E I G H T E E N🔫
Archer sengaja menunggu kedatangan James. Ia tidak mungkin menyelinap sendirian tanpa menunggu bantuan. Sebenarnya ia bisa saja melakukannya sendirian, tapi ia tidak ingin mengambil resiko jika bisa saja, ia juga berakhir di tangan orang yang berhasil menculik Blace.
Archer memutuskan menunggu dalam mobil, yang terparkir cukup jauh dari tempat orang-orang menyekap wanita itu, tetapi ia masih bisa memantau keadaan tempat itu. Sambil menunggu kedatangan James, Archer menyelipkan dua pistol peredam suara di belakang jasnya. Archer meraih lagi satu pistol yang sama di bawah jok kursi. Ketika itu ada seseorang mengetuk jendela mobil dengan tidak sabaran, refleks Archer menodongkan senjatanya. Saat ia tahu jika orang yang mengetuk jendela mobil adalah James, pria itu kembali menurunkan senjatanya.
Archer tidak keluar dari mobil, ia tidak ingin mengundang kecurigaan siapa pun. Karena itu ia membuka pintu untuk James, dan James langsung duduk di kursi penumpang sebelahnya.
"Kita tidak bisa menunggu yang lain. Mereka masih menyusul, terlalu lama untuk menunggu kedatangan mereka," James berkata tanpa ditanya pada Archer. Ia melanjutkan, menatap Archer. "Kita harus membawa wanita itu dengan selamat, secepat mungkin."
"Penjagaan dijaga cukup ketat," Archer berkata sambil melihat bangunan kecil yang hanya memiliki satu lantai. Bangunan itu berwarna abu-abu dan terbuat dari permukaan dinding batu yang kasar. "Selama beberapa menit lalu, aku sudah mengamati semuanya. Beberapa dari mereka memilih berjaga di atap dan mengawasi sekitar. Mereka juga berjaga di bawah dengan anak buahnya yang lumayan." Archer menatap James sekilas. "Untuk tetap selamat, kita harus membuat rencana."
James mengangguk, ia sangat menyetujui apa yang dikatakan Archer.
Sepuluh menit kemudian, Archer mengeluarkan senjata sniper dalam bagasi mobil James. Tugas pertamanya adalah menghabisi orang-orang yang berada di atap. Pria itu menghitung dengan cepat, dan saat tahu hanya ada tiga orang yang mengawasi atap, membuatnya semakin tidak sabar untuk membidik. Sesuai rencana yang mereka bicara dalam waktu yang singkat, Archer akan membunuh orang-orang di atap. Setelah itu James akan mendekati lima orang yang menjaga pintu masuk, berpura-pura jika ia sedang tersesat dan akan bertanya alamat. Jika gagal, mereka sudah menyiapkan rencana kedua.
Biar Archer penjelas, tempat sang peramal berada di perbatasan kota, jelas jika tempat itu sedikit dekat dengan pesisir pantai yang tak terawat. Dan tidak heran, jika tempat itu sangat sepi. Bangunan yang sedikit mirip gubuk itu, terletak begitu dekat dengan bangkai hewan mati, yang membuat udara tidak sehat untuk dihirup. Tidak ganjil jika para penjaga pintu, memakai masker penutup wajah mereka, untuk menghindari bau tidak sedap.
Seperti yang Archer katakan, ia telah mengamati segalanya. Tak jauh dari tempat itu, ada rumah yang jauh lebih layak dari tempat penyekapan Blace. Archer menduga jika para penculik yang sebenarnya ada di dalam sana, tetapi tempat itu terlihat sangat sepi, sama sekali tidak terlihat dijaga oleh siapa pun. Berada tak jauh dari tempat berdiri mereka, ada beberapa pohon-pohon liar yang tumbuh menjulang, yang sedikit membantu Archer dan James dalam persembunyian mereka. Well, setelah mengamati sekitar jika tidak ada cctv yang akan merekam gerakan mereka.
Sekarang yang Archer lakukan adalah mengambil posisinya untuk membidik orang-orang yang berada di atap. Ia tiarap di tanah yang basah karena embun malam, mengabaikan bajunya yang ikut basah. Senjatanya sudah ia setel lebih tinggi dari posisinya. Archer itu ahli penembakan jitu, terkenal dengan tembakan jarak jauh yang tidak pernah melesat sedikit pun, walaupun harus menembus cuaca ekstrem. Pria itu memang lebih menyukai menembak dari jarak jauh ketimbang menembak dari jarak dekat. Karena ada kesenangan tersendiri, seperti melihat targetnya tidak tahu jika kematian akan menghampirinya dan saat kematian sudah merenggut, tidak ada lagi yang bisa dielakkan. Rasanya menyenangkan dan sinting.
Seperti sekarang, setelah Archer memprediksi jika arah angin sejalan dengan peluru, pria itu mulai membidik dengan cepat. Dan tak lama tiga orang itu telah berhasil ia dibidik tepat sasaran. Tak ada yang meleset dan menimbulkan kecurigaan. Senjata sniper yang ia gunakan adalah merek AS50, yang mematikan dan melesat dengan cepat, sekali pun jarak jangkauan senjata itu sekitar 1.500 meter.
Nyawa orang-orang itu direnggut dengan sekejap, mereka tumbang ke lantai tanpa pergerakan setelahnya. Sedikit menimbulkan bunyi jatuh, saat satu per satu tubuh itu terjatuh di lantai, tetapi semua berjalan baik-baik saja karena lima orang yang menjaga pintu sama sekali tidak curiga atau sekedar menyadari jika para penjaga di atap sudah tak bernyawa. Semuanya berjalan dengan lancar.
Di saat yang bersamaan, James muncul dengan santai, berjalan seolah tak merasa ada bahaya yang menantinya. Ia sama sekali tidak menghentikan langkahnya saat melihat para penjaga itu mengangkat senjata ke arahnya.
"Hey, tenang-tenang." James mengangkat kedua tangannya di udara, bersikap seolah menyerah, "Aku hanya ingin bertanya," James melancarkan aksinya. "Aku hanya turis yang tersesat," lanjutnya.
Salah satu pria yang berdiri di tengah melangkah maju satu langkah, senjata di tangannya belum diturunkan, masih ditodongkan ke arah James. "Kau tersesat?" pria paruh baya berbadan besar dan berotot itu tertawa. "Memangnya kau anak kecil yang bisa tersesat? Dan apa yang kau lakukan hingga bisa tersesat seperti tikus yang terjebak?"
Ucapan menghina itu disambut dengan gelak tawa menjijikkan dari yang lain.
James mengernyit sebentar saat bau busuk tercium begitu kuat. Menjijikkan, umpat James dalam hati. Bagaimana orang-orang ini bisa bertahan di keadaan seperti ini. James harus segera menyelesaikan tugasnya. Sudah cukup! James tidak ingin membuang waktu lagi.
"Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kalian lakukan di tempat seperti ini?" tidak ada lagi nada santai seperti yang ia tunjukkan, hanya nada suara yang berubah menjadi tajam.
Pria paru baya tadi, berhenti tertawa. Tak kecuali empat pria paruh baya lainnya.
"Berjaga untuk mengamankan wanita yang kalian sekap di dalam ruangan itu." James mengeluarkan kartu AS yang sangat ingin ia ucapan. "Lalu melihat wanita itu perlahan-lahan disiksa hingga mati."
Ucapan James, membuat mereka ingin menarik pelatuknya.
"Kau! Beraninya orang asing seper---"
Seketika itu orang itu berhenti bicara. Matanya terbelalak lebar menyaksikan ada darah yang keluar dari dahinya, membasahi wajahnya. Meninggalkan rasa sakit seperti terkena timah terbakar dalam otaknya. Alih-alih melanjutkan ucapnya, ia tumbang di lantai dan mati seketika dengan darah yang terus mengalir tanpa berhenti. Keadaan berubah begitu cepat, dua orang lainnya yang berdiri di samping pria tadi juga tumbang, persis seperti keadaan orang pertama.
Akal sehat dari dua orang lainnya seakan berputar sangat lamban dan sulit diproses. Saat mereka ingin menembak James, James sudah lebih cepat menodongkan dua senjata, di tangan kanan dan kiri, terarah tepat itu kepala mereka. Dalam hitungan setengah detik, peluru itu melesat dengan cepat, tanpa suara dan mematikan. Kecepatan peluru itu nyaris tidak bisa dilihat oleh mata telanjang manusia.
James menoleh ke belakang, melihat Archer yang menghampirinya. Iya, tiga orang itu mati karena Archer menembaknya. Sekarang aura pria itu benar-benar tidak bisa ditebak. Nyaris saja ingin membunuh semua orang di dekatnya.
James mendekati seseorang yang memiliki kunci pintu di sabuk pinggangnya. "Kau tahu, Archer. Kadang kita juga harus bisa mengontrol diri sendiri, dan tidak menimbulkan masalah." James meraih kunci, setelah ia temukan.
Archer tidak menjawab, James mengangkat bahunya. Sebenarnya tidak ada masalah dengan aura Archer. Hanya saja James merasakan tiap kali dirinya bersama Archer, pria itu gelap dan sangat berbeda padahal tampangnya sebenarnya cukup ramah.
Ternyata semua berjalan sangat lancar, setelah memasukkan kunci dan memutarkanya, James mendorong pintu itu.
*****
Mereka datang.
Entah sejak kapan, ketika tahu pintu ruangan itu terbuka, Blace berdebar ketakutan, tubuhnya menggigil menanti kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mereka pasti datang untuk melukai Blace, mereka pasti datang untuk membunuh Blace. Blace sama sekali tidak bisa berpikir jernih, ketika suara langkah kaki itu semakin mendekatinya. Dari awal, sebenarnya ia sudah mendengar bunyi lain dari luar pintu, suara seperti orang yang berdebat dan terjadi sebuah perkelahian. Blace mengakui jika ia sangat ketakutan untuk sekarang ini.
Bekas tamparan orang itu masih terasa dan membekas di pipinya, masih meninggalkan sensasi pedih yang masih berkelanjutan hingga sekarang. Langkah kaki itu berhenti. Tubuh Blace menegang, rasa panik mulai menyelinap dalam pikirannya, mengacaukan rasionalnya tentang bersikap tenang.
Seseorang melepaskan ikatan matanya, tidak hanya itu orang itu membuka semua tali yang mengikatnya dengan cepat. Blace termangu, ada perasaan tidak mengerti di tengah ketakutan yang ia rasakan, bahkan Blace tidak mencoba memberontak atau berteriak ketakutan. Ia hanya tidak mengerti mengapa orang yang ia kira akan melukainya, akan melepaskannya, begitu saja.
Penglihatannya mengabur karena terlalu lama menutup mata. Tidak hanya itu mulut, tangan, kakinya semua terasa sakit karena ikatan yang mengikatnya masih terasa di tubuhnya. Entah mengapa setelah semua ikatan itu dilepas, Blace merasa sesuatu yang lain, seperti rasa lelah yang teramat.
Ketika matanya sudah bisa menyesuaikan penglihatan dalam ruang remang-remang itu, saat ia bisa melihat dengan jelas. Wajahnya memanas, merasa rasa panik semakin menekannya saat seseorang berdiri menjulang di hadapannya. Ia mengenggam erat tangannya sendiri, tidak peduli jika ia bisa melukai dirinya sendiri. Ia tidak peduli. Blace hanya khawatir pada siapa orang yang sudah melepaskan ikatannya.
Memberanikan dirinya, Blace mengangkat wajahnya dan melihat. Begitu ia bertatapan dengan orang itu, matanya berkaca-kaca, ia kehilangan kata untuk berucap. Blace tahu siapa orang itu, walau harus melihat dalam ruang yang minim cahaya. Ia tahu, ia mengenal pria itu.
James Alexis.
Rasa lega membanjiri diri Blace, ia tidak pernah membayangkan jika ia akan selamat. Blace menarik napas dan menghembus napasnya dengan pelan, berharap supaya rasa panik dan rasa takutnya sedikit menghilang setelah ia melakukan hal itu.
Ia menatap James dengan lama, melihat di wajah datar itu ada sedikit kekhawatiran.
"Bisa berdiri?" suara James menembus pendengarannya.
Blace berkedip dua kali seolah tersadar, lalu wanita itu mengangguk pelan.
Blace sebenarnya tidak yakin dengan anggukannya sendiri, ia merasakan kakinya terlalu gemetar untuk berdiri. Tetapi Blace memaksa untuk melakukannya. Bibirnya hampir tersenyum lega saat ia bisa melakukan apa yang inginkan, ia berdiri di sana tanpa pegangan. Namun, ternyata tidak bertahan lama, ketika ia melangkah, ia terhuyung. Beruntung, James bertindak cepat dengan menahan tubuhnya, dengan merangkul pinggang Blace.
"Kita harus segera pergi," ucap James mencoba mengajak Blace melangkah, tanpa melepaskan rangkulannya.
"James, bagaimana kau tahu aku berada di sini?" bibir Blace bergetar saat ia mengucapkan bisikan kalimat itu. Tetapi sayangnya, James tidak menjawabnya.
Blace menghentikan langkahnya ketika berada di depan pintu, ia melihat Archer sedang berdiri seolah pria itu sedang menjaga keadaan. Seharusnya Blace tidak perlu bingung dengan jawaban atas pertanyaan tadi, pasti Archer sudah mencurigai jika ia terlalu lama berada dalam kamar mandi dan memutuskan untuk mencari tahu jika Blace tidak kabur. Intinya, entah bagaimana Archer lah yang pertama tahu jika ia diculik. Mungkin nanti Blace akan berterima kasih untuk kedua pria ini.
Baiklah, sepertinya Blace terlalu banyak berpikir. Ia harus tenang. Biasanya untuk membuatnya tenang, Blace sering melakukan trik hirup-hembuskan dalam bernapas. Saat Blace menghirup udara, ia mengernyit keras.
Tidak perlu memastikan dua kali, ia tahu yang ia hirup persis seperti bau besi berkarat.
'Bau besi berkarat,' Blace mengulangnya dalam hati.
Terjerat ikatan magis yang memaksanya memandang sekitar, Blace baru mengetahui ada lima mayat yang terkujur kaku, tergelatak di lantai dengan darah yang membasahi lantai. Tanpa ia cegah, Blace terhuyung ke belakang, wajahnya pucat pasi.
Ada tangisan yang menghayat hati siapa pun yang mendengar. Ada siksaan yang bisa membuat orang yang melihat menjerit ketakutan, dan meminta agar siksaan itu dihentikan. Di sana, ia melihat, mendengar apa yang terjadi. Ia ingat, karena rasa itu selalu menghantuinya.
James mencengkram pinggang Blace erat, ia melihat wanita itu seolah kehilangan tenaganya.
"Kau baik-baik saja?" James mencoba menepuk pipi Blace, seolah tidak ada artinya, Blace nyaris menutup matanya.
Xuè...
Xuè artinya 'Darah' dalam bahasa mandarin. Ia tidak bisa menahan ingatannya kembali pada masa itu, masa di mana tetesan darah menjadi kebenciannya. Menjadi kelemahannya.
Kilatan benda tajam tidak berhenti melukai tubuh itu secara perlahan, terus menggores hingga darah keluar dari tubuh. Dalam ruangan gelap itu, dipenuhi tangisan dan jeritan.
Ia melihat terlalu banyak siksaan. Bukan satu orang, tapi puluhan, nyaris ratusan. Tiap malam. Dengan siksaan yang berakhir sama. Semuanya mati, menjadi mayat.
"HENTIKAN." air mata itu menetes. "HENTIKAN!"
James tidak tahu apa yang terjadi pada wanita dalam rangkulannya. Blace benar-benar persis seperti mayat, wajahnya seputih kertas. Benar-benar tidak ada warna. James mencoba menyentuh pipi Blace, lalu setelahnya menepuknya.
"Kau baik-baik saja?" James menanyakan pertanyaan yang sama, setelah tidak mendapatkan respon dari Blace.
Mata yang tadinya nyaris tidak terbuka, membuka dengan cepat. Saat mata Blace menatapnya, tubuh wanita itu bergetar hebat. Tangan Blace mendorong tubuh James, air mata tidak tertahan menetes dari matanya. Tangannya mencengkram rambutnya, lalu wanita itu menjerit ketakutan.
James terkejut melihat respon Blace yang sangat jauh dari asumsinya, ia tidak tahu jika Blace menjerit ketakutan. Benar-benar menjerit dan tidak berhenti.
"Hey, tenanglah." James mencoba mengapai Blace, yang selalu mundur tiap kali ia melangkah mendekat.
James menoleh pada Archer yang masih menunggu mereka. Tatapan pria itu seolah menyuruh mendiamkan Blace. Di tengah kebingungan, mengapa Blace berteriak.
James terpaksa menerjang ke arah Blace, menutup paksa mulut wanita itu agar diam. Jika Blace terus menjerit keras, James tidak menjamin jika mereka akan ketahuan saat itu.
"Diamlah." Desis James mengabaikan rontakan dari tangan Blace yang terus mendorongnya. Ia mendesak agar Blace menghentikan kelakuannya.
"James?" ia mendengar suara Archer dari belakangnya. Tapi James mengindahkannya.
"James?" suara Archer menyusup dalam pendengarannya.
"James?"
Wanita itu meronta dan menangis dalam waktu bersamaan. Kesal dengan suara Archer yang terus memanggilnya. James menoleh, ia mendapati Archer yang berlutut di tanah dengan pistol yang tergeletak begitu saja. Tangannya terangkat ke udara, dan berapa orang menodongkan senjata padanya.
Di saat bersamaan lagi, James merasa tangannya digigit oleh Blace. Mengabaikan apa yang Blace lakukan, pria itu mengumpat.
Shit! Mereka dikepung.
*****
Namun, keadaan itu tidak bertahan lama. Utusan Havrelt yang diperintah oleh James datang tepat saat itu. Dan mereka menyerang tanpa ampun.
Archer berhasil meraih kembali pistolnya dan menyelamatkan dirinya dari tembakan. Bahkan ia harus melakukan perkelahian dengan para penjahat itu.
Sedangkan James, melihat banyak bantuan yang datang, pria itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk keluar dari kekacauan ini. Pertama-tama ia harus mendiamkan Blace yang masih berusaha melepaskan diri darinya dan juga masih tidak berhenti menjerit. James memukul tekuk leher Blace cukup keras, dengan sangat terpaksa. Wanita itu langsung tak sadarkan diri. James langsung kembali merangkul Blace dalam pelukannya.
James menoleh pada suasana di luar sana. Karena anggota yang dikirim cukup banyak, sehingga memudahkan untuk membalikkan keadaan. Orang-orang yang tadinya sempat mengepung mereka, kini terbalik, mereka sudah dikepung oleh anak buah lainnya.
James tidak memungkiri ketangguhan para bawahan yang selalu siap dalam perkelahian. James mengernyit saat merasakan suhu tubuh Blace mendingin dalam pelukannya.
"Aku akan mengurus mereka." Archer berkata, pria itu terlihat mencengkram rambut wanita berambut pirang. Ia mengeratkan cengkramannya. "Terutama pembuat onar yang satu ini."
James mengangguk pelan. Sekilas matanya memandang lima mayat yang masih tergeletak, entah apa yang merasukinya, ia berpaling menatap Blace.
Shit! Mengapa aku baru sadar!
Saat itu juga, James menyelipkan tangannya di antara bahu dan lutut Blace, mengendongnya, membawanya ke mobil terdekat. Anak buah yang lain membuka pintu, saat James mendudukkan Blace ke jok penumpang di mobil jeep itu.
James langsung berputar ke kursi kemudi, masuk dan membawa mobil itu pergi dari sana.
-----To be Continue-----
****
(Minggu, 21 Oktober 2018)
[Follow ig : risennea]
FIX! TELAT SEHARI!
Aku sama sekali gak berharap untuk melanggar, but forgive me lagi karena aku belum menjadi Author yg disiplin. Beberapa hari ini aku sibuk di dunia real, kadang aku pusing buat memulai menulis apa kecuali tengah malam.
So.. Hari selasa nnti kita akan ketemu lagi. Aku gak bakal ingkarin lagi. Update-an cerita ini.
Semoga masih betah menunggu.
And THANKS for Reading 🎉🎉🎉🎉🎉🎉
❤️Bonus pict❤️
Salam hangat
P A H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top