F I F T Y 🔫
Udara berdenyar dengan hawa dingin dan lembab. Blace terjebak dalam kamar, duduk di bingkai jendela tinggi, yang tersedia tempat duduk hangat dengan selimut. Tangannya terulur ke luar jendela, menantikan butiran salju menyentuh permukaan kulitnya.
Setelah apa yang terjadi semalam, saat Blace keluar dari kamar mandi, dia hanya mendapati ruangan kosong, keberadaan Freya dan Havrelt seakan tidak pernah memasuki kamarnya. Mungkin seharusnya ia tahu begini lah nasibnya jika dirinya terlalu lama menumpang di rumah orang lain, hanya untuk memastikan agar dirinya aman. Kini pun dia tidak lagi mengerti definisi aman baginya, semuanya hanya menunggu datangnya bahaya tiba, juga rasa terluka. Barangkali dia berharap ada seseorang yang mengenalinya untuk berbagi seberapa kalutnya dia tentang barang berharga yang telah dicuri seseorang darinya. Namun harapan itu tidak pernah terwujud. Rasanya kenyataan hanya menertawakan seberapa Blace sangat berharap tentang hal itu.
Salju di tangannya meleleh saat Blace merasakan sensasi dingin halus lalu melebur menjadi air beku. Dia menarik tangannya, bangkit dari tepi jendela, menutup jendela lalu menghampiri nakas di samping ranjang. Ada segelas air putih di sana, yang langsung tandas sekali teguk oleh Blace. Menurut berita di TV, sebentar lagi di luar akan ada badai. Dan sepertinya Blace akan terus terjebak dalam kamar sepanjang hari.
Dia melirik ke luar jendela, hawa dingin dari arah luar mulai memasuki kamarnya. Kehangatan dari perapian yang menyala tidak memberikan efek sama sekali. Blace merasa bahunya bergetar dan giginya mulai bergemelutuk, ia mengambil jaket hangat dan memakainya, berharap rasa dingin yang menganggu segera menghilang. Tiba-tiba terdengar suara nada dering keras di antara keheningan, Blace terlonjak kaget dan langsung berpaling ke arah suara nada dering itu.
Blace tidak pernah melupakan jika ia masih menyimpan ponsel pemberian ayahnya— selama ia tidak memberitahu tentang ponsel itu pada orang lain. Ketika Blace membuka laci nakas, sebuah ponsel berwarna hitam bergetar dan mengeluarkan nada dering yang keras. Saat melihat sebuah nama yang ia kenali—yang sepertinya daftar nomor penting sudah disimpan dengan baik— Blace mengangkat sambungan itu.
"Kukira kau tidak akan mengangkat panggilanku," terdengar suara penuh syukur yang Blace kenali.
Bibir Blace menarik membentuk sebuah senyuman. Entah kenapa rasanya harapannya mulai terkabulkan. "Hai Emie,"
"Geez, aku mulai membenci suara manismu saat menyebut namaku. Kalau kau ada di sini aku sungguhan mencekikmu hingga kau kehabisan napas."
"Dan sepertinya tidak terjadi ya," Blace terkekeh, ia memilih duduk di ranjang dengan posisi nyaman.
"Jangan mulai jadi orang yang menyebalkan, Blace. Kau—"
"Tapi kadang aku memang menyebalkan—"
"Dan jangan berani memotong pembicaraanku saat aku benar-benar berkeinginan mencekikmu hingga pingsan!"
Blace sedikit menjauh ponsel dari telinganya saat ia mendengar suara Emily semakin keras saat berbicara. Diam-diam Blace merasa lebih baik daripada sebelumnya. Blace memutuskan tidak menjawab apa pun.
"Tahu tidak? Yang paling menyebalkannya lagi, kau tidak berpamitan pada kami. Jian dan Avel marah besar saat kau pergi begitu saja. Dan aku lebih marah dari yang bisa kau bayangkan."
"Maaf," rasa bersalah menekan pernapasan Blace, ia terdiam sejenak mencari kata yang tepat untuk diucapkan. "Kau pasti mengenalku dengan baik, aku tidak pernah menyukai perpisahan. Seperti pertemuanku dan perpisahanku di setiap pelanggan, kadang ada beberapa dari mereka yang mengusikku untuk terus mengadakan pertemuan tanpa perpisahan. Aku tidak ingin berpamitan karena ... aku memang tidak akan kembali ke Tokyo. Setelah semua ini selesai, aku berencana tinggal di Skotlandia atau mungkin aku perlu liburan dan menentukan tempat tinggal baru, di negara baru."
"Hei,"
Blace menggigit pipi bagian dalamnya, kebiasaan kecil yang membuatnya lupa cara menutup mulut ketika ia sedang kalut. Emily pasti menyadari jika Blace punya masalah.
"Kau punya masalah, dear?" suara Emily terdengar lagi. Blace terdiam, berusaha tidak melempar dirinya terjun dari balkon. "Kau bisa menceritakan padaku jika ingin. Apa kali ini pelangganmu yang satu itu sudah menyusahkanmu? Apa pelangganmu itu membuatmu tidak nyaman dan kau terus terancam dalam bahaya? Apa dia sengaja—"
"Dia tidak begitu," sela Blace, lalu menyesal setelahnya. "Dia tidak begitu, hanya saja situasi dan beberapa faktor membuatku ingin melarikan diri tempat ini,"
"Kalau begitu pergi saja dari sana,"
"Dan masalahnya aku orang yang tidak bisa melanggar janji. Aku berusaha menepati janji yang dibuat."
"Perjanjian seperti apa yang kau maksud? Kau tidak pernah membuat perjanjian dengan pelanggan mana pun!" tiba-tiba suara Emily terdengar keras. Jelas, saat ini tanpa bertatap muka pun, Blace tahu bagaimana ekspresi Emily saat marah, saat ia menjadi Theresa. "Kau mungkin lupa, Blace. Tidak pernah ada perjanjian antara peramal dan pelanggan. Hanya ada kesepakatan yang saling menguntungkan di antara dua belah pihak."
"Baiklah," Blace mungkin tidak seharusnya menyebutkan tentang perjanjian. Karena dari awal, ketika ia meramal Havrelt dan pria itu meragukan kemampuannya, Blace hanya ingin menunjukkan seberapa dia mampu untuk membantu masalah pria itu. Dan Blace seharusnya menyalahkan dirinya, dia bukan orang baik yang membantu tanpa imbalan, hingga sekarang dia sendiri yang merasakan resikonya. "Kita bicara nanti saja mengenai hal ini, aku sedang tidak dalam mood yang bagus untuk membahas perihal ini. Aku—"
"Aku dan Avel menyusulmu ke London! Mari kita bertemu,"
"Apa?" Blace terkesiap, "Jangan bercanda!"
Jika mereka bermaksud menyusulnya, hal ini akan jadi masalah untuk Blace. Benar-benar masalah. Setelah itu, Blace tidak mendengar suara Emily lagi, tetapi terganti dengan suara khas yang masih Blace ingat.
"Mari kita bertemu, Ery." Suara itu milik Avel. "Aku akan mengirimkan kapan tepatnya kita bertemu dan alamat lokasinya,"
Lalu setelah itu sambungannya terputus, meninggalkan Blace dalam kamar yang terasa semakin membeku.
***
Tengah malam, Havrelt menyelinap keluar kamarnya menuju kamar tamu yang ditempati oleh Blace. Saat itu, Havrelt mulai tidak mengerti dirinya, lagi.
Pagi tadi, Freya menempel padanya seperti tidak ingin terpisah darinya, bahkan semalam adiknya mengajukan permintaan agar dia tidur sekamar dengan Havrelt. Tentu saja, Havrelt masih punya akal sehat yang berfungsi baik sehingga menolak tawaran Freya dengan tegas. Apalagi Freya nyaris mengikutinya saat mereka mengadakan pertemuan untuk membahas keberadaan tentang barangnya yang hilang dengan Niel dan Archer, dan terpujilah James karena dia berhasil mencari cara agar Freya tidak mengikutinya saat pertemuan.
Tadi Havrelt juga sudah memastikan agar Freya tidak mengikutinya saat tengah malam, siapa tahu jika Freya bisa saja menyelinap dalam kamarnya. Jadi, Havrelt memberi obat tidur dosis kecil pada Freya, menyuruh Brenda memberikan segelas susu coklat yang biasa Freya minum sebelum tidur. Jika tidak begitu, Freya benar-benar membatasinya melakukan apa pun yang ia inginkan.
Havrelt melangkah hati-hati di lorong kamar Blace, entahlah, ia tidak yakin mengapa ia ingin pergi ke kamar wanita itu. Dia juga tidak yakin dengan tindakan diam-diamnya, dan pergi ke sana. Kamera cctv yang biasanya menyela dimatikan untuk malam ini, dan akan dihidupkan kembali begitu Havrelt tiba di kamar Blace, sesuai perintahnya. Dia hanya tidak ingin seseorang tahu, jika dia mengunjungi Blace saat tengah malam hari. Dan entah kenapa dia selalu merepotkan dirinya sendiri saat melakukan tindakan tidak rasional ini.
Seharian ini saat Havrelt dan Archer sibuk mencari keberadaan barangnya, dengan keahlian Niel. Mereka menemukan sesuatu yang tidak disangka, Nate dan seorang wanita berambut pirang ternyata berada di London, tiga hari yang lalu. Niel menemukan mereka tertangkap kamera pengawas di bandara, dan sekarang dia mengetahui dengan jelas keberadaan Nate yang masih di London, yang mungkin akan menuntunnya menuju barang lain miliknya yang hilang.
Selain masalah itu, Havrelt kembali mengingat bagaimana Freya mengeluh tentang oleh-oleh yang Havrelt berikan, cincin mahal yang dijadikan liontin itu tidak muat di jemarinya, hanya bisa masuk di pertengahan jari manis. Freya mulai mengeluh dan mengatakan jika ia lebih suka cincin daripada kalung. Dan ketika itu Havrelt tidak mengatakan apa-apa. Pikirannya hanya kembali terulang pada tatapan terluka Blace sebelum wanita itu melarikan diri ke kamar mandi. Dan seharian ini hal itu juga sangat menganggunya. Mungkin itu sebabnya dia ingin bertemu dengan penyihir itu.
Havrelt membuka pintu depan kamar Blace dengan mudah, yang ternyata tidak dikunci. Jika dikunci Havrelt berencana menerobos ekstrim melalui balkon kamar atau jendela di lantai dua itu. Ketika pintu kamar itu tertutup di belakangnya, Havrelt menemukan ruang kosong dengan lampu menyala yang hanya berasal dari nakas.
Ke mana perginya wanita itu?
"Anda datang, Tuan Dimitry?" Havrelt berpaling ke arah perapian. Dan saat itu ia menyadari ruangan itu tidaklah kosong. Hanya saja ia tidak melihat, tubuh mungil Blace tenggelam dalam sofa besar di dekat perapian, yang membelakangi pintu masuk, tempat berdirinya sekarang.
"Kau tahu aku akan datang?" Havrelt mendekatinya, mulai terganggu dengan kenyataan itu. Dia bisa melihat dalam cahaya yang jelas, dari api perapian. Blace memakai baju hangat panjang, berbalut selimut dengan rambut panjang yang terkucir. Tangannya memegang sebuah gelas, yang berisi blue wine. Dan wanita itu tampak sangat tenang. Tidak seperti yang ia lihat kemarin.
"Saya hanya tahu saja," Blace menyesap minuman itu hingga tandas. Tak lama pipinya memerah, ia menghela napas. "Saya meminta pada Brenda untuk memberikan sebotol wine yang tidak terlalu banyak mengandung alkohol, tetapi dia malah memberikan yang terbaik."
Blace tersenyum, dengan senyuman yang Havrelt artikan sebagai senyuman saat dia ingin terlihat ramah dengan orang lain, padahal hatinya tidak. Havrelt tiba di dekat sofa yang diduduki oleh Blace, ia semakin tidak mengerti dengan sikap Blace yang tampak formal padanya.
"Apa kau ingin menemaniku minum?" terlebih saat Blace mengubah ucapan formalnya lagi, dan mengangkat wine yang sudah dia isi di gelas baru kepada Havrelt. Blace tidak mengungkit kejadian kemarin malam seolah ia melupakan tindakan yang Havrelt lakukan dan saat itu Havrelt menyadari jika ternyata Blace adalah ... orang yang sangat rumit.
Havrelt menerima wine dan meneguknya hingga tandas sekali teguk. Lalu menaruhnya kembali di meja bundar kecil di samping Blace. Sikap rumit Blace membuat Havrelt kesal karena dia mulai tidak mengerti Blace.
"Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan? Hingga harus datang di tengah malam begini, Tuan Havrelt?"
Alih-alih menjawab, Havrelt memilih duduk di sofa yang berseberangan dengan Blace, memang ada dua sofa single di dekat perapian, dengan posisi berseberangan.
Havrelt berdecak, ia harus bisa mengendalikan dirinya sendiri. Dan menjawab pertanyaan Blace dengan masuk akal kenapa dia berada di kamar wanita itu.
"Kami menemukan keberadaan orang yang mencuri senjataku."
Havrelt bahkan tidak ingin menyebut nama si pengkhianat itu. Havrelt menatap Blace dengan tatapan tajam khasnya, menantikan ekpsresi apa yang akan ia lihat. Mata Blace terbelalak, jelas dia tampak kaget.
"Dia ada di mana?" suara wanita itu menyuarakan kegelisahan dan ketakutan.
Sejenak Havrelt mengernyit, melihat ekpsresi yang sekarang ditampilkan Blace, hal itu mulai membuat Havrelt penasaran karena sebelumnya penyihir ini hanya bersikap biasa saja dengan nama orang itu.
"Kau pernah bertemu dengannya?" tanya Havrelt dengan tajam.
Seketika wanita itu menegang kaget, dan ekpsresi ketakutan itu semakin ketara. Havrelt menghela napas, jangan katakan jika wanita itu menyembunyikan sesuatu darinya. Jelas sekali, dia tidak bisa mengelak jika Havrelt begitu mudah membaca ekspresinya.
"Katakan," Havrelt bangkit dari duduknya, dan mendekati Blace. "Di mana kau pernah bertemu dengannya?"
Mata eboni itu meliriknya lalu berpaling ke arah lain. "A-aku ... sepertinya kita jangan—"
"Katakan," Havrelt meraih sisi wajah Blace, memaksa wanita itu menatapnya. Dia mengurung wanita itu dengan lengannya yang bebas, mendesak hingga kepala Blace terbentur ke sandaran sofa. Tidak peduli jika jarak mereka semakin menipis, tidak peduli dengan ekpsresi kaget milik Blace, Havrelt tetap mengancam Blace. Ia berkata dengan penuh penekanan. "Di mana?"
Tangan Blace terlihat gemetar saat ia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Havrelt di pipinya, yang sekarang semakin mengencang. Mata hitam yang berkelip ketakutan itu melirik Havrelt lagi. "Di Tokyo,"
"Kapan?"
"Sebelum kau menemukan aku, di restoran Jepang,"
Seketika itu Havrelt semakin marah dengan kenyataan itu, ia bahkan tidak bisa menahan dirinya berteriak keras untuk meluapkan kemarahannya. "Dan kau baru saja memberitahuku tentang hal itu sekarang?!"
"Aku juga mencoba memberitahukan padamu,"
"Dan kapan tepatnya, kau mencoba mengatakannya padaku!?"
Saat itu Havrelt kira, dia akan mendengar pembelaan dari Blace lagi untuk dirinya sendiri. Tapi ia hanya melihat Blace jauh lebih pendiam dari biasanya. Bahkan sekarang wanita itu tidak lagi melihatnya, tangan yang awalnya menahan tangan Havrelt mencengkram pipinya juga tidak ada lagi. Tangan mungil itu hanya bertautan dengan gemetar di atas pangkuan. Dan tatapan wanita itu tampak rapuh dan merasa bersalah.
Havrelt tidak menjauh dari jarak mereka yang hanya sejengkal. Dia memejamkan matanya sejenak, dia tidak tahu mengapa dia memilih melampiaskan kemarahan pada Blace. Tapi Havrelt tidak bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang Nate lakukan pada wanita itu.
Ketika kelopak mata Havrelt membuka, tatapan tajam itu menghilang, digantikan dengan tatapan yang bahkan Havrelt sendiri tidak mengerti dirinya, lagi dan lagi.
"Lusa," Havrelt melepaskan kucir rambut Blace dengan mudah. Entah kenapa dia lebih menyukai wanita ini dengan rambut terurai. "Kau akan ikut denganku, untuk membantuku."
Blace terdiam, wanita itu sama sekali tidak menatap Havrelt. Lalu tak lama, seolah Havrelt mulai mengenali Blace sebagai sosok yang rumit. Wanita itu mengubah ekpsresinya lagi, kali ini Havrelt bisa melihat kelipan ketakutan itu menghilang digantikan dengan sikap menantang. Mata eboni itu menatapnya. Sebuah senyuman ramah terukir di bibirnya. "Jika aku tidak ingin ikut?"
Havrelt menyeringai, ia mendekat ke sisi telinga Blace dan berbisik. "Aku dengan senang hati memaksamu ikut."
Yey up!
Sory kalau terlalu lama nunggu updatenya.
Sory for typo :)
😅Berharap kalian masih sanggup menunggu kelanjutan cerita ini :)
Dan jangan lupa tinggalkan jejak untuk cerita ini😉
(2179 kata)
(Senin, 27 Mei 2019)
Risennea
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top