Bab 1

Hembusan nafas berat keluar dari mulut Daniel. Matanya menatap nanar pada kertas undangan bertali emas, bercover putih dengan relief timbul berupa ornamen khas timur tengah. Di atasnya terdapat deretan huruf yang membuat mata dan hati Daniel sakit. Huruf bertuliskan Baby Fareza dan juga Caesar Calmut. Disertai keterangan berupa tanggal dan sebuah tempat mewah di pusat kota yang ingin Daniel lempari bom.

Kedua sejoli itu akan melangsungkan pernikahan di bulan awal tahun ini. Harusnya nama di atas tulisan Baby itu terukir namanya.Tapi terlambat, Daniel kalah cepat. Ia kira ketika sang kekasih meminta break, mereka cuma butuh melebarkan jarak dan berpikir sendiri untuk menjalin hubungan lebih intim lagi. Namun Baby datang kembali dengan melempar kenyataan yang sanggup membuat hidup Daniel terjungkir. Perempuan ambasador sebuah Brand kosmetik itu membawa surat undangan perkawinan.

Salah Daniel juga sih, diberi waktu malah bermain-main, dikasih jantung malah minta hati ampela. Tapi kan dia pernah bilang jika sejauh apa pun Daniel berpetualang dengan para wanita mentoknya akan kembali ke Baby jua. Menikahi perempuan itu pada waktu yang tepat dan tobat jika sudah punya anak. Semua perempuan ternyata sama, memilih yang pasti-pasti aja. Tak memperhitungkan seberapa mereka kenal pasangan. Bisa saja kan Caesar itu ternyata seorang penyuka sesama jenis atau seorang dengan gangguan mental penggemar seks keras serta sadis.

Ah semoga saja begitu. Tak dapat sekarang, Daniel bisa menunggu jandanya. Sebelum perempuan itu ditimpa tanah kuburan, kesempatan Daniel masih terbuka lebar. Penyesalan memang selalu datang telat. Semua yang Daniel rencanakan kenyataannya terganjal, siapa yang cepat membawa ke pelaminan duluan.

"Iya?" Ponselnya dari tiga menit lalu bergetar, mengedipkan layar. Diangkatnya ponsel berkamera triplet itu dengan malas.

"Lo udah terima undangan dari Baby belum?"

Kampret!!

Si ale-ale tak tahu kondisi. Daniel sedang meresapi luka hatinya malah sang teman dengan enteng membahasnya. Patah hati jelas terjadi tapi Daniel gengsi jika mengakui. Ia menegakkan badan lalu membenarkan dasi. Ingat Ale menelpon bukan bertamu, kenapa ia malah jadi salah tingkah.

Mengerti kondisi kawannya yang hanya diam. si Ale tertawa terbahak-bahak karena merasa puas. Buntut ketidak setiaan adalah azab di tinggal nikah duluan. "Hahahaha, Baby buat keputusan yang tepat."

"Cewek masih banyak kali. Baby bakal nyesel udah ninggalin gue." Bilang begitu malah Daniel yang mengambil tisu. Karena merasakan pengar pada hidung yang menjalar ke mata. Kenapa ia berubah jadi melankolis. Helllo!! Kehilangan Baby, bukan kiamat. Banyak perempuan yang mau sama dia, masalahnya tak ada perempuan yang seperti Baby wajah serta sikapnya.

"Semoga aja, biar lo yang ngarepin dia bisa lebih sakit atinya." Ale tergelak lagi, Daniel bergerak cepat merejek panggilan itu. Katanya sahabat beda rahim beda bibit tapi kenapa tak ada yang berempati padanya, semisal memberinya dukungan dengan berkata 'jodoh sudah di atur Tuhan', perempuan di luaran masih banyak, Baby gak bakal bahagia kalau gak sama lo'.

Tapi belum juga ada lima menit, ponselnya berkedip lagi. Sekarang ia teliti, di tengoknya layar berukuran datar dan besar itu. Nama Arjuna Majendra tertera berikut dengan panggilan video callnya. Daniel tahu, Juna lebih kejam dari Ale. Lelaki yang telah bertunangan dengan Roxane Halim itu mau melihat wajah nestapanya beserta Air mata buaya secara live. Lebih bijak, Daniel menonaktifkan ponsel meresapi kesedihannya seorang diri.

Daniel membuka laci meja kerja. Di sana masih ada foto Baby yang dibingkai rapi. Ia merabanya pelan sebelum mendorongnya kembali ke tempatnya. Banyak kenangannya dengan Baby. Kenangan yang mesti di kubur, karena si perempuan mau dicap halal oleh pria lain dan pada akhirnya status mereka hanya jadi mantan. Ternyata begini Sedihnya ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Dua orang gadis terseok-seok berjalan di tengah pematang sawah. Si gadis yang lebih tinggi badannya, memegang sendal jepit yang talinya telah putus. Nasibnya apes banget mau nganterin makanan tapi sandalnya rusak karena terbenam lumpur sehabis hujan. Kapan sih jalan desanya yang banyak ditumbuhi rumput itu diganti aspal. Nawang Wulan, yang lebih sering di panggil Nawang merelakan telapak kakinya kotor terkena bekas tanah basah dan melepas sandalnya untuk ditenteng.

"Wang..." panggil seorang gadis satunya lagi yang tengah membawa rantang. "Mbok sandalmu dibuang aja, udah rusak juga."

"Eman-eman Sri (sayang sri). Masih bisa diganti srampat (tali) atau dikasih cemiti." Sri mendelik. Sandal pakai cemiti itu dulu di pakai Almarhum neneknya untuk ke masjid, katanya supaya gak dituker orang. Nawang itu pribadi yang hemat juga gemi lan setiti (pintar menyisihkan uang dan pintar menjaga barang), tak suka jajan dan gemar sekali diberi pakaian bekas. Padahal ibu Nawang, Aminah ngirim uang gak pernah pelit. Nawang adalah anak tunggal tanpa saudara. Kenapa gadis berkulit kuning ini malah jadi ratu ngirit (hemat). Beda kan dengan Sri yang bapaknya cuma petani dan adiknya ada tiga.

"Kita udah lulus sekolah Wang. Rencana kamu mau kemana?" tanya Sri yang sudah punya rencana indah. Ia akan melamar pekerjaan ke sebuah pabrik tekstil di Desa sebelah. Pabrik yang sama, tempat dimana sang bulek bekerja.

"Aku mau nyusul ibu ke Jakarta. Mau kerja di sana, uangnya nanti aku tabung buat sekolah lagi."

Sri yang berjalan di belakang Nawang menghentikan langkah. "Kamu mau kerja jadi pembantu?"

"Heem." jawab Nawang di sertai anggukan kepala.

"Hah? Bocah iki... (anak ini)" Sri berkacak pinggang, hampir membanting rantang. "Kalau cuma jadi babu. Ngapain kamu sekolah sampai SMA?"

"Kan pembantu cuma batu loncatan supaya aku bisa masuk kuliah. Setelah aku dapat uang buat masuk universitas. Yah aku coba cari kerja lain."

Sri mengerti tapi masih ada banyak hal yang mengganjal di benaknya. "Kuliah biayanya mahal. Kamu mau kerja jadi pembantu berapa tahun supaya bisa ngumpulin uang? Kenapa gak minta sama ibukmu. Dia pasti sanggup biayain kamu kuliah."

"Minta ibu? Kasihan Sri, ibu udah kerja keras semenjak bapak gak ada." Memang ibu Nawang selama ini kerja buat siapa? Kalau biaya kuliah pinjem dulu kan bisa, nanti balikinnya di cicil. Banyak bank daerah menawarkan pinjaman berbunga di bawah 10 persen. Hidup kok dibikin susah. Sri menggeleng lemah sambil membatin di dalam hati sedang Nawang sudah berjalan lebih dulu.

"Sri!!" Sri yang melamun langsung mendongak ketika namanya di panggil. Katanya sahabat, masak dia ketinggalan jauh. "Cepetan!! Nanti bapakmu sama pakdeku ngomel. Hantaran makanannya telat." Sawah Bapak Sri letaknya ada di ujung, bersisian dengan sawah milik Pakdenya Nawang.

"Aku kadang sebel sama bapakku." Sri memelankan langkah, mereka melewati pematang sawah yang lumayan licin dan sempit. Beberapa kali keduanya hampir terpeleset jatuh. Nawang berada di depan, sedang Sri tepat di belakangnya. Semoga saja mereka di tengah sawah begini tak di hadang ular, musang liar atau kodok bangkong.

"Kenapa? Sama bapak sendiri sebel, nanti kualat loh Sri!!"

Sri tanpa di ketahui Nawang menjulurkan lidah. Mengejek temannya dari belakang. "Aku sebel. Kenapa namaku Sri Rejeki bukan Ratna, Indah atau Clara!"

Tak sesuai lah dengan tampang Sri. "Sri Rejeki artinya banyak rejeki. Bapak kamu kasih nama itu berharap kamu berlimpah materi. Tapi Rejeki itu bukan cuma uang tok tapi juga kesehatan, keselamatan, kecukupan juga."

"Tapi kan kurang ngota. Namamu bagus Wang, Nawang Wulan. Ibumu kasih nama itu biar kamu secantik bidadari kan?" Entah kenapa ibunya memberi dia nama Nawang Wulan, pasangan Joko Tarup. Padahal kisah hidup Nawang Wulan itu sad ending. Menikah karena selendangnya tercuri lalu meninggalkan suami dan anaknya untuk kembali ke kahyangan.

Sawah pakde dan bapak mereka sudah mulai terlihat. Malah dua orang paruh baya itu sedang duduk rehat di gubuk sambil mengibaskan-ngibaskan caping.
"Lama banget Kalian datangnya. Pakde selak garing (keburu kering)."

Nawang dengan cepat menaruh teko, sedang Sri membuka rantang empat susun bermotif lurik tentara. Isi di dalam rantangnya ada nasi, tempe, sayur lodeh dan juga buah pepaya.
Kedua orang yang baru membajak sawah itu makan dengan lahap karena kelaparan. Untungnya Sri dan Nawang sudah makan duluan tadi di rumah .

"Wang..." panggil kakak ibunya yang bernama Baskoro itu lembut. "Habis lulus kamu jadi ke Jakarta nyusul ibumu?"

"Jadi Pakde."

"Padahal itu anaknya Juragan Dibyo nanyain kamu. Mau jadiin kamu istrinya." Nawang kesal jika di bahas masalah nikah. Umurnya baru 18 tahun. Memang di desanya umur segitu banyak yang sudah berumah tangga, malah kadang ada yang lebih muda. Tapi Nawang pingin punya gelar, agar bisa membanggakan ibunya dan menjadikan hidup mereka lebih baik. Nawang tak mau jika sang ibu pensiun nanti hanya jadi buruh tani.

"Oh anaknya juragan yang namanya Gito itu?" Bapaknya Sri malah menambahi.

"Iya. Tahu sendiri. Juragan Dibyo anaknya cuma tiga. Gito laki-laki satu-satunya. Nawang kalau mau nikah sama dia, enak hidupnya. Sawahnya juragan kan banyak. Siapa tahu aku kecipratan satu."

Nawang memanyunkan bibir. Maunya orang tua anak gadisnya dinikahkan dengan orang kaya padahal kelihatan kaya sama kaya beneran kan banyak bedanya. Nawang mengenal sosok Gito. Sosok yang suka menghadang jalannya ketika pulang sekolah, sosok pemuda yang selalu menawarinya jajan bakso tapi kerap membeli bensin eceran. Pemuda yang jika naik motor selalu ngebut lalu di jungkirkan naik mirip pembalap amatiran, belum lagi Gito itu sering memakai celana ketat dengan ban pinggang yang di turunkan hingga memperlihatkan sedikit warna boxernya. Setiap mereka ketemu, Nawang memilih  memutar arah untuk menghindar.

"Nawang gak mau. Nikahin aja Gito ama Sri!!" Kalau Gitonya mau, Sri juga bersedia. Masalahnya cinta Sri bertepuk sebelah tangan. Sri naksir Gito dari lama tapi apalah daya lamaran pemuda itu datang ke Nawang yang lebih cantik.

Nawang berdiri, secara tak sopan pergi. Meninggalkan ketiga orang terdekatnya itu lalu berjalan pulang sendirian. Keinginannya untuk ikut ibunya ke Jakarta semakin bulat. Di desa Nawang malah semakin menderita. Niatnya dia melanjutkan pendidikan banyak halangan. Entah perjodohan, entah pekerjaan, atau lamaran pria yang kerap datang.

Nawang di tinggal ibunya sejak berusia 10 tahun untuk kerja di Jakarta. Ayahnya sudah lama meninggal, ia sebatang kara di desa hanya bersama kakak ibunya beserta istrinya dan dua anak mereka. Mereka baik kepada Nawang tapi ia tahu diri saja jika menumpang di rumah orang harus banyak bantu juga.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Karya baru, projek bersama-sama dengan 12 penulis yang tergabung di bawah naungan BatikPublisher38 termasuk aku. Sudah up satu tadi punyanya hapsari1989 yang mengawali projek kami. Di tunggu sepuluh penulis lagi ya gleoriud Mamak_Muda henzsadewa MbakTeya MelianaMell YunOliviaZahra  sitihawa95 Alice_Gio deanakhmad WahyuHartikasari

Judul projek mereka apa aja intip di wall.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top