Bab 4


Nawang memijit dari lengan hingga ke pergelangan tangan Widuri yang tiba-tiba lemas. Sedang Daniel duduk diam di kursi single, nyaman menunduk tak berani menatap mata sang bunda yang terbalut kecewa. Kenapa hanya gara-gara balon tipis nyonyanya terkejut dan langsung memegang kepala terus. Tuan mudanya cuma duduk sembari meremas tangan seperti tengah melakukan dosa besar.

"Bunda gak nyangka kamu milih hidup di apartemen supaya bisa melakukan hal bebas sampai kebablasan." ucap Widuri diselingi menghirup aroma minyak kayu putih yang Nawang berikan. Ia duduk bersama Nawang di sofa panjang. Tangannya yang semula berada di pelipis, kini ia turunkan ke dada.

"Bun, Daniel bisa jelasin. Ini semua salah paham."

"Salah paham?" Widuri tentu tak percaya. "Terus kondom berdus-dus itu kamu buat tali pipa yang bocor? Atau kamu tiupun di waktu senggang?"

"Bun.." belum sempat menjawab tapi Daniel sudah dapat lemparan bantal sofa.

"Pantesan kamu kalau bunda suruh pulang selalu gak mau!!"

Nawang membatu, ia terkejut. Barang yang tadi ia sentuh tadi itu kondom. Salah satu Alat kontrasepsi yang ia ketahui tapi tak pernah lihat wujudnya. Setelah ini tangannya harus dibasuh dengan tanah tujuh kali. Otak kecil Nawang berpikir keras, mau apa pria bujang dengan kondom berdus-dus?

"Daniel pingin mandiri, Daniel udah terlalu tua jika harus tinggal sama bunda."

"Masih beralasan? Kamu mau lihat bunda mati, nyusul papah kamu?" Daniel langsung mendongakkan wajah. Air mata bundanya sudah mengalir deras. Widuri bernafas ngos-ngosan dan memegang dadanya yang dihantam nyeri setiap Daniel menjawab.

"Bunda berlebihan, aku sudah sangat dewasa untuk bunda awasi atau batasi!"

Widuri membulatkan mata atas jawaban yang terdengar menentang itu. Ia langsung menerjang Daniel tanpa ampun, memukul, mencakar serta menjambak kepala putranya. "Kamu keterlaluan, kamu gak jauh sama bapak kamu!!" Amuknya sambil menangis tak terima. Kenangan buruknya ketika sang suami bermain serong tiba-tiba muncul. Melihat Daniel ia terbayang-bayang wajah Almarhum Robert.

"Buk... udah." Larang Nawang mencoba menggapai lengan majikannya tapi apa daya ia kalah gemuk. Nawang tak kuasa menolong, lebih mirisnya beberapa detik kemudian tubuh Widuri pingsan menimpa tubuhnya yang kerempeng.

"Bunda!!"

🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦

Daniel dibesarkan dengan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya. Ia tak pernah merasa kekurangan atau keinginannya tak terwujud. Apa pun selalu ayahnya beri, mulai dari motor padahal ia masih SMP dan mobil mewah ketika SMA atau sebuah apartemen pribadi ketika ia menginjak bangku kuliah semester awal. Daniel juga merasa selama ini hidupnya lancar. Ia dididik bahwa pria tak pernah salah, pria si dominan, pria adalah pemimpin dan pengambil keputusan.

Masa kecilnya yang bisa dibilang bandel selalu menyenangkan. Siapa yang ia jahili tak pernah berani melawan atau jika ada anak yang menyakitinya maka ayahnya tak segan turun tangan. Intinya Daniel tak pernah disalahkan bahkan jika ia menabrak meja saat balita maka mejanya yang akan dimaki habis-habisan atau dipukul balik.

Maka sekarang ketika ibunya masuk rumah sakit yang jelas-jelas karena dirinya. Daniel mencari kambing hitam agar hatinya lega. Nawang yang harus disalahkan, kalau saja si udik tak menemukan stok kondomnya maka semua ini tak akan terjadi. Ibunya tak akan berakhir di rumah sakit. Daniel mengarah tatapan intimidasinya kepada Nawang yang tengah duduk sembari berdoa agar majikannya tak kenapa-kenapa.

Namun ketika Daniel menghampiri Nawang dan hendak marah-marah. Dokter yang memeriksa ibunya datang. "Bagaimana keadaan ibu saya Dok?"

"Ibu anda mengalami tekanan darah tinggi dan sesak nafas. Beliau sudah sadar dan bisa di jenguk."

Daniel tak menyia-nyiakan kesempatan, ia bergegas masuk ke dalam ruangan Tempat ibunya berada. "Bun?"

Baru satu kata ia ucap. Widuri malah melengos, berbaring membelakanginya. Daniel yang tahu ibunya sedang mode marah tingkat akhir. Cuma bisa menarik nafas sabar lalu mengambil bangku untuk duduk. "Bun, Daniel minta maaf."

"Panggil Nawang. Bunda gak mau lihat kamu, bunda gak punya anak kayak kamu!!"

"Please bun, jangan begitu." Mohon Daniel sambil mengambil tangan kiri bundanya namun Widuri tepis.
"Maaf kalau Daniel ada salah, udah berani lawan bunda, udah berani bentak bunda" Daniel sadar jika tetap saja surganya ada di telapak kaki orang yang telah melahirkannya ini.

"Panggil Nawang!!" Widuri bersikeras sedang Daniel semakin kuat memegang tangan Widuri.

"Please,,, Daniel akan melakukan apa pun asal bunda mau maafin aku." Mohonnya dengan sangat. Seumur-umur Daniel tak pernah mendapati Widuri marah-marah, mengamuk seperti tadi. Tangan tuanya memukul tak seberapa sakitnya, tapi emosi kecewanya yang sangat dalam di rasakan oleh Daniel.

"Kamu bakal ngelakuin apa aja buat bunda?"

"Iya bun."

"Termasuk pulang ke rumah?"

"Pulang?" Daniel jelas tak begitu saja mengiyakan. Pulang ke rumah, tinggal lagi bersama ibunya plus dua babu ngeselin. Daniel gak bisa terima!! Teriaknya, namun ia pilih redam dengan mengepalkan tangan.

"Gak mau kan? Gak sanggup?" ejek Widuri dengan posisi masih berbaring membelakangi sang putra. "Panggilin Nawang, kamu keluar!!"

"Oke... oke... kalau bunda nyuruh Daniel pulang. Aku akan pulang!!"

Widuri tersenyum menang, anaknya mau pulang. Siapa suruh, Daniel si bujang malah berbuat aneh-aneh selama tinggal di apartemen. Wanita paruh baya itu takut jika suatu hari ada perempuan datang ke rumah dengan membawa perut besar atau menggandeng seorang balita.

Karena merasa namanya di panggil. Nawang tanpa ijin siapa pun masuk ke ruangan Widuri di rawat. Padahal kalau boleh jujur Daniel sedang dalam mode tak ingin melihat muka sok polos gadis itu. Daniel yang terlanjur kesal karena dipaksa balik ke rumah tiba-tiba matanya yang setajam silet di pertemukan dengan sosok Nawang yang tenang berjalan. Tahukah saat ini Daniel ingin sekali menggorok leher serta mencacah rambut gadis gembel itu? Namun ditahannya sebab setelah ia pulang ke kediaman Johnson dan jadi penguasa di rumah Tempat si babu kerja. Daniel jamin, tak akan lama Nawang akan ia buat menangis, kesusahan, dan ia tendang pulang ke kampung halaman.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Nawang mengamati sebuah kertas yang isinya beberapa tulisan yang ia tak tahu maksudnya. Baru sehari Tuan mudanya pulang tapi kenapa Nawang rasanya seperti kerja rodi setahun. Dari kemarin dia sudah mengganti bed cover, mengosek kamar mandi dalam milik Daniel. Belum lagi harus menyiapkan kemeja, tas, dasi, celana dan kaos kaki untuk tuannya yang super galak.

Kini ia disuguhkan daftar sarapan pagi yang tak Nawang mengerti. "Smooties itu apa ya nyonya?" tanyanya pada Widuri.

"Ini campuran beberapa buah, yang di blender jadi satu. Biasanya Daniel lebih suka smooties pisang campur strowberi dan kiwi."

Nawang mengangguk karena sedikit paham. "Kalau oatmeal?"

"Itu biji oat, ada di rak atas. Cara buatnya di seduh pakai air hangat." Di otak Nawang, pokoknya yang nanti ada di rak yang tulisannya oat pasti ada .

Menyadari kebingungan pelayan mudanya. Widuri mengambil kertas yang sedang gadis itu pegang. Ada tulisan, oatmeals, smoothies, whole grain, sirataki dan lainnya yang pasti membuat Nawang menggaruk-garuk rambut karena bingung. Widuri saja belum beli bahan-bahan ini karena memang tak ada yang mengkonsumsinya. "Udah, nanti kamu saya ajarin dan saya kasih tahu benda-benda ini sambil kita belanja di Supermarket."

Nawang tersenyum lega. "Makasih buk."

Sedang Daniel yang sudah di dalam mobil untuk berangkat ke kantor tentunya tanpa sarapan. Tersenyum culas sambil berkaca di spion. Ini baru permulaan, belum nanti yang berat-berat. Siapa suruh babu itu mengusik hidupnya yang nyaman. "Nawang... nawang bentar lagi lo nangis darah."

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀☘️

Bagi Daniel ketika melihat Nawang tersenyum adalah suatu pelanggaran. Apalagi gadis berusia 18 tahun itu terlihat santai, rasanya matanya terasa perih dan juga sakit. Begitu melangkah keluar rumah, ia melihat Nawang sendiri sedang membenarkan letak pot-pot bunga yang di rasa kurang aman jika di taruh berdampingan. Koleksi tanaman hias Widuri begitu komplit. Mulai dari tanaman ephorbia, gelombang cinta, cocor bebek, lidah mertua, pucuk merah dan masih banyak lainnya. Ada juga beberapa bunga mawar, kamboja walau tak banyak seperti tanaman hias yang berupa dedaunan indah. Nawang ibarat kaktus berduri di antara tanaman cantik.

"Pak Budi mana?" tanya Daniel pura-pura tak tahu. Padahal Pak Budi sudah ijin pulang dari tadi.

"Pak Budi udah pulang Mas." Ada apa gerangan tuannya yang mencari tukang kebun. Gaya Daniel yang berkacak pinggang serta menatap lurus ke arahnya, membuat alarm bahaya di otak Nawang berdering kencang.

"Padahal gue pingin banget makan mangga." Nawang menajamkan telinga ketika Daniel berdecak dua beberapa kali. Melihat tubuh Daniel yang menjulang tinggi rasanya, ingin sekali Nawang pergi mengendap-endap.
"Lo bisa kan manjat pohon?" Tuh kan Daniel punya permintaan yang aneh-aneh. Apa pantas seorang gadis yang kini memakai rok usang selutut di tanya hal seperti itu. Ia serba bingung mau menjawab apa.

"Bisa Mas."

"Bagus deh, sekarang lo ambil galah di gudang sekalian tangga." Ya ampun, otot lengannya dan perutnya keras serta tercetak jelas di kaos putih yang Daniel pakai. Gila saja menyuruh Nawang manjat, ambil tangga dan galah. Terus gunanya dia membesarkan kemachoannya apa dong. Kalau hal sepele bagi pria jantan. Nawang yang di suruh.

Daniel tertawa jahat di dalam hati. Kapan lagi melihat Nawang jatuh dari ketinggian sekitar 3 meter, mungkin hanya tulang patah atau retak sedikit. Tak apa kan? Tulangnya masih muda, masih bisa diperbaiki. Anggap saja bayaran impas karena mengusik hidupnya.

Tapi untunglah, Widuri datang tepat waktu setelah Nawang akan menaiki tangga undakan pertama. Sebab tadi ia tak sengaja melihat Nawang kewalahan membawa Tangga. "Eh... itu kenapa Nawang naik tangga?"

"Katanya boleh petik pohon mangga. Pak Budi gak ada, jadi Nawang yang naik," jawab Daniel yang kini dengan santai duduk di kursi kayu halaman.

"Ya kamu dong yang manjat. Kamu kan laki-laki."

"Bun.... Daniel gak pernah manjat." Manjat tubuh perempuan sering, kalau pohon dia nyerah. Tubuhnya tak digunakan untuk menaiki sesuatu yang tinggi. Kasihan nanti kulitnya baret. Kan dia sengaja mau nyiksa Nawang, jangan malah jadi senjata makan tuan.

"Tapi kamu gak bisa nyuruh Nawang buat naik ke atas pohon." Kesal berdebat dengan sang putra, Widuri lebih memilih menghampiri Nawang.
"Udah, turun. Gak bagus anak cewek naik pohon."

Nawang patuh, ia mencoba melipat Tangga untuk dikembalikan ke gudang. "Biar tangganya Daniel yang bawa."

Si perjaka tua langsung mendelik mendengar perintah sang bunda. Tapi mana berani bantah. Nawang jika di rumah memang menang tapi lihat saja besok. Daniel akan menyuruhnya membawa menu makan siang yang susah dimasak, ke kantor sendirian. Maka kemungkinan terbesar jika si udik akan tersesat, salah jalan atau kesasar hingga tak dapat pulang. Itu rencana yang brilian bukan?

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top