku bersamamu. Kau aman bersamaku. Aku akan melindungimu."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
(Tarik napas dan hembuskan)
Huff.
Mohon dibaca note di bawah ini.
Huff.
Semoga kalian bisa memahami di bagian menjelang akhir, pas yang tiba-tiba ada nama 'Ery' dan 'Blace' Seolah-olah jadi dua orang yang berbeda. Memang aku sengaja membuatnya jadi dua sisi berbeda. Di sana Ery berperan sebagai masa lalunya Blace. Sedangkan Blace adalah dirinya sendiri yang sulit membedakan antara halusinasi dan apa yang terjadi.
Semoga kalian dapat memahami sudut pandang yang terasa berbeda itu.
Terima kasih sudah membaca part ini, kata demi kata.
Aku pun menulis part ini dengan perasaan campur aduk. Beberapa kali merasa kasihan sama Blace yang sulit membedakan kejadian nyata saat menghadapi ketakutannya.
Dan btw ternyata aku nulis part ini hampir tiga kali lipat dari chptr sebelumnya😂😂😂
Ini chptr terpanjang selama nulis MWG.
Semoga next chptr bisa ditulis secepatnya ya.
Tolong tinggalkan Vote dan komentar untuk apresiasi bab ini.
Terima kasih.
Sory jika ada typo :)
(Senin, 31 Agustus 2020)
(7071 kata)
Salam hangat
P A H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top